Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173178 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafael Alun Trisambodo
"Penerimaan pajak memegang peranan penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlebih setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya adalah menghilangkan fasilitas perpajakan yang tidak bermanfaat.
Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang menarik untuk dibahas adalah adanya penundaan penyetoran pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.04/2000 Pemungut PPN diperbolehkan menyetorkan PPN yang dipungut 15 hari bulan berikutnya setelah pelunasan dilakukan. Penundaan ini menimbulkan pelanggaran atas Ketentuan Perpajakan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang timbul karena keterlambatan penyetoran oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan melakukan studi kasus pada tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontrak Karya. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Data yang diolah berupa data bukti setoran pajak yang diterima perusahaan untuk transaksi tahun 2001. data diambil sampai dengan September 2002 untuk melihat besarnya kerugian negara dari PPN yang belum disetor ditambah dengan sanksi bunga karena keterlambatan penyetoran.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Daud Jahya
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S10240
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Senny Tussytha
"Dalam perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai diupayakan perbaikan dan pembaharuan dalam beberapa sisi peraturan perpajakan yang pada dasarnya mengarah kepada tercapainya target pengamanan penerimaan Negara dari sektor pajak guna pembiayaan pembangunan. Dalam prakteknya, ternyata masih terdapat beberapa hambatan yang salah satunya adalah hambatan tercapainya pengamanan penerimaan Negara dalam hal pemungutan pajak yang dilakukan oleh Pemungut.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN? Apa dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN? Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN? Apakah ada pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak?
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua sedangkan hasil penelitian yang diperoleh adalah mengingat bahwa status penunjukan Pemungut tersebut hanya didasarkan pada Keputusan Presiden, maka dalam perubahan UU PPN di tahun 1994 diatur kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut tersebut. Penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang dari prinsip dasar PPN.
Sesuai dengan sifat Tidak Langsung dan PPN maka yang berlaku sebagai pemikul beban Pajak secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran Pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau JKP.
Kewajiban Pemungut PPN adalah yaitu memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh PKP kepada mereka. Status Pemungut tersebut semula didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya Pemungut diharapkan agar pemungut tersebut dapat menjadi perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan negara. Setelah beberapa tahun diberlakukan, belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terealisasinya penerimaan Negara. Berdasarkan hal tersebut pula, maka sejak Januari 2004 yang termasuk dalam kategori pemungut tersebut dibatasi dan diberlakukan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dalam penghapusan status Pemungut PPN tersebut, didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa dengan adanya status Pemungut menimbulkan inefisiensi dan distorsi dalam kinerja petugas DJP. Hal itu terlihat dari kenyataan di lapangan saat itu bahwa dengan adanya pemungutan PPN oleh Pemungut mengakibatkan terjadinya pajak lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN yang tentunya mendorong Wajib Pajak tersebut untuk meminta restitusi atau pengembalian kepada Negara.
Timbulnya Pajak yang lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut Pajak adalah sebagai akibat perhitungan secara matematis dalam pelaporan Surat Pemberitahuan PPN. Dalam ketentuan Pasal 16 A UUU PPN 1984 diatur bahwa Pajak yang terutang atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut. Hal itu mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran yang hams dipungut sendiri oleh PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN menjadi berkurang dan bila diperhitungkan dengan Pajak yang dapat diperhitungkan maka hal tersebut akan menimbulkan Pajak lebih dibayar. Atas kelebihan bayar tersebut, PKP dapat meminta pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Sebagai akibat dari permintaan pengembalian pajak lebih bayar tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja DJP yang harus meneliti kebenaran proses pemberian restitusi tersebut sehingga menyita waktu dan tenaga pegawai pemerintah yang harus memberikan pelayanan dalam proses pengembalian kelebihan Pajak, dan tentunya secara tidak langsung berpengaruh terhadap penerimaan Negara.
Setelah satu tahun diberlakukan pembatasan terhadap status pemungut sebagaimana dikemukakan di atas, sejak bulan Februari tahun 2005, status pemungut diberlakukan lagi dengan kriteria tertentu. Proses pelaporan dan penyetoran pajak atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sehingga tujuan dari penunjukan Pemungut sebagai perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan Negara dengan cepat dapat mencapai sasaran. Namun demikian, dalam praktek dilapangan banyak Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang telah ditunjuk Pemerintah tidak memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terrealisasinya penerimaan negara.

The second change of the value-added tax law rules improvement and renewal of taxation regulations in order to secure the state's income from tax to finance the development. In reality it's still found many obstacles.
The research question is how the mechanism of collecting value-added tax (VAT) by the collector is? What consideration is used to carry out the tax collecting by the collector and the background of the revocation of the tax collecting board's status? The tax service office's obstacles in watching the report and tax deposit. And finally to know the influence of the revocation of the tax collector's status toward the tax service office's income.
The research method is analytical description at the office of the second foreign capital investment tax service. The result of the research is the obligation of VAT collecting by the board that is arranged in the change of value-added tax law in 1994 reminding the status of the appointing collecting board based on the president's decision. The determination to oblige value-added tax collecting by the board deviates the basic principals of VAT.
As the value-added tax's indirect character, the tax burden lies in the buyers or the consumers of service. And the taxpayers are the entrepreneurs who sell goods and services. The obligation of the tax collector is collecting, deposing, and reporting owed tax. The early status of the tax collector board is the government's representation to quicken the state's income. Some years go by this board hasn't done much. For that reason its authority has been limited since January 2004 and the general mechanism on collecting the value-added tax has been carried out.
The government's revocation of the collector board's status was caused by the collector's inefficiency and distortion. It can be seen that the taxpayers pay more. This encourages them to ask for restitution from the state.
They have to pay tax more because of the mathematical counting. In the law of value-added tax 1984 article 16 says the collecting, deposing, reporting the owed tax by the collector's board. This results the lessening of tax paid and if it is counted it caused some surplus.
Such condition causes many problems, 1. Taxpayers ask restitution. 2. The tax official have to work hard in investigating the report of the asking for restitution, 3. Influence the state's income.
As it's stated before about the limitation of the collectors' status, the new one has been carried out since February 2005. The process of reporting and deposing tax of goods and services from taxpayers to the collector should be done according to the rules in order to increase and quicken the state's income. In fact it hasn't been done.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triwydiasari P.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S9917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rieza Zainal
"Perusahaan pertambangan batubara dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia didasarkan atas suatu Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Pemerintah Indonesia dengan yang memiliki sifat lex specialis derogat lex generalis. Di dalam PKP2B tersebut mengatur segala hak dan kewajiban bagi kedua pihak atas kegiatan usaha termasuk mengenai pajak-pajak dan lain-lain kewajiban perusahaan.
Latar belakang penulisan ini didasari karena adanya perubahan kebijakan publik dalam perpajakan atas pengenaan PPN atas hasil tambang batubara sejak reformasi perpajakan tahun 2000 dengan diterbitkannya suatu kebijakan dalam PP Nomor 144 Tahun 2000 yang mengubah status batubara menjadi Barang Tidak Kena Pajak (BTKP). Dalam implementasinya, proses kebijakan tersebut melalui ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan (instrument fiscal arrangements) menimbulkan perubahan persepsi antara otoritas perpajakan dengan Wajib Pajak sehingga menyulitkan administrasi PPN. Selain itu, diterbitkannya PP tersebut kurang memenuhi asas-asas perpajakan dan perundang-undangan maupun konsepsi dari PPN atas nilai tambah dari hasil tambang batubara. Usaha-usaha dari Wajib Pajak sendiri berupaya kepada pemerintah untuk menunda PP tersebut karena akan merugikan investor maupun harga batubara Indonesia di pasar internasional.
Oleh karena itu atas dasar permasalahan-permasalahan tersebut, maka dalam penulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian atau analisis terhadap perubahan kebijakan PPN atas pengusahaan pertambangan batubara di Indonesia. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskripsi analisis dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan dokumen serta penelitian lapangan melalui kuesioner dan wawancara kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian.
Berdasarkan analisis, bahwa perumusan kebijakan dalam PP tersebut sebagai pelaksana UU PPN hendaknya tidak mengubah atau mengesampingkan ketentuan pada undang-undang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superiors derogat lex inferior). Demi menciptakan kepastian hukum, penyempitan atau perluasan materi tidak dibenarkan menambah norma-norma baru serta tidak dapat mengganti ketentuan perundangan-undangan lama sepanjang mengatur hal yang tidak sama (lex posteriori derogat lex priori). Bagi PKP2B yang terbagi dalam tiga generasi (Generasi I, II dan III), adanya kebijakan tersebut akan membawa konsekuensi pada masing-masing generasi mengalami perlakukan pengenaan PPN yang tidak sama.
Pada akhir tulisan ini, penulis memberikan input bagi pemerintah sebagai tax policy maker , sovereign tax power dan government as resources owner dalam menetapkan kebijakan PPN atas hasil tambang batubara demi memaksimalkan penerimaan negara sehingga menimbulkan keadilan (equality), kepastian (certainty), kemudahan (convenience) dan tidak menimbulkan biaya tambahan ekonomi (economy) bagi masing-masing generasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bugi Umar Seno Aji
"Kontrak bagi hasil merupakan system pengoperasian lapangan minyak dan gas yang mengatur kewajiban kontraktor, cara perhitungan biaya serta cara pembagian keuntungan. Dan pada kontrak bagi hasil pembagian produksi minyak antara Pemerintah dan kontraktor adalah 85% dan 15%. Evaluasi variable kinerja, menunjukkan bahwa secar aumum kontraktor Maxus relative lebih baik dibandingkan kontraktor Total dan Unocal. Pada evaluasi ini digunakan satuan USDollar per barrel, konstan gross revenue dan profit index tertentu sebagai ambang perubahan persen split. Besar perubahan split tergantung pada selisih cost yang perlu dilakukan untuk mencapai ambang profit index. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa dari ketiga kontraktor tersebut, kontraktor Total tidak sesuai dengan metode evaluasi yang digunakan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Silvia M.
"Kilau pesona berbagai hasil tambang di Indonesia mampu menarik minat kalangan investor untuk menanamkan modalnya di bidang pertambangan. Meski gejolak moneter tengah melanda Indonesia, ternyata minat pengusaha asing untuk melakukan bisnis di sini tetap tinggi. Salah satu pemenuhan kewajiban perpajakan yang diterapkan dalam bidang pertambangan adalah pemenuhan kewajiban pajak tahun berjalan atau lebih dikenal dengan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Pokok permasalahan adalah bagaimana ketepatan pemenuhan kewajiban pajak tahun berjalan selama ini di bidang pertambangan. Permasalahan lainnya adalah bagaimana pendapat pihak - pihak yang berkait dengan sistem pemenuhan kewajiban pajak tahun berjalan tersebut serta bagaimana seyogyanya diterapkan pemenuhan kewajiban pajak tahun berjalannya, sehingga lebih mendekati pajak yang terutang di akhir tahun,
Penulisan dalam tesis ini bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Dengan menguraikan data yang diperoleh dari penelitian kemudian mengadakan analisis sehingga dapat ditarik kesimpulan dan memberikan saran yang dianggap perlu. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan melalui penelitian dokumen yang terkait dan data lapangan.
Indonesia mengenal 2 metode pemenuhan kewajiban pajak tahun berjalan, yaitu Metode Pasal 25 ayat (1) atau dikenal dengan Metode Umum dan Metode Pasal 25 ayat (7) atau dikenal dengan Metode Triwulan. Pada pertambangan, perlakuan pajak tahun berjalan diterapkan dengan Metode Pasal 25 ayat (1). Penerapan Metode Pasal 25 ayat (1) pada perusahaan pertambangan selalu mengalami perbedaaan yang signifikan, baik pada saat produksi naik maupun pada saat produksi menurun. Hal ini tentu berpengaruh bagi cash flow perusahaan pertambangan. Sementara, Pasal 25 ayat (7) Undang - Undang Pajak Penghasilan tidak memberikan defenisi " badan - badan tertentu lainnya" yang diperkenankan menerapkan Metode Pasal 25 ayat (7),
Pemenuhan kewajiban pajak tahun berjalan pada perusahaan tambang berdasarkan kenyataan seyogyanya diizinkan menggunakan Metode Pasal 25 ayat (7), sehingga tidak bertentangan dengan prinsip perpajakan yaitu keadilan dan kepastian hukum. Peraturan perundang-undangan seyogyanya tegas, jelas sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda dari Wajib Pajak dan fiskus."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Kusumabangsa
"Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) bagi pemungut berdasarkan asas pemungutan pajak "The Four Maxims". Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara terhadap 11 narasumber yang berasal dari Pemungut PPN PMSE dan Otoritas Pajak serta analisis dokumen berupa data pembayaran dan pelaporan PPN PMSE.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemungutan PPN PMSE di Indonesia telah memenuhi asas keadilan, kenyamanan dan efisiensi berdasarkan "The Four Maxims". Namun pemungutan PPN PMSE di Indonesia belum memenuhi asas kepastian meliputi ketidakpastian definisi di dalam peraturan, status hukum pemungut, mekanisme penentuan Dasar Pengenaan Pajak, prosedur perpajakan, dan pengenaan sanksi.

This research aims to evaluate the Value-added Tax (VAT) collection on trading through the electronic system (TTES) from the TTES VAT Collector’s perception, based on "The Four Maxims" tax collection principle. This research uses a qualitative research method with a case study approach. Data was collected using interview techniques with 11 respondents from TTES VAT Collectors and tax authorities and document analysis in the form of TTES VAT payment and report data.
The results showed that TTES VAT collection in Indonesia has fulfilled the equality, convenience and efficiency principles based on "The Four Maxims". However, the collection of TTES VAT in Indonesia has failed to meet the criterion of certainty, owing to uncertainties in the definition, the legal status of the collector, the method for calculating the tax basis, tax procedures, and the enforcement of fines.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suhendrawan
"Mekanisme pemungut PPN/WAPU PPN telah dimanfaatkan oleh kontraktor kontrak karya/Badan-badan Tertentu utk melakukan keterlambatan penyetoran PPN. Dengan dicabutnya ketentuan pemungut PPN pada Badan-badan Tertentu oleh pemerintah telah menimbulkan reaksi dari Badan-hadan Tertentu khususnya Badan-badan Tertentu pada sektor Migas untuk tetap menjadi Pemungut PPN/WAPU PPN. Kontrak Karya yang ditandatangani setelah tahun 1994 menyebutkan bahwa Kontraktor sebagai Pemungut Pajak berkewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN berdasarkan UU PPN tahun 1994 dan peraturan pelaksananya sehingga berdasarkan Kontrak Karya tersebut Kontraktor Kontrak Karya masih berstatus sebagai Pemungut PPN.
Dalam metode pemajakan pertambahan nilai terikat oleh 4 asumsi dasar yang merupakan ciri khas dari Pajak Pertambahan Nilai. (1) Sasaran akhir dari pemajakan pertambahan nilai adalah penerima unsur2 pertambahan nilai tsb, (2) pemungutan pajaknya terjadi di tempat dan pada waktu pertambahan nilai tersebut tercipta, (3) penanggung jawab perhitungan pemungutan dan penyetoran pajak ke kas negara adalah tempat terciptanya pertambahan nilai tersebut dan (4) beban pajak tersebut dapat atau secara konsep dimaksudkan untuk dilimpahkan kepada para konsumen. Pada mekanisme khusus/WAPU PPN, telah terjadi menyimpangan terhadap asumsi dasar pemajakan pertambahan nilai karena penanggung jawab perhitungan pemungutan dan penyetoran pajak ke kas negara dilakukan bukan pada tempat terciptanya pertambahan nilai tapi pada tempat dikonsumsinya pertambahan nilai.
Penelitian dilaksanakan di PT XYZ. Metode yang digunakan bersifat deskriptif analisis dengan pcndekatan kualitatif. Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini bersamaan dengan pengumpulan data-data yang didapat. Di samping itu dibangun kerangka konseptual untuk membantu dalam melakukan analisa pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa status sebagai pemungut PPN masih diminati oleh Badan-badan Tertentu sebagai satu sarana unluk mengamankan kewajiban pembayaran PPN atas konsumsi barang dan jasa yang diperoleh dari Rekanan Badan-badan tertentu. Setelah PT XYZ tidak berstatus sebagai WAPU PPN dikelahui bahwa terdapat rekanan PT XYZ/Pengusaha Kena Pajak yang belum mengerti mekanisme PPN secara umum dan juga terindikasi adanya niat untuk melakukan penyelundupan pajak. Salah satu kelemahan mekanisme Pajak Pertambahan Nilai adalah sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak untuk itu dituntut adanya pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak serta tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dalam mekanisme khusus/WAPU PPN, Pemungut PPN dapat membantu melakukan pengawasan dalam melaksanakan kewajiban PPN karena setoran pajak ke kas negara dilakukan oleh WAPU PPN. Pada mekanisme khusus/WAPU PPN saat terutang Pajak Penambahan Nilai adalah saat dilakukan pembayar tagihan kepada rekanan oleh WAPU PPN. Hal ini tclah dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya untuk melakukan keterlambatan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dengan cara menunda pembayaran tagihan kepada rekanan maupun menunda penyetoran PPN. Untuk itu PT XYZ telah menerapkan beberapa prosedur/program yaitu; Cash Discount , E-Invoicing dan Surat Setoran Pajak/SSP yang berbasis elektronik didalam proses pembayaran Tagihan kepada Rekanannya dan setoran pajak untuk meminimalkan tingkat keterlambatan pembayaran invoice-invoice dari Rekanan PT XYZ.
Atas dasar penelitian tersebut hendaknya pemerintah tegas menentukan kebijakan untuk meniadakan Pemungut PPN atau tetap meneruskan kebijakan menetapkan Badan-badan tenentu sebagai pemungut PPN . Ketegasan kebijakan itu harus diikuti dengan kepastian hukum sehingga tidak ada pertentangan dalam hukum yang menjadi dasarnya.

Work contract-based contractors/certain institution have long been taking advantages of the VAT/ VAT COLLECTOR mechanism to delay their VAT payment. The annulment of stipulation by the Govemmcnt on VAT collection performed by certain institutions has resulted in reaction from certain companies engaged in oil and gas sector (Migas) to continue being VAT COLLECTOR. Besides, work contract signed after 1994 stipulates that the contractors as VAT COLLECTORS are obliged to collect, to deposit, and to report VAT in accordance with Law No. 11 on VAT.
Actually, VAT is theoretically based on four fundamental assumptions that: (1) the very targets of value-added tax are receivers of the value-added elements; (2) tax collection takes place at the place where and at the time when add-values are created; (3) the place creating add value is responsible to collect and to pay value-added tax to the state treasury; and (4) tax burden can conceptually be transferred to consumers. Special mechanism of VAT/VAT COLLECTOR has been marred by distortion to the fundamental assumption of VAT since the responsibility to collect and to deposit VAT to the State Treasury is bome not by the place producing the add values but by the place consuming the add values.
This research was conducted at PT XYZ with descriptive-analytic method and qualitative approach. The data were analyzed at the time they were collected. ln addition, a conceptual framework was made for analysis with qualitative approach.
The results of this research show that certain companies remain interested in VAT COLLECTOR status to secure their obligation to pay VAT upon consumption goods and services gained from their business partners. After VAT COLLECTOR status of PT XYZ was invalidated, it was found that many partners of the Company, or company taxpayers, have not understood the general mechanism of VAT. In addition, an indication that many PT XYZ's partners have an intention to embezzle VAT was alsorevealed in this research. One of the weaknesses of the current VAT collection mechanism is that it is prone to tax embezzlement. Therefore, it is imperative to apply higher level of monitoring and to demand high level of compliance from taxpayers in performing their obligations. In the Special mechanism of VAT Collection, VAT COLLECTORS can give their assistances to monitor VAT payment because it is VAT COLLECTORS that deposit VAT to the State Treasury. Under the special mechanism of VAT COLLECTOR, the indebtedness time of VAT is the time when VAT COLLECTORS make payment upon the invoice from their partners. Actually, Work Contract-based contractors/certain Institutions have taken advantages from this condition by delaying their VAT payments to the State Treasury. ln light of the above reasons, PT XYZ has applied several procedures or programs, including Cash Discount and E-invoicing in payment process to its partners and electronic-based Tax Payment Receipt (SSP) in payment process to the State Treasury in order to minimize delay in invoice payment fiom PT XYZ's partners.
Based on the research results and in order to provide legal certainty in VAT collection, the Govemment should decide whether or not it will continue the policy to appoint certain institutions as VAT collectors. This decision should be coupled by legal certainty to avoid legal contradiction.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>