Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51015 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lia Warlina
"Management of Conservation Region in Bandung Basin using Bioregional Planning ApproachThe title of the research thesis is "Management of Conservation Region in Bandung Basin using Bioregional Planning Approach". The research objective is to understand the change of bio-geophysical aspects according to time and spatial dimensions. In general, regional planning is attempted by partial approach, i.e. sectors. Therefore, the benefit is not for longer term of development. Having such a limitation, one could consider more comprehensive approach. Bioregional planning concerns with bio-geophysical and social aspects in managing the region. This might be more appropriate for longer term regional development plan. In this research, the element of land use taken account was the forest region. So that, in managing conservation area in Bandung Basin, bioregional planning approach was applied. In this research, the conservation considered was the forest region.
The method of research was using geographical information system application and regression analysis. Variables measured were land-uses in 1986, 1993 and 1997; and changes for the periods. Other variables were slope and altitude. Variables of social aspects used were population density and population proportion for agriculture.
To measure land use change, overlaying technique was applied. The result showed that forest area in 1986 - 1993 reduced rapidly and changed for settlement, encroaching about 1 331.49 hectares covered 25 kecamatan. The largest part of this area was in Kecamatan Cimenyan. The change in period of 1993 to 1997 was 13.79 hectares; this occurred only in Kecamatan Cimenyan. Overlaying method of slope and land use, gave result in that there were settlements in region with slope of more than 50% and covering about 135.64 hectares in 1993 and 58.87 hectares in 1997.
The result of regression analysis was the forest area in 1986 related closely to population density. This was concluded from R-square of more than 0.5 in the first and second segment of the selected study areas. The co-relation of forest area variables and population percentage in agricultural sector gave a good result in the third segment in 1997. This concluded that the major driving force of reduction in forest area was due mainly to the population percentage in agricultural sector, not to the population density upon forested area.
In conclusion, the information can be used as an input for regional planning because it concerns with biological components caring for sustainable managing conservation in Bandung Basin. Further research might be expanded to involve some aspects, especially on the community participation for agricultural sector and vegetation analysis for biodiversity study."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
T10053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gde Pujaastawa
"Tema kajian ekologi budaya umumnya mencoba menyimak hubungan antara fenomena-fenomena budaya dengan masalah-masalah lingkungan. Tidak sedikit dari kajian tersebut mengungkap tentang peran positif kebudayaan-kebudayaan tradisional bagi kelestarian lingkungan. Dalam berbagai sistem kepercayaan tradisional misalnya, kerap terungkap bentuk-bentuk kearifan ekologi yang berperan sebagai mekanisme kontrol yang efektif terhadap perilaku pemanfaatan lingkungan. Namun demikian, kepercayaan tradisional yang telah lama mengakar ada kalanya tidak sepenuhnya dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan. Munculnya tindakan konversi yang dilakukan oleh penduduk Dusun Taro Kaja terhadap Hutan Taro, merupakan kasus yang diharapkan cukup menarik untuk ditelaah di sini.
Kawasan Hutan Taro dan lembu putih sebagai satwa penghuninya merupakan satu kesatuan ekosistem alami yang sangat terjaga kelestariannya. Penduduk setempat telah sejak lama memperlakukannya dengan sangat hormat dan pantang melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kelestariannya. Menurut kepercayaan mereka, kawasan hutan dan lembu putih tersebut diyakini sebagai suatu sistem lingkungan yang suci dan keramat milik dewa-dewa yang melindungi kehidupan mereka. Meskipun demikian, keberadaan hutan yang sekaligus merupakan habitat lembu putih itu pada akhirnya tak terhindar dari tindakan konversi yang justru dilakukan oleh para pendukung kepercayaan tersebut. Tindakan tersebut mengakibatkan berubahnya ekosistem alami Hutan Taro menjadi lahan pertanian (agroekosistem). Sedangkan lembu putih yang sebelumnya hidup secara liar kemudian dipelihara dalam sebuah kandang kolektif dengan sistem kereman dan keberadaannya tetap diyakini sebagai binatang suci milik dewa. Namun, berbeda dengan pemeliharaan ternak sapi umunya, berbagai macam pantangan yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap binatang suci itu mengakibatkan tidak nampak adanya manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung.
Masalah tersebut akan dicoba dipahami dengan menjawab sejumlah pertanyaan yang diformulasikan sebagai berikut : (1) Mengapa penduduk Dusun Taro Kaja berani melakukan tindakan konversi terhadap Hutan Taro, padahal sejak lama mereka telah menjaga keberadaannya sebagai suatu ekosistem alami yang dianggap suci dan keramat?; (2) Bagaimana proses dan mekanisme berlangsungnya konversi Hutan Taro?; (3) Mengapa penduduk masih mempertahankan keberadaan lembu putih sebagai binatang suci dan memeliharanya dengan sistem kereman, padahal tidak nampak manfaat-manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung sebagaimana dalam pemeliharaan ternak sapi pada umumnya?.
Masalah tersebut dijelaskan dengan berpijak pada pendekatan materialisme budaya yang cenderung melihat kondisi-kondisi material (infrastruktur) seperti teknologi, ekonomi, demografi, dan ekologi sebagai titik berangkat dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial budaya. Strategi teorotis materialisme budaya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan sosial budaya merupakan respon adaptif terhadap kondisi-kondisi infrastruktur yang menopang keberadaan suatu sistem sosial-budaya. Hal tersebut sesuai dengan konsep desa - kala - patra dan desa mawacara yang menyatakan variasi dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia sangat terkait dengan kondisi zaman dan lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan mengenai praktik kepercayaan yang terpelihara dalam masyarakat dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk respon adaptif terhadap kondisi-kondisi ekologi dan ekonomi. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut mengandung logika rasionalitas yang tersembunyi dan tidak disadari oleh sebagian besar pendukungnya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, di mana pengumpulan data lebih banyak dilakukan dengan pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara langsung dalam kancah penelitian.
Kajian ini melahirkan temuan dengan simpulan sebagai berikut:
Meskipun keberadaan Hutan Taro dengan satwa lembu putihnya oleh penduduk setempat diyakini sebagai ekosistem yang suci dan keramat, namun keyakinan tersebut tidak sepenuhnya mampu mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestariannya. Meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan dan teknologi bercocok tanam yang masih bersifat tradisional, merupakan faktor-faktor relevan yang melatarbelakangi munculnya tindakan konversi hutan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat telah mengakibatkan terjadinya involusi dalam bidang pertanian dan fragmentasi tanah secara terselubung. Sementara itu, teknologi bercocok tanam yang diwarisi secara turun-temurun tidak mengajarkan mereka tentang bagaimana meningkatkan hasil produksi melalui bercocok tanam secara intensif. Hal tersebut mengakibatkan mereka terbelenggu dalam kondisi-kondisi kemiskinan. Kenyataan-kenyataan tersebut akhirnya mendorong mereka untuk memberanikan diri mengalihfungsikan Hutan Taro menjadi tanah tegalan, walaupun tindakan tersebut diyakini penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Di samping itu, mencuatnya isu land reform disertai agitasi-agitasi politik yang bertemakan "tanah untuk petani" merupakan faktor yang sangat mendukung bagi terwujudnya gagasan konversi.
Sementara di sisi lain, keberadaan lembu putih tetap diyakini sebagai binatang suci dan keramat, serta dijaga kelestariannya dengan pemeliharaan sistem kereman. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut sesungguhnya mengandung sejumlah manfaat, yaitu : (1) mengatur dan melegitimasi pemanfaatan faktor-faktor produksi, khususnya tanah pertanian; (2) melindungi tanaman budidaya dari kemungkinan serangan mamalia besar khususnya satwa lembu putih; (3) mencegah terjadinya kontak seksual antara lembu putih dengan sapi-sapi lokal peliharaan penduduk, sehingga kemurnian genetik masing-masing jenis tetap terjaga; dan (4) keberadaan lembu putih sebagai satwa endemik disertai dengan berbagai bentuk tradisi yang dilandasi kepercayaan terhadap lembu putih sebagai binatang suci, cukup potensial bagi pengembangan pariwisata setempat."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nengah Bawa Atmadja
"Hutan Kera Sangeh adalah kawasan hutan asli yang diperkirakan telah ada sekitar abad ke XVII, dan terus bisa bertahan kelestariannya sampai sekaranq. Bahkan sejalan dengan adanya kenyataan bahwa Bali sebaaai salah satu daerah tujuan wisata, maka hutan tersebut berkembang pula menjadi Objek wisata yang terkenal di Bali. Meskipun demikian, kelestarian hutan tersebut tetap terjaga. Penael c l aan obyek wisata tersebut sepenuhnya ditangan oleh Desa adat Sangeh. Kelestarian Hutan Kera Sangeh disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kepercayaan masyarakat setempat bahwa hutan itu adalah milik dewa, sehingga Desa adat Sangeh berusaha melindunginya agar dewa tidak memarahi mereka, dengan Cara membuat aturan-aturan tertentu yang mengatur hubungan antar manusia dengan hutan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, perlindungan tersebut di sebabkan pula oleh kepercayaan mereka bahwa mata air yang terdapat di Yeh Mumbul, yang sangat berguna untuk pengairan pada Subak Sangeh di anggap bersumber di Hutan Sangeh. Karena itu perlindungan terhadap hutan tersebut berarti pula perlindungan terhadap air yang mereka butuhkan. Peranan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia, tidak bisa pula di abaikan dalam memperkuat posisi Hutan Kara Sangeh, yaitu melalui penetapan hutan itu sebagai hutan yang dilindungi, dengan status cagar alam, sejak tahun 1919. Selanjutnya, pemanfaatan hutan itu sebagai obyek wisata justru memperkuat usaha masyarakat setempat untuk menjaga kelestariannya, sebab mereka melihat kelestarian Hutan Kara Sangeh berarti pula mereka menjaga kelestarian sumber finansial yang sengat berguna bagi Desa Adat Sangeh maupun warganya.
Perkembangan Hutan kera Sangeh sebagai obyek wisata, dieebabkan oleh daya tarik yang dimilikinya, yaitu bersumber dari lingkungan alam dan pura-pura yang ada di dalamnya, terutama Pura Bukit Sari. Hal ini diperkuat pula oleh keterbukaan masyarakat setempat terhadap kunjungan wisatawan dan penyediaan fasilitas pariwisata yang dibutuhkan, baik yang di prakarsai oleh Desa adat Sangeh beserta warganya, maupun yang disediakan oleh pemerintah daerah. Obyek wisata tersebut sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara sejak tahun 1900-an. Kunjungan wisatawan ke obyek tersebut terus meningkat, dan sejalan dengan itu maka desa adat pun manatanya secara bertahap sehingga akhirnya mencapai tahap kemapanan.
Pengelolaan obyek wisata itu sepenuhnya ditangani oleh Desa adat Sangeh. Agar desa adat bisa berperan seperti apa yang diharapkan, yakni menangani bidang adat dan agama, serta sekaligus sebagai pengelola Qbyek wisata, maka desa adat Sangeh melakukan pembaharuan kelembagaan, yakni menambah organ-organ baru dalam struktur pemerintahan Desa Adat, yang meliputi LKMD Adat, Seksi Pengelola Obyek wisata, Seksi pembangunan Pura Bukit Sari, PT Bank Desa Sangeh, dan LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Selain itu, desa adat juga membentuk organisasi bisnis sejenis, yakni Perkumpulan Pedagang dan Perkumpulan Tukang Foto Langsung Jadi, lengkap dengan awig-awignya. Selanjutnya, sebagai pengelola obyek wisata, desa adat memainkan beberapa peranan, yakni : (1) menyediakan lokasi fasilitas pariwisata; (2) mendistribusikan lokasi kios dan kesempatan kerja yang ada; (3) mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata; (4) menerima dan menjaga keamanan tamu; (5) mengelola masukan financial; dan (6) menjaga kelestarian dan kebersihan obyek?"
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli
"Hutan Tesso Nilo di Propinsi Riau adalah salah satu hutan dataran rendah yang masih ada di Sumatra. Hutan ini merupakan salah satu hutan yang memiliki level keragaman tanaman yang tertinggi yang pernah diteliti di dunia, yang mencapai 218 keragaman spesies sementara keragaman. Keragaman ini lebih tinggi dari Hutan Amazon sekalipun dan hutan tropis lainnya di Indonesia. Selain jasa ekosistemnya, hutan ini merupakan kawasan ideal sebagai pendukung populasi gajah dan harimau sumatra yang terancam. Hutan ini juga mendukung perekonomian masyarakat lokal dari adanya akses ke Hutan Tesso Nilo untuk memperoleh madu, kayu bakar, dan ikan selais. Hutan ini sangat potensial untuk dikonservasi karena merupakan High Conservation Value Forest. Hutan Tesso Nilo ini berada diantara 4 kawasan lindung lain, sehingga apabila usaha konservasi hutan ini terwujud maka akan tercipta area konservasi dengan 3 juta hektar yang memiliki multi fungsi meliputi 5 kawasan lindung. Sayangnya hutan seluas 158.000 hektar ini berada di bawah konsesi 4 HPH. Juga terdapat banyak hal yang mengancam eksistensi hutan ini terutama penebangan illegal yang dilakukan secara besar-besaran. Diperkirakan dengan level penebangan illegal seperti sekarang ini, hutan akan habis dalam waktu 8 tahun. Penulis berusaha memonetarisasi manfaat intangible dari konservasi Hutan Tesso Nilo, mengingat begitu banyak tekanan dan ancaman terhadap hutan ini yang motifnya mengacu pada eksploitasi manfaat-manfaat yang memberikan keuntungan finansial. Untuk mengetahui nilai dari konservasi Hutan Tesso Nilo dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan valuasi ekonomi, baik metode primer maupun metode sekunder. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa manfaat hutan bila dikonservasi sangat besar yaitu 33,9 trilyun rupiah. Nilai ini sebagian besar berasal dan manfaat tidak langsung yang disediakan hutan secara gratis bagi kesejahteraan manusia. Rasio dari manfaat biaya memperlihatkan nilai sebesar 55,4. Rasio yang lebih dari satu ini menunjukkan bahwa kegiatan konservasi Hutan Tesso Nilo layak untuk dilakukan karena nilai ekonomi totalnya sangat besar. Konservasi Hutan Tesso Nilo akan berdampak bagi kelangsungan kelestarian Hutan Tesso Nilo dan keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya. Selain itu konservasi Hutan Tesso Nilo juga akan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia tanpa merugikan alam dan kehidupan di dalamnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
S19415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Saputra Rusmin
"ABSTRAK
Tesis ini berfokus pada Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami implementasi pengelolaan energi panas bumi. Tesis ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, yang menggunakan data sekunder atau data kepustakaan dan melakukan analisis terhadap nota kesepahaman.
Hasil penelitian penulis temukan adalah bahwa pengelolaan panas bumi dalam implementasinya mengalami hambatan dari ketentuan perundang-undangan khususnya pasal 38 Undang-undang Kehutanan yang menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Konsekuensinya, pada kawasan hutan konservasi tidak boleh dilakukan pertambangan panas bumi. Selain itu pada kawasan hutang lindung tidak boleh dilakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Akibatnya, optimalisasi produksi dan penggunaan energi panas bumi sebagai daya alam atau sumber energi yang dapat diperbarui menjadi terhambat. Untuk mengatasi hambatan tersebut dilakukan beberapa upaya yaitu perubahan peruntukan kawasan hutan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dan dilakukan perubahan fungsi kawasan hutan baik atas sebagian atau atas seluruh kawasan hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Nota Kesepahaman merupakan upaya strategis dalam mempercepat implementasi pengelolaan panas bumi namun tetap menunggu perangkat hukum yang pasti.
Penulis menyarankan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan revisi terhadap Undang-undang Panas Bumi terkait dengan istilah kegiatan pertambangan atau penambangan supaya diubah menjadi kegiatan usaha pemanfataan panas bumi dan tidak masuk kategori kegiatan pertambangan. Penulis menyarankan supaya pemerintah diberi hak untuk melakukan penunjukan langsung tanpa prosedur lelang bagi penambangan panas bumi skala kecil untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah terpencil. Kepada Kementerian ESDM disarankan agar terus mengoptimalkan pemanfaatan panas bumi dengan mempersiapkan langkah-langkah dan instrumen-instrumen hukum yang bersifat teknis dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi.

ABSTRACT
The focus of this study is the Memorandum of Understanding between the Ministry of Energy and Mineral Resources and the Ministry of Forestry. The purpose of this study is to understand the implementation of management of geothermal energy. This thesis uses normative juridical type of research which use secondary or library data and also analyze the Memorandum of Understanding between the Ministry of Energy and Mineral Resources and the Ministry of Forestry.
As the result, the author finds that the implementation of geothermal energy finds obstacles especially by Article 38 of Law Number 41 Year 1999 regarding forestry, which only allow the usage of production forest and protection forest for the sake of development which is not related to forestry activities.
Consequently, it is forbidden for mining activities in conservative forest. Besides, in the protection forest, it is forbidden to conduct open geothermal mining. This regulation obstruct the production and consumption geothermal energy as renewable energy. To overcome the obstacles in the implementation of the management geothermal energy especially in conservation energy, the forrest area is changed to non forest area and change the function. It also change the the function for the part or entire of the forrest area to become the different function.
Besides, the Memorandum of Understanding between the Ministry of Energy and Mineral Resources and the Ministry of Forrestry is a strategic effort in accelerate the implementation of geothermal management, but the effort should perceive the principles of natural resouces and keep on waiting for the definite rule instruments."
2012
T31734
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Indrian Tagor
"Penyusutan luas lahan hutan bakau di Angke Kapuk dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Tahun 1960 luas hutan Angke Kapuk 1.333.62 ha tahun 1977 tinggal 1.144.08 ha dan menurut data dari Rencana induk Pengembangan Pantai Indah Kapuk tahun 1984, luas hutan Angke Kapuk tinggal 162.07 ha yang terdiri dari hutan Lindung 49.25 ha Cagar Alam 21.48 ha dan hutan Wisata 91.37 ha. Hutan bakau yang terdapat di Angke Kapuk adalah salah satu daerah penyangga (Buffer Zone) yang panting bagi Jakarta. Dari sejak zaman Belanda, kawasan hutan Angke Kapuk telah dilindungi dan dijaganya. Tetapi akibat wilayah tersebut semakin menyusut luasnya karena ada pembangunan pemukiman, industri, tambak-tambak dan lain-lain. Pembangunan tambak atau yang sering disebut hutan mina adalah salah satu aspek penting yang berpengaruh mengurangi luas lahan hutan bakau. Hal ini cukup dilematis karena konservasi hutan bakau dan pembangunan tambak untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah bagaikan dua sisi mata uang. Apalagi dengan dibangunnya daerah pemukiman mewah, seperti Pantai lndah Kapuk yang sangat membutuhkan nfrastruktur yang lengkap dan lahan yang cukup luas, yang jelas mengakibatkan degradasi lingkungan yang cukup tajam. Pengelolaan lingkungan yang komprehensif untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin parah di hutan Angke Kapuk menjadi sebuah problem yang kompleks. Opsi atau alternatif terbaik untuk melakukan pilihan pengelolaan (management option) lingkungan adalah merupakan kebutuhan yang mendesak. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2000 sampai dengan Januari 2001 dengan lokasi hutan Angke Kapuk dan sekitarnya. Pilihan pengelolaan (management-option) yang diambil pada studi ini adalah konservasi hutan bakau dan hutan mina. Dua pola pilihan pengelolaan tersebut menjadi dasar bagi studi ini. Dua pola pengelolaan pilihan tersebut dihitung dengan menggunakan metode analisis biaya dan Manfaat yang diperluas (Extended Cost-Benefit Analysis.) Masing-masing pola pengelolaan dideskripsikan secara detail baik dari segi biaya maupun segi manfaatnya yang komponennya memiliki asumsiasumsi sendiri sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Sebagai contoh untuk estimasi biaya dan manfaat dari pilihan pengelolaan hutan mina terdiri dari komponen manfaatraa berupa; hutan mina, cadangan tegakan hutan, perikanan, satwaliar biodiversiti, fisik dan eksistensi, kemudian kompormon biayanya berupa; investasi, hutan mina, cadangan tegakan hutan, perikanan, satwaliar dan eksternalitas. Untuk estimasi biaya dan manfaat pengelolaan hutan bakau yang berkelanjutan, komponen manfaatnya adalah cadangan tegakan hutan, perikanan, satwa liar, biodiversiti, nilai fisik dan nilai eksistensi, kemudian komponen biayanya berupa; investasi; cadangan tegakan hutan, perikanan dan satwa liar. Dari tiap komponen pilihan pengelolaan yang ada dihiktung Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost (BC) rasionya sehingga didapat hasilnya. Kemudian hasilnya dibandingkan untuk dilihat pengelolaan mana yang paling menguntungkan. Hasil penghitungan yang didapat dari studi ini adalah bahwa pilihan pengelolaan hutan bakau adalah yang paling menguntungkan, di mana didapat harga NPV sebesar 5.120, 9271 US $/ha dengan B-C ratio= 7.7893. Sedangkan yang kedua adalah hutan mina (Udang) NPV= 4.890,7039 US$/ha dengan B-C ratio=1.9746. yang ketiga adalah hutan mina (ikan Bandeng dan Udang) dengan NPV= 1.668,8734 US$/ha dengan B-C ration = 1.3850 dan yang keempat atau yang terakhir adalah ikan bandeng yaitu NPV= 1.514,0099 US $/ha dengan B-C ratio= 1.3646... Sehingga dapat disimpulkan bahwa hutan bakau juga memiliki potensi ekonomi lingkungan yang cukup tinggi, baik manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.

The area lost in Angke Kapuk every year is a major concern. In 1960 Angke Kapuk was 1,33362 hectares while in 1977 it has decreased to 1,144.08 hectares. According to data from Planning and Development at "Pantai Indah Kapuk" Jakarta , in 1984 only 162.07 hectares of he area was lost, consisting of 49.25 hectares protected forest, 21.45 hectares nature reserves and 91.37 hectares tourist-designated forest. Comprehensive environmental management to anticipate environmental degradation that gets worsened everyday in Angke Kapuk forest has become a complex problem. Choosing the best alternative for management option has become an urgent need. Management options adopted for this study was mangrove and Mina forest conservation. These two management options were the base for this study. The research was undertaken from May 2000 to January 2001 in Angke Kapuk forest area. The mangrove forest in Angke Kapuk is one of the important buffer zones of Jakarta. It has been protected right since colonial time. The area has been continuously decreasing in width, however, due to development of housing, industry, fish and shrimp ponds, etc. The development of ponds, or mina forest as it is commonly called, is one of the important factors influencing the decrease in -mangrove forest areas. This is actually dilemma as both mangrove forest conservation and ponds development as a means to fulfill living needs of the community are like two sides of a coin. The environmental degradation has been worsened by the development of luxury housing complex like the Pantai Indah Kapuk, which need complete infrastructure, and hectares of land. One way to solve the problem is by meticulously evaluating the holistic taken are a sustainable mangrove forest conservation and mina forest. This choice of two management patterns is the basis of this study. The two patterns are calculated by using the cast and benefit, analysis method. Each pattern of management is described in detail, both in terms of cost and benefit, the components of which -have their own assumptions in accordance with the existing objective condition. As an example, take the estimates of cost and benefit of mina fort management. Its benefit component would be: the mina forests, forest stand reserve, fishery, wild animal, biodiversity, and physical and existence values. Its cost component would be: investment, mina forests, forest stand reserve, fishery, wild animal and externality. For the mangrove forest management, its benefit component would be: forest stand reserve, fishery, wild animal, biodiversity, and physical and existence values. And its cost component would be: investment, forest stand reserve, fishery and wild animal. From each component of the management choice, the ratio of the Net Present Value (NPV) and the Benefit-Cost (B-C) is calculated. The results of the calculation are to be compared in order to see which is the most profitable. The result of calculation from this study is that the choice of a sustainable Mangrove forest management is the most profitable, in which the NPV is US $ 5,120.9271 per hectare with B-C ratio = 7.7893, whereas the NPV of the Mina forest with Shrimp management: US$ 4,890.7039 per hectare with B-C ratio = 1.9745, Milkfish: US$ 1,514.0099-per hectare with B-C ratio = 1.3646 and Shrimp &Milkfish: US$ 1,668.8734 per hectare with-BC ratio = 1.3850. It is therefore concluded that mangrove forests has a considerably high economic potential, in terms of direct, indirect, chosen as well as existence benefit. For in order to invest in a project, we need not only to calculate its economic and technical -benefits but also its long term benefit which takes into account the environmental interests and needs of the future generation."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T4012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Isrinayanti
"Luas hutan konservasi di Indonesia hanya 17,13% dari seluruh kawasan hutan, di Jawa Tengah hutan konservasi hanya 0,03%. Hutan konservasi yang ada tidak sebanding dengan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan desakan ekonomi, kebutuhan lahan semakin meningkat, lahan yang menjadi sasaran adalah lahan milik pemerintah. Ancaman terhadap kawasan hutan mengancam pula kawasan konservasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi Cagar Alam Telaga Ranjeng (CATR) dan kawasan hutan penyangganya; mengetahui dan menganalisis persepsi masyarakat tentang fungsi CATR dan kawasan hutan penyangganya, menganalisis pengaruh faktor ekonomi masyarakat pada pembukaan lahan di kawasan hutan penyangga CATR, dan merumuskan strategi pengelolaan CATR dan kawasan hutan penyangganya secara tepat. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan mixed method. Hasil dari penelitian ini adalah kualitas perairan telaga di CATR pada saat ini kurang baik, BOD, padatan tersuspensi, CO2, NH3-N dan kesadahan air cukup tinggi, terdapat bakteri Citrobacter freundii, Aeromonas sobria, Aeromonas Hydrophyla pada ikan penghuni telaga. Kawasan hutan penyangga CATR sebagian besar sudah dibuka untuk pertanian hortikultura dengan jenis tanaman kentang, kubis dan wortel. Persepsi masyarakat desa Pandansari tentang CATR dan kawasan hutan penyangganya sebagai kawasan konservasi dan kawasan lindung sudah cukup baik. Faktor sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi luas pembukaan lahan pertanian di kawasan hutan penyangga CATR sebesar 40%, sedangkan 60% lainnya dipengaruhi oleh kebutuhan lahan pertanian, kesempatan memperoleh lahan dan tidak adanya sumber pendapatan selain pertanian. Strategi pengelolaan yang direkomendasikan untuk cagar alam adalah ekowisata, sedangkan strategi pengelolaan kawasan hutan penyangga cagar alam adalah dengan sistem penanaman agroforestry.

Preservation of biodiversity is performed in conservation area nature reserve. Conservation forest area in Indonesia is only 17.13% of the total forest area, whereas in Central Java province forest conservation is only 0.03%. The Conservation forests existing is not comparable with biodiversity in Indonesia. Along with the growth of population and economic pressure, increased land requirements, consequently the land is owned by the government were targeted by community. Threats to forests area also threaten the conservation areas. The purpose of this study was to identify and analyze the condition of nature reserve Ranjeng lake and their forest buffer; identify and analyze the public perception of the function of nature reserve Ranjeng lake and their forest buffer, analyze the influence of community?s social economic factors on land clearing forest area buffer of nature reserve Ranjeng lake; and formulate the nature reserve Ranjeng lake and their forest buffer to management strategy appropriately. This research was conducted with mixed method approach. The results of this study are, water quality in the nature reserve Ranjeng lake at this time is unfavorable, physically BOD, suspended solids, CO2, NH3-N and the water hardness is quite high, there is a bacterium Citrobacter freundii, Aeromonas sobria, Aeromonas Hydrophyla in dwellers fish pond. Forest buffer of nature reserve Ranjeng lake was largely cleared for agriculture horticulture potatoes, cabbages and carrots. Pandansari rural community's perceptions of the nature reserve Ranjeng lake and their buffer forest areas for conservation and protected areas was sufficient. Socio-economic factors influencing land clearing in the forest buffer of nature reserve Ranjeng lake 40%, while 60% are influenced by the needs of agricultural land, the opportunity to acquire the land and there is no source of income other than agricultural. Recommended strategic management for nature reverse Ranjeng lake is ecotourism, while strategic management for forest buffer of nature reverse is agroforestry."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Giyanto
"Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Temanggung adalah salah satu bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, yang luas kawasan hutannya mencapai 5.410,50 hektar. Luas tersebut tersebar di antara Gunung Tierep (RPH Jumprit) 1.569,00 hektar, Gunung Sindoro (RPH Kwadungan) L761,30 hektar, dan Gunung Sumbing (RPH Kecepit dan RPH Kemloko), yang masingmasing mempunyai 1.213,90 hektar dan 866,20 hektar. Kerusakan hutan yang terjadi di BKPH Temanggung semuanya terjadi di kawasan hutan lindung yang digunakan sebagai lahan pertanian khususnya untuk tanaman semusim seperti tembakau. Data dari BKPH Temanggung memperlihatkan, bahwa Iuas kawasan hutan lindung terbesar yang dibuka untuk pertanian sampai tahun 2004 terdapat pada kawasan Gunung 'Sindoro (RPH Kwadungan). Dad 1.761,30 hektar yang digunakan untuk hutan lindung, 1.353.50 hektar (76,00%) dari hutan lindung telah digunakan untuk lahan pertanian, khususnya untuk tanaman semusim seperti tembakau.
Penelitian ini bertujuan untuk niengetahui dan menganalisis: (1) Pengaruh dari variabel sosial ekonomi masyarakat pada setiap desa yang sudah dibina dan belum dibina terhadap kelestarian fungsi hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung, (2) Faktor-faktor yang melatarbelakangi terhadap terjadinya pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung, dan (3) Upaya penanggulangan dan pencegahan pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Variabel sosial ekonomi masyarakat pada setiap desa yang sudah dibina dan belum dibina mempunyai pengaruh terhadap kelestarian fungsi hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung, (2) Pembukaan hutan lindung dilatarbelakangi oleh adanya masyarakat mengetahui aturan-aturan yang berlaku dalam hutan lindung namun terdesak olah kebutuhan ekonomi, sehingga terpaksa membuka hutan untuk meningkatkan pendapatan, sebagai akibat harga tembakau yang rendah, dan (3) Penanggulangan dan pencegahan pembukaan lahan hutan lindung di kawasan IIutan Lindung Gunung Sindoro dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kerjasama yang sinergis antara Pemerintah Daerah, perusahaan rokok (gudang garam dan jarum), dan masyarakat setempat.
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Hutan Lindung Gunung Sindoro (KPH Kwadungan). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dianalisis dengan regresi berganda, yaitu untuk melihat hubungan antara faktor sosial ekonomi masyarakat terhadap luas hutan lindung yang dibuka.
Metode kualitatif dianalisis dengan tabulasi terhadap data yang berkaitan dengan persepsi masyarakat dan penegakan hukum. Data primer dan sekunder dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam.dan dokumenter.
Hasil analisis memperlihatkan, bahwa pada desa yang sudah dibina variabel sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap luas hutan lindung yang dibuka di Desa Bansari adalah jumlah tanggungan kepala keluarga dan pendapatan per kapita per tahun (P-value = 0,004* dan P-value = 0,025*), Desa Mranggen Tengah adalah luas lahan yang dimiliki dan pendidikan formal (P-value = 0,041* dan P-value = 0,037*), dan Desa Mojosari adalah umur kepala keluarga (P-value = 0,044*). Pada desa yang belum dibina variabel sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap luas hutan lindung yang dibuka di Desa Candisari adalah jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan per kapita per tahun (P-value = 0,046* dan P-value = 0,029*), Desa Mranggen kidul adalah umur kepala keluarga dan jumlah tanggungan keluarga (P-value = 0,007* dan P-value = 0,002*), dan Desa Tlogowero adalah jumlah tanggungan kepala keluarga (P-value = 0,022*). Pada desa yang sudah dibina dan belum dibina sebanyak 95,56% responden dan 86,67% responden mengetahui keberadaan kawasan hutan lindung, serta 97,78% responden dan 95,56% responden pada desa yang sudah dibina dan belum dibina menyatakan, bahwa merambah hutan lindung adalah perbuatan yang dilarang_ Sebanyak 95,56% responden dari desa yang dibina dan 88,89% responden dari desa yang belum dibina menyatakan, bahwa merambah hutan lindung bermanfaat untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Upaya penanggulangan dan pencegahan yang telah dilakukan adalah reboisasi, penyuluhan dan penegakan hukum.
Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) Faktor-faktor sosial ekonomi mempunyai pengaruh terhadap kelestarian .fungsi hutan lindung Gunung Sindoro: (a) pada desa yang sudah dibina faktor sosial ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian fungsi hutan lindung gunung sindoro di Desa Bansari adalah jumlah tanggungan kepala keluarga dan pendapatan per kapita per tahun, Desa Mranggen Tengah adalah luas lahan yang dimiliki dan pendidikan formal, dan Desa Mojosari adalah umur kepala keluarga. (b) pada desa yang belum dibina faktor sosial ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian fungsi hutan lindung Gunung Sindoro di Desa Candisari adalah jumlah tanggungan kepala keluarga dan pendapatan per kapita per tahun, Desa Mranggen KiduI adalah umur kepala keluarga dan jumlah tanggungan kepala keluarga, dan Desa Tlogowero adalah jumlah tanggungan kepala keluarga. (2) Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Gunung Sindoro karena masyarakat terdesak oleh kebutuhan ekonomi (harga tembakau yang rendah) sehingga untuk meningkatkan pendapatan, masyarakat. terpaksa melakukan pembukaan lahan, walaupun melanggar aturan-aturan yang berlaku di kawasan hutan lindung. (3) Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya pembukaan lahan di areal hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari dapat dilakukan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Sindoro, melalui kerjasama yang sinergis antara Pemerintah Daerah, perusahaan rokok (gudang gamin dart jarum), dan masyarakat, serta adanya penegakan hukum yang konsekuen.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Perlu adanya kerjasama yang sinergis antara petani, Pemerintah Daerah dan perusahaan rokok (Gudang Garam dan Jarum), sehingga diharapkan harga tembakau akan mengalami peningkatan, dan (2) Perlu dibuat adanya pembatasan pemanfaatan lahan, agar tidak terjadi kerusakan lahan di wilayah hutan lindung.

The Unit of Temanggung `s Forest Administration (BKPH) is the one part of The North Kedu Forest Administration Unit (KPH) which is under The Central Java Unit I Perum Perhutani, in charge of 5,410.50 hectares covered by forest_ That area consists of 1,569.00 hectares of Tlerep Mount (RPH Jumprit), 1,761.30 hectares of Sindoro Mount (RPH Kwadungan), 1,213.90 hectares of RPH Kecepit and 866.20 hectares of RPH Kernloko. The RPH Kecepit and RPH Kemloko are located in Sumbing Mount. The forest degradation of Temanggung BKPH's happened in almost the whole area of the protected forest which is used by the agriculture, especially by the annual crop plantation such as tobacco. BKPH Temanggung states that the biggest opened protected forest area until 2004 for, the apiculture is happpened in Sindoro Mount area (RPH Kwadungan). That area is especially used as_lobacco's plantation which includes 76.00% (1,353.50 hectares) of 1,761.30 hectares protected forest.
This research aims to study: (1) The impact of the community's socio-economic variables on the preservation of protected forest in Sindoro Mount, Bansari District of Temanggung Regency; (2) The driving factors of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest of Bansari District of Temanggung Regency; (3) The solutions and preventions of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest of Bansari District of Temanggung Regency.
The hypothesis of this study are: (1) The community's socio-economic influence the preservation of the protected forest of Sindoro Mount; (2) The opening of protected forest in Sindoro Mount is being done by the community who have to increase their income as the impact of the decreasing of tobacco's price to fulfil their economic needs, eventhough they know the rules of protected forest; (3) The solutions and prevention of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest can be done by sinergisting the cooperation between the Local Goverment and the Cigarette Company (Gudang Garam and Jarum) with the local community to increase the community's income.
This research was conducted at the Sindoro Mount Protected Forest (RPH Kwadungan) using the quantitative and qualitative method. The quantitative method were analyzed by using the multiple regression to study the relation between the community's socio-economic factors and the use of lands within the protected forest and its use as plantation. This research also used the qualitative method to analyze the relation of local community and law enforcement by using the tabulation of data. The primary and secondary data were collected by depth interviewing and documenting.
The analysis states that: (1) The community's socio-economic factors of the constructed village which impacts significantly to the forestry opening area are the number of family members and annual personal income (P-value-0.004' and P-value-0.025') for Bansari Village, the area of land owning and formal education (P-value-0.041' and P-value-0.037') for Central Mranggen Village and the age of the head of the family (P-value=0.044') for Mojosari Village. The community's socio-economic factors of the non-constructed village which impacts significantly to the forestry opening area are the number of family members and annual personal income (P-value-0.046' and P-value-0.029') for Candisari Village, the age of the head of the family and the number of family members (P-value-0.007* and P-value ).002*) for Mranggen Village and the number of family members (P-value--0.022*) for Tlogowero Village; (2) There are 95.56% respondents of constructed village and 86.67% respondents of non-constructed village knows the protected forest area, there are 97.78% respondents of constructed village and 95.56% respondents of non-constructed village slates the forestry opening is illegally action, there are 95.56% respondents of constructed village and 88.89% respondents of non-constructed village states that the forestry opening increase the income; and (3) The solutions and preventions that have been doing consists of replantation, information giving and law enforcing.
The conclusions of this study are: (1) The community's socio-economic factors of the constructed village which impacts significantly to the forestry opening area consists of the number of family members and annual personal income for Bansari Village, the area of land owning and formal education for Central Mranggen Village and the age of the head of the family for Mojosari Village. The community's socio-economic factors of the non-constructed village which impacts significantly to. the forestry opening area consists of the number of family members and annual personal income for Candisari Village, the age of the head of the family and the number of family members for Mranggen Village and the number of family members for Tlogowero Village; (2) The opening of protected forest in Sindoro Mount is being done by the community who have to increase their income as the impact of the decreasing of tobacco's price to fulfil their economic needs, eventhough they know the rules of protected forest; (3) The solutions and preventions of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest can be done by sinergisting the cooperation between_the Local Goverment and the Cigarette Company (Gudang Garam and Jarum) with the local community to increase the community's income and forming the consequen law enforcement
The suggestions of this study ere: (1) There should be a synergistic cooperation between The Local Government and The Tobacco Company (Gudang Garam and Jarum) with The Local Farmers to maintains the good balance of tobacco supply-demand and price; (2) There should be a local regulation to protect the forest and effort to build people's legal awareness.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ristyo Pradana
"Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan studi kepustakaan. Penelitian ini membahas mengenai kebijakan pengembangan kegiatan pengusahaan energi panas bumi di kawasan hutan konservasi di masa mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan kegiatan pengusahaan energi panas bumi di kawasan hutan konservasi Indonesia saat ini memiliki permasalahan mendasar mengenai adanya ketidaksingkronan pengaturan dua kebijakan Pemerintah yang saling berkaitan, yakni kebijakan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan di bidang konversi energi nasional, khususnya pengusahaan energi panas bumi. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis sinergisasi substansi peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan konversi energi nasional, khususnya pengusahaan energi panas bumi yang dituangkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 dan UU Nomor 27 Tahun 2003. Harmonisasi kedua peraturan tersebut kemudian dituangkan dalam kerangka kebijakan terpadu yang dapat mendukung pengembangan kegiatan pengusahaan energi panas bumi di kawasan hutan konservasi di masa mendatang.

This research use juridical-normative analysis method with literature studies. This research studies about development policy of geothermal energy practice in Indonesian conservation forest area. This research shows that in recent times, geothermal energy development in conservation forest area possesses several problems concerning to the asynchronous regulation energy conversion, especially on geothermal energy development. This research seeks to analyze the harmonization of legal substances on conservation of natural resources and national energy conversion, especially on geothermal energy development, which are regulated in Law No. 5 Years 1990 and Law No. 27 Years 2003. Afterwards, such legal harmonization has to be standardizes in form of legal frameworks to encouraged geothermal energy development in conservation forest area in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1939
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yura Muhamad Yusup
"Skripsi ini mengaji variasi akses yang dilakukan oleh petani penggarap di Desa Mekarwaru untuk memperoleh keuntungan dari pengelolaan lahan garapan yang secara de jure merupakan lahan milik Negara, akan tetapi secara de facto merupakan lahan yang seakan terbuka dan dapat dimanfaatkan siapa saja. Namun, terdapat aturan tentang pengelolaan lahan dari pemilik lahan yang dipercayakan pada pihak Perhutani. Berarti, lahan yang secara de facto seakan “terbuka” (open access) itu, sebenarnya dikelola oleh pihak yang memperoleh kewenangan dari Negara. Variasi akses yang dilakukan oleh petani penggarap dapat dilihat melalui mekanisme akses berdasarkan hak secara legal dan ilegal, serta melalui mekanisme akses berdasarkan struktural dan relasional. Melalui dua mekanisme tersebut, dapat ditemukan berbagai cara yang dilakukan petani penggarap untuk memperoleh pengelolaan lahan garapan pada kawasan Perhutani. Munculnya variasi akses menunjukkan bahwa kemampuan individu untuk memperoleh keuntungan dapat beragam yang diperoleh melalui berbagai cara, proses, dan hubungan sosial. Setelah memperoleh akses atas pengelolaan lahan garapan, petani penggarap memelihara aksesnya agar tidak berpindah ke pihak lain. Hal itu pun terwujud secara beragam pula.

This thesis examines the variation of access of Mekarwaru’s landless farmers in order to gain profits from de jure state-owned which could be claimed de facto land and utilized by any farmers. However, in reality, there are regulations of land management which have been defined by the land-owners, Perhutani. Therefore, the de facto-claimed land as an ‘open access’ resources is managed by the authority representing the state. The variation of access gained by landless farmers examined through both legal and illegal access mechanisms, as well as structural and relational mechanisms. These variation of access reveal the individual abilities to gain profits from any existing means, processes, and social relations. Furthermore, once the farmers have gained accesses to utilize the land, they are able to maintain and preserve it to avoid any changes of cultivators. Those mechanisms are, in fact, diverse as well."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>