Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104512 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nita Nur Septy
"Penelitian mengenai ideologi teks Undang-Undang tentang Penyiaran No.24/1997 yang diproduksi pada era rezim Orde Baru dilakukan dengan alasan banyaknya fenomena yang menunjukkan intervensi pemerintah berupa pencekalan dan pembatasan pada kebebasan pers.
Tujuan penelitian kualitatif ini berusaha menggali makna dan pesan tersembunyi yang terdapat dalam teks UU Penyiaran, dan mencari ideologi siapa yang dileburkan dalam teks, siapa yang diuntungkan. Selain melihat proses produksi teks yang menitikberatkan pada proses interpretasi/konsumsi teks dalam dimensi praktik wacana, penelitian ini pun ingin mengungkapkan pergumulan ideologi antara kelompok kepentingan.
Pendekatan teori Kritis dipergunakan untuk mengupas kebenaran yang dianggap palsu dari proses produksi dan konsumsi teks UU Penyiaran dan jalinannya dengan konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya pada era Orde Baru. Paradigma Kritik secara metodologis bersifat dialektis dan dialogis yaitu elaborasi diskusi antara peneliti dengan realitas subyek penelitian (Guba & Lincoln, 1994:109). Pengalaman subyektif peneliti sebagai hasil interaksi dengan teks dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan interpretasi atas pasal-pasal dalam UU tentang Penyiaran No.24/1997.
Data penelitian berasal dari data primer berupa wawancara mendalam, dan salinan teks Undang-Undang Penyiaran No.24/1997 yang telah diundangkan tanggal September 1997 menjadi bahan interaksi/observasi. Wawancara mendalam dengan informan, terdiri dari : Ishadi SK (wakil birokrat), A. Muis dan Loebby Loqman (Pakar hukum), Riza Primadi dan D. Assegaf (Praktisi), Hinca Panjaitan (key informan sekaligus wakil LSM). Sedangkan data sekunder berupa risalah rapat penyempurnaan UU tentang Penyiaran No.24/1997, hasil berbagai seminar dalam analisis konsumsi teks, serta literatur lainnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: ideologi teks UU Penyiaran tersebut lebih menguntungkan penguasa. Teks UU penyiaran sebagai produk hukum rezim Orba, sama sekali tidak memberi nafas pada kebebasan pers dan ruang gerak bisnis media untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Penggugatan antara pihak-pihak berkepentingan terjadi dalam tataran praktik wacana konsumsi teks. Secara kontekstual, budaya politik Orba secara struktural telah menjadikan Undang-undang tentang Penyiaran sebagai alat perpanjangan tangan pemerintah yang berkuasa. Kentalnya budaya patemalistik dan `Asal Bapak Senang' dari wakil rakyat - memberikan kontribusi besar atas terciptanya UU yang digodok DPR menjadi bersifat 'represif state apparatus' dengan mengemasnya lewat slogan pembangunan yang berasaskan Pancasila sebagai 'ideological state apparatuses' hegemoni negara saat itu."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singgih Sasongko
"Tesis ini berangkat dari pertanyaan pokok yang intinya mempertanyakan bagaimana interaksi antara negara, media dan civil society dalam bingkai ekonomi-politik negara Orde Reformasi (Era Transisi). Penulis melihat adanya pertarungan berbagai macam kepentingan dalam menyusun kebijakan penyiaran di. Indonesia yang ternyata sangat dipengaruhi oleh dinamika interaksi ketiga komponen tersebut. Secara lebih spesifik, penelitian ini mencoba menyajikan realitas empiris menyangkut kebijakan penyiaran yang diterapkan oleh pemerintah terhadap stasiun TVRI.
Metode yang digunakan untuk menggambarkan secara rinci dan jelas topik yang dibahas adalah metode Studi Kasus. Sedangkan pendekatan yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam studi ini adalah pendekatan ekonomi-politik kritis. Pendekatan ini umumnya berangkat dari perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan. dan mekanisme kerja kekuatan pasar media (McQuail, 1996:63). Selain itu, implikasi bagi kepentingan publik hanya dapat dipahami secara lebih komprehensif jika digunakan pendekatan ekonomi-politik kritis karena era transisi ditandai oleh adanya tarik-ulur dan benturan kepentingan antara variabel-variabel ekonomi dan variabel-variabel politik.
TVRI digunakan sebagai fokus kajian dalam penelitian ini mengingat selarna ini keberadaannya masih dianggap penting dan ternyata TVRI memiliki dinamikanya sendiri ditengah maraknya industri pertelevisian di Indonesia. Selain itu, eksistensi TVRI akan semakin diperhitungkan seiring dengan perubahan status yang disandangnya sebagai lembaga penyiaran publik, sebuah lembaga yang mempunyai posisi sangat strategis di era demokrasi.
Penibahasan tentang W No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran digunakan untuk melihat lebih tajam bagaimana realitas empiris kebijakan yang ditempuh oleh negara dalam interaksinya yang dinamis dengan media dan civil society/publik dalam konteks era Orde Reformasi. Sebagai sebuah produk hukum, UU Penyiaran ini ternyata masih mengundang kontroversi yang begitu dahsyat karena bersinggungan langsung dengan kepentingan berbagai kelompok.
Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa ada penibahan yang cukup mendasar menyangkut pola hubungan kekuasaan antara negara - media -- dan masyarakat. Namun dernikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa perubahan struktur ekonomi-politik telah memunculkan peran kekuatan masyarakat dan media dalara mengontrol kekuasaan negara (state power). Perubahan pola hubungan ini tercermin dalam kebijakan penyiaran di Indonesia: Pertarna, intervensi pemerintah dalam bidang penyiaran sudah tidak terlalu dominan. Indikasi ini terlihat dengan dihapuskannya lembaga penyiaran negara dan diakuinya lembaga penyiaran publik, juga lembaga penyiaran komunitas. Selain itu, pemerintah juga tidak bisa lagi mengatur lembaga penyiaran melalui sebuah lembaga khusus bentukan negara atau lembaga di bawah departemen negara. Pengaturan institusi penyiaran diserahkan kepada sebuah lembaga independen yakni Komisi Penyiaran Indonesia (PI) yang tidak bertanggungjawab kepada Pemerintah tetapi bertanggungjawab kepada DPR/DPRD sebagai representasi rakyat.
Kedua, kontroversi seputar pengesahan UU Penyiaran No. 32 Tabun 2002 mencerminkan masih adanya benturan kepentingan antara negara dan publik. Di antara kelompok masyarakat/publik sendiri muncul pro-kontra khususnya antara kelompok pemilik modal dan praktisi penyiaran yang menolak tegas UU ini dengan beberapa pihak yang mendukungnya. Implikasi praktis situasi seperti ini adalah semakin meningkatnya kesadaran publik akan hak-hak mereka dalam penyelenggaran penyiaran. Paling tidak, ada peluang munculnya civil society yang kuat sehingga publik bisa lebih berperan dalam proses pelembagaan referensi etik, normatif, dan regulatif bidang komunikasi massa.
Secara teoritis, deregulasi bidang penyiaran yang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR belum sepenuhnya mencerminkan model penyiaran yang demokrass. Dalam hal ini, filosofi kepentingan publik (public interest) sebagai konsep kunci demokrasi masih akan sulit diwujudkan. Dalam masyarakat demokrass, regulasi penyiaran harusnya memenuhi kriteria: Pertama, akuntabilitas publik (accountability), yang berarti lembaga penyiaran bertanggungjawab memenuhi kepentingan publik. Kedua, kecukupan (adequacy), berwujud keanekaragaman program yang menyentuh seluruh segmen masyarakat secara adil, proporsional, dan berimbang. Ketiga, akses (access), yakni upaya memberikan hak seluas-luasnya kepada publik untuk memperoleh informasi (Kellner, 190:185)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Maimun Wakhid Irma
"Penelitian ini membahas konstruksi sosial penyiaran publik terutama terkait dengan lahimya UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang memuat pasal-pasal panting tentang penyiaran publik sekaligus implementasinya terhadap penyiaran publik dalam masa transisi demokrasi yang diwarnai oleh relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya baik ekonomi politik yang tidak seimbang. Mengingat, dalam perumusan penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 berdasarkan proses-proses konstruksi sosial yang menjadikannya sebagai 'arena' pertarungan dan kepentingan antara struktur dan agency. Karena itu, realitas simbolis penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menunjukan upaya mereproduksi legitimasi dan stabilitas rezim authoritarian bureaucratic yang berkelindan dengan rezim fundamentalisme pasar untuk melanggengkan kekuasaan politik dan ekonominya melalui institusi penyiaran publl Walhasil, terdapat makna ganda di mana di satu sisi membuka peluang bagi kehadiran penyiaran publik, namun di sisi lain terdapat kontradiksi konseptual dalam pasal-pasal tersebut yang merupakan faktor penghambat perwujudan penyiaran publik.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan kualitatif. Untuk pengumpulan data dilakukan melalui document analysis, depth interviewing, dan zinstruchire observation. Dad data yang diperoleh baik berupa dokumen atau hasil wawancara selanjutnya dianalisis adalah Critical Political Economy yang mencoba membongkar kesadaran palsu false consciousness) yang ditimbulkan oleh "damaging arrangement" (Littlejohn, 1999) pada dua kondisi khusus. Pertama, kencenderungan peralihan masa transisi demokrasi dari sistem penyiaran dikontrol oleh rezim kekuasaan (seperti era Orde baru) kepada sistem penyiaran yang mengakomodasi penyiaran publik dalam UU Penyiaran sebagai ruang publik yang babas dan netral untuk mernposisikan publik menjadi sender sekaligus receiver berdasarkan keinginan dan kebutuhan publik.
Kedua, terdapatnya kontradiksi internal di dalam struktur masa transisi demokrasi ini yang merasa paling mengetahui dan memahami berbagai kebutuhan dan keinginan publik dalam konsep penyiaran publik, sehingga proses perencanaan, perumusan, dan pengesahan yang tersimbolisasi pada pasal-pasal tentang penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok elit di lingkungan legislatif dan eksekutif dalam struktur politik tersebut yang disebut sebagai kecenderungan Paternalistik Meskipun memang sudah melalui forum konsultasi publik yang diposisikan sebagai legalitas formal dari proses keterlibatan publik semata.
Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa konstruksi sosial yang melibatkan pertarungan kepentingan antara struktur dan agency dalam konteks penyiaran publik dalam masa transisi ini rnenunjukan sebuah konsep penyiaran publik yang belum ideal implikasinya adalah pada tahap implementasi penyiaran publik secara kongkrit mengalami hambatan-hambatan ganda, yaitu di satu sisi konsep penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 masih didominasi oleh intervensi negara dan pasar, sedangkan di sisi lain secara ekplisit implementasi pasal-pasal tersebut (sejauh dimungkinkan untuk disepakati konseptualisasinya) juga terdapat dalam Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 60 yang menyebabkan terjadinya intervensi pada RRI sebagai lembaga penyiaran publik nasional dalam hal pergantian direksi yang secara nyata oleh Meneg BUMN (Laksaunana Sukardi) yang telah melanggar dari UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Namun, pelanggaran tersebut dianggap wajar terjadi pada masa penyesuaian selama 2 tahun untuk RRI sebagai penyiaran publik. Contoh pada Radio Berita Namlapanha dalam situasi yang serba transisi ini sesungguhnya mungkin untuk menjadi penyiaran publik, ketika secara konseptual dan prinsip-prinsip meleburkan diri pada penyiaran publik, dan harus didukung oleh payung undang-undang yang secara ekplisit dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 ini belum memberi tempat yang kondusif. Pada tataran inilah bahwa konstruksi sosial tentang penyiaran publik belum berakhir dan final, karena itu butuh perjuangan yang melibatkan interplay antara struktur dan agency dalam sebuah distribusi sumberdaya ekonomi politik yang seimbang (demokrasi).
Historical situatedness lahirnya penyiaran publik terkait dengan apa yang disebut oleh Golding dan Murdock (dalam Barret, 1995) dengan perkembangan kapitalisme dalam sebuah konteks historis yang spesifik Dalam perkembangan kapitalisme, deregulasi di bidang penyiaran masa transisi demokrasi ini adalah upaya penghapusan terhadap state regulation (regulasi negara seperti yang terjadi pada Orde Baru, di mana negara melakukan kontrol preventif terhadap industri penyiaran), untuk digantikan oleh market regulation (regulasi melalui mekanisme pasar). Industri penyiaran akan sangat rentan dan akan senantiasa mendasarkan diri pada kaidah-kaidah penawaran-permintaan pasar, melalui dogma rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi-konsumsi, dan logika never-ending circuit of capital acumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermin Indah Wahyuni
Yogyakarta: Media Presindo, 2000
384.55 HER t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suko Widodo
"Sejak tanggal 7 Juni 2000, RRI memasuki babak baru dalam sejarahnya, yakni dengan PP No. 37 Tahun 2000, RRI telah ditetapkan sebagai radio publik. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya bagi mereka yang ikut bergerak memperjuangkan reformasi, ini adalah suatu perubahan besar. Mereka semata memandang RRI selama masa Orde Baru sebagai state ideological apparatus. Sedang bagi sebagian angkasawan RRI, tuntutan untuk kembali ke radio publik ini sebetulnya hanya mengembalikan mereka kepada jejak sejarah mereka yang paling awal yakni terlahir sebagai radio perjuangan sejak 11 September 1945.
Studi ini menganalisis proses negosiasi bentuk dan fungsi RRI dan perubahan-perubahan kebijakan visi dan misi RRI, sehubungan dengan transisi tersebut dengan pendekatan ekonomi-politik media. Sebagai sebuah studi kualitatif yang berupaya memahami bagaimana para nara sumber (pelaku berbagai konteks sejarahl/historical situatedness) membangun proses-proses berpikirnya dan merekonstruksi persepektif-perspektif mereka, make peneliti berusaha untuk mencoba "menempatkan diri" pada posisi nara sumber, untuk mendapatkan sebuah penjelasan yang memiliki otentifikasi dari pada nara sumber. Penelitian ini dilakukan melalui metode indepth interview dengan 38 nara sumber terdiri dari kalangan RRI pusat dan daerah, DPR, DPRD, pemerintah daerah, akademisi dan LSM di 11 kota.
Dengan analisis ekonomi-politik media, maka kedua cara pandang yang terdapat di kalangan masyaxakat dan RRI, dapat memperlihatkan bahwa para pengamat atau peneliti bisa memandang setiap historical situatedness atau "epoch" sebagai sebuah "still photo" yang berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan untuk menggambarkan sebuah penjelasan yang lebih komprehensif, peneliti dapat mengumpulkan konteks-konteks sejarah yang dianggap penting dan kemudian dilihat akurnalasi, komposisi, dan kekuatan bobot relatif hubungan kausalnya masing-masing untuk melahirkan konteks sejarah selanjutnya.
PP No. 37 Tahun 2000 dapat dilihat sebagai sesuatu yang terkait dengan sejarah lahimya RRI, berbagai konteks sejarahnya pada masa RIS, Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Pasca Orde Baru. Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa dan aktivis, jatuhnya Rezim Orde Baru 21 Mei 1998, serta dilikuidasinya Departemen Penerangan, merupakan historical situatedness mutakhir yang penting; dimana terhadap peristiwa-peristiwa awal tersebut angkasawan RRI relatif berada dalam posisi menunggu atau sekedar responsif. Namun serf historical situatedness selanjutnya memperlihatkan bagaimana angkasawan RRI mulai mencoba aktif dalam melakukan berbagai interaksi dengan struktur. Antara lain melalui gerakan-gerakan angkasawan muda RRI (poros Jakarta-Yogyakarta), interaksi RRI dengan LSM dan aktivis advokasi publik, lobi-lobi terhadap struktur politik Indonesia pada saat itu, serta (puncaknya) keluarnya PP No. 37 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan RRI. Beberapa titik sejarah panting lainnya dalam masa transisi RRI adalah upaya melakukan need assessment bersama publik, merubah dimensi proses produksi berita, serta mencermati kembali masalah siaran pedesaan yang pernah menjadi primadona atau puncak kontribusi RRI.
Dalam setiap historical situatedness tersebut digambarkan interaksi antara struktur dan agensi, yang selalu diletakkan dalam interkontekstualitas antara faktorfaktor di level makro (faktor-faktor sosiokultural yang mempengaruhi), level meso (produksi dan konsumsi teks), dan mikro (isi teks program RRI). Dari berbagai interaksi tersebut, dikaji pula beberapa potensi kelemahan yang masih akan mewarnai perjalanan sari konteks sejarah selanjutnya. Antara lain: interaksi pusat-daerah, persoalan kepegawaian dan sumber daya manusia, belum adanya lembaga supervisi penyiaran publik, belum tumbuhnya upaya pembangkitan dana publik yang baik, serta belum dilakukannya riset pendengar dan promosi yang memadai. Analisis terhadap potensi kelemahan ini kemudian diformulasikan melalu implikasi teroretis menjadi sejumlah prediksi dan saran-saran.
Dengan demikian selain mempunyai signifikasi teoretis (belum lazimnya penggunaan analisis ekonomi politik terhadap proses transisi sebuah radio negara menuju sebuah radio publik), penelitian ini diharapkan memiliki signifikansi praktis untuk dapat dimanfaatkan pihak RRI dan pihak relevan lainnya dalam membantu kesuksesan proses transisi tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9873
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendi Herdiana
"Fungsi pemerintah dalam pelayanan publik diantaranya pemberian ijin termasuk di bidang telekomunikasi yaitu perijinan radio siaran swasta lokal. Dengan semangat otonomi daerah, kualitas pelayanan publik harus memberikan kepuasan dan performansi yang prima. Dalam implementasinya terjadi kendala baik friksi antara pemerintah pusat dan daerah maupun dengan instansi lain seperti KPI mengenai kewenangan perijinan. Kondisi ini merugikan masyarakat karena terjadi ketidakpastian hukum dan pelayanan perijinan terganggu. Pemerintah daerah Jawa Tengah melalui Dinas Hubtel sebagai pemerintah terdekat dengan masyarakat menyelenggarakan perijinan radio siaran swasta lokal dengan tetap berpegang kepada alokasi spektrum frekuensi dari Ditjen Postel sesuai KM 15 tahun 2003 tentang Master plan radio siaran FM. Hal yang melatarbelakanginya ialah untuk mengatasi kevakuman pelayanan publik perijinan radio siaran.
Untuk mengetahui apakah pelayanan publik perijinan radio siaran swasta lokal di Jawa Tengah telah sesuai dengan peningkatan efisiensi, efektifitas dan akuntabilitas, maka perlu mengadakan penelitian penilaian dari tingkat kepuasan publik terhadap pelayanan. Menggunakan metode performance analysis dan importance analysis untuk mengetahui persepsi seberapa puas dan seberapa penting atribut-atribut suatu suatu jasa pelayanan. Kemudian atribut-atribut tersebut dipetakan untuk melihat pemetaan tingkat kepentingan dengan quadrant analysis. Selain menganalisis itu juga akan dianalisis atribut-atribut kelokalan yang menjadi kekhasan radio siaran lokal.
Berdasarkan penelitian diketahui nilai indeks kepuasan pelanggan sebesar 70,95% dengan skala cukup puas kemudian dari aspek lokalitas radio siaran sudah dijadikan sarana aksesbilitas informasi yaitu 45 stasiun radio memberi separuh isi acara daerah, 40 stasiun radio memberikan porsi iklan 75%. Kemudian akses berpengaruh terhadap kemudahan ijin yang diinginkan responden dengan 41 stasiun radio menginginkan perijinan bisa diurus di instansi terdekat.

One of the government functions in public services is to give license including license of local private broadcasting radio. The quality of public services should provide good performance as well as satisfaction under the spirit of region autonomy. Unfortunately, there are some obstacles in its implementation among central and region government and other institutions, such as, KPI regarding license. As a result, this condition, of course, becomes disadvantages for society because of its uncertainty in laws and license services. Then, Central Java government via Dinas Hubtel, as the closest government to the society, arranges license of local private broadcasting radio with strictly referring to frequency spectrum from Ditjen Pastel based on KM 15, 2003 regarding master plan of FM broadcasting radio. This is to overcome stuck on public services of broadcasting radio license.
It is necessary to organize assessment of public satisfaction toward services in order to find out whether public services in local private broadcasting radio in Central Java are in line with increasing efficiency, effectiveness, and accountability. This research analyze satisfaction level of radio stations which have got license from Dinas Hubtel using performance and importance analyses methods to find out perception of satisfaction and other important attributes in services of broadcasting radio license. Then, the attributes are mapped to see the map of necessity level by quadrant analyses. It also analyses attributes of local character which becomes the characteristics of local private broadcasting radio.
Based on this research it is found that customer satisfaction index is 70,95% on satisfaction enough scale then radio station broadcasting has already become information accessibility that 45 stations give a half of the program on local program, 40 stations give 75% on advertisement on local content. The accesbility of licensing is important that 41 stations want the radio licensing could be proceed at the- nearest government institution.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
T16889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Erika Gloria
"Perkembangan teknologi komunikasi bermanfaat untuk memproses dan menyampaikan informasi dengan cara yang semakin modern. Salah satu bentuk penyiaran dapat dilakukan melalui siaran televisi. Dalam skripsi ini membahas mengenai putusan pengadilan dalam Perjanjian Penunjukan Pelaksana Siaran Televisi Swasta Umum antara TVRI dan Indosiar. Perjanjian tersebut dimulai dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2014, dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa TVRI sebagai pihak pertama menunjuk Indosiar untuk menjadi siaran televisi swasta umum, kemudian Indosiar berjanji untuk memberikan 12,5% dari seluruh penghasilannya kepada TVRI selama 20 tahun. Pada tahun 2000, pemerintah mengesahkan peraturan baru yang mengubah status TVRI dari Yayasan ke Perusahaan Jawatan. Hal tersebut membuat pihak Indosiar merasa tidak perlu lagi melaksanakan prestasinya. Kemudian TVRI mengajukan permohonan gugatan kepada Indosiar karena Indosiar tidak melakukan prestasinya sampai dengan tahun 2000. Namun sampai dengan putusan akhir, hakim menolak permohonan dari TVRI tersebut dan menyatakan bahwa Indosiar tidak melakukan wanprestasi.

Development of communication technology is useful to process and convey information in a way that the more modern. One form of broadcasting can be done via television broadcasts. This thesis concerning judgment of a court in agreement appointment of execution private television broadcast common between TVRI and Indosiar. The deal is started from 1994 until 2014, in the treaty states that TVRI as the first party constitute Indosiar to become a television broadcast of public, then Indosiar promised to give 12.5% of all income is to TVRI for 20 years. In 2000, the government adopt new rules that change the status TVRI from the foundation into the company jawatan. It makes Indosiar feel no longer have to carry out the performance. Then TVRI submit the application for a lawsuit to Indosiar because Indosiar did not do the performance until the end of year 2000. But until the end of the court, with a verdict the judge refused the request of TVRI and expressed that Indosiar not doing the tort."
2014
S54344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Ramli
"The requirements of the community for information presently have become the major requirements in the daily living.
The existing information media, both newspapers and radio broadcast like the television broadcast must be able to meet the requirements on information in accordance with the era. With the sophisticated technology, satellites for broadcast relays, both radio and television broadcast have been developed. Furthermore, telecommunication technology and computer (digital technology) have set up an internet information media.
The competition has occurred between the television broadcasting industries, since the establishment of the television station RCTI in 1989, and later followed by SCTV, Indosiar and so forth. Until 2004, there are already 15 national private television stations.
The development of business industries on television broadcasting conducted competitively among these television broadcasts, had brought forth the issuance of Constitution No. 32 year 2002 on Broadcasting.
With the validity of the constitution, there has occurred a number of responses both pro and contra, due to the impact on the private television industries.
From the results of research, this had motivated the writer to further know the impact of Constitution No. 32 year 2002 on Broadcasting towards the business industries on television broadcast. The writer had carried out a Field Research through the distribution of questionnaires on 30 respondents in the program and technical divisions, and HRD of PT, RCTI.
In order to know the impact on the Constitution on Broadcasting No. 32 year 2002, some articles were considered very crucial, and the questionnaire data showed an independent variable, i.e. the crucial articles that influence the dependent variables (Broadcasting Program) having 15 articles. These articles will influence the development of the broadcasting stations and working outlines (DPK) of RCTI as the National Television.
With the issuance of the Constitution on Broadcasting No. 32 year 2002, this will influence the performance of RCTI, particularly in obtaining the competition of the market segments on advertisements already available. Conversely, Constitution on Broadcasting No. 32 year 2002, will protect the local programs and become a information and entertainment media adjusting with the Indonesian culture in supporting the Regional Autonomy Constitution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13960
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Utami
"Industri penyiaran televisi merupakan industri yang sangat diregulasi. Baik karena kelangkaan spektrum maupun karena dampak informasi yang ditayangkan terhadap sikap dan perilaku masyarakat. Tujuan dart penulisan tesis ini yaitu mengetahui dan menganailsis instrumen regulasi di industri penyiaran televisi serta kebijakan persaingan yang diberlakukan di industri penyiaran televisi.
Metode yang digunakan dalam penelitlan ini adalah metode penelitian deskriptis analitis yaitu dengan membuat analisis secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di industri penyiaran televisi dan implikasinya. Masalah yang dibahas dalam tulisan ini dibatasi hanya pada Industri penyiaran televisi di Jawa. Periode pembahasan masalah yaitu pada kurun waktu 2002-Juli 2003.
Hasil anallsis terhadap UU NO. 32 tentang penyiaran Tahun 2003 memperlihatkan bahwa instrumen yang digunakan untuk meregulasi industri penyiaran televisi Indonesia adalah melalui Pembatasan Lisensi dan kepemilikan, Pembatasan kepemilikan terhadap media lain, Pembatasan Iklan, Pembatasan Program, Pengaturan Institusi, dan Penyediaan waktu untuk slaran ikian layanan masyarakat. Instrumen Regulasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut sama dengan instrumen regulasi yang dilakukan oleh beberapa negara di Eropa (seperti Inggris, Perancis, Jerman, Itali dan Spanyol) serta Australia. Bedanya di industri penyiaran televisi Eropa dan Australia tidak ada kewajiban untuk menyediakan waktu guna siaran ikian layanan masyarakat.
Di Indonesia regulasi mengenai kepemilikan dan kepemilikan silang belum ada penjelasannya secara rinci sementara di negara Eropa dan Australia hal tersebut telah dlbatasi secara rinci dan pelaksanaan regulasi tersebut telah diatur oleh lembaga yang sudah exist. Di Indonesia Komisi Penyiaran Indonesia yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas tersebut baru dalam proses pembentukan karena memang UU penyiaran Indonesia relatif masih baru yaitu disahkan pada tanggal 28 Desember 2002.
Tentang ketentuan berjaringan bagi lembaga penyiaran swasta yang sudah memiliki stasiun relay sebelum adanya UU penyiaran, maka Anteve sudah siap mengantisipasinya dengan sistem waralaba. TPI bekerjasama (berjaringan) dengan Jawa Pos TV. Sementara Metro TV bekerjasama dengan TV Manado dan Jawa Pos Tv.
Kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi Indonesia berdasarkan UU NO. 32 Tahun 2002 menetapkan membatasi lisensi dan kepemilikan di industri penyiaran televisi juga melarang adanya kepemilikan silang media. Realitasnya saat ini ada kepemilikan silang media yaitu PT Bimantara pemilik televisi swasta RCTI juga menjadi pemilik radio Trijaya FM. PT RCTI juga menjadi salah satu pemilik dan Lembaga Penyiaran Beriangganan INDONUSA. Televisi swasta PT SCTV juga menjadi pemilik Metro TV. Realitas tentang kepemilikan silang Inilah yang harus segera ditindaklanjuti begitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terbentuk nantinya. Namun terlebih dahulu KPI harus membuat aturan yang jelas dan menerapkan aturan tersebut secara tegas seperti di Australia.
Kebijakan persaingan di Industri penyiaran televisi Eropa lebih ditujukan untuk membatasi merger dan kepemilikan diantara perusahaan di industri penyiaran televisi dan antara perusahaan televisi dengan produsen program televisi Masyarakat Eropa. Di Amerika Serikat kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi juga ditujukan untuk mengatur dan mengawasi merger dari perusahaan yang memiliki posisi dominan di pasar atau memiliki share pasar terbesar. Kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi Australia mengatur mengenai pembatasan kepemilikan silang media (sama seperti di Indonesia)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI , 2003
384.54 KON
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>