Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50740 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransiska Titiwening
"Dalam kehidupan masyarakat kota metropolitan Jakarta yang kompleks, persoalan identitas menjadi sebuah permasalahan yang penting. Media, seperti televisi majalah dan internet membewa pengaruh besar bagi kehidupan dan gaya hidup masyarakat kota, termasuk di dalamnya permasalahan identitas. Media membentuk image yang membangun identitas. Identitas sebagai hasil bentukan media menjadi sesuatu yang selalu berubah. Media menyediakan berbagai macam pilihan identitas bagi individu dan individu membangun identitas melalui media.
"Punk" merupakan salah satu pilihan identitas remaja metropolitan yang keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari image yang dibentuk oleh media. "Punker" menentukan "batas" identitasnya sendiri dan melalui media, fanzine dan newsletter mereka membentuk image "Punk", menyebarkannya ke berbagai tempat, melintasi "batas" teritorial.
"Punk" menjadi sebuah permasalahan metodologis ketika setiap individu yang mengaku sebagai "Punker" menentukan "batas" identitasnya sendiri dan ia masuk di dalamnya. Seorang yang mengaku sebagai "Anarcho Punk" punya `batas' identitas "Punk" yang berbeda dengan "Street Punk''dan "Eco Punk", demikian pula dengan pengakuan "Punk politis" dan "Punk non politis". Mereka masing-masing mengaku sebagai "Anak Punk" yang sebenarnya, mereka adalah representasi dan identitas "Punk".
Tesis ini menawarkan konsep "zona" sebagai alternatif penyelesaian permasalahan metodologis dalam penelitian antropologi pada masyarakat kompleks. "Zona" merupakan "ruang identita"', dilihat sebagai sebuah "arena" dengan "batas" abstrak yang dibentuk oleh komunitas, dan bersama dengan representativitas mewujudkan identitas. Identitas dibangun oleh komunitas melalui dialektika antara "zone" dan repesentativitas. "Zona" merupakan ide yang dibangun oleh komunitas dan representativitas, yang diaktualisasikan dalam penampilan fisik, tingkah laku; merupakan sarana untuk mewujudkan ide dan mendapat pengakuan dari yang lain.
"Zona Punk" dibentuk oleh kaum "Punker" melalui media, musik dan gaya hidup "Punk" sebagai representasi dari identitas "Punk". "Batas zona" menjadi ada ketika seseorang membuat pengakuan bahwa dirinya adalah "Punker", ketika ia menganggap dirinya adalah representasi dari identitas "Punk".
Konsep "zona" diharapkan bisa memberikan pemecahan persoalan identitas dalam metodologi antropologi, di mana peran media sangat besar dalam pembentukan identitas remaja kota metropolitan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
C. Dewi Hartati
"Tesis ini pada dasarnya mengkaji bagaimana perubahan identitas orang Tionghoa di Jakarta dilihat dari penggunaan nama marga. Dalam hal ini fokus penelitian penulis adalah penggunaan nama marga di kalangan masyarakat Tionghoa di Jakarta sebagai suatu identitas , perubahannya yang disebabkan oleh peraturan pemerintah, fungsinya bagi masyarakat Tionghoa dan jenis jenis identitas yang terdapat dalam masyarakat Tionghoa di Jakarta berdasarkan penggunaan nama marga.
Dalam mengkaji masalah ini penulis menggunakan teori interaksionis yang menitikberatkan pada pandangan bahwa manusia adalah produk dari proses interaksi sosial. Pemilihan pada teori ini adalah didasarkan pada asumsi bahwa dalam teori interaksionis ini terdapat simbol-simbol dalam identitas kesukubangsaan yang salah satu di antaranya adalah nama marga. Di dunia saat ini nama marga digunakan sebagai salah satu simbol dari identitas kesukubangsaan.
Pengkajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode etnografi, yang memusatkan perhatian pada penggunaan nama marga di kalangan masyarakat Tionghoa sebagai suatu identitas. Metode pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan, wawancara mendalam, dan penggunaan literatur yang relevan.
Hasil penelitian yang penulis lakukan pada orang Tionghoa di Jakarta dari berbagai macam marga memperlihatkan bahwa mereka tetap menggunakan nama marga sebagai suatu identitas karena nama marga merupakan warisan leluhur yang digunakan dalam lingkup terbatas dan juga dalam interaksinya dengan sesama orang Tionghoa meskipun pada masa Orde Baru penggunaan nama marga. dan juga nama Tionghoa dilarang oleh pemerintah. Dalam mempertahankan penggunaan nama marga Tionghoa, orang Tionghoa juga tidak menolak untuk mengubah nama Tionghoanya menjadi nama Indonesia karena peraturan pemerintah.
Dengan cara yang tidak berbenturan langsung dengan pemerintah ataupun dengan orang-orang non-Tionghoa, orang Tionghoa berupaya mempertahankan nama marga dengan melakukan. resistensi pasif. Yang dimaksud dengan resistensi pasif adalah suatu penolakan untuk menyerah pada lingkungan yang berubah, kekuasaan, pemaksaan atau kekerasan tanpa memperlihatkan perlawanan (secara lisan atau lainnya) terhadap orang yang melakukan pemaksaan tersebut atau lingkungan yang berubah. (Horace B & English, 1958 : 460). Orang Tionghoa menolak untuk menyerah pada suatu keadaan yang berubah dan juga berbagai peraturan yang bersifat diskriminatif yang diterapkan pemerintah kepada golongan ini. Mereka tetap berupaya untuk mempertahankan nama marga karena nama marga merupakan suatu warisan dari leluhur yang harus dipertahankan. Namun juga tidak memperlihatkan perlawanan baik secara lisan atau lainnya.
Dengan seperangkat pengetahuan atau set of knowledge yang dimiliki orang Tionghoa akan konsep datong yang berarti satu dunia atau universal harmony dan juga konsep chuantong yang berarti tradisi sangat membantu orang-orangTionghoa berkompromi dan menggunakan kebijaksanaan yang praktis dalam memecahkan kesulitan yang mereka hadapi. Hal ini juga merupakan strategi adaptasi yang dilakukan oleh orang Tionghoa untuk mempertahankan budayanya dalam hal ini nama marganya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12245
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Damai Hati
"Tesis ini memuat penelitian tentang proses representasi sosial dalam mengkonstruksi identitas tempat tinggal, Identitas tempat tinggal selama ini dikenal sebagai hasil dari kognisi manusia terhadap tempat tinggal yang dilihatnya (Prohansky, 1983). Hal ini bisa dilihat dari aktivitas, fasilitas, status sosial penghuni, dan suasana tempat tinggal. Dalam psikologi sosial, identitas tempat tinggal sebenarnya bukan merupakan bentuk yang sudah jadi dan dicerminkan dalam tempat tinggal, melainkan identitas tempat tinggal dikonstruksi sedemikian rupa sehingga tempat tinggal tersebut mampunyai identitas yang dapat diterima oleh masyarakat. Dalam mengkonstruksi identitas tempat tinggal ini terdapat proses representasi sosial sehingga terlihat bahwa identitas tempat tinggal merupakan hasil dari proses sosial yang direpresentasikan oleh agen sosial, yaitu kelompok produsen.
Dalam tesis ini, representasi sosial yang digunakan adalah tipe hegemonic, di mana kelompok produsen (pengembang, arsitek, media, dan marketer) aktif mengkonstruksi identitas tempat tinggal sedangkan kelompok konsumen (calon penghuni) hanya penerima representasi dari kelompok produsen.
Penelitian menunjukkan bahwa identitas tempat tinggal memang dikonstruksi dan awal pembangunan tempat tinggal. Konstruksi identitas tempat tinggal merupakan bagian dari tahap perencanaan dari kelompok produsen. Di dalam prosesnya, terdapat penambahan unsur-unsur bernilai guna menarik kelompok konsumen. Penerimaan identitas tempat tinggal disesuaikan kelompok konsumen sehingga identitas tempat tinggal mampu memberikan identitas kelompok konsumen."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Togar
Medan : Bina Media, 2006, 2006
306.092 NAI ct
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Ayu Maharani
"Skripsi ini membahas kemunculan musik Indorock yang dikaitkan dengan peristiwa repatriasi orang-orang Indo ke Belanda akibat peristiwa dekolonisasi. Penelitian ini akan memakai metode kualitatif deksriptif yang bertumpu pada teori identitas budaya Stuart Hall. Dalam proses penyesuaian terhadap kondisi kebudayaan yang baru, orang Indo menciptakan sebuah jenis musik baru yang dinamakan musik Indorock. Musik Indorock akan dikaitkan dengan proses pencarian identitas orang Indo sebagai pendatang baru di tengah masyarakat multikultural Belanda.

This undergraduate thesis examines the emergence of Indorock music pertaining to the Indo’ repatriation to the Netherlands due to decolonisation. It will use a descriptive qualitative research method based on Stuart Hall’s identity theory. During the process of adaptation with a new culture, the Indo created a new genre of music called Indorock. This music will be associated with the quest of identity by the Indo as newcomers within the multicultural society of the Dutch."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S53217
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyandra Faza Qintara
"Bersamaan dengan perang informasi dan manipulasi media di bawah kontrol pemerintah semenjak operasi militer Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, pemerintah Rusia memblokir akses masyarakat ke media sosial populer asal barat, seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Akibatnya, aplikasi asal Rusia, Telegram, meraih popularitas di Rusia dan dimanfaatkan oleh para millitary bloggers pro-Rusia untuk menyebarkan kesadaran akan konflik yang tengah menjadi sorotan masyarakat. Penelitian ini berusaha menjelaskan motivasi yang mendasari penyebaran informasi di kanal Telegram @maryananaumova. Dengan menggunakan metode analisis konten, penulis menemukan pola konten berulang yang didominasi oleh tuduhan dan ujaran kebencian terhadap Ukraina, serta narasi pencitraan/image branding Rusia selama bulan April-Mei 2022. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa identitas nasional dan afiliasi politik Maryana memiliki pengaruh dalam membentuk narasi di kanal Telegram yang cenderung memprioritaskan harga diri kelompok pro-Rusia.

Along with the cyber war and media manipulation under government control since the Russian military operation of Ukraine in February 2022, the Russian government has blocked public access to popular western social media, such as Instagram, Facebook and Twitter. As a result, a Russia-based social media called Telegram gained popularity and is used by pro-Russian military bloggers to spread awareness of the issue that was currently in focus among society. This research seeks to explain the motivation underlying the dissemination of information on @maryananaumova Telegram channel. By utilizing content analysis methods, the author identified recurring content patterns dominated by accusations and expressions of hatred towards Ukraine, as well as Russia’s image branding narrative throughout April-May 2023. The findings of this research demonstrate that Maryana's national identity and political affiliation exert influence in shaping the narrative on the Telegram channel, which tends to prioritize the dignity of pro-Russian groups."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Ardi Timbul Hartadon
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas face negotiation yang terjadi antara generasi muda Batak
sebagai keturunan perantau dengan generasi tua dalam usaha mempertahankan
identitas budaya asal. Penelitian ini menggunakan teori face negotiation untuk
membahas bagaimana konsep muka menyertai dua budaya berbeda dalam
mengendalikan terjadinya konflik. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
paradigma konstruktivis, pendekatan kualitatif, menggunakan metode etnografi.
Subjek penelitian dipilih melalui strategi purposive. Hasil penelitian menunjukkan
berdasarkan pembagian cluster dalam teori face negotiation dapat digambarkan
face orientation generasi muda Batak adalah both/mutual face, face movement
yang diterapkan adalah jenis mutual face protection moves, face interaction
strategis adalah mengedepankan high context, gaya konflik komunikasi yang
sering terjadi adalah compromising, dan face content domain adalah reliability
face yang mengedepankan kepercayaan.

ABSTRACT
This thesis studies about face negotiation between Bataknese young generation
which are part of migrant generation in Jakarta and their parents to maintain
ethnic identity of host culture. This studies used face negotiation theory to explain
about face concept between two different culture in maintain conflict. This studies
used constructivism paradigm, qualitative approach, and ethnography method.
Subject in this studies are choosen by purposive sampling by criteria. The result of
this studies shows that based on cluster of face negotiation theory, face orientation
of bataknese young generation is both/mutual face, and also used other face
upgrading moves of face movement criteria. The face interaction strategies is
prior to high context, compromising is conflict communication style prefered, and
face content domain is reliability face, This thesis studies about face negotiation between Bataknese young generation
which are part of migrant generation in Jakarta and their parents to maintain
ethnic identity of host culture. This studies used face negotiation theory to explain
about face concept between two different culture in maintain conflict. This studies
used constructivism paradigm, qualitative approach, and ethnography method.
Subject in this studies are choosen by purposive sampling by criteria. The result of
this studies shows that based on cluster of face negotiation theory, face orientation
of bataknese young generation is both/mutual face, and also used other face
upgrading moves of face movement criteria. The face interaction strategies is
prior to high context, compromising is conflict communication style prefered, and
face content domain is reliability face]"
2015
T44576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisa Dwi Wardani
"Identitas bisa diproduksi melalui representasi yang merupakan sebuah sistem simbolik. Sementara itu, sebuah representasi memiliki karakteristik yang khas, yaitu menunjuk kepada sesuatu yang lain, yang bukan dirinya. Namun seringkali sebuah representasi justru beralih menjadi apa yang direpresentasikannya dan seolah-olah menjadi `realitas' yang baru. Melalui representasi tersebut, sebuah identitas baik yang lama ataupun baru bisa menjadi seolah-olah nyata, dan bukan sebuah rekaan.
Desain-desain Dagadu berusaha memperkuat citra-citra tertentu yang positif mengenai kota Yogya, terutama sebagai kota wisata melalui visualisasi dan konotasi positif dengan memadukan berbagai ikon, gambar serta kata-kata. Konotasi-konotasi tersebut hadir sedemikian rupa sehingga nampak natural dan seolah-olah tak terbantahkan. Identitas kota Yogya antara lain sebagai kota wisata, kota pelajar, bahkan kota plesetan dikonstruksi melalui representasi yang diatur sedemikian rupa untuk menimbulkan makna seperti yang diinginkan Dagadu.
Produk budaya populer seperti kaos Dagadu Djogdja berperan sebagai alat ideologis karena produk kaos tersebut bisa sdibaca sebagai sebuah konsep yang nyata dan diterima sebagai fakta secara bulat oleh mereka yang merasa menjadi bagian dari sistem makna yang dibangun oleh produsen kaos Dagadu tersebut. Di batik representasi mengenai kota Yogya yang diciptakan oleh Dagadu terdapat sebuah kepentingan demi berputarnya roda ekonomi dan budaya yang akan menghasilkan keuntungan bagi Dagadu. Dengan makin kokohnya citra positif mengenai kota Yogya yang nyaman dan istimewa sebagai kota wisata, identitas kota Yogya sebagai kota wisata akan semakin mantap. Seiring dengan makin menariknya citra kota Yogya sebagai kota wisata, diharapkan akan semakin banyak wisatawan yang datang mengunjungi Yogya. Dengan demikian, semakin besar pula peluang Dagadu untuk memasarkan kaosnya sebagai cinderamata.
Dengan memakai pendekatan desain moderen dan populer, kaos-kaos Dagadu yang kebanyakan berupa plesetan clan bersifat menyindir atau menertawakan berbagai hal menjadi tidak menyakitkan bagi yang merasa tersindir, bahkan mungkin saja bisa tertawa bersama Dagadu. Hal tersebut pada akhirnya menguntungkan Dagadu karena dengan `diplomasi tawa' semacam itu `perdamaian' akan terjaga dan roda ekonomi dan budaya akan tetap berputar bagi Dagadu khususnya. Resistensi yang menjadi sifat dasar plesetan dan kaos oblong telah terkomodifikasi dalam kepentingan ideologi kapitalisme yang senantiasa mementingkan profit dan pasar.
Dalam menjaga mottonya yang berbunyi `smart, smile and Djokdja' Dagadu memiliki batasan-batasan dalam meloloskan sebuah desain untuk naik cetak atau tidak. Batasan-batasan tersebut mengakibatkan munculnya kesan elit dalam desain kaos Dagadu yang menjadi bagian dari identitasnya. Maka, tindakan membeli kaos Dagadu bisa dibaca sebagai wujud politik identitas atau usaha untuk membedakan diri dari orang atau kelompok lain.

Identity can be produced through representation which is a symbolic system. A specific characteristic of representation is its nature to always refer to something other than itself. Nevertheless, a representation may transform into what it represents and becomes a new `reality'. Through a representation, an identity, whether it is an already existing one or a new one, can be presented as if it is a fact, and not created.
Dagadu's designs try to establish certain positive images about Yogya, especially the image of a well known tourist destination through visualization and positive connotations which come as the result of combining various icons, graphics, and words. Those connotations present themselves in such a way so that they seem or feel so natural, as if irrefutable. Identities of Yogya as a tourist destination, a student town, and even as town of `plesetan', among others, are constructed through representations which are arranged in such a way to imply meanings desirable to Dagadu.
A product of popular culture like a Dagadu T-shirt can enact as an ideological tool because the product may be read by those who voluntarily become a part of the system of meanings built by Dagadu as a real concept, and that it is accepted as a fact. Behind every representation created by Dagadu lies Dagadu's interest to keep the economic and cultural wheels rolling, as it will produce profit for Dagadu. The more the positive image of Yogya as a pleasant and extraordinary tourist destination is imposed, the more people believe in its strong identity. As Yogya's image as a tourist destination gains more popularity, more tourists will visit it. Thus, Dagadu has an even bigger chance to sell its products.
Applying modern design and popular design approach, Dagadu T-shirts, most of which contains `plesetan' which basically mock at many things, become less irritating for those who regard themselves to be the object of mockery. They may even laugh with Dagadu. This of course benefits Dagadu because laughter has been proven to be a good ambassador in negotiating ?peace? in order to keep the economic and cultural wheels rolling, especially for the sake of Dagadu. Resistance which has been the main characteristic of ?plesetan? and T-shirt is now commodified by capitalism whose interest is to always put profits and market at top priorities.
To sustain its motto of ?smart, smile and Djogdja?, Dagadu has been determined to make its designs meet certain criteria before they can be executed or produced. Those criteria cause an elitist impression on Dagadu T-shirts. This elitist impression is attached as a part of its identity. Therefore, an act of buying a Dagadu T-shirt can be interpreted as a materialization of an identity politics or an attempt to distinguish oneself from others.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surjadi
"Studi ini membahas artikulasi identitas-identitas kultural di Provinsi Riau yang muncul sebagai tanggapan atas kepengaturan desentralisasi. Riau yang merupakan salah satu provinsi berpendapatan per kapita terbesar, adalah salah satu kisah sukses desentralisasi pascaSoeharto. Provinsi ini juga menjadi tempat tinggal bagi kelompok warga Melayu yang terbesar di Indonesia. Namun mereka bukanlah penduduk mayoritas di Provinsi Riau. Artikulasi identitas kultural didalami menggunakan kerangka pemikiran Stuart Hall, sedangkan kepengaturan governmentality dianalisis dengan kerangka konseptual Michel Foucault. Terjadi kontestasi antar berbagai identitas kultural yang diwarnai dengan relasi kekuasaan yang rumit antara aktor-aktor di Jakarta dan Riau.

This study discusses various articulations of cultural identities in Riau Province, which arise as responses to the governmentality of decentralization. Riau as one of the provinces with the largest income per capita, is a success story of post Soeharto decentralization. The province is also home to the largest Malay group in Indonesia. However, they are not the majority population in Riau. Articulation of cultural identity is explored from the perspective of Stuart Hall, while governmentality is analised using Michel Foucault rsquo s conceptual framework. There are contestations among diverse cultural identities colored by complex power relations between actors in Jakarta and Riau.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2247
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurmalisa
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan identitas ketegalan yang terlihat sebagai strategi budaya dalam memposisikan puisi tegalan yang berkontestasi dengan budaya dominan. Korpus penelitian berupa tiga antologi puisi tegalan yaitu Ruwat Desa (1998), Ngranggeh Katuranggan (2009), dan Ganti Lakon Sintren dadi Ratu (2014). Melalui pendekatan strukturalisme dan analisis stilistika, diketahui bahwa puisi tegalan ditulis dengan menggunakan bahasa tegalan, yang dipengaruhi oleh gaya puisi Indonesia modern, dan menjadi media untuk merepresentasikan identitas ketegalan. Kajian semiotik pada struktur teks puisi tegalan memperlihatkan adanya objek yang dibaca sebagai penanda semiosis dalam setiap antologi yang mengkonstruksi identitas ketegalan, yaitu identitas bahasa, identitas budaya, dan identitas wong cilik. Sebagai subbahasa Jawa, bahasa tegalan diposisikan marginal dan dilekati stigma negatif sebagai bahasa kelas rendah yang kasar, tidak santun, dan apa adanya. Di sisi lain, stigma ini dimanfaatkan untuk merepresentasikan identitas budaya Tegal dalam teks puisi dan pemosisian orang Tegal sebagai wong cilik yang terdominasi. Antologi puisi tegalan tidak hanya menyajikan simbol-simbol yang bermakna konotasi, tetapi juga menjadi cara menyajikan mitos. Mitos-mitos yang ada di dalam teks memperlihatkan ideologi perlawanan terhadap budaya dominan. Dengan demikian, puisi tegalan merupakan salah satu wujud budaya yang memperlihatkan resistensi, kontestasi, dan eksistensi sastrawan tegalan dalam mengkonstruksi identitas budayanya, sekaligus memosisikan sastra tegalan dalam khazanah kesusastraan Indonesia dan daerah.

This study aims to reveal the identity of Tegalness, which is seen as a cultural strategy in positioning Tegalan poetry that contests the dominant culture. The corpus of this research is taken from three tegalan poetry anthologies titled Ruwat Desa (1998), Ngranggeh Katuranggan (2009), and Ganti Lakon Sintren Dadi Ratu (2014). Through structuralism and stylistics approach, it is clear that tegalan poetry, which is written in tegalan language, influenced by modern Indonesian poetry, is a medium to represent tegalness identity. The semiotic study on the structure of Tegalan poetry shows the existence of the object that is read as semiosis markers in each anthology that constructs tegalness identity; language identity, cultural identity, and poor people identity. As a sub-language of Java, Tegal language has been positioned marginally with many negative stigmas. This language is known as a low-class language which is rude, disrespectful, and as it is. On the other hand, this stigma is also used to represent the cultural identity of Tegal people through the text of poetry. It also relates to the positioning of the people as the dominant underprivileged community. The anthology of tegalan poetry not only presents symbols with connotations but also becomes a way of presenting myths. The myths inside the text show the ideology of resistance to the dominant culture. Thus, tegalan poetry is a culture that shows resistance, contestation, and the existence of tegalan writers in constructing their cultural identity, as well as positioning tegalan literature in the Indonesian literature and local languages."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>