Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuliansyah
"Program penanggulangan TB paru dengan strategi Directly Observesd Treatment Short-Course (DOTS) di kota bengkulu telah memberikan basil yang baik, di mana angka penemuan kasus sudah mencapai 70,6% dari target nasional 70%, tetapi angka kesembuhan masih rendah (72,24%) dari target nasional 85 %, Masih banyaknya (20,36%) penderita yang telah selesai pengobatan namun tidak melakukan pemeriksaan ulang dahak menapakan salah satu penyebab rendahnya angka kesembuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi penderita mengenai pemeriksaan dahak dengan kepatuhan pemeriksaan ulang dahak pada penderita TB Para BTA positif yang telah menyelesaikan pengobatan, di Kota Bengkulu.
Pada penelitian ini sebagai variabel dependennya adalah tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak dan variabel independen utama persepsi mengenai pemeriksaan dahak dan variabel lainnya Jenis Kelamin, Pendidikan, Pengetahuan, Umur, Jenis PMO, Jenis Kelamin PMO, Pendidikan PMO, Peran PMO, Pelayanan Petugas, Jarak, Biaya.
Disain penelitian ini adalah kasus kontrol. Sampel adalah semua penderita TB Paru BTA positif, berumur ¡Ý 15 tahun yang telah selesai mendapatkan pengobatan dengan strategi DOTS dari I Januari 2005 s.d. Juni 2006 di 16 Puskesmas Kota Bengkulu dengan jumiah sampel 154 orang terdiri 78 kasus dan 78 kontrol.
Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan antara persepsi penderita mengenai pemeriksaan dahak dengan tidak dilaksanakarya pemeriksaan ulang dahak pada penderita TB paru BTA positif yang telah menyelesaikan pengobatan di Kota Bengkulu. Dengan nilai OR sebesar 4,13(95%CI:1,98 - 8,62) dapat diinterprestasikan bahwa penderita TB Paru yang mempunyai persepsi mengenai pemeriksaan dahak itu kurang balk memiliki peluang 4,13 kali untuk tidak melaksanakan pemeriksaan ulang dahak.
Penelitian ini menyarankan untuk memperbaiki persepsi mengenai pemeriksaan dahak dan juga meningkatkan pemeriksaan ulang dahak pada penderita hendaknya dilakukan penjelasan mengenai pengobatan dan pemeriksaan dahak setiap penderita akan memulai pengobatan TB paru, kunjungan rumah kepada penderita yang tidak melakukan pengobatan teratur dan tidak periksa ulang dahak dan promosi kesehatan mengenai penyakit TB Paru kepada masyarakat, meningkatkan pelayanan petugas kesehatan clan juga agar penderita TB Paru diberikan ASKESKIN."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T18988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pirade, Adolfina
"Salah satu kesepakatan Internasional dalam meningkatkan angka kesembuhan penyakit tuberkulosis paru adalah memberikan pengobatan dengan sistem DOTS. Indonesia telah memulai program DOTS ini sejak tahun 1995 yang dilaksanakan secara bertahap di provinsi, khususnya di DKI Jakarta telah dimulai sejak Juli 1997.
Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan Program P2TB Paru bahwa seorang penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir bulan ke-516 dan akhir pengobatan. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di Jakarta Pusat ternyata bahwa 38,4% penderita TB paru yang selesai berobat tidak memeriksakan ulang dahaknya, sampai saat ini belum ada penelitian di DKI Jakarta mengenai faktor yang berhubungan dengan pemeriksaan ulang dahak.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak di puskesmas Jakarta Pusat. Disain penelitian digunakan yaitu kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB paru baru BTA positif telah selesai pengobatan kategori 1 berumur 15 tahun keatas yang berobat di puskesmas Jakarta Pusat. Besar sampel 150 orang yaitu sampel kasus sebanyak 75 orang dan sampel kontrol 75 orang.
Hasil penelitian dilakukan analisis multivariat dengan logistic regression dengan maksud untuk mengetahui hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Berdasarkan hasil analisis bivariat dari 15 variabel maka didapatkan variabel yang nilai p<0,25 ada 9 variabel, ternyata pada analisis multivariat didapatkan hanya 3 variabel yang berhubungan bermakna (p<0,05) yaitu pengetahuan (OR=28,44 95% CI 4,66-173,62), persepsi (DR 13,90 95% CI 3,54-54,57), kemudahan mengeluarkan dahak (OR=7,54 95% CI 3,31-17,18), serta interaksi antara pengetahuan dengan persepsi (0R=0,11 95%CI 0,14-0,81) dan nilai p=0,031.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan pengetahuan rendah, persepsi buruk, sukar mengeluarkan dahak dan interaksi antara pengetahuan kurang dan persepsi buruk secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak penderita TB paru baru BTA positif di puskesmas Jakarta Pusat tahun 2000. Sesuai dengan hasil demikian maka disarankan agar dilakukan penyuluhan kepada penderita sebelum pengobatan dan setiap penderita melaksanakan pengambilan obat oleh petugas program P2TB di puskesmas, sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan petugas kesehatan yang mampu dan mau benar-benar melaksakanan pekerjaan ini tentunya dengan pelatihan, supervisi dan pertemuan yang membahas masalah pelaksanaan Program TB Paru di puskesmas.

Study of Factors Associated With Not to Re-Examine Their Sputum among New Cases with Positive Fast Acid Bacilli Pulmonary Tuberculosis in Health Centers in Central JakartaOne of the International commitments in increasing the cure rate of pulmonary tuberculosis is to give therapy with DOTS system. Indonesia has started the DOTS program since 1995 beginning in some provinces and gradually expanded to the others. Jakarta began the program in 1997.
According to the criteria set by the Pulmonary TB Eradication Program, a patient is cured if laboratory examination of the sputum shows negative result by the end of the 5th or 6th month of therapy and by the end of the therapy. Secondary data collected in Central Jakarta showed that 38.4% of TB patients which have completed their therapy did not re-examine their sputum. So far there was no study in Jakarta which tried to find out factors related to this re-examination rate.
This research was conducted to know what factors that influence TB patients not to re-examine their sputum in Health Centers in Central Jakarta. The research design used is a case control study where samples were taken from new pulmonary TB patients with positive Fast Acid Bacilli having completed their Category I therapy, aged more than 15 years who came to health centers in Central Jakarta. The sample size was 150, consists of 75 cases and 75 controls.
The data were analyzed by multivariate analysis using logistic regression to know the relation between dependent variables with independent variables. Bivariate analysis from 15 variables showed that 9 variables had p value < 0.25, while multivariate analysis showed that only 3 variables had significant relation (p <0.05), knowledge (OR = 28.44 95% CI 4.66-173.63) p = 0.000, perception (OR = 13.90 95% CI 3.54- 54.57) p = 0.000, the ease to produce sputum (OR = 7.54 95% CI 3.31-17.18) p= 0.000 and interaction between knowledge and perception (OR = 0.11 95% CI 0.14- 0.8I) p = 0.031.
The conclusion of this research is that low knowledge, bad perception, difficulties in producing sputum and interaction between lack of knowledge and bad perception have significant relation (p < 0.05) with the unwillingness to re-examine the sputum among new pulmonary TB patients with positive AFB who came to health centers in Central Jakarta in 2000. Therefore it is suggested that TB program officers in health centers give proper information/education to the patients before starting the TB therapy and every time the patients come to get the TB drugs and hence we need to have officers who are capable and willing to do their work and this certainly can be created by training, supervisions and series of meeting which discuss about pulmonary TB program in health centers."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T5783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elyu Chomisah
"Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 450.000 kasus baru dengan kematian 175.000 orang setiap tahunnya. Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian ketiga setelah kadiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Propinsi Sumatera Selatan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru dengan strategi DOTS dimulai pada tahun 1995, data dari kabupaten / kota didapat angka kesembuhan 82,98 % dan angka cakupan penemuan penderita 26,7 %, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang pada tahun 1998/1999 angka konversi 84,16 % melebihi angka nasional 80%, tetapi angka kesembuhan hanya 76,19 %, dibawah angka nasional 85%. Ketidakpatuhan berobat merupakan salah satu penyebab kegagalan penanggulangan program TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif di RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang Tahun 1998 -2000. Disain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel 186 responden, kriteria sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA Positif Kategori 1, 2 yang telah selesai makan obat dan berumur lebih dari 14 tahun, terdaftar dari bulan Agustus 1998 sampai dengan Desember 2000 di Bagian Penyakit Dalam Poliklinik DOTS RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang adalah Rumah Sakit yang pertama di Propinsi Sumatera Selatan melaksanakan Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru dengan strategi DOTS.
Hasil penelitian analisis - univariat dari 186 responden yang patuh 124 (66,7%) dan tidak patuh 62 ( 33,3%), laki-laki 130 (69,9%), umur produktif (16-45) tahun 135 orang ( 71,8%), pendidikan rendah 114 orang (61,3%), bekerja 100 (53,8%). Pada basil bivariat dari sepuluh variabel independen ternyata hanya empat variabel yang dianggap potensial sebagai faktor resiko (p< 0,25), Hasil analisis multivariat dengan metode Regresi logistik dari empat variabel independen diambil sebagai model, ternyata hanya satu variabel yang mempunyai hubungan bermakna yang paling kuat (p<0,05), yaitu pengawas menelan obat (PMO),OR =3.457. 95 5 : 1,644- 7.269, P value (Sig) = 0,0011.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru BTA positif di Rumah Sakit Dr.Moehamad Hoesin tahun 1998 - 2000 adalah faktor PMO dan faktor penyuluhan kesehatan oleh petugas mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan kepatuhan berobat penderita TB Pam dan yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel dependen adalah faktor Pengawas Menelan Obat (PMO).
Selanjutnya dapat disarankan kiranya faktor pengawas menelan obat (PMO) tetap dipertahankan dan dilakukan pelatihan bagi kader, keluarga, PKK KotafKecamatan 1 Kelurahan, petugas kesehatan secara berkesinambungan dan meningkatkan terns kemampuan pengelola program TB Pam di RSUP Dr.Moehamad Hoesin Palembang, Untuk penyuluhan kesehatan oleh petugas kepada penderita, masyarakat tentang penyakit TB Paru hendaknya tetap diberikan secara berkesinambungan dengan menggunakan poster, leaflet, buku pedoman. Untuk Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan agar tetap menyediakan obat anti Tuberkulosa kategori 1, 2, dan 3.

Lung Tuberculosis (Lung TB) still remains a community health problem, WHO estimates that in Indonesia, there are approximately 450,000 new cases annually with 175,000 death every year SKRT results of 1995 show that tuberculosis is the third cause of death following cardiovascular and respiratory disease and it is of the first cause of infection diseases. In South Sumatera Province, Lung TB Eradication Program with DOTS strategy has been introduced in the province since 1995. Data gathered from districts/cities indicate that the figure of healing is 82.98°/° and the figure of identified patients is 26.7%, At Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital of Palembang of 1998/1999, the conversion figure of 84,16% is higher than the national figure of 80%.However the figure of healing is only 76.19%, below the national figure of 85%. Disobedience to undertaking medical treatment is reportedly to be the cause of failure of Lung TB Eradication Program.
This study is aimed at investigating factors that correlate with patients' obedience to undertaking treatment of Lung TB Positive BTA in Dr.Moehamad Hoesin Central General Hospital in Palembang in 1998 - 2000. The study design employed was controlled case with sample of 186 respondents. The sample criteria used were those samples were Lung TB Positive BTA patients of Category 1 and 2 who had taken their medicines and aged more than 14. registered since August 1998 until December 2000 in Internal Diseases Unit of Polyclinic of the hospital, Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital is the first hospital in the South Sumatera province introducing Lung TB Eradication Program with DOTS strategy.
Result of univariat analysis shows that of 186 respondents, 124 patients (66.7%) were obedient and 62 (333%) were disobedient. The respondents consisted of 130 males (69.9%), 135 (71.8%) patients of productive age (16-45), poorly educated people of 146 (61.3%), working people of 100 (53.8%). The bivariat result indicates that of ten independent variables, only four variables considered potential as risk factor (p<0.25).The multivariat result shows that by using Logistic Regression method, of the four independent variables taken as models, only one variable proven to have the most significant correlation (p<0.05), which was supervisor taking medicine (PMO) OR=3.457.95%: 1.644-7.269, p value = 0, 0011.
It may be concluded that factors that correlate with patients' obedience to undertaking Lung TB positive BTA treatment at the hospital during 1998 - 2000 are PMO factor and health education by health worker; these are having statistically significant correlation (p<0.05) with the patients' obedience to undertaking Lung TB treatment. While the most significant influence on the dependent variable was the supervisor-taking-medicine (PMO) factor.
It may be recommended that the supervisor-taking-medicine factor be sustained; continuous training be provided for cadres, family members, Woman's Club of the city/district/village, and health workers; and management skills of officials in Lung TB Program of the hospital be improved continuously. The health education by health workers for patients and community on Lung TB disease should be sustainable provided by means of poster, flyers, manual book. The health department of South Sumatera Province should keep providing anti Tuberculosis medicines of category 1, 2, and 3."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T1239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jajat Hidajat
"Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)

Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.
The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.
The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.
In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).
The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.
Reference : 46 (1986 - 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idris Ahmad
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebebakan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. pada tahun 2012 mencapai prevalensi 12 juta prevalensi kasus dan 990 ribu kematian di dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit ini sebesar 423/100.000 penduduk dan mortalitas sebesar 27/100.000 penduduk. Salah satu provinsi yang memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari rata-rata nasional adalah Jawab Barat.Dalam sepuluh tahun terakhir pencapaian penemuan kasus baru TB BTA positif (CDR) kota Bekasi belum pernah mencapai target nasional. Selain itu, dari 31 puskesmas yang berada di wilayah Kota Bekasi hanya 3(10%) puskesmas yang mencapai target nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan kasus baru TB BTA positif di puskesmas wilayah Kota Bekasi tahun 2012. Penelitian ini menggunkan metode cross sectional deengan analisis uji T dan Chi square. Penelitian ini dilakukan bulan April–Juni 2013 dengan menggunakan data sekunder baik register TB di puskesmas, dinas Kesehatan, dan laporan pendukung lainnya. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem.
Hasil didapatkan bahwa dilihat dari kondisi SDM, terdapat 14 (54,8%) puskesmas dengan kondisi kurang, tingkat tanggung jawab yang dimiliki oleh penanggung jawab program TB 23 (74,2%) puskesmas tinggi, terdapat 26 (83,9%) puskesmas dengan penanggung jawab program TB dengan tingkat pengetahuan baik, dan 16 (51,6%) puskesmas memiliki proporsi pelatihan tinggi. Dari kondisi sarana dan prasarana diperoleh bahwa terdapat 23 (74,2%) puskesmas memiliki kondisi sarana dan prasarana yang baik.
Berdasarkan alokasi dana tersebar merata 45,2% puskesmas untuk rendah ataupun tinggi. Dilihat dari angka penjaringan suspek diperoleh bahwa 16 (51,6%) puskesmas memiliki angka penjaringan suspek tinggi, dilihat menurut frekuensi kegiatan KIE TB terdapat 26 (83,9%) puskesmas dengan frekuensi KIE TB tinggi, terdapat 20 (64,5%) puskesmas dengan tingkat pemeriksaan kontak tinggi, dan terdapat 16 (51,6%) puskesmas dengan tingkat kemitraan masyrakat rendah.
Hasil analisis antara proses dan output didapatkan adalah terdapat hubungan yang signifikan antara angka penjaringan suspek dengan cakupan penemuan kasus baru TB BTA positif. Didapatkan hubungan yang tidak signifikan antara KIE TB, pemeriksaan Kontak, dan juga kemitraan masyarakat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah angka penjaringan suspek berpengaruh terhadap cakupan penemuan kasus TB BTA Positif.

Tuberculosis is a disease that caused by the Mycobacterium tuberculosis. In 2012, the prevalence of the cases reached 12 million and caused 990 thousand death cases in the world. In Indonesia, the prevalence of this disease is 423/100.000 with 27/100.000 for the mortality rate. One of the provinces which have a higher prevalence than the national average is West Java. Bekasi, as one of the city in West Java still has problem in TB control. In the last ten years, the Case Detection Rate has not reached the national target. In addition, there are only 3 (10%) health centers in Bekasi City which are achieved the national target.
This reaserch is aimed to determine the factors related to the scope of tuberculosis new cases detection in Bekasi Regional Health Center Area in 2012. It then cross-sectional analysis with the T and Chi square test. The research was conducted on April-June 2013 by using secondary data from health centers, health departments, and other supporting reports. Furthermore, a system approach is used in this study.
The results obtained that the human condition 14 (54.8%) in health centers with the low conditions, the level of responsibility held by the person in charge of the TB program 23 (74.2%) in health centers with a high level of responsibility, there were 26 (83.9% ) which had charge of the TB program with a good level of knowledge, and 16 (51.6%) with high training proportions. In term of infrastructure condition, it is obtained that there are 23 (74.2%) health centers in the good condition.
Based on the fund allocation, it is equally spread 45.2% for good and low condition. In crawl suspect, it is obtained that 16 (51.6%) health center with high crawl suspect, seen by the frequency of Communication, Information, and Education of TB (KIE TB) activities there were 26 (83.9%) centers with a high frequency of KIE TB, then there are 20 (64.5%) health center with high examination for the person in contact, and there are 16 (51.6%) health centers with low levels of society partnerships.
The result for the process and output is obtained that there is a significant correlation between the number of crawl suspected to number of coverage of the Tuberculosis (+) new case detection. Meanwhile, there is no significant correlation between KIE TB, contact examination and as well as community partnerships. The conclusion of this study is the crawl of the suspect affects number of coverage of the Tuberculosis (+) new case detection.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45762
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana Sari
"Tuberculosis paru masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Di tahun 2000 diperkirakan muncul 10,2 juta penderita bare tuberculosis dan 3,5 juta orang meninggal karenanya setiap tahun. WHO menyebutkan bahwa Indonesia merupakan penyumbang TB terbesar ketiga didunia setelah India dan Cina (Depkes R1,2002). Sampai saat ini di seluruh Indonesia pemberantasan penyakit tuberculosis masih jauh dari yang diharapkan_ Peningkatan kasus dan kematian tuberculosis antara lain karena tidak diobati, basil pengobatan yang rendah serta adanya kasus kasus barn. Juga kasus yang tidak sembuh dan kasus kambuh. Oteh karena itu masalah ketidaksembuhan merupakan prioritas yang paling panting untuk diselesaikan. Tujuan .Penelitian ini bertujuan mengembangkan model prediksi ketidaksembuhan penderita tuberculosis paru BTA positif melaiui identifkasi determinan dominan terhadap ketidaksembuhan penderita TB paru BTA positif di kabupaten tangerang. Metode. Desain penelitian studi Iongitudinal telah digunakan pada penderita TB pare BTA (+) dengan faktor karakteristik penderita dan faktor akses Iainnya. Analisis data menggunakan metode regresi logistik ganda untuk memperoleh model paling balk (fit), sederhana (parsimonious), dan tepat (robust) sehingga dapat menggambarkan hubungan variabel dependen dengan satu set variabei independen. Jumiah sample 164 penderita dan 23,2% diantaranya mengalami ketidaksembuhan. Pada penelitian ini juga telah menemukan model prediksi ketidaksembuhan penderita tuberculosis paru BTA Positif. HASIL Analisis regresi logistik ganda menunjukkan ketidaksembuhan penderita TB paru, pekerjaan (faktor karakteristik), jarak dari numb ke puskesmas dan keterjang)Cauan (faktor akses). Dengan jarak sebagai determinan yang paling dominan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak mempunyai OR = 2,71 95%CI :1,21 - 6,07), Keterjangkauan OR = 2,54 (95% CI :1,12-5,76) dan pekerjaan OR x,41 (95%C1: 0,18- 0,92). Kesimpulan. Penelitian menyimpulkan bahwa peranan akses yaitu jarak jauh dekat ketempat puskesmas, keterjangkauan dan pekerjaan penderita TB paru BTA Positif mempunyai pengaruh terhadap ketidaksembuhan penderita selama pengobatan.

Tuberculosis is still a major problem worldwide, one third of the world population are infected by Mycobacterium tuberculosis. In the 2000, approximately 10,2 million of new cases are identified and 3,5 million people died because of this disease annually. WHO state that Indonesian is the third country most contribute tuberculosis problem after India and China ( Depkes RI,2002). Up to present the tuberculosis rehabilitation program in Indonesian is still far away from expected outcomes. Increasing morbidity and mortality of tuberculosis because of not treatment patients, cure rate still low, new cases, not recovery patient and relapse. So the problem about not recovery cases to be a priority to solve. The purpose of the study was determining variables influence not recovery cases of tuberculosis patient in Tangerang. Method : the design of this study was longitudinal retrospective with tuberculosis patients as subjects and characteristic, access factors to influence. The data were analyze using the multiple logistic regression in order to find the most proper ( fit), simple (parsimonious) and the right (robust). Model in order to describe the relationship between the outcome variable and one set predictor variables. 164 subjects participated in the study of which 38(23,2%) of the subject are identify as cases not recovery . Based on the findings the study also propose a predicted model of tuberculosis patient not recovery treatment. Result. Multiple logistic regression analysis show that the predictor of the outcome are job, distance and to reach, and distance is the main determinant. The result of this study showed that distance have OR = 2,71 95% CI : 1,21-6,07; to reach have OR =2,54 95% CI: 1,12 - 5,76; Job have OR 0,41 95% CI : 0,18 -- 0,92; Conclusion : this study have conclusion that a distance have a lead of access factors and to reach of the others and job of tuberculosis patient have definitive influence not recovery cases."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helda Suarni
"Penyakit tuberkulosis merupakan masalah global dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Bakteri Mycobacterium tuberculosis . WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Depok khususnya Kecamatan Pancoran Mas masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2009 di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan Pancoran Mas yaitu Puskesmas Pancoran Mas, Puskesmas Cipayung, Puskesmas Rangkapan Jaya dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >= 15 tahun dan tercatat di buku register TB Paru. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok bulan Oktober tahun 2008- April tahun 2009.
Faktor risiko lingkungan yang di teliti adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah dengan memperhatikan karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, prilaku batuk dan kebiasaan merokok dari responden Metode yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan perbandingan 1:1 dengan 50 penderita TB Paru BTA positif sebagai kasus dan 50 penderita BTA negatif kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) adalah ventilasi rumah (OR=14,182 CI=5,412-37,160 %), pencahayaan (OR =9,117 CI= 3,668- 22,658) sedangkan faktor risiko lain adalah perilaku tidak menutup mulut saat batuk (OR =12,310 CI=3,375-44,890). Sedangkan untuk suhu dan kelembaban walaupun secara statistik tidak menunjukkan hubungan tetapi rata-rata tidak memenuhi persyaratan rumah sehat ( suhu rata-rata 30,84ºC dan kelembaban rata-rata 70,38 %).
Untuk itu disarankan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan rumah, berperilaku hidup bersih dan sehat dan melakukan penghijaun di rumah. Untuk petugas puskesmas sebaiknya lebih meningkatkan lagi kegiatan di klinik sanitasi, melakukan kunjungan langsung kerumah penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Untuk Dinas Kesehatan Depok sebaiknya tidak hanya menekankan kepada pengobatan penderita tetapi juga lebih kepada pencegahan penyakit ini dan kepada Pemerintah Kota Depok sebaiknya lebih meningkatkan perencanaan program rumah sehat seperti perencanaan perbaikan rumah masyarakat yang tidak mampu khususnya bagi penderita TB Paru BTA (+) dan meningkatkan program pemberantasan penyakit menular."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Apriani
"Program Pemberantasan TB Paru bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru. Salah satu upaya dalam pemutusan rantai penularan adalah menemukan dan mengobati penderita BTA (+) sampai sembuh, dengan menggunakan obat yang adekuat dan dilakukan pengawasan selama penderita minum obat.
Kegiatan pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kabupaten Donggala telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat disebabkan adanya kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan atau memang dimasyarakat TB Paru masih banyak ditemukan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Donggala. Jenis disain yang digunakan adalah kasus kontrol dengan menggunakan 2 jenis kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+), kontrol-1 yang merupakan kontrol yang berasal dari sarana pelayanan kesehatan yaitu adalah tersangka TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA (-) dan tidak diobati dengan obat anti tuberkulosis serta pada saat wawancara tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih dan kontrol-2 berasal dari masyarakat yaitu tetangga kasus dengan criteria tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel yang diwawancarai sebanyak 270 kasus dan 540 kontrol.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-1 adalah umur, adanya sumber penular, cahaya matahari dalam rumah, kepadatan penghuni rumah, interaksi antara sumber penular dan cahaya matahari dalam rumah, dan sumber penular tidak berobat.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-2 adalah jenis kelamin, status vaksinasi BCG, keeratan kontak, lama kontak, sumber penular tidak berobat dan kepadatan penghuni rumah.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa adanya kontak dengan penderita TB yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang erat hubungannya dengan kejadian TB, sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan dilakukan penyuluhan secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera mencari pengobatan.

The objective of Pulmonary Tuberculosis Control Programme is to reduce TB transmission. In order to reduce the transmission, the first priority is to decrease the risk of infection by case finding, treatment and cure of AFB (+) tuberculosis patients with adequate regimens and proper supervision during the treatment.
TB Control Programme activities with DOTS strategy in Donggala District has been implemented since 1995. Due to the increasing of case finding of new AFB (+) patients, tuberculosis still remain as public health problem. This is caused by the awareness of community to get the treatment or the existence of Pulmonary Tuberculosis in the community.
The research aim is to identify the related factors to Pulmonary Tuberculosis in Donggala District. The case-control method had been used with two different controls. The case is the new AFB (+) tuberculosis patients while the first control is the TB suspect with the result of the examination is negative as facilities based control and the second is the neighbor of cases as community based control. Both controls were not coughing for last 3 weeks at the time of the interview. 270 cases and 540 control had been interviewed as the respondents.
The result of the research reveals that related factors to Pulmonary Tuberculosis with facilities based control are age, source of infection, house lighting, house density, interaction of house lighting and source of infection, and the source of infection who were not treated.
Related factors to the incidence of Pulmonary Tuberculosis with community based control are sex, BCG vaccination status, contact closeness, duration of contact, the source of infection who were not treated and house density.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with TB patients who were not treated is the risk factor that closely relates to the Tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, early treatment and cure the patients. In addition, it is necessary to provide continuous health education in order to improve the awareness of community to seek the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ishak Daud
"Tuber kulosis paru merupakan masalah kesehatan utama dinegara berkembang penyakit ini merupakan penyebab kematian no 3 di Indonesia setelah radang pernafasan bawah, penyakit kardiovaskuler. Di negara berkembang setiap tahun 4 - 5 juta kasus penyakit TB paru menular yang timbul setiap tahun, dimana 8 juta penduduk terserang, 3 juta diantaranya meninggal dunia. Di Indonesia preevalensi TB paru dengan BTA + sebesar 0,29 % dari jumlah penduduk, kematian akibat TB paru lebih kurang 175 ribu penderita setiap tahun. Sumatera Barat prevalensi TB paru usia produktif adalah 5,3 %, cukup tinggi dari pada angka nasional. Keberhasilan pengobatan dan penyembuhan penyakit berhubungan dengan kepatuhan Penderita minum obat selama 2 bulan fase awal dan 4 bulan fase lanjutan sehingga memberikan dukungan dalam keberhasilan pengobatan.
Tujuan penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita di poliklinik paru Rumah Sakit Dr. Ahmad Muchtar Bukit Tinggi tahun 2000. Waktu penelitian adalah dari bulan Januari 2000 sampai dengan Agustus 2000 dengan desain penelitian adalah potong lintang (cross sectional) populasi penelitian adalah penderita TB paru yang berobat di poliklinik Rumah Sakit Dr.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi dengan jumlah sampel 100 orang dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung.
Hasil penelitian menunjukan 69 orang (69%) patuh dan 31 orang (31 %) penderita tidak patuh berobat. Analisis menghasilkan 5 variabel yaitu umur, pengetahuan, pendidikan, jarak rumah penderita, dan dukungan keluarga yang mempunyai hubungan bermakna (p 0,05) dengan kepatuhan berobat. Pertama umur, yang lebih 50 tahun berhubungan dengan kepatuhan berobat dengan odds Ratio 2,78 (95% CI; 1,16 - 6,05). Kedua hubungan antara pengetahuan yang kurang dengan kepatuhan berobat dimana Odds Ratio 14,74 (95% CI; 3,96 - 54,85). Ketiga pendidikan rendah berhubungan dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 7,31 (95 % CI; 2,65 - 20,28). Keempat hubungan antara jarak rumah penderita dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 3,20 (95% CI; 1,32 --1,75). Kelima hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 2,57 (95% CI; 1,05 - 6,27).
Dari hasil multivariat dengan metode regresi logistik dari 10 variabel bebas, hanya 8 variabel yang masuk sebagai kandidat untuk dianalisis. Hasilnya hanya 1 variabel yang dominan yaitu umur, pengetahuan pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, jarak, hubungan keluarga. Setelah dikontrol dengan variabel bebas lainnya beberapa kali, ternyata variabel determinan yaitu pendidikan dan jarak rumah ke rumah sakit. Untuk mengatasi ini perlu diadakan penerangan terus manerus bagi pengunjung poliklinik paru sebelum diadakan pelayanan pengobatan kesehatan serta perlu di bentuk pusat-pusat pelayanan penderita TB paue agar penderita tidak terlalu jauh datang ke poliklinik paru Rumah Sakit Dr.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi.

Lung Tuberculosis as main public health problem in the developing country. Indonesia is one of the country with high prevalence of tuberculosis disease, is third -death after cardiovascular disease, lower respiratory infection. In developing countries 4-5 million peoples were covered every year, which are 3 million is dead. Indonesia prevalence Lung Tuberculosis with Acid Flaccid Bacteria positive about 0,29% cases of people and death ± 175.000 peoples every year. West Sumatera more than national prevalence is 5,3% of productive age. Successfulness of disease of control and treatment program is related closely to patients compliance.
The aim of research to evident compliance treatment in polyclinic of Dr. Ahmad Muchtar Hospital Bukittinggi year 2000. The study was conducted on January to August 2000 by using cross sectional design. The population of this study was patients of Tuberculosis treatment with short course regiment at polyclinic of Dr. Ahmad Muchtar Hospital, have got Tuberculosis drugs for 6 month. Sample of 100 patients were taken from the perspective population. Data were collected by interviewing Tuberculosis patients using structured questionnaire. The result of the study showed that only 69 (69%) patient compliance to the treatment and 31 (31%) incompliance.
The result of analysis found 5 variables significantly to treatment compliance (p c 0,05). First younger more compliance than older with OR 2,78 (95%CI 1,10 - 6,05). Second, good knowledge compliance than low knowledge with OR 14,74 (95%C13,96 - 34,05). Third high education compliance with CR 7,31 (95%CI 7,65 - 20,28). Fourth closely distance, compliance with CR 3,20 (95%CI 1,32 - 1,75). Fifth family supported, compliance with OR 2,57 (95%CI 1,05 - 6,27).
The result of multivariate analysis with logistic regression method found 8 candidate variables of 10 independent variables and 2 variables statistically significant (p < 0,05), they are education with DR 7,31 (p = 0,000) and close distance with OR 3,20 (p = 0,0024). The analysis was controlling by the other variable, such as age, knowledge, job, sex, perception of service and family support. The study concluded that education and distance patient home have more contribution to treatment compliance of Tuberculosis disease in hospital than the other variables. Based on the result of the study, it is recommended to increase patients knowledge in Tuberculosis by health education, to increase patients compliance and make new Tuberculosis centre beside coordinate with health centre where is the patient live.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T2140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>