Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wilda Welis
"Gizi lebih adalah suatu keadaan kelebihan berat badan bila dibandingkan dengan standar sesuai umur dan jenis kelamin. Gizi lebih pada dasarnya disebabkan ketidakseimbangan energi. Di satu sisi konsumsi energi yang berlebihan karena mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan lemak tapi rendah serat seperti konsumsi fastfood dan makanan jajanan. Dari sisi lain rendahnya penggunaan energi karena gaya hidup sedentaris seperti banyaknya aktifitas menonton televisi dan sedikit berolahraga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gizi lebih pada siswa SLTP Kesatuan dan SLTP Bina Insani Kota Bogor. Desain penelitian ini adalah crossectional dan cara pengambilan sampel dengan cara acak sederhana. Sampel adalah siswa kelas 1, 2 dan 3 SLTP Kesatuan dan SLTP Bina Insani yang berjumlah 200 orang. Analisis data dilakukan dengan uji khai kuadrat dan regresi logistik ganda. Variabel independen adalah umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, persepsi terhadap tubuh, jumlah uang saku, frekuensi makan, kebiasaan jajan, kebiasaan mengkonsumsi .fastfood, konsumsi energi, protein, karbohidrat, lemak, lama menonton televisi, lama tidur, kebiasaan olah raga, pendapatan keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu dan status gizi orang tua.
Hasil penelitian ini mendapatkan persentase siswa dengan gizi lebih sebesar (44,9%). Ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki, kebiasaan selalu jajan, kebiasaan olah raga yang rendah, pendidikan ayah yang rendah, pendapatan keluarga rendah dan orangtua yang gizi lebih dengan kejadian gizi lebih pada siswa. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda didapatkan variabel yang paling dominan berhubungan dengan gizi lebih adalah kebiasaan jajan ( OR= 5,311 ; 95% CI: 2,457 - 11,482 ).
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan kepada Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional agar menggiatkan kembali program UKS dan promosi gizi siswa sekolah lanjutan tingkat pertama serta peningkatan sosialisasi PUGS untuk remaja.
Bahan Bacaan : 134 (1980-2003)

Analysis Factors Related to Overweight at Student of SLTP Kesatuan and SLTP Bina Insani in Bogor 2003Overweight is an increase of body weight above a standard for age and sex. Overweight is a problem of nutrient imbalance as more foodstuff are stored as fat than are used for energy and metabolism.
This study aim to examine factors that related to overweight at student of SLTP Kesatuan and SLTP Bina Lnsani in Bogor. This research using crossectional design and simple random sampling. The samples were student grade 1-3, total sample are 200 students. Data analysis by chi square and multiple logistic regression. Variables age, sex, knowledge nutrition, body perception, pocket money, food frequency, habit to buy snack, habit to eat fastfood, food consume, duration of viewing TV, sleep duration, exercise, family income, father and mother' education and nutritional status of parent are as independent variables.
The result of this study found that subject with overweight was 44,9%. Based on bivariate analysis, male, high habit to buy snack, low habit of exercise, low father's education, Iow family income and parental overweight showed significant correlation with overweight in adolescent. The most dominant variable to overweight was habit to buy snack. We recommended to Ministry of Health and Department of Education to reactive School Health Program (UKS), Nutrition Education and Marketing Indonesian Nutrition Guideline (PUGS) for adolescent.
References : 134 (1980-2003)"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 11217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Rizal
"Dalam era globalisasi sekarang ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda. Disatu pihak masalah gizi kurang masih merupakan kendala yang harus ditanggulangi, di lain pihak masalah gizi lebih dengan berbagai risiko penyakit yang ditimbulkannya cenderung meningkat terutama di kota-kota besar.
Pada dasarnya kedua masalah gizi tersebut terjadi karena satu masalah pokok yang sama yaitu dimana adanya kegagalan tubuh dalam mencapai keadaan gizi yang seimbang. Keadaan gizi lebih merupakan konsekuensi akumulatif dari adanya ketidakseimbangan antara masukan energi dengan energi yang dipergunakan tubuh. Salah satu faktor yang berperan adalah adanya kebiasaan mengkonsumsi makanan sumber energi yang berlebihan seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan trendi (fast food), kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak tinggi dan kurangnya mengkonsumsi makanan yang dapat menghambat penyerapan bahan makanan sumber energi seperti makanan berserat (sayuran dan buah-buahan). Disamping itu faktor aktifitas fisik juga berperan didalam mengatur kebutuhan energi, dalam hal ini menyangkut aktifitas pekerjaan utama sehari-hari dan aktifitas olah raga. Selain itu faktor-faktor lain yang berperan adalah umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan gizi lebih orang dewasa di 27 kota propinsi di Indonesia tahun 1996 - 1997 dan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan gizi lebih tersebut. Desain penelitian ini adalah "cross sectional" dengan memanfaatkan data sekunder hasil pemantauan status gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI di 27 kota Propinsi di Indonesia tahun 1996 - 1997. Kemudian data yang diperoleh dianalisa baik secara bivariat maupun multivariat dengan menggunakan regresi logistik antara faktor-faktor risiko (kebiasaan makan makanan trendi, kebiasaan makan makanan berlemak, kebiasaan makan sayuran dan buah, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan aktifitas olah raga) dengan keadaan gizi lebih orang dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi keadaan gizi lebih orang dewasa di 27 kota propinsi di Indonesia adalah sebesar 22,10% (klasifikasi WHO) dan 21,33% (klasif kasi Depkes). Proporsi keadaan gizi lebih ini merata di 27 kota propinsi dan hanya di dua kota yang proporsinya <15% yaitu Dili dan Pontianak. Dari hasil analisa bivariat ternyata faktor risiko yang berhubungan dengan keadaan gizi lebih orang dewasa adalah kebiasaan makan makanan trendi, kebiasaan makan makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
Dari analisa multivariat dengan memasukkan secara bersama-sama faktor risiko yang diduga mempunyai hubungan dengan keadaan gizi lebih kedalam model ternyata ada tiga faktor risiko yang berhubungan yaitu kebiasaan makan makanan trendi, umur dan jenis kelamin. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa proporsi keadaan gizi lebih orang dewasa pada kelompok umur 30-39 tahun lebih tinggi 2,97 kali dibandingkan kelompok umur <30 tahun. Pada kelompok umur 40-49 tahun lebih tinggi 5,03 kali dibandingkan kelompok umur <30 tahun. Pada kelompok umur 50-59 tahun lebih tinggi 3,88 kali dan kelompok umur 60-65 tahun lebih tinggi 2,77 kali dibandingkan kelompok umur <30 tahun. Selain itu diketahui bahwa proporsi keadaan gizi lebih orang dewasa pada kelompok perempuan 2,28 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sementara itu proporsi keadaan gizi lebih orang dewasa pada kelompok yang jarang (1-4 kali/bulan) mengkonsumsi makanan trendi lebih tinggi 1,36 kali dan kelompok yang sering (2 kali/minggu) lebih tinggi 3,01 kali dibandingkan dengan yang tidak pernah. Namun demikian ada interaksi antara faktor risiko kebiasaan makan makanan trendi dan jenis kelamin, dimana pada setiap tingkatan kebiasaan makan makanan trendi (jarang maupun sering) tampak bahwa kelompok perempuan kemungkinannya lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Factors Associated with Adult Overweight in 27 Provincial Capital Cities in Indonesia, 1996 - 1997In this globalization era, Indonesia faces double problems in nutrition. On the one hand under-nutrition is still a threat, which must be restrained; on the other hand overweight increases the risk for certain diseases, particularly in capital.
Basically, both malnutrition problems cause the same main problem, i.e. the failure of the body to reach a well-balanced condition of nutrition. Overweight is a cumulative consequence of unbalance between intake and useable energy. One of the factor is the habit of excessive consumption of high energy food such as, fast food, fatty food and certain foods which obstruct nutrient absorption of such as food rich in fiber (vegetables and fruits). Physical activity factors also play an important role to what extent energy is needed, in performing main daily working activities and physical exercise. Other factors which also play a role are age, sex and educational level.
The objective of this cross sectional study in to obtain information on adult overweight and related factors in 27 provincial capital cities in 1996 - 1997. Data used were secondary data from nutrition monitoring of adults, conducted by the Directorate Community Nutrition, MOH in 27 provincial capital cities during 1996 - 1997. In the analysis of data used logistic regression (bivariate and multivariate) between risk factors (eating habits of fast food, fatty food, vegetables and fruits, age, sex, educational level, occupation and physical exercise) and overweight condition of adult people.
The results of study revealed that the prevalence of adult overweight in 27 provincial capital cities in Indonesia was 22.10% (using WHO classification) and 21.33% (using MOH classification), Proportion of adult overweight was similar for 27 provincial capital cities, only 2 cities i.e. Dili and Pontianak, had proportions of <15%.
The bivariate analysis revealed that risk factors associated with adult overweight were consumption of fast food, fatty food, age, sex, educational level and occupation, and the multivariate analysis revealed that the three main risk factors associated with adult overweight were age, sex and consumption of fast food. The habit of eating fast food, age and sex in comparison with people aged <30 years, the proportion of overweight in 30-39 age group was 2.97 times higher, in the 40-49 age group 5.03 times higher, in the 50-59 and 60-65 age group 3.88 and 2.77 times higher respectively. It was also revealed that the proportion of female adult overweight was 2.28 times higher than male adult. Meanwhile, proportion of adult overweight in the group rarely eats fast food (1-4 times/month) and frequently eats fast food (2 times/week) 1.36 and 3.01 times higher than never eats fast food. Nevertheless there were interaction between risk factors, which were the habit to eats fast food and sex, wherever in every level of the habit to eats fast food (rarely and frequently) have also been observed: males tend to be more at risk to be overweight than females.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T6421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Halasan
"Salah satu upaya apabila seseorang berhasil mencapai usia lanjut adalah mempertahankan atau membawa status gizi yang bersangkutan pada kondisi optimal agar kualitas hidup yang bersangkutan tetap baik, gangguan gizi yang umumnya muncul pada lansia selain gizi kurang juga gizi lebih yang apabila dilihat dari sudut kesehatan, sama-sama merugikan dan dapat menyebabkan kematian dengan penyebab yang berbeda. Gangguan gizi pada lansia diduga berkaitan dengan perubahan lingkungan maupun kondisi kesehatan. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status gizi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lansia di kota Bengkulu.
Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel sebanyak 207 orang lansia yang berumur > 60 tahun dan dipilih dengan menggunakan systematic random sampling.Pengumpulan data variabel bebas seperti jenis kelamin, status perkawinan, status tempat tinggal, tingkat pendidikan, pengetahuan gizi, status ekonomi dan aktifitas fisik dilakukan dengan wawancara terstruktur sedangkan untuk konsumsi makanan (total energi, karbohidrat, protein dan lemak) dengan menggunakan dua pendekatan yaitu food recall dan food frequencies.
Hasil penelitian melaporkan proporsi lansia yang mengalami gizi lebih sebesar 18,4% dan gizi kurang sebesar 19,3%. Hasil uji t menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (P>0,05) rata-rata IMT menurut jenis kelamin, status perkawinan dan status tempat tinggal serta tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05) antara pengetahuan gizi dengan IMT lansia. Akan tetapi, ada perbedaan yang bermakna (p<-0,05) rata-rata IMT antara lansia yang melakukan olah raga dengan yang tidak melakukan olah raga dan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) rata-rata IMT menurut frekuensi, lama dan jenis olah raga. Selanjutnya ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara tingkat pendidikan dan status ekonomi dengan IMT lansia. Ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara total energi dengan IMT serta ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan IMT setelah di adjusted dengan total energi. Hasil analisis multivariat regresi linier juga menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan dengan IMT lansia adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan dan asupan karbohidrat dengan koefisien determinasi (R2 ) sebesar 0,10 yang artinya variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan dan asupan karbohidrat hanya dapat menjelaskan IMT lansia sebesar 10%.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lansia di kota Bengkulu mengalami masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih sudah mulai timbul akan tetapi masalah gizi kurang masih terjadi. Untuk itu, perlu digalakkan promosi gizi melalui pendekatan keluarga dirnana lansia tinggal serta bila memungkinkan memberikan makanan tambahan kepada lansia yang kurang gizi terutama lansia dengan kondisi ekonomi yang kurang.

Factors Related to Nutritional Status among Elderlies Bengkulu City,2001When reaches elderly age, one should maintain an optimal nutritional status to ensure a good quality of life. Nutritional problems that occur during old ages may take two forms, that is, under nutrition or over nutrition, both are health devastating and might cause death due to different reasons. Nutritional problems among elderly relate to changes in both environment and health conditions in general. Thus, this study aims to describe the nutritional status and its related factors among elderly in Bengkulu city.
The study design is cross-sectional with 207 subjects aged > 60 years of old and were selected using systematic random sampling. Structured interview was used to collect data such as gender, marital status, residential status, educational level, nutrition knowledge, economic status, and physical activity level. While for food consumption (to predict macronutrients consumption such as total energy, carbohydrate, protein, and fat), two methods, that is, food recall and food frequency questionnaires were employed.
The study showed that the proportion of elderlies with over nutrition was 18,4% and elderlies with under nutrition was 19,3%. T-test showed no significant difference (p>O,05) in BMI for gender, marital status, and residential status. Moreover, there was no significant difference (p>O,45) in BM[ for nutrition knowledge. Significant difference (p< 0,05) was found in BMI for elderlies who perform sport activities and those who do not. However, no significant differences were found for frequency, duration, and type of sport activities. Significant differences in BMI (p<0,05) were found for different level of education, economic status, total energy intake, carbohydrate, protein, and fat intakes (after being adjusted for total energy intake). The multivariate tinier regression analysis showed that the dominant factors determining the BMI of elderlies in this study were gender, educational level, and carbohydrate intake (adjusted) with coefficient of determination (R2) of 0,10, meaning that these variables could only explain 10% of the BMI among elderlies in this study.
The results of the study lead to conclusion that elderlies in Bengkulu city faced a double burden of nutritional problems, that is over nutrition and under nutrition at the same time. Therefore, an adequate nutrition promotion is to be embarked through family approach where most of elderlies stay. If possible, for elderlies with low economic status, a supplementary food should be provided.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T5129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Ramadhani
"Kejadian status gizi lebih pada remaja merupakan masalah yang sudah terjadi dimana-mana. Prevalensi status gizi lebih pada remaja di Jakarta Timur lebih tinggi dibandingkan dengan angka provinsi DKI Jakarta. Remaja yang memiliki status gizi lebih dapat berisiko terkena berbagai penyakit degeneratif, memiliki status gizi lebih dimasa mendatang, dan dampak paling buruknya, yaitu kematian dini. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko terhadap status gizi lebih pada murid SLTA X di Jakarta Timur Tahun 2017. Desain penelitian yang digunakan adalah desain potong lintang pada 130 orang responden usia 15-17 tahun.
Metode pengambilan data yang digunakan antara lain pengukuran tinggi badan dan berat badan dengan microtoise dan timbangan digital, pengisian kuesioner, dan pencatatan waktu makan. Analisis statistik yang digunakan adalah univariat dan bivariat menggunakan uji chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 33,8 murid memiliki status gizi lebih. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel independen, yaitu jenis kelamin, asupan energi dan zat gizi makro, kebiasaan jajan, pengetahuan gizi, aktivitas fisik, kecepatan makan, dan persepsi citra tubuh dengan status gizi lebih. Namun, terdapat beberapa variabel yang memiliki kecenderungan terhadap status gizi lebih, yaitu asupan lemak, kebiasaan jajan, pengetahuan gizi, aktivitas fisik, kecepatan makan, dan persepsi citra tubuh. Untuk itu, perlu adanya edukasi atau penyuluhuan mengenai cara menjaga status gizi dan mengaplikasikan pedoman gizi seimbang.

Over nutrition status in adolescents is a common problem. Prevalence of it in Jakarta Timur was higher than DKI Jakarta 39 s overall. Adolescents with over nutrition are in risk of many degenerative diseases, have over nutrition status in the future, and early death as the worst case. This thesis is a quantitative research with the purpose to find the relation between the risk factors of over nutrition status in the students of SLTA X in Jakarta Timur year 2017. A cross sectional was perform on 130 participants aged 15 17.
The method used to collect the data are the height measurement using microtoise, weight measurement using camry digital scale, self administered questionnaire, and self reported meal time. The statistical analyses used are the univariate and bivariate with a chi square test.
The result was shown that 33,8 students have over nutrition status. According to bivariate analysis, there was no significant relation between the independent variabels, which are sex, energy and macronutrient intake, snacking habit, nutrition knowledge, physical activity, eating rate, and body image perception with over nutrition status in students. However, there are some variables that have tendency toward over nutrition status, which are fat intake, snacking habit, nutrition knowledge, physical activity, eating rate, and body image perception. Therefore, it rsquo s necessary to provide education or intervention about how to maintain nutrition status and implementation of balanced nutrition guidelines.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S68619
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihadi
"ABSTRAK
Klinik Gizi Bogor (KGB)-Puslitbang Gizi telah membuat model "paket pemulihan anak balita gizi buruk" selama 6 bulan, sejak tahun 1981, namun sampai sekarang belum pernah dilakukan penelitian khususnya tentang ketahanan gizi buruk selama ikut program. Desain penelitian ini adalah longitudinal selama 6 bulan, subyek sebanyak 384 anak balita gizi buruk yang berkunjung ke KGB dari tahun 1982-1997.
Analisis Kaplan Meier dan Life Table dilakukan untuk menentukan probabilitas ketahanan gizi buruk. Analisis multivariat regresi Cox dilakukan untuk menentukan besarnya nilai pemulihan menjadi gizi kurang dari penderita gizi buruk, berdasarkan kecurigaan ada faktor lain secara bersama-sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Probabilitas Ketahanan Gizi Buruk selama 6 Bulan (PKGB6B) sebesar 35 %, dan median ketahanan gizi buruk sebesar 12 minggu.
Secara bivariat ditemukan hasil untuk jenis kelamin laki-laki PKGB6B sebesar 40 % pada perempuan 32 %, dan nilai propabilitas pemulihan (PPR) untuk menjadi gizi kurang anak perempuan 1,41 (95 % CI:1,04; 1,93) kali dibandingkan laki-laki. Pada nomor unit anak, maka PKGB6B untuk anak ke 1 sebesar 30 %, anak ke 2-3 sebesar 36 % dan anak ke z 4 sebesar 39 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang anak ke 2-3 sebesar 1,02 kali (95 % CI: 0,70; 1,48) dan anak ke > 4 sebesar 0,66 kali (95 % CI: 0,46; 0,96) dibandingkan anak ke 1. Dilihat jumlah anak hidup, maka PKGB6B untuk kelompok 1 anak sebesar 29 %, kelompok 2-3 anak sebesar 31 % dan > 4 anak sebesar 41 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang untuk 2-3 anak sebesar 0,86 kali (95 % Cl: 0,46; 1,61) dan > 4 anak sebesar 0,60 kali (95 % Cl: 0,32; 1,12) dibandingkan kelompok 1 anak. Dilihat dari tipe gizi buruk, maka PKGB6B untuk bukan marasmus-kwashiorkor 33 %, kwashiorkor tidak ada nilai, marasmuskwashiorkor 16 %, dan marasmus 16 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang dibandingkan bukan marasmus-kwashiorkor, maka untuk kwashiorkor 0,89 kali (95 % CI: 0,22;3,68), marasmus-kwashiorkor 0,68 kali (95 % CI: 0,42; 1,10) dan marasmus 0,69 kali (95 % CI: 0,49; 0,97). Diliat urnur PKGB6B kelompok 0-11 bulan sebesar 41 %, kelompok 12-35 bulan sebesar 30 % dan kelompok 36-59 bulan sebesar 59 %, Nilai PPR untuk menjadi gizi kurang dibandingkan umur 0-11 bulan, maka untuk umur 12-35 bulan nilai PPR 1,42 kali (95 % CI: 0,97; 2,06), urnur 36-59 bulan nilai PPR 0,61 kali (95 % CI: 0,31; 1,20). Dilihat dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), maka PKGB6B untuk tidak ISPA sebesar 58 %, ISPA ringan sebesar 29 %, dan ISPA berat sebesar 35 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang untuk ISPA ringan sebesar 1,98 kali (95 % CI: 1,32; 2,96), dan ISPA berat sebesar 1,75 kali (95 % CI: 1,04; 2,96) dibandingkan tidak ISPA. Dilihat dari Infeksi saluran Pernapasan Bawah (ISPB), maka PKGB6B untuk tidak ISPB sebesar 0 %, 1SPB ringan sebesar 32 %, dan ISPB berat sebesar 38 %. Nilai PPR untuk menjadi gizi kurang untuk ISPB ringan 0,86 kali (95 % CI: 0,41; 1,79), dan ISPB berat 0,58 kali (95 % CI: 0,28; 1,21) dibandingkan tidak ISPB.
Secara multivariat variabel yang berperanan hanya variabel ISPA, umur dan tipe gizi buruk. Hasilnya, nilai PPR ISPA berubah untuk ISPA ringan 1,88 kali (95 % CI: 1,24; 2,85), dan ISPA berat 1,61 kali (95 % CI: 0,93; 2,78) dibandingkan tidak ISPA untuk menjadi gizi kurang, setelah dikontrol variabel dalam model. Dilihat tipe gizi buruk, maka nilai PPR menjadi gizi kurang dibandingkan bukan marasmuskwashiorkor berubah, untuk kwashiorkor sebesar 584,06 kali, marasmuskwashiorkor 10,18 kali, dan marasmus sebesar 1,46 kali setelah dikontrol variabel dalam model. Dilihat umur, maka nilai PPR menjadi gizi kurang dibandingkan kelompok 0-11 bulan berubah, untuk kelompok 12-35 bulan menjadi 1,43 kali (95 % CI: 0,98; 2,08) dan kelompok 36-59 bulan 0,68 kali (95 % CI: 0,68 kali (0,34; 1,34).

ABSTRACT
Outpatient nutrition clinic of Center for Research and Development of Nutrition (CRDN) has developed a six-month package with the main objective to improve severe malnourished children in its surrounding areas since 1981. However, there has never been a study to analyze its effectiveness. Therefore, there is a need to analyze its effectiveness and factors associated with the outcome of package. This study was a six-month longitudinal study of 384 patients suffered from severe malnutrition from 1982-1997.
Kaplan Meier survival analysis and life table was used to study the probability of nutritional improvement from severe to moderate or mild malnutrition, while Cox regression model was used to study the relative improvement associated with several factors.
The study revealed that overall probability to remain severe malnutrition (PRSM) for 6 months was 35 % with the median of 12 weeks, which mean that there was an improvement of nutritional status of 65 % cases with the median time of 12 weeks.
Bivariate analysis found that the PRSM differ according to some child characteristics, type of malnutrition, and infections. The PRSM for 6 months was 40 % in girls and 32 in boys, and relative improvement (RI), the opposite direction of relative risk, from severe to moderate or mild malnutrition among girls was 1.41 times (95 % CI: 1.04-1.93) compared the boys. PRSM for 6 months of the first birth order, second to third, and fourth or above was 30 %, 36 % and 39 % respectively. RI of second to third order was 1.02 times (95 % CI: 0.70-1.48) and fourth or above was 0.66 times (95 % CI: 0.46-0.96) compared to the first birth order. PRSM for 6 months of number of children alive in the family of 1 child, 2-3 children, > 4 children was 29 %, 31 %, and 41 % respectively. RI of 2-3 children was 0.86 times (95 % CI: 0.46-1.61) while > 4 children was 0.60 times (95 % CI: 0.32-1,12) compared to one child in the family. PRSM was also differ among different type of malnutrition. PRSM for 6 months of non-marasmus-kwashiorkor, kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor, and marasmus was 33 %, not applicable because of a few cases, 16 % and 16 % respectively. RI of kwashiorkor was 0.89 times (95 % CI: 0.22-3.68), marasmic-kwashiorkor was 0.68 times (95 % CI: 0.42-1.10), and marasmus was 0.69 times (95 % CI: 0.49-0.97) compared to non-marasmuskwashiorkor. PRSM was also differ according to age as it was found that PRSM for 6 months of 0-11 month old, 12-35 month cold, and 36 month old was 41 %, 30 %, and 59 % respectively. RI of 12-35 month old was 1.42 times (95 % CI: 0.97-2.06), and > 36 month old was 0.61 times (95 % CI: 031-1.20) compared to 0-11 month old. PRSM for 6 months of cases without URI, mild URI, and moderate URI was 58 %, 29 %, and 35 % respectively, while RI of mild URI was 1.98 times (95 % CL 1.32-2.96), and moderate URI was 1.75 times (95 % CI: 1,04 -2.96) compared to cases without URI. PRSM for 6 months of cases without LRI, mild LRI, and moderate LRI was 0 %, 32 %, and 38 % respectively, while RI of mild LRI was 0.86 times (95 % CI: 0.41-1.79), and moderate URI was 0.58 times (95% CI: 0.28-1.21) compared to cases without LRI.
Analysis of cox regression model showed that only URI, age of the child, and type of malnutrition were significantly associated with relative improvement (RI) of severe malnutrition. RI of mild URI was 1.88 times (95 % CI: 1.24-2.85), moderate URI was 1.61 times (95 % CI: 0.93-2.78) compared to cases without URI after being controlled by other factors in the model. RI of kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor, and marasmus was 584.06, 10.I8, and 1.46 times than no-marasmus-kwashiorkor after being controlled by other in the model. RI of children aged 12-35 months was 1.43 times (95 % CI: 0.98-2.08) and 36-59 months was 0.68 times (95 % CI: 0.34 - 1.34) after being controlled by other factors in the model.
References : 39 (1968 - 1998)
"
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nany Syuryati R.
"Terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu, berpengaruh buruk terhadap kesehatan dan status Gizi masyarakat, terutama keluarga miskin. Salah satu kelompok yang rentan adalah balita yang dengan keadaan ini menjadi Kurang Energi Protein (KEP). Untuk mencegah meluasnya kasus KEP, maka pemerintah Propinsi Sumatera Barat bekerja sama dengan swasta memberikan bantuan berupa makanan tambahan untuk pemulihan (PMT-P). Pemberian PMT-P telah diteliti di beberapa daerah, namun sampai saat ini di kota Padang sendiri belum pernah dilaksanakan penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan status Gizi balita KEP keluarga miskin. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kuranji dan Puskesmas Belimbing, Kecamatan Kuranji, kota Padang terhadap balita KEP keluarga miskin yang mendapatkan PMT-P.Desain penelitian ini adalah cross sectional. Sampel terdiri dari 93 orang balita KEP keluarga miskin yang merupakan total sampling dengan responden ibu balita KEP.
Pengolahan data menggunakan analisis -univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan peningkatan status gizi balita KEP setelah PMT pemulihan selama 3 bulan hanya 43%. Ada hubungan yang bermakna antara jumlah dan jenis PMT-P, berat ringan infeksi serta pelayanan kesehatan (p < 0.05). Variabel balita KEP dengan infeksi berat mempunyai hubungan yang paling kuat untuk tetap/kurang status gizinya dibandingkan dengan balita KEP yang menderita infeksi ringan. Pada pelaksanaan PMT-P, agar tegadi peningkatan status gizi balita KEP yang lebih baik, maka disarankan adanya pengobatan dan perawatan khusus di Rumah Sakit pada kasus-kasus balita KEP berat dan KEP dengan infeksi berat.
Disamping itu perlu adanya pengawasan dalam mengkonsumsi makanan, sehingga PMT-P yang diberikan benar-benar hanya diberikan pada sasaran. Walaupun dari hasil penelitian tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pengetahuan, penyuluhan dan pemantauan oleh petugas dengan peningkatan status gizi, yang kemungkinan oleh karena sebagian besar ibu berpendidikan rendah, untuk itu penyuluhan praktis yang informatif perlu ditingkatkan, sehingga hal ini dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi dan KEP pada balita. Penelitian ini juga menyarankan agar PMT-P diteruskan terutama pada kasus-kasus KEP berat dan sedang serta adanya penelitian yang lebih lanjut dengan desain khusus yang menggunakan indeks BBITB.

Factors Related with the Increase of the Nutrition Status of PEM at the Under Five Year, on Poverty Community in Distric of Kuranji, PadangThe long economic crisis since 1997, cause bad effects to the community, specially community's health and nutrition's on poverty community. One of the most vulnerable group to get protein - energy malnutrition (PEM) is children under five year with this condition can get PEM. To prevent the protein - energy malnutrition from spreading further, the regional government on West Sumatra and some privates commits donated to the community, such supplementary feeding program. The supplementary feeding program was researched some regions, but until now the research never done in Padang.
The purpose of the research is to knowing the factors which related with the increase of the nutrition status of PEM at the children under five year, on poverty community. The research is done on Community Health Center on Kuranji and Belimbing region, distric, Kuranji, Padang; to the children under five year, with PEM on poverty community who got supplementary feeding. The research design was Cross Sectional. The sample's are 93 children's under five year on poverty community; they were total sampling, using their mother as respondents.
The data processing is using Univariat, Bivariat and Multivariat analysis. The result of research shows that only 43% success on increasing Nutrition's status at the children's under five year with PEM on poverty community after 3 months giving supplementary feeding. Kind and number of supplementary feeding, severe and mild infection and the health services have significant relation (p < O, 05). PEM at children under five year variable with the severe infection have a strong relation to statis or less of nutrition status compared with PEM at the children under, five year who got mild infection.
To increase the good children under five year nutrition status, suggested to handle seriously severe protein - energy malnutrition and severe infection with the intensive care. Beside that, need to giving supplementary feeding with the adequate number. It necessary to observe more intensively so that kind and number of the supplementary feeding given used by the PEM at children under five year only. Although from the research did not found significant relationship beetwen knowledge. give of information and supervision of health providers with the rise of nutrition status that may be most of mather have low education, that's need to increase giving of information with informatif practice in order it can increase knowledge of mather about nutrition and PEM at the children under five year, and also the supervision that done of health providers need to be repair in quality and adequacy. The research also recommended to be continuing supplementary feeding program, especially for moderate and severe PEM. And the further researchs with special design like body weight and body height indecs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi
"Anak usia sekolah berada dalam fase persiapan untuk menghadapi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Pada masa ini anak harus mendapatkan pemenuhan makanan bergizi dalam kualitas dan kuantitas yang cukup. Gizi kurang pada anak usia sekolah akan mengakibatkan anak menjadi lemah, cepat lelah dan mudah terserang penyakit, keadaan ini akan diperparah apabila anak menderita infeksi cacingan. Anak akan mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajarannya di sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran prevalensi gizi kurang dan cacingan dan faktor lainya yang berhubungan serta faktor paling dominan yang berhubungan dengan status gizi anak sekolah dasar/ Madrasyah Ibtidaiyah di Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa tahun 2003. Desain yang digunakan adalah cross sectional. Pengambilan sampel sekolah dilakukan secara purposive, diambil 4 sekolah dari 18 sekolah yang ada yaitu : SDN Sukarejo, SDN Matang Setui, SDN Alur Merbau, MIN Sungai Lung. Sampel murid adalah murid kelas I sampai dengan kelas V dari 4 sekolah, yang dipilih secara sistematic random sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner, observasi keadaan kuku, pengukuran berat badan, perhitungan umur (bulan) dan pengambilan, pemeriksaan feces anak dengan metode Kato di laboratorium, serta berdasarkan catatan tentang anak di sekolah.
Hasil penelitian ini ditemukan prevalensi gizi kurang sebesar 37.5 % berdasarkan indikator berat badan perumur dan prevalensi cacingan sebesar 73.9 %. Hasil analisis bivariat menunjukan hubungan bermakna antara status gizi anak sekolah dengan status cacingan (intensitas cacing gelang) nilai p= 4.001, dan perilaku hidup sehat anak nilai p= 0.006. Dari hasil analisis multivariat ada dua variabel yang masuk dalam model yaitu intensitas cacing gelang dan perilaku hidup sehat anak. Dengan menggunakan persamaan regresi logistik dan nilai eksponensial (B) atau Odds Ratio dapat dibuat model akhir persamaan logistik : logit (status gizi) = -3.470 + 0.946 (perilaku hidup sehat) + 1.643 (intensitas caring gelang). Oleh karena itu, variabel yang paling dominan adalah variabel intensitas casing gelang sebesar 5.170 (95% Cl: 2.006-13.318), artinya bahwa intensitas cacing gelang yang berat berpeluang mendapatkan gizi kurang 5.2 kali dibandingkan dengan intensitas cacing gelang yang ringan setelah dikontrol variabel perilaku hidup sehat anak.
Untuk menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah di Kecamatan Langsa Timur, pada institusi pendidikan perlu dilakukan pembinaan yang rutin dan kontinu tentang perilaku hidup sehat anak dan perbaikan lingkungan sekolah yang bersih dan aman dari penularan cacingan. Dinas Kesehatan perlu memikirkan pendekatan bersifat preventif edukatif yang lebih baik dan menjadikan cacingan merupakan salah satu kegiatan usaha kesehatan sekolah. Peneliti lain perlu melakukan penelitian lanjutan dengan melihat aspek-aspek yang lebih luas dan berpengaruh terhadap status gizi kurang anak usia sekolah.

The children of school age are being in preparatory stage of growth and fast development In this age, children should get enough nutrition either in quantity or quality. Lack of nutrition may cause them of being fatigued, and easy to be infected by disease. This condition will be worse if they suffer worm disease. They will be difficult to follow and understand their school subjects.
This research aimed to know the prevalence of nutrition lack and worm disease among Elementary Students, other related factors, and the most significant factors to Nutritional Status in East Langsa Sub District of Kota Langsa in 2003. Design of the study was cross sectional. The samples were taken in purposive manner, where four schools were taken from the eighteen schools. They were: SDN Sukarejo, SDN Matang Setui, SDN Alur Merbau, MIN Sungai Lung. The samples were students of the first to fifth year of the four schools, who were selected by using sistematic random sampling. Data were collected by using questionaire, students' nails observation, body mass weighing, age (months) counting, students' feces check by using Kato method in the laboratory, and other general records from school.
The result of the study showed the prevalence of nation lack, where indicator of body mass per age was 37.5 %, while worm disease prevalence was 73.9 %. The result of bivariat analysis that showed significant relationship of the students nutritional status was worm disease (intensity of roundworms), where the p-value = 0.001 and students' healthy behavior, p = 0.006. The result of multivariate showed two variables that was included in the model, intensity of roundworms and students' healthy behavior. By using logistic regression equation and exponential value (B) or Odds Ratio, final logistic equation that could be made was: logit (nutritional status) = -3.470 + 0.946 (students' healthy behavior) + 1.643 (intensity of roundworms). The most dominant variable was intensity of roundworms, as much 5.170 (95% CI:2.006-13.318). This meant that the high intensity of roundworms had probability to the nutrition lack 5.2 times compared with the low intensity of roundworms after being controlled by the variable of students' healthy behavior.
To decrease the lack of nutrition prevalence among elementary students in East Langsa Sub District, it is necessary to conduct a regular illumination on children healthy behavior in educational institutions. Health Office is necessary to concern the better approach that is more preventively educative, and to make worm disease is one of health school zeals. To other researchers, they need to carry out further studies that focus to wider aspects influence children of school age nutritional status.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Martinus
"Kurang Energi Protein (KEP) yang merupakan gambaran status gizi masih menjadi salah satu masalah gizi utama di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Dampak buruk KEP pada balita adalah terhambatnya perkembangan kecerdasan dan pertumbuhan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berpikir, penampilan dan prestasi kerja, sehingga mengakibatkan rendahnya daya produksi dan kegiatan ekonomi, menurunnya daya tahan tubuh, yang dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Penanggulangan KEP secara nasional diprioritaskan pada daerah tertinggal/miskin, sementara informasi keadaan gizi di desa tertinggal dan tidak tertinggal belum memadai, khususnya di propinsi Kalimantan Barat. Maka keadaan gizi pada desa tertinggal dan tidak tertinggal serta faktor-faktor yang berhubungan menarik untuk diteliti.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status gizi dan konsumsi energi serta protein balita usia 6-59 bulan di desa tertinggal dan tidak tertinggal pada daerah pesisir dan pegunungan serta hubungan status gizi dengan lingkungan perumahan, pendapatan per kapita, pengetahuan gizi, pendidikan orang tua, jumlah anggota rumahtangga, dan pekerjaan orang tua.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang mencakup dua kecamatan yang masing-masing terdiri dan satu desa tertinggal dan satu desa tidak tertinggal dari kabupaten Pontianak, propinsi Kalimantan Barat yang dikumpulkan oleh Tim Praktek Kerja Lapangan Sekolah Pembantu Ahli Gizi tahun 1995. Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel seluruh rumahtangga yang mempunyai anak balita usia 6-59 bulan. Jumlah sampel yang dianalisis dalam penelitian ini sebanyak 360 rumahtangga. Analisis dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan bantuan program EPI INFO versi 6.0 dan SPSS for Windows release 6.0.
Dari hasil analisis ditemukan bahwa prevalensi KEP menurut indeks BB/U di kecamatan Mempawah Hilir tidak terlihat adanya perbedaan yang bermakna antara desa tertinggal dengan desa tidak tertinggal, sementara di kecamatan Toho prevalensi KEP menurut BB/U lebih tinggi di desa tertinggal dibandingkan desa tidak tertinggal.
Menurut indeks TB/U prevalensi KEP lebih baik di desa tidak tertinggal dibandingkan di desa tertinggal pada kedua kecamatan.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian KEP menurut indeks BB/U di kecamatan Mempawah Hilir baik untuk desa Sejegi (tertinggal) maupun desa Tanjung (tidak tertinggal) adalah pendapatan perkapita dan pengetahuan gizi, sementara di kecamatan Toho faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian KEP di desa Sekabuk (tertinggal) adalah pendapatan perkapita, sedangkan di desa Pentek (tidak tertinggal) adalah pendapatan per kapita dan pengetahuan gizi. Menurut indeks TB/U, faktor yang berhubungan dengan kejadian KEP di semua desa penelitian adalah pendapatan per kapita.
Meskipun terlihat ada perbedaan status gizi, terutama menurut indeks TBN antara desa tertinggal dengan desa tidak tertinggal pada kedua kecamatan, tetapi karena prevalensi KEP masih cukup tinggi di kedua kategori desa tersebut sehingga disarankan agar program penanggulangan KEP tidak perlu difokuskan ke desa tertinggal saja, tetapi strategi penanggulangannya yang perlu dibedakan dengan melihat faktor-faktor yang berkaitan di masing-masing desa.

Factors Relating To The Under Fives Nutritional Status In Four IDT and Non IDT Villages in Pontianak District, West Kalimantan Province in 1995Protein Energy Malnutrition (PEM) which represent the nutritional status has remained as one of the main nutrition problems in Indonesia, especially in rural areas. The bad outcome of PEM under fives years is the hindrance of their growth and intelligence development which will further influence the ability of their thinking, performance and work achievement capacity creating low productivity in the economic terms, the decrease in physical endurance which then impact the quality of the Indonesian human resources.
The priority to overcome the PEM nationally is emphasized in the severe areas, while the information on the nutritional status in IDT ("under developed areas") and NON IDT ("developed areas") has been inadequate yet, in West Kalimantan in particular. Therefore, the nutritional status in IDT and NON IDT villages including its related factors is interesting to be observed.
The purpose of this research is to know the nutritional status, energy and protein consumption of the under fives from 6 to 59 months in IDT and NON IDT villages in the coastal and mountains areas and relation of nutritional status with housing environment, household income, knowledge on nutrition, parent's education level, the family size, and parent's job.
This research used secondary data covering two subdistricts which consist respectively of two IDT and two NON IDT villages in Pontianak District, West Kalimantan Province gathered by a team of students of the Assistant Nutritionist School during their field work practice in 1995. This cross-sectional study used samples of all families having under five years old children of 6 to 59 months. The number of analyzed samples in the research was 360 families. The analysis was done in univariate, bivariate, and multivariate with the help of EPI INFO program of 6.0 version and SPSS for Windows release 6.0.
It was found from the analysis that the prevalence of PEM according to Weight/Age index in Mempawah Hilir District has no significant differences between the IDT and NON IDT villages, while in Toho District the prevalence of PEM according to Weight/Age index in the IDT is higher than that in the NON IDT villages.
Based on Height/Age index, the prevalence of PEM in the NON IDT is better than that in the IDT villages in both districts. The factors relating to the PEM based on Weight/Age index in Mempawah Hilir District, either in Sejegi village (IDT) or Tanjung (NON IDT) are per capita income and knowledge on nutrition, while in Toho District, the factor relating to the PEM in Sekabuk village (IDT) is per capita income, while in Pentek village (NON IDT) are per capita income and knowledge on nutrition.
Based on Height/Age index, the factor relating to the PEM in all villages is per capita income. Although there have been differences in the PENT, especially based on Height/Age index between IDT and NON IDT villages in the two districts, it is suggested that since the prevalence of PEM is still relatively high in the two village categories, the program to overcome PEM is not necessarily focused only in the IDT villages, but the strategy of overcoming the PEM must be distinguished through paying attention to the related factors in the respective villages.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T2109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Amalia Fajarini
"Prevalensi status kurang gizi/ kurus pada remaja masih tinggi dan meningkat pada negara berkembang. Permasalahan status gizi kurang lebih banyak terjadi pada remaja laki-laki daripada remaja perempuan. Hal ini juga terjadi di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2007 dan 2013. Status gizi kurang pada remaja akan memengaruhi produktivitas dan prestasi baik saat remaja maupun dewasa nanti. Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi adalah asupan energi dan zat makronutrien. Penelitian ini menggunakan studi potong lintang untuk mengetahui hubungan antara status gizi kurang pada remaja laki-laki usia 16-18 tahun dengan asupan energi dan makronutrien. Jumlah subjek penelitian adalah sebesar 50 remaja laki-laki usia 16-18 tahun di Jakarta. Data status gizi diperoleh melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan usia yang diplot pada tabel Z-Score. Data mengenai asupan energi dan makronutrien diperoleh menggunakan metode 24 hour food recall dan food record selama 3 hari, kemudian diambil rerata dari keduanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 22% subjek mengalami status gizi kurang/kurus. Sebagian besar subjek memiliki persentase asupan yang kurang (<80%AKG), yaitu 94% untuk asupan lemak dan energi, 90% untuk asupan karbohidrat, 74% untuk asupan protein. Analisis uji Fisher menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan energi dan zat gizi makro dengan status gizi kurang (nilai p>0,05). Penelitian ini tidak memperhatikan beberapa faktor yang juga dapat mempengaruhi status gizi kurang yaitu aktifitas fisik, lingkungan, status pubertas, pola makan, gaya hidup, status psikologi, pengetahuan dan pola hidup dari orang tua.

The prevalence of poor nutrition status / underweight in adolescents remains high and is rising in developing countries. Malnutrition/underweight is more common in boys than girls. This phenomena is also occurs in Indonesia based on data Riskesdas 2007 and 2013. Malnutrition/underweight among adolescents will affect both productivity and achievement in adolescence and adulthood. One of factors that affect nutritional status is energy and macronutrients intake. This study uses a cross-sectional study to determine the association of malnutrition status in adolescent males aged 16-18 years with energy and macronutrient intake. The number of research subjects is 50 adolescent males aged 16-18 years in Jakarta. Data obtained through the measurement of nutritional status Body Mass Index (BMI) by age and is plotted on the chart Z-Score. Data on energy intake and macronutrient obtained using 24-hour food recall and a food record for 3 days, then take the average of the two. The results showed that 22% of subjects experienced poor nutrition status / underweight. Most of the subjects had less percentage of intake (<80% AKG), 94% for fat and energy intake, 90% for the intake of carbohydrates, 74% for protein intake. Fisher test analysis showed that there was no association between energy intake and macronutrient with ppor nutritional status (p values> 0.05). This study did not determinedi several factors that can affect the nutritional status ie physical activity, environmental, pubertal status, diet patterns, lifestyle, psychological status, knowledge and lifestyle of the parents."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armunanto
"ABSTRAK
Latar belakang masalah: Penderita Xeropthalmia yang mengancam kebutaan anak secara nasional di Indonesia secara berangsur-angsur menunjukkan penurunan dari 1.2% tahun 1978 menjadi 0.34% pada tahun 1992 (LITBANG GIZI DEPKES, 1992). Upaya pemerintah melalui Departemen Kesehatan ialah dengan memberikan vitamin A dosis tinggi kepada anak usia 12-59 bulan. Melihat kejadian Xeropthalmia sifatnya kluster (ada beberapa wilayah yang masih perlu mendapat perhatian khusus) seperti Sulawesi Tenggara (0.61 %) dan Sulawesi Selatan (2.92%) yang prevalensinya masih diatas standar WHO (0,5 %); maka hal ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, sehingga perlu diupayakan penanggulangan.
Tujuan dan manfaat penelitian: Penelitian ini bertujuan ingin mencari variabel-variabel penentu yang berpengaruh terhadap kejadian Xeropthalmia, Berta memperkirakan besarnya perlindungan dari kejadian Xeropthalmia pada kelompok yang mendapat vitamin A dan yang tidak mendapat vitamin A. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat berguna bagi pengelola program dalam upaya menentukan target sasaran intervensi penanganan dampak kekurangan vitamin A.
Metodologi penelitian: Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari penelitian survai nasional Xeropthalmia tahun 1992. Unit analisis yang dipergunakan adalah individu (anak usia 6-72 bulan) dengan besar sampel 1321 responden di wilayah Jawa dan 391 responden di wilayah Sulawesi. Hipotesa yang diajukan adalah; pertama secara bersama-sama variabel bebas mempengaruhi variasi kejadian Xeropthalmia, kedua perkiraan perlindungan dari kejadian Xeropthalmia pada anak yang mendapat vitamin A lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat vitamin A. Analisis yang digunakan adalah, univariat untuk melihat gambaran frekuensi responden menurut berbagai karakteristik, bivariat untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan outcome, sedangkan untuk membuktikan hipotesa akan digunakan analisis statistik regresi logistik.
Hasil Penelitian: Di wilayah Jawa, variabel yang diduga berhubungan dengan outcome ternyata tidak ada yang berhubungan secara bermakna. Sedangkan di wilayah Sulawesi, variabel yang berhubungan secara bermakna adalah pemberian vitamin A (P=0,002; 95 %CI=0,02-0,62), makananyang dikonsumsi (P =0,003; 95 %CI =0,14-0,74), riwayat kesehatan (P =0,00-E; 95 %CI =0,00-0,16) dan pemberian air susu ibu/pendamping air susu ibu (P=0,048; 95%CI=0,07-1,11).
Kesimpulan & Saran: Kemungkinan penyebab tidak terjadinya hubungan secara bermakna di Jawa adalah respondennya terlalu homogen (98.8% tidak menderita Xeropthalmia), hal ini mungkin karena adanya bias selection dalam pemilihan lokasi (hanya kecamatan terjangkau saja) atau dalam penentuan umur responden (6-72 bulan). Walaupun begitu dari analisis ke dua Iokasi tersebut bisa ditemukan bahwa semua variabel bebas yang secara konseptual berhubungan tersebut ternyata menurut perhitungan statistik mempunyai dampak melindungi terhadap kejadian Xeropthalmia. Dengan demikian untuk mencegah atau meningkatnya kejadian Xeropthalmia secara nasional diperlukan upaya-upaya sebagai berikut: Penyuluhan tentang gizi anak, keluarga dan kesehatan mata; selain itu peningkatan program pemberian vitamin A perlu digalakkan karena terbukti bahwa anak yang mendapat vitamin A dapat terlindungi dari kejadian Xeropthalmia. "
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>