Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131071 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moh. Nur Nasiruddin
"Perubahan ancaman para korban konflik sosial dari ancaman luka atau karena kekerasan, menuju ke arah ancaman kekurangan air bersih, memburuknya sanitasi lingkungan, kekurangan pangan, tidak jelasnya papan (shelter) dan minimnya pelayanan kesehatan. Ancaman tersebut adalah risiko yang sering terjadi pada masa pengungsian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kebutuhan hidup pengungsi melalui persepsi dari informan yang meliputi kelompok petugas, masyarakat dan pengungsi di Kota Pontianak. Kebutuhan hidup menyangkut 4 (empat) macam yaitu air bersih dan jamban, pangan, papan dan pelayanan kesehatan. Persepsi tersebut akan mempengaruhi realita pemenuhan kebutuhan hidup pengungsi.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara mendalam kepada 13 informan dari kelompok petugas, fokus grup diskusi dengan 10 informan anggota kelompok pengungsi dan 10 informan anggota kelompok masyarakat. Informan dari kelompok petugas adalah orang-orang yang secara langsung bertanggung jawab dalam penanganan pengungsi, baik operasional lapangan maupun pada tingkat manajemen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa realita pemenuhan kebutuhan air bersih dan jamban, masih dibawah standar minimal yang ada, untuk air bersih 20 liter per orang per hari sedangkan 1 (satu) jamban maksimal untuk 20 orang. Mengenai pangan, pengungsi di Kota Pontianak belum sepenuhnya mendapatkan bantuan pangan yang memadai, sedangkan yang menyangkut papan atau tempat tinggai, belum sesuai standar yang ada dan mengalami banyak hambatan dalam proses penanganannya. Menyangkut pelayanan kesehatan telah memenuhi standar dari Oxfam 2000; bahkan melebihi dari standar tersebut khususnya dalam hal frekwensi kunjungan petugas ke lokasi pengungsian. Situasi demikian bila tidak segera direspon dengan baik, bisa menimbulkan kecemburuan sosial yang akan memicu konflik baru, yang merupakan ancaman keselamatan bagi pengungsi.
Perbaikan fungsi-fungsi manajemen dan dengan melibatkan semua komponen (petugas, masyarakat dan pengungsi) dalam penanganan pengungsi merupakan upaya untuk menurunkan tingkat risiko yang dihadapi oleh pengungsi. Untuk itu pemberian kebutuhan hidup minimal bantuan dalam pemenuhan kebutuhan hidup pengungsi diarahkan pada standar.

The Analysis of Perception of the Refugees? Necessities in Pontianak of the year 2002. The threat against the victims of social conflict has changed from physical or violence infliction to the shortage of clean/drinking water, unhealthy sanitation of the environment, lack of food stuff, improper arrangement of housing and insufficient health service. The above mentioned threats are the risks which are often found in the period of massive refuge or evacuation. The goal of this study is to measure the life needs of the refugees through the perception of informant consisting of the personnel in charge, the community and the refugees in Pontianak themselves. This life requirement involves four sorts of basic needs namely clean/drinking water, toilet, food, shelter or housing and health service. The perception influences the fulfillment of the refugees' life requirements.
This research is a case study using qualitative approach. The pertinent data is obtained through the detailed interviews of thirteen informants of those being in charge, focused discussion group, with ten group members of the refugees and ten informants of community members. The informant in charge are those who directly responsible for the handling of the refugees in field operation and in managerial levels.
The outcome of the study indicates that the actual fulfillment of clean/drinking water and toileting/privy is still in substandard level: 20 liters of water per person daily, while every toilet is used by 20 persons at the most. As for food requirement, the refugees in Pontianak, have not adequately received the needed quantity of food The housing / sheltering of the refugees is still in substandard condition and there are still some obstructions in its handling. As for health service it has been in the level of Oxfam 2000 standard, or even exceeds the stipulated standard, especially in case of visit frequency of those in charges to the site of refugees. Such condition if not immediately and properly handled, may rouse the social jealousy that encourages new conflicts which in turn may become a threat to the safety of the refugees.
The improvement of managerial functions involving all components (those in charge and holding responsibility, community and refugees) in refugees? management is an effort to minimize the risks facing against the refugees. For that reason, any help provided to fulfill the refugees? necessities is directed to the minimum standard of daily life requirements.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10734
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvianita Timotius
"Pulau Rambut adalah salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Sejak tahun 1937 telah berfungsi sebagai area konservasi yaitu cagar alam. Terhitung Mei 1999 statusnya diubah menjadi suaka marga pulau Rambut melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999.
Baik sebagai cagar alam maupun suaka margasatwa, fungsi perlindungan dijalankan dengan pertimbangan utama adalah melindungi burung-burung yang tinggal di pulau tersebut. Pulau ini mendukung lebih dari 50 jenis burung, baik burung merandai maupun burung-burung lain. Beberapa jenis burung di antaranya masuk dalam kategori satwa yang dilindungi serta ada pula yang masuk dalam satwa yang terancam punah.
Salah satu pertimbangan penurunan status adalah pengembangan P. Rambut untuk wisata. Untuk mengelola pulau dari status cagar alam (sangat ketat) ke suaka margasatwa (menjadi lebih terbuka) berarti dibutuhkan pengelolaan yang tepat. Dengan fungsi yang besar namun berbagai kendala yang dihadapi dibutuhkan keterlibatan banyak pihak serta pengelolaan yang mempertimbangkan berbagai kendala tersebut. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta sebagai pihak yang berkewajiban membuat rencana pengelolaan, belum menetapkan rencana pengelolaan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pihak (pelaku) yang terkait dengan P. Rambut, menganalisis skenario masa depan pulau yang diinginkan para pelaku, mengidentifikasi permasalahan dalam pencapaian masa depan, serta menetapkan prioritas kebijakan yang harus dibuat dan dijalankan untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya mengajukan secara garis besar usulan pengelolaan P. Rambut.
Penelitian ini menggunakan proses hirarki analisis sejak tahap awal berupa identifikasi pelaku hingga tahap penentuan prioritas kebijakan. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Kuesioner terbagi dalam dua tahapan (proses depan dan proses balik) yang disebar kepada lima kelompok responden yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, masyarakat, dan swasta.
Skenario atau masa depan P. Rambut diajukan dalam tiga alternatif, yaitu:
1. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata dengan pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan dengan melibatkan masyarakat di sekitar pulau sehingga diharapkan masyarakat juga ikut terlibat dalam pengelolaan P. Rambut. Masyarakat yang dimaksud adalah yang ada di P. Untung Jawa, Jakarta serta di Tanjung Pasir, Tangerang.
2. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata tanpa pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan tanpa pengelolaan dengan pertimbangan meningkatkan pendapatan pemerintah secara maksimal. Selain itu, pengunjung yang datang ke pulau selama ini relatif tidak banyak sehingga dianggap tidak mengganggu kehidupan burung.
3. Perlindungan burung merandai tanpa menjalankan wisata. Dengan status suaka margasatwa maka campur tangan dalam pembinaan habitat diperkenankan. Dengan tujuan hanya melindungi burung, serta menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan maka wisata sama sekali ditiadakan.
Analisis menghasilkan prioritas pertama pada skenario 1 yaitu perlindungan burung serta menjalankan wisata. Dalam skala 0-1, skenario ini mempunyai skor 0,621, hampir tiga kali lebih besar dari skenario 3 yang menempati prioritas kedua dengan skor 0,261. Skenario perlindungan tanpa pengelolaan pengunjung hanya memiliki skor 0,118. Skenario 1 menempati prioritas pertama kali di masa yang akan datang akan lebih baik bila masyarakat terlibat langsung. Keterlibatan masyarakat dapat terjadi bila masyarakat mendapatkan nilai lebih dari konservasi itu. Salah satu upaya untuk memberi nilai lebih itu adalah dengan wisata.
Dalam pengelolaan P. Rambut, pihak dengan kepentingan paling besar adalah pemerintah (0,278), diikuti oleh masyarakat P. Untung Jawa dan Tanjung Pasir (0,229). Sesuai dengan alasan yang dikemukakan dalam penentuan skenario, para pelaku menilai di masa depan masyarakat di sekitar Pulau Rambut yang sebaiknya memiliki peran paling besar dalam pengelolaan selain pemerintah. Pelaku berikutnya berturut-turut adalah perguruan tinggi, LSM, pengunjung, dan terakhir swasta.
Kendala yang harus diselesaikan dalam mencapai skenario pilihan meliputi kendala dari luar pulau, kendala dari dalam pulau, dan kendala pengelolaan. Kendala dari luar berupa (1) pencemaran, (2) berkurangnya area pakan, serta (3) gangguan dari pengunjung. Kendala dari dalam pulau adalah kerusakan hutan serta predator-kompetitor. Kendala pengelolaan terdiri dari (1) minimnya sarana, (2) kesadaran/kepedulian masyarakat yang rendah tentang pentingnya P. Rambut, serta (3) pengelola.
Para pelaku menilai permasalahan utama adalah kerusakan hutan (0,192). Pulau Rambut, tepatnya hutan mangrove dan hutan campuran, adalah habitat serta tempat berbiak burung-burung merandai. Kerusakan hutan (yang kini makin meluas) berarti kehilangan tempat tinggal terutama breeding site maka dikhawatirkan mengancam burung-burung di pulau tersebut. Permasalahan berikutnya adalah pencemaran (0,181), penurunan luas area pakan (0,175), rendahnya kepedulian masyarakat (0,143), pengelola (0,110), gangguan oleh pengunjung (0,094), minimnya sarana (0,063), dan terakhir predator kompetitor (0,043).
Dalam mengatasi berbagai kendala tersebut di atas, terdapat delapan kebijakan yang perlu dibuat dan diterapkan. Analisis menghasilkan dua kebijakan sebagai prioritas pertama dalam melakukan pengelolaan pulau adalah peningkatan kesadaran masyarakat (0,180) dan rehabilitasi hutan (0,176). Keduanya berkaitan dengan upaya mencegah pencemaran serta upaya rehabilitasi hutan. Kebijakan berikutnya adalah pemberdayaan masyarakat (0,149), penyediaan area pakan (0,117), pembentukan forum kerja sama (0,111), monitoring (0,097), peraturan pengunjung (0,085), dan pembuatan sarana (0,085).
Sesuai dengan skenario masa depan P. Rambut yang diharapkan, maka diajukan pengelolaan berupa melindungi burung merandai dengan wisata pengamatan burung. Untuk menjalankan perlindungan bagi burung serta menjalankan wisata maka diperlukan rencana pengelolaan (RP) yang mencakup aspek-aspek teknis. Rencana pengelolaan sebaiknya dibuat secara bersama oleh pihak-pihak terkait. Berarti pemerintah selaku institusi yang bertugas menyusun RP, harus melibatkan pihak-pihak tersebut sejak tahap awal hingga RP selesai. Pelibatan pihak terkait juga harus dilakukan ada dalam keseluruhan rangkaian pengelolaan.
Kesimpulan penelitian ini adalah:
1. Terdapat lima kelompok pelaku yang terkait dengan P. Rambut yaitu (1) pemerintah, (2) masyarakat [Tanjung Pasir, Tangerang dan P. Untung Jawa, Jakarta], (3) perguruan tinggi, (4) LSM, dan (5) swasta, secara berurutan menurut prioritas.
2. Para pelaku kebijakan mengharapkan di masa akan datang Pulau Rambut dapat dikelola dengan mempertahankan populasi burung merandai agar relatif stabil dengan kondisi saat ini serta menjalankan wisata dengan menerapkan peraturan kunjungan dan pengunjung.
3. Terdapat delapan kendala yang harus diatasi untuk mencapai masa depan P. Rambut yang diharapkan. Kedelapan kendala tersebut secara berurutan dari prioritas tinggi ke rendah adalah menurunnya luasan hutan habitat burung merandai, pencemaran dari teluk Jakarta, menurunnya area pakan burung merandai, rendahnya kepedulian masyarakat, pihak yang sebaiknya menjadi pengelola, gangguan pengunjung, minimnya sarana, serta predator kompetitor.
4. Kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah meliputi 8 kebijakan. Skala prioritas adalah (1) peningkatan kesadaran masyarakat, (2) rehabilitasi hutan, (3) pemberdayaan masyarakat, (4) mempertahankan/menyediakan area pakan burung, (5) pembentukan forum kerjasama antar pihak terkait, (6) monitoring flora dan fauna, (7) Pengaturan kunjungan dan pengunjung, dan (8) penyediaan sarana.
5. Dalam upaya mempertahankan fungsi dan keberadaan Suaka Margasatwa P. Rambut, serta diperkenankannya wisata alam terbatas, maka pengelolaan yang sesuai adalah menjalankan kebijakan berdasar prioritas pilihan pelaku kebijakan serta wisata pengamatan burung.
Dari penelitian ini, saran yang diajukan adalah:
1. Pemerintah perlu melibatkan pihak-pihak terkait sejak tahap perencanaan, implementasi pengelolaan, dan evaluasi pengelolaan.
2. Membuat Rencana Pengelolaan P. Rambut, kemudian ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar memiliki kekuatan hukum.
3. Untuk menjalankan pengelolaan secara umum serta secara khusus pengembangan wisata pengamatan burung diperlukan kajian lebih lanjut untuk mendapatkan hal-hal teknis penerapan wisata.
4. Karena lingkup penelitian yang luas, maka studi dengan penerapan proses hirarki analisis perlu dibuat lebih lanjut hingga ke hal-hal teknis.

Rambut Island is one of Thousand islands, North Jakarta. It had been a Strict Nature Reserve since 1937. In May 1999 it has been changed to a Wildlife Sanctury based on Forestry and Aesthetic Crop Ministry Decree No 275/Kpts-II/1999.
Both as nature reserve or wildlife sanctuary, the main role of this island is to protect birds that live in. The island supports more than 50 species of birds, encompasses water bird and others. Some of them are categorized as protected animals based on Indonesian law and others as endangered species.
One consideration for the changing status was the idea to develop Rambut Island for tourism as well as conservation. it needs good management to manage the island from nature reserve (which is very strict in rule) to wildlife sanctuary that is more open. Rambut Island plays a big function; as a nesting site and a breeding site for birds, but also faces numerous problems. In order to manage the island along with those problems, many stakeholders are needed to take a part. Furthermore those problems become the main focus of the management plan. BKSDA Jakarta is the government's institution in charge and has a role to make the management plan. There is no management plan established so far.
The aims of this research are as follows
1. Identifying stakeholders/actors who are related to Rambut Island,
2. Analyzing future scenarios that are chosen by actors,
3. Identifying the problems in order to achieve the scenario,
4. Determining the policy priorities needed then carrying them out to solve problems
5. Proposing the outline of Rambut island wildlife sanctuary management plan.
This research uses analytical hierarchy process from first step (identification of the actors) until determination the policy priorities. Data were collected using questionnaire. The questionnaires were divided into two steps (forward scenario and backward scenario) and distributed into five groups of respondents. They were government, non government organization (NGO), university, community and private sector.
The following are the forward scenarios of Rambut Island:
1. Protecting water bird, carrying out the tourism and applying regulations for visiting. The tourism is carried out by involving community near the island, so that it becomes a part of the management for protecting the birds. The community encompasses people live in Untung Jawa Island, Jakarta and Tanjung Pasir, Tangerang.
2. Protecting water bird, carrying out the tourism without applying regulations for visiting. The scenario is offered in order to maximize the local income from tourism. The other reason is the number of visitors still low and has not disturbed bird activities.
3. Protecting water bird with no tourism activity. The opportunity for habitat management in wildlife sanctuary gives a better circumstance to full protection for birds and its habitat. Without tourism activity, any disturbance or damage could also be minimized.
Result of analysis shows the first priority is on scenario 1 i.e. protecting water bird and running the tourism activity. In scale of one, the score is 0,621. The second priority is scenario 3 with 0,261 and the last with score 0,118 is scenario 2. The first scenario has the highest score because the conservation also has to consider giving value for community, and one way to do that is the tourism activity.
The actor who has the biggest part for management of Rambut Island is the government (score 0,278), followed by Untung Jawa and Tanjung Pasir communities (0,229). In the future, the communities as well as the government should act as the main actors in management of Rambut Island. The subsequent actors are university, NGO, tourist and private sector, in respectively.
The problems which have to be solved cover the ones come from out of the island, inside the island, and management problem. The problems from out of the island are (1) pollution from Jakarta Bay, (2) decreasing size of feeding ground and (3) disturbance from visitors. The inside problems are (1) forest degradation and (2) predator-competitor. The management problems are (1) poor facilities, (2) lack of community awareness on important values of Rambut Island and (3) institutional problem.
The actors define that the main problem is forest degradation (0,192). It is due to the fact that the forest supports birds with nesting site and breeding site. The degradation threatens the life of birds which use the forest. The next problems priorities are pollution from Jakarta (0,181), followed by decreasing size of feeding ground (0,175), lack of community awareness (0,143), institutional problem (0,110), disturbance from visitors (0,094), poor facilities (0,063), and the last is predator-competitor (0,043).
The implementation of eight policies is needed as part of management of Rambut Island. The following are the priority given respectively, increasing public awareness (0,180), rehabilitating the forest (0,176), developing capacity of community (0,149), preserving or adding the feeding ground (0,117), making cooperation forum between stakeholders (0,111), monitoring biota (0,097), Appling rules for visitation (0,085) and developing facilities (0,085).
According to future scenario for Rambut Island, the ideal management is to protect birds and also to run bird watching activity as tourism part. A management plan should be made and applied, in order to synchronize both activities. The management plan itself, is better made together by stakeholders. This means the government as institution who has the authority to carry out the plan, ideally involves stakeholders from the beginning until the final process of management planning. All related stakeholders are involved in all of the management process.
The following are the conclusions of this study:
1. Five groups of stakeholders are involved in Rambut Island. They are government, local community, university, NGOs and private sector, respectively based on priority.
2. Future scenario chosen by all actors is protecting water bird and keeping the population stable with nowadays condition, also running tourism activity by applying visiting rules.
3. There are eight problems have to be solved in order to achieve the future scenario. In priority order are firstly: forest degradation, pollution from Jakarta, decreasing size of feeding area, lack of community awareness, institutional problem, disturbance from visitors, poor facilities, and lastly: predator - competitor.
4. There are eight policies needed to be implemented as part of management of Rambut Island. The priority given respectively to: increase public awareness, rehabilitate the forest, built capacity of community, preserve or add the feeding ground area, make cooperation forum between stakeholders, monitor biota, apply rules for the visiting and develop the facilities.
5. To keep the function and availability of Rambut island wildlife sanctuary, and also allow limited tourism, the appropriate management is to do policies based on actors choices and run bird watching activity.
The suggestions of this study are as follows:
1. Government should involve related stakeholders from the first step of planning, implementation and evaluation of the management process.
2. Government together with stakeholders makes the Management Planning for Rambut Island and bring it as a law.
3. Specific study on technical aspects of tourism is needed for implementing the overall management, especially bird watching activity.
4. This study is a big issue; there for a deep analytical hierarchy process study is needed, i.e. looking into technical aspects.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Avifah
"Studi mengenai keragaman burung penyedia jasa ekosistem telah dilakukan pada dua tipe habitat yaitu kawasan perkebunan dan kawasan tepi hutan Suaka Margasatwa Cikepuh (SM Cikepuh). Studi dilakukan pada bulan Maret 2016. Metode yang digunakan adalah point count dalam transek sejauh 1 km yang dibuat masing-masing ke arah hutan dan ke arah perkebunan dengan jarak antar titik 200 m. Total titik yang digunakan yaitu 30 titik. Hasil penelitian menunjukan terdapat 37 jenis burung penyedia jasa ekosistem yang terdapat di hutan dan perkebunan. Komposisi jenis burung penyedia jasa ekosistem di kedua habitat secara umum berbeda. Jenis yang mendominasi di kedua habitat yaitu jenis Pycnonotus aurigaster. Hasil korelasi Spearman menunjukan di habitat hutan terdapat korelasi antara jumlah jenis burung Pycnonotus aurigaster dengan jumlah tumbuhan Microcos tomentosa (Sig 2-tailed 0,028 P < 0,05). Diketahui bahwa Pycnonotus aurigaster merupakan agen penyebar biji dari Microcos tomentosa. Jenis burung yang berpeluang sebagai agen penyerbuk di perkebunan jati maupun kelapa yaitu Nectarinia jugularis.

A study on bird diversity as ecosystem services provider was conducted on two types of habitat namely agriculture and forest edge Suaka Margasatwa Cikepuh (SM Cikepuh) on March 2016. The method used in this study was point count within 1 km transects that made toward the forest edge and the agriculture by 200 m distance between point, respectively. Thirty points were used. The result showed that there were 37 species of bird ecosystem services provider lived in forest edge and agriculture. The composition of bird species ecosystem services provider both in forest edge and agriculture was generally different. Dominant species in both habitat was Pycnonotus aurigaster. Spearman correlation showed that there was correlation between Pycnonotus aurigaster with Microcos tomentosa in the edge forest (Sig. 2-tailed 0,028 P < 0,05). The Pycnonotus aurigaster was known as agent seed dispersal at Microcos tomentosa. Bird species that was likely had a role as pollinators in agriculture was Nectarinia jugularis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S64452
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Binatjipta, 1968
341.486 MOC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Dhiwantara, 1963
341.486 MOC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wongkar, Luter
"Salah satu ciri yang paling menonjol dalam era pasar bebas adalah barang dan atau jasa yang ditawarkan dapat berasal darimana saja tanpa mengenal hambatan yang berarti. Kunci persaingan dalam pasar global adalah kualitas total yang mencakup penekanan-penekanan pada kualitas produk, kualitas biaya/harga, kualitas pelayanan dan kualitas penyerahan tepat waktu.. Waktu pelayanan pengambilan obat di apotek di duga dipengaruhi oleh faktor jenis resep, jumlah item, jumlah resep dalam shift, shift dan ketersediaan obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran waktu pelayanan pengambilan obat di apotek Kimia Farma Kota Pontianak dan melihat bagaimana hubungan antara jenis resep, jumlah item, jumlah resep dalam shift, shift dan ketersediaan obat dengan waktu pelayanan pengambilan obat di apotek serta faktor yang paling dominan berhubungan dengan waktu pelayanan.
Penelitian ini dilakukan di apotek Kimia Farma Kota Pontianak dari tanggal 10 Oktober 2000 sampai 4 Nopember 2000. Sampel penelitian sebanyak 385 resep dan jenis penelitian time motion study.
Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu rata-rata pelayanan pengambilan obat di apotek untuk obat jadi sebanyak 722,91 detik (12,05 menit) dan racikan sebanyak 1677,52 detik (27,96 menit). Shift pagi waktu pelayanan pengambilan obat jadi sebanyak 276,67 detik (4,61 menit) dan racikan sebanyak 1002,64 detik (16,71 menit) sedangkan shift sore waktu pelayanan pengambilan obat jadi sebanyak 884,73 detik (14,75 menit) dan racikan sebanyak 1878,16 detik (31,30 menit). Dari analisis bivariat di dapat faktor yang berhubungan dengan waktu pelayanan pengambilan obat di apotek adalah jenis resep, jumlah item, jumlah resep dalam shift, shift dan ketersediaan obat. Dari analisis multivariat didapat variabel yang paling dominan berhubungan dengan waktu pelayanan pengambilan obat di apotek adalah jenis resep.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada pihak apotek dapat digunakan untuk memberikan kepastian waktu pelayanan pengambilan obat di apotek. Selain itu apotek harus memberdayakan sumber daya manusia yang ada untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien atau keluarganya.
Kepustakaan 32 (1980-2000)

One of characteristic most conspicuous in free market era is commodities and or services can be offered from anywhere in the world without cant obstacle. Key competition in global market is total quality that emphasize on product quality, cost quality, service quality and quality of appropriate delivery time. It is suspected that delivery time of medicinal service at dispensary is related to types of prescription (patented drugs or dispensing one), number of drugs requested, and working shift number of prescription requests in a shift and drug availability.
This study is aimed at describing delivery time for medicinal service at Kimia Farma dispensary in Pontianak city, and to determine factors related to it, such as types of prescription, number of requested drugs, number of prescription requested in one working shift, the shift itself and availability of drugs at the dispensary. Further this study also examine which factors is the most related to the delivery time. This study was conducted from October 10 - November 4, 2000. Samples were 385 prescriptions of time and motion study.
This study showed that average time to delivery prescribed drugs for patented drugs is 722,91 seconds (12,05 minutes) and for dispensing drugs is 1677,52 seconds (27,96 minutes), During morning working-shift, average time for patented drugs 276,67 seconds (4,61 minutes) and for dispensing drugs is 1002,64 seconds (16,71 minutes), while during night working-shift, respectively 884,73 seconds (14,75 minutes) and 1878,16 seconds (31,30 minutes) for patented and dispensing drugs. Bivariat analysis showed that type of prescription; number of prescription request, total prescription requested in one working-shift, the shift itself and availability of drugs are the factors related significantly with delivery time. By using multivariate statistic, type of prescription is the most important explanatory variable to the delivery time.
Based on the results, it suggested to the dispensary management to start service option with a certainty time delivery to the customers. Further more; the management should empower their human resources in relation to improve quality of services.
Bibliography 32 (1980-2000)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharma Tjuanda
"Kerusuhan sosial berbau etnis yang terjadi di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, awal 1999 di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas memberikan dampak pada berbagai sektor dan kehidupan masyarakat yang sampai saat ini belum dapat kembali pada keadaan semula.
Arus pengungsi dievakuasi ke berbagai tempat yang aman dan ditampung pada barak-barak penampungan dan fasilitas pemerintah. Di tempat pengungsian, sarana dan prasarana tidak tersedia untuk hidup layak, sebagai konsekuensinya banyak masalah yang dihadapi termasuk masalah kesehatan dan gizi. Hasil survei oleh Palang Merah Internasional menunjukkan 17,5% anak balita pengungsi gizi buruk, menurut UNHCR berada pada keadaan gizi yang kritis (>15%), dan perlu penanganan segera, Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat dan Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat bekerja sama dengan World Vision Indonesia membentuk Therapeutic Feeding Center (TFC) untuk menangani.masalah balita gizi buruk oleh karena ini merupakan pengalaman pertama, namun hasilnya cukup memuaskan, dimana tidak ada yang meninggal di TFC.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam, tentang bagaimana pelaksanaan dan hambatan-hambatan kegiatan pemulihan status gizi balita gizi buruk, yang untuk selanjutnya dapat digunakan oleh pengelola program gizi sebagai masukan dalam memperbaiki pelaksanaannya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan rancangan penelitian menggunakan pendekatan deskriptif yang bersifat studi kasus retrospektif sedangkan pengumpulan data dilaksanakan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) observasi dan telaah dokumen.
Analisis data yang terkumpul menunjukkan bahwa tim kesehatan TFC telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Studi ini menyimpulkan bahwa ketersediaan dana, sarana parasarana, serta berjalannya fungsi manajemen, merupakan salah penyebab rendahnya kegagalan dalam perawatan balita gizi buruk di TFC.

Analysis of the Implementation of Sambas Refugee Children Malnutrition Status Recovering at Therapeutic Feeding Center, Dokter Soedarso District General Hospital, Pontianak, Kalimantan Barat in the Year 2000Racial unrest in Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat in the early of 1999 has influenced many sectors and public life there, which has not recovered yet to the normal condition.
Refugees have been evacuated to other safer places, emergency refugee barracks, or to other governmental service facilities. At those places, the facilities and infrastructures are not provided adequately to support proper daily living, so that it induces many social problems, including the health and nutrition problems. The survey result by International Red Cross Committee has shown that 17.5% of the children have suffered from malnutrition. While according to the UNHCR, 15% of the children suffer from critical nutrition condition and need immediate treatment. The Health Service and Health Ministry Regional Office of Kalimantan Barat Province in cooperation with The World Vision Indonesia have established the Therapeutic Feeding Center (TFC) in order to treat the children malnutrition. Even though this is an initial experience, it has brought satisfying enough result, whereas no patient has died in TFC.
The purpose of this research is to obtain comprehensive information regarding the implementation and hindrance of the nutrition status recovering for the malnourished children. This result shall be useful input for the nutrition program official in order to enhance the program implementation.
This type of research used qualitative method, accompanied by research plan using descriptive approach as a retrospective case study. Data was obtained from in-depth interviews, observation and documents analysis. While the result from the research shows that the TFC health service team has carried out the requirement standards.
This research summarizes that the availability of fund, facilities, infrastructures, and managerial functions are factors of high success in malnutrition children treatment at TFC."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juaningsih
"Prevalensi penyakit hepatitis di Indonesia menurut tim Hepatitis Nasional berkisar 5- 20 % pada negara dengan endemis sedang sampai tinggi. Pada ibu hamil mengidap hepatitis/carier sebanyak 3-8 % dan 45.9 % bayi tertular saat lahir dari ibu pengidap Hepatitis B. Program Imunisasi HB.0 dengan vaksin Hepatitis B uniject ini telah dilaksanakan sejak tahun 2002 tapi pada pelaksanaanya masih mengalami banyak kendala sehingga hasil cakupan yang diperoleh masih rendah. Propinsi Kalimantan Barat pencapaian Imunisasi HB.0 pada tahun 2008 32,7 % dan tahun 2009 44,84 % masih berada dibawah rata-rata nasional selama 2 tahun dan hanya sedikit mengalami peningkatan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status imunisasi HB.0 di Kecamatan Pontianak Tenggara Kota Pontianak Tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Variabel yang secara statistik berhubungan dengan status imunisasi HB.0 pada bayi umur 0-7hari adalah pengetahuan ibu, sikap ibu, penolong persalinan, kunjungan neonatal dan keaktifan petugas imunisasi dalam memberikan motivasi.
Disarankan kepada Dinas Kesehatan untuk menganggarkan dana rutin untuk memberikan pelatihan pada petugas kesehatan,bagi puskesmas, meningkatkan promosi imunisasi HB.0, memberikan pelatihan kepada kader, dan kepada tokoh masyararakat agar lebih terlibat aktif dalam memberikan pembinaan masyarakat tentang pentingnya imunisasi HB.0.

Prevalence of hepatitis disease in Indonesia according to National Hepatitis team is around 5-20%. Expectant with hepatitis/carier as much as 3-8% and 45.9% babies was infected at birth from mother with hepatitis B. HB.0 Immunization Program with Hepatitis B uniject vaccine was implemented since 2002 but still facing many obstacles, so that obtained scope result was low. In West Kalimantan province achievement of HB.0 Immunization 32.7% at 2008 and 44.84% at 2009, is still below average of national for 2 years and only slightly enhancement.
This study aims to find out find out influence factors of immunization status of HB.0 in Sub-district of South-East Pontianak City of Pontianak year 2011. It is descriptive study with cross sectional design. Statistically variables related to HB.0 immunization to infant age 0-7 days are maternal knowledge, maternal attitude, labor support, neonatal visit, and immunization officer liveliness in motivating.
Recommended to the health Departement to budget routine fund in regard to provide training to health officer, health centers, increase HB.0 immunization promotion, training to cadre, and for community leaders were expected to more active involved in supporting importance of HB.0 immunization to community.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cucu Cakrawati
"Berkembangnya sektor industri di negara kita, selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif terutama terhadap lingkungan berupa pencemaran air karena merkuri. Salah satu kota yang berpotensi mengalami pencemaran air adalah Kota Pontianak. Hal ini disebabkan antara lain karena Kota Pontianak merupakan salah satu lokasi penambangan emas.
Polutan merkuri di Pulau Kalimantan diperkirakan sebesar 61 ton setiap tahunnya untuk kegiatan penambangan emas skala kecil dan berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Tanjungpura pada Bulan Agustus 2000 diketahui bahwa kandungan merkuri di sepanjang Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya, serta pada biota sungai (beberapa jenis ikan), dan pada contoh air PDAM telah melebihi ambang batas. Pencemaran tersebut perlu ditangani serius karena Sungai Kapuas sampai saat ini berfungsi sebagai bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai besarnya pajanan merkuri dalam rambut masyarakat Kota Pontianak. Disamping itu untuk mempelajari hubungan karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan lama tinggal) serta kebiasaan makan ikan dengan kadar merkuri dalam rambut.
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari hasil studi Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dan Direktorat Penyehatan Air Ditjen P2M & PL tahun 2000, dengan rancangan Cross Sectional, populasi adalah masyarakat Kota Pontianak pelanggan PDAM. Sampel adalah kepala keluarga / anggota keluarga; umur minimal 15 tahun; tinggal minimal 1 tahun: bersedia diambil sampel rambut dan urin yang diambil dengan metode klaster sebanvak 240 responden.
Hasil penelitian menunjukan rata-rata kadar merkuri dalam rambut responden 0,9512 µg,/g (95% CI: 0,4534-1,4490), median 0,2900 µg/g, modus 0,00: µg/g, kadar merkuri terendah 0,00 µg/g dan tertinggi 52,57 µg/g. Sebaran kadar merkuri dalam rambut vaitu sebanvak 79 orang mempunyai kadar merkuri antara 0,00-0,09 µg/g 26 orang > 1,47 µg/g, dan sisanya adalah 0,10-1,30 µg/g.
Pada kelompok usia 25 - 34 tahun mempunyai proporsi masyarakat yang rambutnya mengandung merkuri lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Responden yang frekuensi makan ikan setiap hari memiliki proporsi masyarakat yang rambutuva mengandung merkuri lebih besar dibandingkan dengan kelompok frekuensi makan ikan lainnva. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, pekerjaan, dan lama tinggal di Pontianak dengan kadar merkuri dalam rambut.
Melihat kecenderungan peningkatan pencemaran air karena merkuri, maka perlu ditingkatkan kerjasama Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dengan sektor terkait, melakukan sosialisi / penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya akibat pencemaran merkuri, pemeriksaan kadar merkuri secara berkala baik pada air sungai dan ikannya maupun hasil laut, perlu teknologi altematif yang lebih tepat.
Perlu dilakukan penelitian yang serupa pada ?kelompok risiko tinggi? yang dilengkapi dengan mengetahui banvaknya ikan yang dikonsumsi setiap hari (beral) serta pemeriksaan kadar merkuri yang terkandung didalamnva. Metoda lain adalah dengan cara melakukan pemeriksaan kadar merkuri dalam rambut responden sentimeter per sentimeter karena setiap sentimeter helai rambut dapat disamakan dengan kira-kira 1 bulan pemajanan.

The development of industrial sector in Indonesia, beside its positive impacts, also generates negative impacts on environment such as mercury pollution in water. Pontianak City is one potential area to be polluted by mercury because, among others, Pontianak City is gold mining location.
Mercury as pollutant in Kalimantan Island was predicted to be present as many as 61 tones each year for small-scale gold mining activity. Study by Tanjungpura University in August 2000 indicated that mercury level along the Kapuas River and its small canals, and in river biotic (several types of fish), as well as in PDAM (Local Office of Drinking Water) water supply had exceeded the accepted limit. This pollution needs to be seriously handled because Kapuas River is main water provider for PDAM of Pontianak City.
This study aims to obtain information on the magnitude of mercury exposure measured in hair mercury level among community of Pontianak City and to understand the relationship between respondent's characteristics (age, sex, working status/job, and length of stay) and fish eating habit with hair mercury level. This study was secondary data analysis from the primary study by Health Office of West Kalimantan and Directorate of Water Hygiene year 2000, employed a cross-sectional design, with community members subscribed to PDAM as population. 240 sample was chosen using cluster method, head/member of a family, minimum age of 15 years old, stay at least 1 year, and willing to participate in hair and urine tests.
The results showed that the average mercury level in hair was 0.9512 µg/g (95 % Cl: 0,4534-1,4490), median 0.2900 µg/g, the lowest mercury level was 0.00 µg/g and the highest was 52.57µg/g. The distribution of hair mercury level was 79 respondents had 0,00-0,09 µg/g, 26 respondents had > 1,47 µg/g and the rest had 0,10-1,30 µg/g mercury level.
The age group of 25-34 years old had greater proportion of respondents with higher level of hair mercury compared to other age ranges. Respondents who eat fish daily had higher proportion of high hair mercury level compared to other frequency of fish eating.
There is no relationship between sex, working status / job, and length of stay in Pontianak with hair mercury level.
Observing the increasing trend of water mercury pollution, the collaboration between Health Office of West Kalimantan and other related sectors needs to be improved, as to provide socialization / education to the community members on the dangers of mercury pollution, routine mercury level check both in the river and fish:, and needs more appropriate alternative technology.
There is a need to conduct similar research among "the high risk group" including the documentation on how many fish eaten daily (in weight) as well as checking its mercury content. Other method is by examining mercury level in hair centimeter by centimeter because each centimeter of hair shaft equals to a month exposure.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T1233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruri Virdiyanti
"Masalah kesehatan anak usia sekolah membutuhkan perhatian dalam penanggulangannya. Salah satunya dengan meningkatkan partisipasi guru dalam pelaksanaan program UKS dan usaha kesehatan siswa di sekolah yang komprehensif. Pelaksanaan program UKS di sekolah belum memperhatikan ekspektasi guru. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan ekspektasi dan karakteristik guru dengan pelaksanaan program UKS tingkat sekolah dasar di Pontianak, Kalimantan Barat. Desain penelitian ini adalah kuantitatif non-eksperimental dengan jenis korelasional. Penentuan responden dilakukan dengan accidental sampling dengan jumlah sampel 227 guru. Analisis dilakukan dengan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara ekspektasi guru dengan pelaksanaan program UKS di sekolah dasar (p = 0.039). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan program UKS sebaiknya memperhatikan ekspektasi guru sehingga didapatkan hasil lebih optimal.

Health problems of school age children require attention in overcoming them. One of them is by increasing teacher participation in the comprehensive UKS program and student health efforts in schools. The implementation of the UKS program in schools is still far below teacher expectations. The implementation of the UKS program has so far not paid attention to needs through teacher expectations. Teachers are still oriented towards academic achievement without seeing the causes of problems with academic achievement related to children's health. This study aims to identify the relationship between teacher expectations and the implementation of the UKS program at the elementary school level in Pontianak, West Kalimantan. The design of this research is non-experimental quantitative with correlational type. Respondents were determined by accidental sampling with a sample size of 227 teachers. The analysis was performed using the chi square test and multiple logistic regression. The results showed that there was a significant relationship between teacher expectations and the implementation of the UKS program in elementary schools (p = 0.039). This shows that in implementing the UKS program, it is better to pay attention to teacher expectations so that optimal results can be obtained."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>