Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199221 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Wijaya
"Analisis burial geohistory merupakan salah satu bahan kajian dalam analisis cekungan secara kuantitatif yang terintegrasi selain thermal history dan analisis hydrocarbon generation. Data dasar yang dihasilkan berupa parameter tektonik sedimentasi yang kemudian digambarkan dalam bentuk rekonstruksi sejarah pemendaman. Selain itu akibat pembebanan sedimen, maka terjadi perubahan porositas dan permeabilitas yang berpengaruh terhadap aliran fluida dalam batuan. Sehingga arah migrasi dan keberadaan hidrokarbon di daerah penelitian dapat ditafsirkan.
Perubahan proses sedimentasi yang terjadi di daerah penelitian dapat dikaji dari data di setiap sumuran. Pada awal pengendapan Formasi Belumai sampai dengan akhir pengendapan Formasi Baong Tengah (10,1 juta tahun lalu) terbentuk endapan transgresif. Sistem pengendapan tersebut ditandai dengan kecepatan sedimentasi yang lebih lambat dibanding kecepatan penurunan dasar sedimen.
Endapan regresif terjadi sejak awal pengendapan Formasi Baong Atas yang ditandai percepatan sedimentasi sangat besar (4-5 kali kecepatan sebelumnya). Proses tersebut terjadi karena berkaitan dengan aktivitas tektonik Miosen Tengah, sedangkan batuan sumber berasal dari Bukit Barisan yang telah terangkat sejak 12 juta tahun lalu. Periode selanjutnya terjadi perlambatan sedimentasi tetapi sedimen masih regresif dan berakhir pada 4,5-4,8 juta tahun lalu (akhir pengendapan Formasi Seurula bagian bawah).
Proses pengendapan yang terjadi sejak 17,8 juta tahun lalu tersebut di atas mengalami perpindahan pusat sedimentasi (depocentre) yang dikendalikan oleh aktifnya patahan regional. Batuan dasar paling dalam (depocentre) bergeser dari timur ke barat (tengah daerah penelitian) bersamaan dengan pengendapan Formasi Baong Atas. Sehingga formasi tersebut mempunyai ketebalan awal maksimum di bagian tengah daerah penelitian (775 m) (Sumur SW-5).
Batuan dasar paling dalam di SW-5 tersebut berlangsung terus sampai sekarang, sehingga berpengaruh terhadap keberadaan hidrokarbon di sumur tersebut. Posisi Formasi Belumai yang menumpang di atas batuan dasar paling dalam telah menyebabkan berkurangnya porositas dan permeabilitas batuan, sehingga tidak memungkinkan adanya migrasi hidrokarbon ke SW-5. Seandainya hidrokarbon dapat terbentuk di bagian bawah formasi tentunya telah bermigrasi ke selatan. Hal ini disebabkan aliran fluida akibat kompaksi sangat berhubungan dengan faktor ekspulsi dan sangat berpengaruh terhadap proses diagenesa serta migrasi hidrokarbon.
Faktor ekstensi kerak ternyata paling besar dijumpai di Sumur SW-6 (1,054) sedangkan sumur yang lain berkisar antara 1,01-1,03. Faktor ekstensi kerak tersebut hanya berpengaruh terhadap awal pembentukan cekungan di daerah penelitian, yaitu dengan terbentuknya depocentre di SW-6. Periode berikutnya deformasi tektonik lebih berpengaruh terhadap perubahan bentuk arsitektonik cekungan. Hal ini terbukti Sumur SW-5 yang menempati cekungan paling dalam sejak 9,6 juta tahun lalu faktor ekstensi keraknya lebih kecil dibanding SW-6.

Burial geohistory analysis is one of the integrative method in quantitative basin analysis as same as thermal history and hydrocarbon generation analysis. The resulted data is sedimentation tectonic parameter which is displayed as burial geohistory reconstruction. Because of sedimentary loading, there was a change in porosity and permeability which were influence the fluidity flow in the rock. Therefore the migration pathway and hydrocarbon occurrence in the study area can be predicted.
The sedimentary process changes in the study area can be assessed from the data in the well transgressive sediment was formed since the early time of Belumai Formation deposition until the end of Middle Baong Sedimentation (10.1 Million Years Ago). This depositional system was characterized by slower sedimentation rate than rate of base sedimentation subsidence.
Regressive deposition took place in the early sedimentation of Upper Baong Formation characterized by huge sedimentary acceleration (4-5 times from previous rate). This process correlated with Middle Miocene tectonic activity. The source rocks came from the uplifted Barisan Mountain since 12 MYA. In the next period, reducing of sedimentation rate occurred and finished at 4.5 - 4.8 MYA (in the end of Lower Seurula Formation deposition), but the sediment was still in regressive phase.
Centre of sedimentation (depocentre) of mentioned above sedimentation process began since 17.8 MYA, was moved from the original position. The movement was controlled by activation of regional fault. The deepest basement (depocentre) moved from East to West (middle part of study area), at the same time as deposition of the Upper Baong Formation. Therefore, this formation has early maximum thickness (775 m) in the middle part of the study area (SW-5 Well).
The basement in SW-5 well is still the deepest in the study area until present-day. It influence the hydrocarbon occurrence in this well. The Belumai Formation which is immediately overlies the deepest basement has porosity and permeability decrease that made it was not possible for oil to migrated to SW-5 well. if the hydrocarbon could be generated by the lowest part of the Belumai Formation, it would migrated to the South. In this case because the fluidity flows as a result of compaction is very correlate with expulsion factor and strongly influence to diagenetic process and hydrocarbon migration.
The highest value of crustal extension (1.054) is occurred in SW-6 Well,whilst in others wells are in range of 1.01 to 1.03. The crustal extension just influenced the early forming sedimentary basin in the study area. It influenced the depocentre in SW-6. In the next period, architectural form of sedimentary basin was more influenced by tectonic deformation. It is proved by the position of SW-5 (it's crustal extension value lower than SW-6) which occurred in the deepest part of the basin since 9,6 MYA.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2001
T9967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dody Efrianto
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
S28646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995
306 DAM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Titik Pudjiastuti
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997
499.211 TIT p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lale Heny Herawati
"Peningkatan kelahiran dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya dalam literatur demografi sering juga disebut sebagai peningkatan paritas. Komposisi jenis kelamin anak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kelahiran berikutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis kelamin anak terhadap peningkatan paritas di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Data yang digunakan adalah hasil SDKI 2007. Unit analisis adalah wanita berstatus kawin usia 15-49 tahun yang minimal memiliki satu anak atau dua anak masih hidup.
Variabel bebas penelitian ini adalah jenis kelamin anak, tingkat pendidikan, status pekerjaan, jumlah anak ideal dan kohor ibu. Sedangkan variabel tak bebasnya adalah peningkatan paritas dengan menggunakan analisis logistik biner. Komposisi jenis kelamin anak pertama merupakan faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan paritas dari satu anak menjadi dua anak di Sumut, wanita yang anak pertamanya perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi memiliki anak kedua daripada yang anak pertamanya laki-laki. Namun lain halnya di Sumbar, ternyata tidak ditemukan perbedaan kecenderungan memiliki anak kedua antara mereka yang anak pertamanya perempuan ataupun laki-laki.
Di Sumut maupun di Sumbar, untuk anak kedua dan ketiga, apapun jenis kelaminnya tidak signifikan mempengaruhi peningkatan paritas. Jadi tidak ada perbedaan dalam peluang terjadinya anak ketiga antara mereka yang kedua anaknya laki-laki, kedua anaknya perempuan atau laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, faktor jumlah anak ideal ternyata memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap peluang wanita memiliki anak ketiga baik di. Hal ini menggambarkan bahwa baik di Sumut maupun di Sumbar cenderung menganut norma keluarga besar.
Di Sumut, probabilitas terjadinya anak kedua lebih tinggi pada wanita yang anak pertamanya perempuan, berpendidikan SD ke bawah, jumlah anak idealnya di atas tiga dan berada pada kohor 1958-1976, sementara di Sumbar probabilitasnya lebih tinggi pada wanita yang berpendidikan SD atau tidak tamat SD, jumlah anak idealnya di atas tiga dan berada pada kohor 1958-1976. Sedangkan probabilitas terjadinya anak ketiga di Sumut, lebih tinggi pada wanita yang berpendidikan SD atau tidak tamat SD, bekerja, jumlah anak idealnya di atas tiga dan berada pada kohor 1958-1976, sementara di Sumbar probabilitasnya lebih tinggi pada wanita yang berpendidikan SD ke bawah, jumlah anak idealnya di atas tiga dan berada pada kohor 1958-1976.

Having more children is commonly referred to as parity progression in demographic literature. Sex composition of existing children is a factor in progressing to higher order births.
This study aims to study the effect of sex composition of children on parity progression in North Sumatera and West Sumatera. The data used is the 2007 Indonesia Demographic and Health Survey. The unit of analysis is woman who has at least one or two child. The independent variables of this study are the sex of child, education, work participation, number of ideal family size, and cohort while the dependent variable is parity progression. The analysis is conducted using logistic regression models.
There is significant difference in the progression to second child based on the sex of the first child for women in North Sumatera, progression to second birth are higher among woman who have girl as the first child. But there is no significant difference in West Sumatera.
In North Sumatera and West Sumatera indicates that progression to third birth is not associated with the sex of existing children. So there is no defference in the progression to third child among woman who have two boys, two girl, one girl and one boy, as first child and second child. While number of ideal family size has strong associated in progression to third birth. It indicates that woman in North Sumatera and West Sumatera have big family size norm.
In North Sumatera, probabilities of having second birth are higher among women who have girls as first child, have ideal number of children more than three children, belong to older cohort, and have primary school education. While in West Sumatera and probabilities of having second birth and third birth are higher among women who have ideal number of children more than three children, belong to older cohort, and have primary school education.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29675
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan , 1988
745 PEN (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Wiradnyana
"Prasejarah merupakan babakan masa yang sangat panjang, sekaligus mengawali manusia dan kebudayaan. Hampir setiap kebudayaan di dunia ini diawali dengan babakan masa itu, sehingga babakan masa prasejarah sangat penting dalam kontribusinya bagi kebudayaan di masa-masa selanjutnya."
Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia , 2011
930.1 KET p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sofwatul Fida
"Danau Toba merupakan kaldera yang terbentuk dari tiga kali letusan gunung berapi super, hal ini menjadikannya sebagai kaldera tebesar di Asia Tenggara dengan panjang 100 meter, lebar 30 meter, dan tinggi mencapai 505 meter. Danau Toba memiliki potensi geotermal, hal tersebut ditandai dengan munculnya manifestasi di permukaan berupa mata air panas, fumarol dan steaming ground di daerah Simbolon dan Pusuk Buhit. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat magmatic body sebagai sumber panas dari sistem geotermal di sekitar Danau Toba. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran bawah permukaan Danau Toba sehingga dapat menginterpretasi keberadaan magmatic body dan sistem geotermal. Metode yang digunakan adalah metode gravitasi dan magnetotellurik. Hasil penelitian menunjukkan adanya fitur berupa magma chamber dikedalaman 10-40 km dengan diameter sebesar 30x40 km memiliki nilai densitas sebesar 2.5 gr/cc dan resistivitas >100 ohm.m. Ditemukan juga terdapat lapisan toba tuff hasil erupsi kaldera Toba pada kedalaman 0-1 km dengan nilai densitas 2.21 gr/cc. Serta lapisan basement dengan anomali resistivitas rendah (6-10 ohm.m) dan densitas sebesar 2.61 gr/cc. Selain itu, ditemukan adanya clay cap yang berada di bawah titik MT004 pada kedalaman 1.5 km dengan nilai resistivitas rendah (10-20 Ohm.m). Hasil integrasi menunjukkan bahwa magmatic body di bawah Danau Toba berperan sebagai sumber utama dari sistem geotermal yang berada di sekitar Danau Toba. Terdapat aliran uap panas yang mengalir dari magmatic body menuju kedalaman dangkal hingga pada kedalaman sekitar 3 km di bawah titik MT-004 yang merupakan proyeksi dari daerah Pusuk Buhit dan Simbolon. Aliran uap panas ini mengalami penurunan suhu sehingga mendingin dan memadat membentuk plutonik body. Plutonik body inilah yang diduga berperan sebagai heat source dari sistem geotermal di daerah Pusuk Buhit dan Simbolon. Hal tersebut diperkuat dengan data penunjang geokimia berupa plot diagram trilinear SO4-HCO3-Cl yang menampilkan bahwa fluida air panas di Pusuk Buhit dan Simbolon sama-sama terletak pada sudut sulfat yaitu steam heated waters dimana tipe fluida yang terbentuk akibat pemanasan air tanah oleh uap geotermal bukan volcanic waters (pemanasan air tanah oleh magma).

Lake Toba is a caldera formed from three times a super volcanic eruption, this makes it as the largest caldera in Southeast Asia with a length of 100 meters, 30 meters wide, and height reaches 505 meters. Lake Toba has geothermal potential, it is characterized by the presence of manifestations on the surface such as hot springs, fumarol and steaming ground in the Simbolon and Pusuk Buhit area. This indicates that there is a magmatic body as a heat source of a geothermal system around Lake Toba. Therefore this study aims to find out the surface of Lake Toba so that it can interpret the existence of magmatic body and geothermal systems. The method used is the gravity and magnetotellurics method. The results showed a feature in the form of magma chamber in the time of 10-40 km with a diameter of 30x40 km has a density value of 2.5 gr/cc and resistivity >100 ohm.m. There was also a Toba tuff layer the result of the Toba caldera eruption at a depth of 0-1 km with a density value of 2.21 gr/cc. And the basement layer with low resistivity anomalies (6-10 ohm.m) and a density of 2.61 gr/cc. In addition, there was a clay cap which was below the MT004 point at a depth of 1.5 km with a low resistivity value (10-20 ohm.m). Integration results show that the magmatic body under Lake Toba acts as the main source of the geothermal system around Lake Toba. There is a hot vapor flow that flows from Magmatic Body towards a shallow depth to a depth of about 3 km below the MT-004 point which is a projection of the Pusuk Buhit and Simbolon area. This hot vapor stream had temperature decrease, then it cools and covers forming a body plutonic. This Putonik body is suspected of playing a role as a heat source of the geothermal system in the Pusuk Buhit and Simbolon areas. This is reinforced by geochemical supporting data in the form of a SO4-HCO3-CL trilinear diagram plot that displays that hot water fluids in the hull of Buhit and Simbolon are equally lies in the sulfate angle, namely steam heated waters where the type of fluid is formed due to soil water heating by geothermal steam not a volcanic waters (groundwater heating by magma)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>