Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144602 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leni Milana
"Pokok pikiran (tesis) dari penelitian ini adalah pelaksanaan otonomi desa sebagai upaya dalam mengembangkan demokrasi di Desa terutama melalui suatu lembaga demokrasi yang Baru yaitu BPD, yang untuk Desa Perajin dimulai sejak tahun 2001. Tesis ini berupaya mempelajari pemikiran dari Toqueville (dalam Juliantara, 2000), dan Maryati (2001) bahwa suatu pemerintahan yang tidak membangun institusi pemerintahannya sampai ke tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak memiliki semangat demokrasi karena tidak ada semangat kebebasan. Adapun ciri otonomi desa itu meliputi: (1) Kemampuan masyarakat untuk memilih pemimpinnya sendiri; (2) Kemampuan Pemerintah Desa dalam melaksanakan fungsinya; (3) Kontrol masyarakat Desa terhadap jalannya Pemerintahan Desa; (4) Masyarakat mampu untuk mempengaruhi keputusan desa.
Masalah yang diteliti adalah mengenai pembentukan BPD dan pelaksanaan fungsi BPD sebagai implementasi otonomi desa apakah sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi. Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus. Dengan desain penelitian deskriptif; dan pendekatan penelitian kualitatif dari Moleong (2001). Unit analisis adalah kasus pembentukan dan pelaksanaan fungsi BPD Perajin selama kurun waktu 2001-2002. Data dikumpulkan melalui studi pustaka atau teknik dokumentasi, pengamatan, dan wawancara mendalam dengan anggota BPD, Pemerintah Desa, Masyarakat pemilih, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah kabupaten, Panitia Pencalonan dan Pelaksanaan Pemilihan BPD Perajin, dan Masyarakat Desa Perajin yang menjadi informan. Analisis data dilakukan secara deskriptif.
Hasil Penelitian menunjukkan: (1) Kebijakan otonomi desa sebagaimana yang tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 merupakan peluang untuk mengembangkan demokrasi di desa, karena adanya perubahan struktur kekuasaan dan pemisahan kekuasaan kepala desa selaku penyelenggara pemerintah desa dengan BPD sebagai lembaga legislatif di desa. Hal itu sejalan dengan Lapera (2001:37-40), (2) Proses pembentukan BPD berjalan cukup demokratis,berlangsung Luber dan tanpa campur tangan pemerintah desa atau kecamatan, (3) Ketidaksiapan Pemerintah Desa menerima perubahan terutama dalam hal pelaksanaan fungsi BPD, khususnya sebagai lembaga pengawas Pemerintah Desa dan pembuat peraturan desa. Dengan demikian terlihat bahwa peranan Pemerintah Desa khususnya Kepala Desa sangat penting dalam pengembangan demokrasi di desa melalui BPD. Terutama pengertian dan kesadarannya terhadap kedudukan BPD yang merupakan mitra sejajar dari Pemerintah Desa, dan fungsi BPD.
Adapun kontribusi dan yang membatasi Studi ini adalah: (1) Penelitian ini memberikan gambaran nyata mengenai implementasi dari otonomi desa dalam upaya mengembangkan demokrasi di Desa melalui BPD baik pada proses pembentukannya ataupun pelaksanaan fungsinya. (2) Hasil studi ini dapat membantu menentukan strategi yang digunakan dalam pembentukan dan pelaksanaan fungsi BPD. (3) Studi ini hanya membatasi spesifik-kasuistik, hanya membahas proses pembentukan BPD dan pelaksanaan fungsinya sebagai implementasi dari otonomi desa khususnya dalam sebagai upaya mengembangkan demokrasi, dan dilakukan pada satu Desa selama kurun waktu 2001-2002; hasilnya barangkali tidak dapat ditarik secara umum dan berketanjutan, baik pada pembentukan BPD periode berikutnya ataupun pelaksanaan fungsi BPD di masa yang akan datang. Selain itu juga studi ini hanya melihat dua fungsi dari BPD yaitu fungsi dalam membuat peraturan desa dan pengawasan terhadap pemerintah desa, dari keseluruhan ataupun empat fungsi yang dimilikinya.
Dari Penelitian ini direkomendasikan: (1) perlu adanya sosialisasi yang lebih efektif atau mengena kepada masyarakat langsung, dan juga perlu dibangun komunikasi yang efektif antara warga dengan BPD juga Pemerintah Desa. Hal itu sebagai upaya pendidikan politik kepada masyarakat desa terutama menyangkut BPD sebagai lembaga demokrasi di Desa. (2) Perlu adanya pembekalan terhadap anggota BPD untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam menjalankan fungsi dan tugas yang diemban. (3) Untuk menghilangkan nilai-nilai tradisional yang masih melekat terutama budaya paternalistik dan sangat dominannya kepala desa, maka Kepala Desa dan perangkatnya harus ditanamkan kesadaran bahwa keberadaan BPD bukanlah sebagai penghambat dalam pelaksanaan tugasnya ataupun membatasi ruang geraknya (4) Pemerintah Kabupaten harus memberi kejelasan mengenai persentase pembagian hasil dari sumber daya alam yang berasal dari Desa. Dengan demikian Desa mempunyai sumber dana yang cukup untuk membiayai rumah tangganya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The purpose of this research is to identity the dynamic of policy process at village level, as well as the forms of the policy process itself. This qualitative research look four villages in Sub-district of Padang Cermin as purposive sampling. The research showed that the policy process at four villages represented a policy community because it was encauraged by their cultures, their common values and norms which expressed in their daily life."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Selo Soemardjan
"Sejak Republik Indonesia terbentuk sebagai suatu negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, masalah desentralisasi kekuasaan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom mendapat perhatian pemerihtah. Sebagai negara kepulauan yang terbesar di seluruh dunia, setiap orang tanpa kecuali berpenda-pat bahwa pembentukan daerah-daerah otonom di dalam negeri merupakan keperluan yang mutlak demi pemerintahan demokratis yang efektif. Tidak mungkin, demikianlah pendapat para pemimpin di tingkat nasional dan daerah, pemerintah Republik Indonesia hanya berada di Jakarta saja dan melakukan kekuasdannya sampai pelosok-pelosok yang jauh."
1992
JIIS-2-1992-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Firsada
"Berdasarkan berbagai pertimbangan manajerial, administrasi, dan kemungkinan untuk berkembang, peletakan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II (Daerah Otonom Tingkat Kabupaten/Kotamadya) adalah tepat dan wajar. Permasalahannya adalah bagaimana keberadaan Daerah Tingkat I Lampung kelak, apakah masih tetap hidup atau ditiadakan. Dari hasil penelitian dengan mempergunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, menunjukkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah Tingkat II untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangganya. Ada jenis jenis urusan tertentu dari suatu urusan yang karena sifatnya dan kemanfaatannya lebih tepat, berdayaguna dan berhasilguna apabila diurus oleh Daerah Tingkat I.
Kenyataan menunjukkan, peletakan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II hanya mengakibatkan jenis urusan dari suatu urusan rumah tangga Daerah Tingkat I yang berkurang, bukan jumlah urusannya. Peletakan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II berimplikasi kepada peranan Daerah Tingkat I, peranan internal dan peranan eksternal. Peranan internal berupa upaya maksimalisasi urusan-urusan rumah tangga sendiri, sedangkan peranan eksternal berupa pembinaan terhadap Daerah Tingkat II bersifat konsultatif dan koordinatif dalam rangka mendorong kemandirian Daerah Tingkat II dalam berotonomi.
Berdasarkan landasan konstitusional; pendemokrasian, peranan Daerah Tingkat I sebagai Daerah Otonom serta berdasarkan sistem otonomi nyata, maka keberadaan Daerah Tingkat I Lampung tetap diperlukan, meskipun urusan (jenis urusan) rumah tangganya relatif sedikit karena diserahkan kepada Daerah Tingkat II. Efektifitas dan efisiensi merupakan salah satu pertimbangan dari diletakkannya Titik Berat pada Daerah Tingkat II. Dalam hubungan ini ternyata meniadakan Daerah Tingkat I (pada Propinsi), sistem penyelenggaraan dan Struktur Organisasi Pemerintahan Daerah akan menjadi tidak efisien dan efektif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endjay Sendjaya
"Dengan ditetapkannya 26 Daerah Tingkat II Percontohan Otonomi Daerah di 26 Daerah Tingkat I, merupakan langkah terobosan dari Pemerintah dalam upaya mempercepat terwujudnya Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II. Untuk mengetahui jalannya pelaksanaan kebijaksanaan tersebut setelah 2 tahun berjalan. Tesis ini mencoba melakukan kajian evaluatif di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung sebagai salah satu Daerah Tingkat II Percontohan di Jawa Barat.
Dari penelitian yang penulis lakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan beberapa pejabat yang sangat terkait dengan Percontohan Otonomi Daerah baik dari jajaran Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat maupun Pemerintah Daerah Tingkat II Bandung dan sumber lainnya, diketahui selain konsekuensi yang membawa perubahan pada kelembagaan, personil, perlengkapan maupun pembiayaan bagi Daerah Tingkat II Percontohan juga permasalahan - permasalahan di lapangan yang berkaitan dengan koordinatif antar lembaga, kemampuan personil, sarana dan prasarana serta kemampuan dana daerah.
Dari permasalahan - permasalahan tersebut dilakukan analisis sehingga dapat diketahui faktor - faktor yang menjadi penghambat maupun pendorong terhadap jalannya pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Selanjutnya ditarik kesimpulan dan saran - saran untuk dijadikan bahan bagi yang berkepentingan. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armin
"Tarik menarik antara desentralisasi dan sentralisasi di berbagai negara termasuk Indonesia, selalu menjadi perbincangan yang menarik. Sulit ditentukan titik keseimbangan yang tepat antara sentrabsasi di satu pihak dan otonomi daerah di pihak lain. Demikian juga mengenai otonomi dan kontrol, Pemerintah Pusat sulit menentukan titik keseimbangan yang tepat antara otonomi dan kontrol. Berbagai undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang diterapkan juga tidak berhasil menentukan keseimbangan yang dapat menyenangkan semua pihak.
Pemerintah Pusat mengalami dilema antara otonomi dan kontrol, karena di satu pihak Pemerintah Pusat mempunyai political will (kemauan politik) untuk memperbesar otonomi daerah, tetapi di pihak lain Pemerintah Pusat me1akukan kontrol yang sangat ketat .terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.
Otonomi daerah dapat diukur dari adanya kebebasan bergerak bagi pemerintah daerah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhan daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah memerlukan Pendapatan Asli Daerah yang tinggi, sehingga dapat mandiri dan mengurangi ketergantungannya. terhadap Pemerintah Pusat. Sebab Pendapatan Asli Daerah yang tinggi sangat menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi selalu mengalami peningkatan, selama lima tahun terakhir (1991/1992 s.d. 1995/1996) rata-rata peningkatannya sebesar 32,89%, dan kontribusinya terhadap APBD rata-rata 37,61%.
Dalam penelitian ini dikaji dua masalah pokok yakni: pertama, sejauh mana kontrol Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi dalam pengelolaan keuangan daerah. Kedua, apakah dampak kontrol terhadap kebebasan Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi dalam membuat dan melaksanakan kebijakan di bidang keuangan daerah. Teori yang digunakan untuk mendasari permasalahan ada dua yakni: Pertama, teori kontrol, kedua teori otonomi daerah. Instrumen penelitian adalah wawancara mendalam (indepth interview).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi sangat ketat. Akibatnya Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi kurang bebas membuat dan melaksanakan kebijakan yang dibutuhkan daerahnya. Setiap bantuan keuangan Pemerintah Pusat terhadap daerah diikuti oleh petunjuk, pengarahan dan pengendalian sehirigga Pemerintah Daerah Tingkat II Bekasi kurang bebas dalam menyusun, mengalokasikan dan melaksanakan anggaran sesuai dengan kebutuhan daerah. Anggaran yang agak bebas disusun, dialokasikan dan dilaksanakan adalah anggaran yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T378
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"There is a reason or consideration why a state implements a decentralized government system, including in form of regional autonomy. As it is known that the regional autonomy is one of the variant of decentralization principle , thus asymmetrical decentralization is one of the variant of the form of regional autonomy policy. Asymmetrical decentralization or asymmetrical autonomy is a form of delegation of special authority which is given to the certain region. Asymmetrical autonomy is different from the commont autonomy, i.e. symmetrical autonomy. But don't forget that asymmetrical autonomy and symmetrical autonomy both are also autonomy. The difference between both of them is among others, can be seen by substance of regional . The substance of symmetrical autonomy is political autonomy (authority), administrative autonomy, fiscal autonomy which are commonly valid and the same in every region. The three substances of symmetrical autonomy are also contained in the asymmetrical autonomy, however,its format is different at the asymmetrical autonomy . For instance political and fiscal autonomy at symmetrical autonomy are bigger than at symmetrical autonomy. Besides that there is an addition of the substance of regional autonomy at the asymmetrical autonomy, for istance, autonomy in certain law, autonomy at culture field and so on. Actually, even there is difference in format and substance law, autonomy at cuture field an so on .Actually, even there is difference in format and substance between asymmetrical autonomy in region with the asymmetrical autonomy in region with the asymmetrical autonomy in another region."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Edarwan
"Terdapatnya perubahan struktural dimana Daerah Otonom dituntut untuk dapat berperan lebih besar dan hal ini mengharuskan daerah untuk lebih mampu berotonomi dalam pembiayaan pembangunan. Sebagai akibat perubahan struktural tersebut memerlukan penyempurnaan berbagai kebijaksanaan terutama yang menyangkut kebijaksanaan sistem bantuan pembiayaan pembangunan kepada daerah agar dana bantuan dapat dikelola secara efisien dan efektif. Hal ini sangat penting mengingat peranan bantuan pemerintah pusat relatif dominan didalam struktur APBD.
Permasalahan selanjutnya sampai sejauhmana dana bantuan dapat memotivasi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga kebutuhan fiskal daerah dapat terpenuhi guna menyediakan pelayanan publik dan mengatasi ketimpangan pembangunan antar daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sistem bantuan pemerintah pusat kepada Daerah Otonom di Indonesia, dengan studi kasus Daerah Tingkat I Lampung dan Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Data yang digunakan, yaitu data sekunder yang bersifat krat silang antar propinsi dan antar daerah tingkat II1 di Dati I Jawa Barat dan Lampung pada tahun 1989/1990 dan 199211993. Teknik analisa secara kuantitatif dan deskriptif.
Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil-hasil sebagai berikut :
Sistim bantuan keuangan dari pemerintah pusat kepada Daerah Otonom sebagian besar menggunakan sistem bantuan secara khusus (Specific Grant) dengan ketentuan dan persyaratan ketat, termasuk bantuan Inpres Dati I, dan Dati II walaupun disebut Bantuan Blok tetapi dilaksanakan dengan persyaratan ketat. Kondisi demikian dirasakan sangat menghambat upaya-upaya mewujudkan otonomi daerah.
Sistim bantuan kepada daerah tidak berhubungan dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah, tetapi telah berhubungan dengan jumlah penduduk dan pelayanan publik perkapita atau kebutuhan fiskal daerah perkapita.
Sistem bantuan pembangunan melalui program Inpres pada umumnya belum berdasarkan para kriteria atau variable yang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan dari masing-masing bantuan Inpres tersebut.
Hasil analisa dari temuan penelitian memberikan rekomendasi, agar sistem bantuan difokuskan pada bantuan umum yang bersifat Blok (Block Grant) dengan persyaratan lunak dan didasari formula yang jelas, sesuai dengan kebutuhan fiskal daerah, keseimbangan bantuan antar daerah dan mendorong upaya peningkatan pendapatan asli daerah guna mendorong otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Otonomi daerah memberi implikasi baru dalam manajemen pengelolaan daerah. Sikap pemerintah daerah yang masih senang meminta petunjuk atau bahkan meminta penggarisan dalam bentuk konkrit harus segera dihilangkan. Aparatur pemerintah daerah sebagai implementator kebijakan publik yang mengemban tugas dan fungsi pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat seyogyangnya mampu menerjemahkan kebijakan publik ke dalam langkah-langkah opersional yang kreatif dan inovatif dengan orientasi pada kepentingan rakyat. UU Nomor 22 tahun 1999 mengatur mengenai Desa yang merupakan masa transisi menuju development community yaitu bahwa Desa tidak lagi merupakan level administrasi tidak lagi menjadi bawahan Daerah tetapi menjadi independent community, sehingga setiap warga desa dam masyarakat desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri. Pemberdayaan masyarakat desa sebagai mayoritas penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah."
Manajemen Usahawan Indonesia, XXXII (04) April 2003: 41-48, 2003
MUIN-XXXII-04-April2003-41
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>