Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141847 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Situmorang, Gopokson Tarulitua
"Penulisan ini akan memfokuskan perhatian pada perbandingan kebijakan Bush dan Clinton periode 1989-1996 yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti institusional setting (kelembagaan bail( Presiden maupun Badan Eksekutif), Kongres, lingkup sosial, media massa dan faktor ideologi dan munculnya masalah-masalah dalam domestik Cina seperti HAM, Ekonomi (defisit perdagangan dan hak cipta), Taiwan maupun militer.
Pembahasan perbandingan kebijakan Bush dan Clinton pada dasarnya bermuara pada hubungan antara AS dan RRC yang timbul sebagai akibat dari strategic triangle yang dibentuk oleh Presiden Nixon melalui kunjungan bersejarah ke Beijing dan Moskwa tahun 1973. Hubungan AS-RRC berkembang menjadi suatu kemitraan strategis yang terbina oleh ketakutan bersama terhadap kekuatan Siviet pada masa Brezhnev. Belakangan kemitraan tersebut pecah karena hilangnya ancaman Soviet, terjadi peristiwa Tiannanmen dan munculnya Cina sebagai negara adidaya yang potensial.
Kerangka pemikiran penulisan tesis ini adalah bagaimana kebijakan kedua pemimpin tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal AS sendiri dan pada saat yang sama juga sebagai respon terhadap kebijakan-kebijakan internasional (faktor eksternal RRC).Kondisi internal yang meliputi lingkungan sosial, lembaga-lembaga/institusi, dan karakteristik pengambilan keputusan menurut Kegley dan Witkoft merupakan input bagi proses pengambilan kebijakan luar negeri Bush dan Clinton dan seluruh proses tersebut mengubah input menjadi kebijakan terhadap lingkungan eksternal yang menjadi landasan bagi para pengambil kebijakan dalam mencapai tujuan nasionalnya.
Masalah-masalah HAM, ekonomi, Taiwan, dan militer Cina merupakan masalah luar negeri yang paling sulit ditanggulangi oleh pemerintah AS khususnya pada masa Clinton dan Bush karena berkaitan erat dengan persepsi-persepsi yang tumbuh di dalam negeri AS sendiri baik itu dari kelembagaan pemerintahan AS maupun persepsi lingkungan Sosial (opini publik yang dituangkan dalam media massa).
Terlihat bahwa dalam menetapkan kebijakan luar negerinya, baik Bush maupun Clinton menggunakan instrumen/alat seperti kebijakan yang berasal dari pengaruh social environment dan institusional setting yang meliputi opini publik, Kongres, maupun perbedaan ideologi (Partai Republik - kubu Bush dan Partai Demokrat - kubu Clinton) yang dituangkan dalam pemberitaan media massa cetak maupun elektronik turut mempengaruhi langkah kebijakan yang diambil kedua pemimpin tersebut. Kebijakan Bush maupun Clinton dalam banyak hal seringkali mengkaitkan isu-isu HAM, dan demokrasi maupun isu Taiwan dalam masalah domestik negeri tirai bambu tersebut untuk menekan Cina dalam mencapai apa yang menjadi tujuan Polugri AS."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Hermawan
"Krisis nuklir Iran berawal ketika pada Agustus 2002, Dewan Nasional Perlawanan Iran, oposisi pemerintah Iran yang berada di pengasingan, melaporkan tentang adanya fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan fasilitas air berat di Arak. Dalam perkembangan selanjutnya, pada Januari 2006 Iran melepaskan segel IAEA dan memulai penelitian bahan bakar nuklir yang kemudian dilanjutkan dengan pengayaan uranium.
Di sisi lain, pasca tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat melakukan revisi mendasar tentang strategi keamanan nasionalnya yang tercermin dengan diadopsinya konsep preemption dan prinsip unilateralism dalam National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 merupakan justifikasi bagi Amerika Serikat untuk bertindak secara proaktif dengan menyerang negara lain yang dianggap membahayakan keamanan nasionalnya sebelum negara tersebut menyerang AS. Implikasi dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari agresi dan invasi militer AS di Afghanistan dan Irak.
Kebijakan luar negeri AS terhadap krisis nuklir Iran dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi dinamika politik domestik Amerika Serikat yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan terhadap krisis nuklir Iran, sedangkan faktor eksternal merupakan konstelasi politik internasional yang dominan.
Beberapa faktor internal adalah: National Security Strategy 2002, kepentingan strategis (minyak) AS di kawasan Teluk, perubahan persepsi publik AS tentang ancaman dan keamanan nasional, serta menguatnya peran Presiden AS dalam menentukan kebijakan luar negeri AS. Sementara itu untuk faktor eksternal, ancaman terhadap keamanan Israel, serta kebangkitan politik Islam di Timur Tengah merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh AS.Tesis ini mencoba menganalisa faktor strategis yang mendasari kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap krisis nuklir Iran pada masa pemerintahan George Walker Bush, terutama pasca dirumuskannya NSS 2002.

Iran's nuclear crisis began in August 2002, when Board of Iran National Resistance, oposition of Iran Government, denounced evidence of uranium enrichment facility in Natanz and heavy water reactor in Arak. In January 2006 Iran broke IAEA seal and started research on nuclear fuel, followed with uranium enrichment activity.
On the contrary, post of 9/11 aftermath, US revised her fundamental national security, which reflected on adopting concept of preemption dan unilateralism into National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 acts as justification for US Government to take any necessary and proactive measure by attacking countries which endanger US interests. Transformation of US national security brings implication of military target and use of force abroad which can be obviously seen in Iraq and Afghanistan invasion.
US foreign policy towards Iran's nuclear crisis is affected by many internal and external factors. Internal factors are characterized by national politics which have significant influence to perception of decision maker, while external factors attribute to dominant international politics.
Some of internal factors are: National Security Strategy 2002, US interests (oil) in gulf, changing of US public opinion on threat and national security, and role of US President in guiding foreign policy. External factors are Israel's national security point of view, and the rise of political Islam in Middle East The thesis tries to analyze strategic factors of US foreign policy responding to Iran's nuclear crisis during George Walker Bush administration, mainly after NSS 2002."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Maria Renata
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap masalah nuklir Korea Utara, khususnya pada masa pemerintahan Clinton kedua dengan implementasi Kerangka Kesepakatan. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana faktor eksternal, yakni dinamika politik keamanan di Semenanjung Korea dan faktor internal, yakni sikap Kongres AS terhadap isu nuklir Korea Utara mempengaruhi kebijakan luar negeri Clinton.
AS mempunyai kepentingan untuk mempertahankan wilayah Semenanjung Korea yang bebas nuklir. Kapabilitas nuklir Korea Utara tidak hanya membahayakan kawasan regional dengan adanya kemungkinan perlombaan nuklir di Asia Timur; tetapi juga membahayakan rejim non-proliferasi internasional.
Pembahasan permasalahan tesis ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran : Russet dan Starr mengenai konsep kebijakan luar negeri; pemikiran Holsti mengenai pengaruh lingkungan internal dan eksternal terhadap implementasi kebijakan luar negeri; dan pemikiran Kegly dan Wittkopf mengenai peranan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.
Hasil dan penelitian bahwa kebijakan luar negeri AS adalah mempertahankan kawasan Semenanjung Korea yang bebas nuklir dengan upaya meminimalisir ancaman yang ditimbulkan dengan keberadaan kapabilitas nuklir Korea Utara. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, Kerangka Kesepakatan merupakan upaya yang paling rasional untuk menangani isu nuklir tersebut. Baik Jepang dan Korea Selatan, sebagai sekutu-sekutu AS, maupun kalangan Kongres sebagai faktor politik domestik yang mempengaruhi implementasi Kerangka Kesepakatan, ternyata mendukung implementasi kesepakatan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T2288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Verona
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang pada era pasca Perang Dingin, khususnya masa Clinton I, dengan memfokuskan pada aliansi keamanan AS-Jepang dan upaya AS mempertahankan komitmennya di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah kebijakan dan perilaku politik AS dan Jepang - dua negara besar di dunia.
Kelangsungan aliansi AS-Jepang penting bagi kawasan. Dalam pandangan AS, aliansi keamanan AS-Jepang adalah kuat dan penting, namun untuk terus menjaga tercapainya kepentingan nasional bersama, aliansi tersebut harus terus berkembang. Khususnya untuk kawasan Asia Timur, AS mencari bentuk aliansi yang dapat terus menjadi insurance policy, yaitu menyediakan pertahanan bagi Jepang dan menjamin stabilitas di Asia Timur dan dapat bertindak sebagai investment policy yaitu dalam hal meningkatkan kontribusi bagi stabilitas regional dan keamanan global. Dalam kaitan ini, ada dua faktor yang mempengaruhi aliansi keamanan AS-Jepang yaitu perubahan pada lingkungan strategis kedua negara dan persepsi yang berbeda dalam berbagi beban, tanggung jawab dan kekuatan diantara mereka.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan pendapat Hanrieder yang mengaitkan kebijakan luar negeri dengan sasaran yang hendak dicapai, teori Lentner mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan, pendapat Newsom mengenai cakupan politik Iuar negeri, pendekatan sistem politik Almond, teori Kegley dan Wittkopf dan Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosenau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri dan tujuan jangka panjang suatu politik luar negeri, pendapat Gross mengenai kepentingan nasional suatu negara, konsep keamanan Buzan, dan pandangan Viotti dan Kauppi mengenai negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan komitmen dan keberadaan militernya di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh tarik menarik antara dua faktor, yaitu perubahan persepsi ancaman keamanan eksternal AS dan perubahan sistem internasional pasca Perang Dingin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Worang, Toary Ceacer Fransiskus
"Internasionalisme Amerika adalah orientasi dalam politik luar negeri Amerika. Penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia merupakan ciri utama dalam orientasi ini. Internasionalisme Amerika diformulasikan oleh Presiden Amerika Woodrow Wilson. Ia percaya bahwa Amerika memiliki sense of mission dan sense of obligation memperkenalkan demokrasi dan liberalisme kepada masyarakat internasional dalam rangka pembentukan tatanan dunia yang aman, stabil dan makmur. Bagi Wilson upaya membawa demokrasi dan liberalisme pada masyarakat internasional tidak bisa dilepaskan dari bentuk kerjasama dengan institusi intemasional/ multilateral. Pemikiran Wilson inilah yang diangkat kembali dalam politik luar negeri masa Clinton. Ciri utama politik luar negeri Clinton adalah pemanfaatan institusi internasional/multilateral dalam upaya penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia lewat strateginya "Enlargement". Tesis ini akan menunjukan bagaimana pemerintah Clinton memanfaatkan institusi internasional/multilateral dalam mendukung terlaksananya strategi `Enlargement'. Pelaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat masa Clinton sendiri tidaklah mudah karena perkembangan lingkungan internasional yang mana Neo Cold War Orthodoxy yang semakin membahayakan dan tidak terduga bagi Amerika Serikat. Untuk itu tesis ini jugs akan menunjukan bagaimana sikap pragmatis pemerintah Clinton menyebabkan keberhasilan pemanfaatan institusi internasional/multilateral mendukung strategi "Enlargement".

American Internationalism is an orientation in American Foreign Policy. The main characteristic of American internationalism is the universalism of democracy and liberalism. It was President Woodrow Wilson who formulated American Internationalism since he believed that Americans have sense of mission as well as sense of obligation to introduce democracy and liberalism to international community in order to create a stable, secure, and prosperous world order. According to Wilson, American's effort to promote democracy and liberalism is highly in collaboration with various international and multilateral institutions. In Clinton's administration Wilsonianism has been adopted and become the main element in its foreign policy. In this regard, the use of international/multilateral institutions become prominent in universalizing democracy and liberalism through so called `enlargement strategy'."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhanty Yusmar
"Tesis ini membahas mengenai aspek pertahanan dan keamanan dart kebijakan luar negeri AS terhadap Irak dengan fokus pada upaya pencegahan pengembangan Weapons of Mass Destruction atau yang dikenal dengan senjata pemusnah massal pada periode tahun 1991-2000.
Pada tesis ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Adapun yang menarik bagi penulis adalah mekanisme dan kebijakan AS terhadap pengembangan WMD Irak dan tanggapan masyarakat international atas mekanisme kebijakan AS tersebut yang berupa penggunaan kekuatan militer.
Secara konsisten, kebijakan AS terhadap Irak berfokus pada tiga area utama, yaitu : 1) upaya untuk menghadapi tantangan dari rezim Saddam Hussein yang menurut AS melanggar dasar HAM terhadap suku syiah dan kurdi. 2) masalah tantangan terhadap kebijakan AS pada sistem keamanan regional dan gelombang supplai minyak. 3) masalah tantangan AS pads upaya pencegahan pengembangan WMD yang dilakukan Irak. AS melihat potensi pengembangan WMD di Irak sebagai sebuah ancaman yang cukup serius. Irak dianggap AS sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar bagi pengembangan dan penggunaan WMD. Hal ini nampak dari kepemilikan Irak atas unsur-unsur yang berkaitan dengan pembuatan dan pengembangan WMDnya yang melebihi batas-batas yang ditentukan oleh aturan international.
Dalam upaya meneegah pengembangan WMD Irak ini, AS menggunakan media antara lain : sanksi ekonomi berupa penghentian ekspor minyak Irak dan isolasi diplomatik yang sejauh ini dianggap kurang efektif, sehingga kebijakan AS pun terus berkembang sampai pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan secara berkala.
Metode penelitian yang digunakan adalah desciptive research dengan memaparkan data-data yang ada dan menganalisa data-data tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun kerangka pemikiran menggunakan pendapat antara lain dari Crabb, yang membagi kebijakan luar negeri menjadi dua elemen yaitu : tujuan nasional dan cara-cara mencapainya, teori Rosseau mengenai variabel yang mempengaruhi fondasi politik luar negeri, Kegley dan Wittkopft serta Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri. Ditambahkan dengan konsep Hartman dan Wendzel mengenai mengukur ancaman, Russet mengenai pengaruh belief system pada kebijakan luar negeri, serta teori propaganda yang dikemukakan oleh Qualter dan Young.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS terhadap Irak dalam isu WMD pada tiga fase kepemimpinannya yaitu: George Bush (senior), Clinton I dan Clinton II memiliki tingkat kesuksesan sebagai berikut penyerangan yang dilakukan AS dapat dikatakan sukses hanya pada tingkatan jangka pendek, yakni penggunaan kekuatan militer tersebut mampu membuat Irak berjanji untuk mau bekerja sama dengan UNSCOM dan mematuhi resolusi yang ditetapkan oleh PBB, walaupun kemudian Irak selalu mengingkari janjinya tersebut, namun untuk jangka panjang belum bisa dikatakan sukses, melihat tujuan AS yang utama adalah menurunkan rezim Saddam Hussein karena dianggap sebagai ujung dari hapusnya potensi WMD Irak.
Adapun tanggapan yang datang baik dari negara-negara besar maupun negara-negara tetangga Irak sendiri sedikit unik. Negara-negara tersebut berpedoman bahwa isu terpenting di Irak adalah bagaimana menghilangkan potensi ancaman WMD yang ada di Irak. Namun pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS secara berkala itu, membuat negara-negara tersebut merasa bahwa penggunaan kekuatan militer tersebut tidak membuahkan hasil yang sesungguhnya tetapi hanya merupakan usaha propaganda bagi pemenuhan kepentingan nasional AS sendiri, yaitu penurunan rezim Saddam Hussein dan penggunaan minyak di Irak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martina Safitry
"ABSTRAK
Dalam sejarah dipaparkan bahwa Inggris, Eropa bahkan Amerika mendukung realisasi proyek zionisme. Tetapi dukunganya tidak sekuat dan strategis Amerika Serikat. Terlebih lagi pada era George W Bush, yang mana idiosyncratic pemimpin Amerika ini berasumsi bahwa dunia ini anarki, sehingga harus diimbangi dengan cara menambah power agar Amerika dapat survive. George W Bush juga membantu dalam mengangkat wibawa zionisme, yaitu dengan mendoktrin sejumlah pandangan negatif terhadap Arab dan kaum muslim dalam emosi publik Amerika dan kebudayaannya, yang secara langsung atau tidak langsung, menyebabkan keberpihakan mereka kepada Israel dan gerakan zionisme.
Arti panting hubungan Amerika Serikat dengan Israel dapat dianalogikan dengan membangun satu sekutu yang tepat, baik dan ideal secara moral untuk menentang kekuatan lain yang menjadi lawan Amerika, yakni anti demokrasi dan komunis. Pola ini dapat disetarakan pula dengan pemikiran persekutuan Amerika-Israel sebagai kubu yang benar melawan pihak lain yang salah.
Untuk menguatkan hubungannya ini Israel menggunakan suatu lembaga lobi di Gedung Putih yang biasa dikenal dengan AIPAC. Lobi Israel memiliki tujuan untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah terkait dengan keamanan dan eksistensi Israel, yang secara umum diketahui bahwa Amerika sebagai sebuah negara adidaya tentu sangat berpengaruh, karena bagi siapa saja yang mengambil peran untuk mempengaruhi Amerika, keuntungan akan didapatkan. Namun ternyata ada beberapa peristiwa atau fakta dimana lobi tidak berperan.
Fakta-fakta yang dikemukakan dalam penelitian ini, menunjukan bahwa yang abadi adalah faktor kepentingan suatu negara, karena Amerika Serikat mempunyai kepentingan ideologi, politik, ekonomi dan pertahanan di Timur Tengah serta mencari sparing partner, dalam hal ini adalah Israel untuk mewujudkan misinya di Timur Tengah. Agar misi tersebut dapat terealisir Amerika Serikat harus mempertahankan eksistensi Israel dari acaman dunia Arab.

ABSTRACT
Historically, it is exposed that England, Europe even USA support the realization of Zionist project. But the support is not as strong and strategic as USA. Mostly in George W bush era, which idiosyncratic of this US leader assumed this world is anarchy, so must be balance by maximizing power so America can survive, George W Bush also helps and rises Zionism prestige, by doctrine amount of negative view about Arab and Moslem in American public emotion and culture directly or indirectly. It causes their side with Israel and Zionist movement.
Important meaning of USA affairs with Israel can be analogized by building a right good and ideal alliance morally to against other force which become USA enemy, democracy opponent and communist. This pattern also can be paralyzed with American-Israel alliance perspective as the right entrenchment against the wrong one.
To empower this affair, Israel uses a lobby institution in White House, known as AIPAC. Israel's lobby has objectives to influence American foreign policy in Middle East. It related with Israel security and existence, commonly known USA as powerful country obviously so influenced. For any one take part to influence USA, they'll get the advantage. But there are some evidence or facts where lobby couldn't take part.
The facts show the eternal is a country's interest factor, and for this research USA has ideology, politic, economy, and defense interest in Middle East and finding sparing partner, in this case Israel. To bring the mission in become reality, USA must defenses Israel's existence from Arabic world threat .
"
2007
T20724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Ferdinand
"Penelitian ini berfokus pada analisis kebijakan luar negeri dan keamanan bersama Uni Eropa (Common Foreign and security Policy ) pada tahun 1997-1999. Secara lebih spesifik membahas respons entitas Uni Eropa (UE) terhadap dinamika perubahan lingkungan eksternal maupun internalnya, dengan menggunakan pendekatan sistem kebijakan luar negeri dan model constraints and opportunities.
Variabel independen dalam penelitian ini berasal dari lingkungan eksternal UE, yaitu_ kebijakan burden sharing AS ke UE, dan dari lingkungan internal UE adalah politik identitas Eropa. Keterhubungan logis antarvariabel diperlihatkan melalui pengaruh pemunculan serangkaian peluang dan hambatan yang berasal dari kedua variabel independen, terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, kebijakan burden sharing AS-UE dan politik identitas Eropa diduga mempengaruhi pemunculan serangkaian peluang dan hambatan terhadap peningkatan peran internasional LTE pada tahun 1997-1999.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa peluang bagi peningkatan peran internasional UE muncul dari adanya interaksi antara kebijakan burden sharing AS-UE yang berjalan selaras dengan fenomena politik identitas UE, dan sama-sama dilandasi oleh pengembangan nilai-nilai peradaban Barat. Kedekatan secara kultural antara kedua entitas tersebut dalam peradaban Barat memungkinkan keduanya melakukan kerjasama yang cukup dalam, hingga hal ini merupakan peluang bagi UE untuk meningkatkan peran internasionalnya.
Di sisi lainnya, hambatan bagi peningkatan peran internasional UE disebabkan karena dari lingkungan eksternal UE terjadi kompetisi antara AS dan LIE, yang mana hal ini juga inheren dalam suatu kerjasama. Dari sisi internal UE, politik identitas UE dapat menjelaskan bagaimana UE sebagai bagian dari peradaban Barat harus berbenturan dengan persoalan identitas kultural.
Peluang dan hambatan di atas kemudian menyebabkan UE pada tahun 1997 harus melakukan reformasi institusional agar CFSP dapat diterapkan secara lebih efektif, dan dengan demikian akan dapat meningkatkan pula peran internasional UE. Perjanjian Amsterdam, menyepakati ditingkatkannya sarana untuk mencapai tujuan berupa peningkatan peran intemasional UE sebagai kolaborator kawasan, kepemimpinan, sekutu, dan promoter of security, mediator, dan independen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randi Mohammad Ramdhani
"Saudi Arabia memiliki tempat yang sangat signifikan di dunia Arab dan Islam. Ini disebabkan statusnya sebagai negara terbesar di Semenanjung Jazirah Arab. Juga merupakan negara di dunia yang memiliki cadangan minyak terbesar sekitar 25% cadangan minyak dunia. Saudi Arabia berperan aktif dalam upayanya menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel, Peran Saudi Arabia dalam mewujudkan penyelesaian masalah Palestina merupakan tuntutan tugas dan misi politik luar negeri Saudi Arabia yang dirumuskan tahun 1943.
Saudi Arabia hingga kini tetap pada pendiriannya menganggap penyelesaian masalah Palestina merupakan togas dan misi politik luar negerinya yang dianggap perlu mendapat perhatian yang serius dan prioritas tinggi (urgent concern and top priority). Di antara upaya Saudi Arabia untuk menyelesaikan konflik, terdapat dua inisiatif perdamaian yang ditawarkan pada tahun 1982 dan 2002.
Inisiatif perdamaian ini menawarkan sebuah solusi perdamaian yang berlandaskan pads Resolusi PBB. Yang memberikan pengakuan kepada Israel untuk tetap eksis dan menawarkan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab dengan imbalan Israel menerima dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 dan 338 yang meminta untuk mengakliiri pendudukan pada garis batas 1967. Saudi meyakini bahwa usahanya membantu menyelesaikan masalah Palestina merupakan tugas dan tanggung jawab bangsa Arab dan umat Muslim.
Di sate sisi Saudi Arabia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Amerika Serikat, dimana Israel merupakan anak emas Amerika Serikat di Timur Tengah. Isu Palestina telah menjadi duri dalam hubungan Saudi Arabia dan Amerika Serikat sejak Perang Dunia II. Selama ini Saudi Arabia berpandangan kedekatannya dengan Amerika Serikat dapat mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel untuk menjadi penengah yang lebih adil. Namun upaya mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam masalah Palestina tidak efektif, dikarenakan sikap politiknya yang selalu menguntungkan Israel.

Saudi Arabia has a significant place in the Arab's world and Islam. It's caused by status Arab as the biggest country in Arabic peninsula, and the biggest oil's resource, more about 25 % oil's resource in the world. Saudi Arabia has effectively role to finish conflict between Palestine and Israel.
Saudi Arabia's role in finishing conflict Palestine and Israel is his effort and his mission of foreign policy since 1943. Saudi Arabia said that until now the Palestine's problem is an urgent concern and top priority.
Two initiatively peaces offered a peace solving based on United Nations resolutions in 1982 and 2002. This resolution give legality to Israel to exist and offer normalization of relation with Arabic's countries by fee Israel accept that resolution number 242 and 338 which asked to end occupy in the limited line 1967.
Saudi Arabia sure that his effort can finish Palestine's problem as his responsibility of Arabic and all of Moslem. In the other side, Saudi Arabia has relation closely with United States which Israel as his close partner. The Palestine's problem has difficult to Arabs' Saudi and united state's relations since second's war of the world. Arab said that closely with America is as mediator between Palestine and Israel, but his attitude not effectively because always give lucky to Israel.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>