Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61024 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isworo Pujotomo
"Batubara kualitas rendah merupakan bahan bakar fosil yang cadangannya cukup besar dan tersebar di seluruh dunia. Sekitar 60 % batubara Indonesia masuk dalam kategori ini.
Dibandingkan bahan bakar fosil lain, batubara berdampak negatip terhadap lingkungan terutama dari segi buangan cerobongnya. Buangan cerobong PLTU batubara yang dapat mengganggu ekosistem dan kesehatan manusia antara lain SO2 (dioksida sulpur), abu, NOx (oksida nitrogen) dan CO2 (dioksida karbon).
Dengan teknologi pencucian batubara aliran pusar bubur kental magnetit, kadar abu dan sulpur batubara lignit masing - masing berkurang 51,21% dan 24,14% serta nilal kalor meningkat 25,54 %. Biaya pembangkitan listrik PLTU mulut tambang 200 MW dengan bahan bakar lignit cuci Rp.410,41 / kWjam dan dengan batubara lignit Rp. 353,59 / kWjam. Perbedaan biaya pembangkitan sebesar kurang lebih Rp 57,- / kWjam merupakan biaya cuci batubara lignit dan dapat dianggap sebagai biaya pengurangan polusi abu, sulpur dan biaya peningkatan nilal kalor batubara lignit.
Peningkatan biaya pembangkitan ini dapat dihindari dengan langsung menggunakan batubara lignit sebagai bahan bakar PLTU mulut tambang tanpa dicuci.

Low quality coal is a fossil fuel, largely deposited and spread in the world. Approximately 60 percent of Indonesian's coal deposits belong to this category.
Compared to other fossil fuels, coal has a negative environmental impact especially from chimney emissions. Chimney emissions of coal-fired power plant, disturbing ecosystems and human health are such as S02 (sulphur dioxide), ash, NO, (nitrogen oxide) and CO2 (carbon dioxide).
Using dense medium cyclone technology, ash and sulphur of lignite coal decreased 51,21% and 24,14% calorific value increased 25,54 %. Generating cost of a 200 MW mine-mouth washed lignite coal fired power plant is Rp. 410,41 / kWh and that of a 200 MW mine-mouth lignite coal fired power plant is Rp. 353,59 /kWh. The generation cost difference of about Rp. 57,- / kWh, is the cost of washing lignite coal and can be assumed ash and sulphur reduction cost and calorific value increasing cost.
Increased generation cost can be avoided by directly using lignite coal as mine-mouth fired power plant fuel without washing.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
T5740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Damanik
"Korupsi merupakan praktik konkrit pertahanan kekayaan dari hubungan kuasa politik dan material, dan dapat terjadi karena adanya dominasi oleh pemilik kekuasaan minoritas atau disebut oligarki. Winters (2011) memberikan definisi Oligarki sebagai sebuah sistem yang merujuk pada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. Argumen tesis tersebut diperlihatkan dengan menganalisa oligarki pada jejaring korupsi pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1 dengan kerangka teori dari Winters (2011). Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan cara mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam (daring dan luring) dan triangulasi dengan data sekunder malalui kajian literatur. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Korupsi ini terjadi dikarenakan adanya konsentrasi material yang ditopang oleh kekuasaan politik yang mampu mengubah kebijakan dan menciptakan struktur informal. Dalam kasus ini jejaring penyokong oligarki mempengaruhi proses maupun hasil dari kebijakan pemerintah dan birokrasi, jaringan korupsi tersebut mematahkan integritas pejabat publik sehingga kerja pemerintah menjadi bagian dari politik praktis yang mendapat tekanan kepentingan elite politik. Dengan demikian, hubungan oligarkis politik dan bisnis menciptakan dominasi kekuasaan dan menggunakannya sebagai alat pertahanan kekayaan.

Corruption is an actual practice of defending wealth as the outcome of the political and material power relations; it occurs because of the dominance of the minority power called the oligarchy, defined as a system that refers to the politics of wealth defence by actors who have material wealth (Winters 2011). Utilizing Winters’ theory of oligarchy, this thesis argument is explained through analyzing the corruption networks in the Coal Power Plant Project of Mulut Tambang Riau-1 in 2018 among the networks of business and politicians who became the oligarchs. In collecting data, this study used the qualitative methods, by collecting primary data through in-depth interviews (online and offline) and triangulated these data with the secondary data obtained through literature review. The research findings indicate that the corruption occurs due to the concentration of material which is supported by political power who has the ability to change policies and creating informal structures as the environment for doing the corruption. This case study shows that the network that supporting the oligarchy influences the process and the result of government policies as well as the bureaucracy. Moreover, the deprivation of the public officials’ integrity has been the result of the corruption network which make the policies issued by the government are overpowered by the interests of the political elites. The oligarchic relations of politics and business, therefore, creates the domination of power and uses it as a means of wealth defence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suparno
"ABSTRAK
Masalah yang dihadapi dalam penyediaan tenaga listrik di pulau Jawa adalah adanya ketidakseimbangan antara besarnya permintaan kebutuhan beban dan potensi sumber daya energi primer yang dimiliki. Di sektor tenaga listrik, pulau Jawa merupakan pusat beban namun kurang didukung oleh potensi sumber daya energi primer yang memadai.
Di lain pihak, pulau Sumatera memiliki cadangan sumber daya energi primer yang sangat besar, sementara beban listriknya masih rendah. Di sana terdapat sebagaian besar cadangan batu bara yang merupakan sumber daya energi primer terbanyak yang dimiliki Indonesia.
Pemanfaatan batu bara dalam pembangkitan tenaga listrik di Indonesia mengalami kendala, karena pusat pusat produksi batubara di Sumatera dan Kalimantan letaknya jauh dari pulau Jawa sebagai pusat beban. Pengoperasian PLTU di Jawa secara besar-besaran memerlukan dukungan sistem transportasi batubara yang handal untuk menjamin pasokan kebutuhan bahan bakarnya, sehingga dibutuhkan biaya investasi di sektor tranportasi yang cukup besar.
Cadangan batubara di Sumatera sebagian besar terdapat di Bukit Asam, Sumatera Selatan berupa batubara lignit yang berkualitas rendah dengan kadar air tinggi dan nilai kalor rendah. Tingginya kadar air dan rendahnya nilai kalor, menyebabkan batu bara lignit secara ekonomis kurang menguntungkan untuk diangkut melalui perjalanan yang jauh, ia hanya mungkin dimanfaatkan untuk bahan bakar PLTU mulut tambang.
Penelitian ini membahas tentang prospek PLTU mulut tambang di Sumatera Selatan dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Jawa. Dalam pembahasan akan dihitung biaya investasi dan biaya pembangkitan PLTU mulut tambang dibandingkan dengan PLTU batubara di Jawa. Di samping itu, juga akan dihitung biaya investasi di sektor transportasi batubara yang dibutuhkan untuk memasok batu bara bagi PLTU di Jawa."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murad Leksmono
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1979
S16482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairuddin Hasyim
"ABSTRAK
Seiring dengan makin meningkatnya kegiatan pertambangan batubara di Indonesia yang ditetapkan sebagai primadona ekspor tahun 2000 dan juga sebagai energi alternatif pengganti migas, diikuti pula dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkannya, maka pengelolaan lingkungan di pertambangan batubara perlu mendapat perhatian khusus.
Permasalahan yang muncul pada pengelolaan lingkungan di pertambangan batubara terutama berkaitan dengan kegiatan pengelolaan air limbah, pengelolaan debu, pelaksanaan reklamasi, revegetasi dan pertumbuhan tanaman. Hal ini terlihat dengan banyaknya tanggapan yang muncul di media massa.
Salah satu kegiatan dalam dokumen AMDAL adalah Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang pelaksanaannya sudah berjalan 9 tahun sejak penelitian ini dilakukan.
Kegiatan Pertambangan Batubara dengan kapasitas produksi ~ 200.000 ton/ tahun merupakan salah satu kegiatan wajib AMDAL pada Bidang Pertambangan Umum dan Energi yang juga sebagai salah satu objek Pemantauan Lingkungan (RKL dan RPL) yang dipantau oleh Direktorat Pertambangan Umum.
Pada tahun 1995/1996 di Indonesia terdapat 62 buah Perusahaan Tambang Batubara yang telah mempunyai dokumen AMDAL (RKL dan RPL), 16 perusahaan diantaranya telah dilakukan pemantauan secara rutin oleh Direktorat Teknik Pertambangan Umum melalui PIT sejak tahun 1994/1995.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelaksanaan pengelolaan lingkungan di tambang batubara sesuai RKL dan RPL. Secara khusus untuk melihat seberapa jauh kebijakan, organisasi dan personalia, ketersediaan sarana, prasarana dan biaya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan di tambang batubara, serta hubungannya dengan pelaksanaan RKL dan RPL.
Hasilnya diharapkan dapat memberikan masukan pada berbagai pihak terutama untuk meningkatkan kinerja pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah crossectional. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Sampel adalah total populasi yaitu 16 tambang batubara yang dipantau secara rutin sejak tahun 1994- 1996 oleh Pelaksana Inspeksi Tambang (PIT).
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil jawaban kuesioner Kepala Teknik Tambang tahun 1996, isi kuesioner mencakup variabel independen berkenaan dengan kebijakan, organisasi dan personalia, prasarana, sarana, dan biaya. Data sekunder diperoleh dari laporan rutin dari pemrakarsa, dan laporan tahunan dari hasil pemantauan PIT tahun 1994-1995.
Untuk melihat besaran masalah dilakukan analisis persentase dan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen digunakan uji statistik Fisher Exact Test (2-tailed) pada a = 0,1.
Hasil yang diperoleh ; 1) pelaksanaan pengolahan air limbah, reklamasi dan revegetasi umumnya belum berjalan dengan baik, sedangkan pengelolaan debu dan pertumbuhan tanaman sudah baik. 2) Penyusunan RTKL dan penyampaian laporan rutin umumnya sudah baik. 3) Secara kuantitas tenaga yang tersedia sudah baik tetapi kualitas tenaga ahli yang tersedia masih kurang. 4) Sebagian besar perusahaan telah mempunyai sarana pengolahan air limbah dan debu serta bibit tanaman yang cukup, tetapi sarana untuk pengambilan sampel masih kurang. Umumnya biaya yang tersedia untuk pengelolaan lingkungan masih terbatas. 5) Dari hasil uji statistik terlihat bahwa Penyampaian laporan rutin (kebijakan) berhubungan dengan pengelolaan air limbah (p-value 0,063), 6) Status tenaga ahli (organisasi dan personalia) berhubungan dengan pertumbuhan tanaman dan pengelolaan air limbah (p-value 0,040 dan 0,063). Masa kerja kepala teknik tambang berhubungan dengan pengelolaan debu (p-value 0,025). 7) Kelengkapan Sarana dan prasarana berhubungan dengan pengelolaan air limbah (p-value 0,088).
Ketersediaan biaya berhubungan dengan pengelolaan debu (p-value 0,063).
Dari hasil etudi ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan belum sesuai dengan RKL dan RPL yang telah disepakati, terutama pada kegiatan pengelolaan air limbah, pelaksanaan reklamasi dan revegetasi.
Untuk terlaksananya pengelolaan lingkungan sesuai RKL dan RPL di tambang batubara perlu perhatian khusus terhadap variabel yang mempunyai daya ungkit besar seperti penyampaian laporan rutin, ketersediaan tenaga ahli, dan pengalokasian biaya.

ABSTRACT
The Implementation of Environmental Management and Monitoring Plans (RKL and RPL) in A Coal Mine (An Evaluation Study of 16 Coal Mining Enterprises in Indonesia)In line with the ever increasing coal mining activities in Indonesia, which was determined as the primadona to produce export commodity by the year 2000, therefore, environmental management in the coal mining areas need special attention. It became imperative, since coal is the energy alternative replacing oil gas and the cause of environmental pollution that followed during the mining activities.
The issue emerged in environmental management in coaltation management activities. Such can be seen in the many responses emerging in the mass media.
One of the activities in the AMDAL Document is the RKL (Environmental Management Plan) and RPL (Environmental Monitoring Plan), the implementation of which, took place some 9 years since this study was carried out.
Coal mining activities which a production capacity >200.000 tons per year constitutes one of the activities that needs an AMDAL study in the field of General and Energy Mining. It is also an object of Environmental Monitoring and Management Plans that are monitored by the General Works Directorate.
In 1995/1996 there were in Indonesia some 62 coal mining enterprises that have already AMDAL documents (RKL and RPL). Sixteen of them were monitored routinely by Technical Directorate of General Mining by way of PIT since 1994/1995.
The objectives of this study are to know the factors that influence the level of Environmental Management implementation at the coal mine, in accordance with the pre-scribed RKL and RPL. Specifically, it is to see how far the policy, organization and personalia, availability of infra-structure and cost that relate to environmental management in the coal mine and interactions with the implementation of RKL and RPL.
The result expected is to provide input to the various parties, especially to increase the activities in environmental management and monitoring.
The design of this study is cross-sectional. This study is descriptive in nature. The sample taken is the total population, namely 16 coal mines that are routinely monitored since'1994-1996 by the Mining Inspection Implementor (PIT).
The data collected covers primary and secondary data. Primary data was obtained from the responses of the 199S mining technical, chief questionnaires. The questionnaire content includes independent variables relating to policies, organization and personalia, infra-structure and facilities and cost. Secondary data was obtained from routine reports of proponent and annual report of PIT's monitoring results of 1994-1995.
To get the issues' magnitude, thence, percentage analysis was undertaken. To see the association between dependent and independent variables, the Fisher Exact Test (2-tailed) was used at alpha = 0,1.
The results obtained were:
1) The implementation of waste water processing, reclamation and revegetation, in general, do not yet run properly, whereas dust and greenery growth management is good.
2) The formulation of Annual Environmental Management Plan (RTKL) and routine report submission is good.
3) Quantitatively, available manpower is good, but the qualities of available expertise are meager.
4) The majority of enterprises have waste water and dust processing plans as well as sufficient plant seedlings, but the means of sample takings are still wanting. In general, the available fund for environmental management is still limited.
5) Statistical tests showed that routine report (policy) submission is associated with waste water management (p-value 0,063).
6) expertise status (organization and personalia) are associated with greenery growth, and waste water management (p-value 0,040 and 0,008), mining technical chief working years' duration is associated with dust management (p-value 0,025).
7) Infrastructure and facilities' completeness are associated with waste water management (p-value 0,086), availability of funds is associated with dust management (p-value 0,063).
From the results of this study, it can be concluded that environmental management and monitoring implementation is not yet in accordance with RKL and RPL already agreed upon, especially in the waste water management, implementation of reclamation and revegetation.
The realization of environmental management as stated in the RKL and RPL in the coal mine, special attention need be given to wards the variable has the greatest lever power like routine report submission, availability of expertise and fund allocation.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
S36354
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Soemarno Witoro Soelarno
"Pertambangan mempunyai kekuatan yang signifikan untuk dikembangkan sebagai penggerak pembangunan di daerah terpencil dimana pertambangan itu berada. Namun, apabila kebergantungan daerah tersebut cukup besar pada pertambangan, pada suatu saat apabila kegiatan pertambangan berakhir maka dapat menyebabkan shock pada banyak aspek, misalnya terhentinya kegiatan perekonomian, pengangguran, meningkatnya kriminalitas, dan keresahan sosial lainnya.
Hasil Proses Hierarki Analisis menunjukkan bahwa pada perencanaan penutupan tambang yang menunjang pembangunan berkelanjutan, para pihak pemangku kepentingan sepakat faktor perlindungan dan kelestarian fungsi lingkungan mendapat bobot paling besar untuk diperhatikan, kemudian diikuti oleh pembangunan dan keberlanjutan ekonomi, serta sosial dan kesehatan masyarakat. Para pihak pemangku kepentingan sepakat bahwa penggunaan lahan bekas tambang diprioritaskan untuk kawasan perkebunan, dengan alternatif lain untuk dikembangkan adalah budidaya perairan Sena kawasan wisata. Pemerintah Daerah dan perusahaan tambang dipandang sebagai pihak yang mempunyai peran besar pada keberhasilan perencanaan dan plaksauaan penutupan tambang. Sektor pertanian menjadi sektor yang paling konvergen (sesuai) untuk menggantikan sektor pertambangan pada masa pasca tambaug.
Permodelan system dynamics menunjukkan bahwa kombinasi pengusahaan tanaman karet, kelapa sawit, dan hutan dengan dana investasi dari royalti batubara, dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah Kabupaten Kutai Timur pada masa pasca tambang. Manfaat ekonomi dari penanaman hutan diperoleh dari kompensasi penyerapan karbon melalui Mekanisme Pembangunan Bersih, basil hutan non kayu, dan pemanenan hasil kayu secara berkelanjutan. Reinvestasi dari bagian pendapatan hasil tambang melalui mekanisme Dana lnvestasi Pembangunan Berkelanjutan (DIPB), mampu difungsikan sebagai MODAL untuk pembangunan berkelanjutan.
Daerah-daerah yang mempunyai kebergantungan yang tinggi pada hasil tambang, perlu menyusun kebijakan tentang alokasi pemanfaatan pendapatan dari pertambangan, agar pembangunan dapat berlaujut pada periode pasca tambang.

Mining industry has a significant potency as the prime mover of the development in the area where mining is developed, especially in remote area. But if the region too dependent on mining revenue, some day, whenever the mining is ceased it will shock some aspects; it could stop the economic activities, it will cause unemployment, the raise of crime, and some other social disquiets.
Result of Analytical Hierarchy Process shows that factor of protection and continuation of environmental functions gets the largest portion to be concerned in mining closure plan that supporting the sustainable development, followed by the social, economic and public health development and continuation. Stakeholders agreed to define post mining land use for plantations and water preserve and also as a tourism site. Local Government and mining company were assumed have very important role on the efficacy ofthe planning and the practice of mining closure. In the period of post mining, agriculture sector is the most convergent sector to replacing the mining sector.
Simulation with system dynamics shows that a combination of palm oil and rubber plantation, and forestry funded by invested fund ji-om the coal royalty, so called as Investment Fund for Sustainable Development, could support the sustainable development in the period of post mining. Economic rent from forestry obtained by compensation through Clean Development Mechanism, sustainable forest products, non timber forest products, and environmental services provided by forest. Reinvestment of fund generated from mineral royalty through Investment Fund for Sustainable Development is able to be functioned as CAPITAL for sustainable development.
Regions with high dependency to mineral revenue, need to formulate policy with regard to mineral revenue allocation and utilization for supporting sustainable development in the post mining period.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
D1540
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhirul Ramdhan
"Pertumbuhan kebutuhan daya tistrik dan besarnya jumlah daftar tunggu pada Sistem Kelistrikan Kupang menyebabkan pihak Penyedia Tenaga Listrik melakukan rencana untuk membangun PLTU baru. Untuk menambah pembangkit baru, pihak penyedia tenaga listrik melakukan perencanaan yang secara garis besar terdiri dari rencana teknis dan rencana finansial. Sebagai bahan simulasi dan anatisa, energi listrik yang terjuat dad PLTU baru dibagi menjadi 2 bagian yaitu energi terjuat dengan asumsi penambahan energi daftar tunggu dan energi terjuat asumsi PLN sebesar 80% dari daya mampu nominaL seperti dalam PPA (Power Purchase Agreement).
Dari hasil simutasi yang dilakukan, harga produksi listrik hasil simutasi masih lebih besar dibanding dengan harga produksi Listrik asumsi PT. PLN (Persero). Perbedaan harga tersebut disebabkan oLeh perbedan asumsi energi listrik yang terjual. Dengan menggunakan metode statistik hubungan antara pertumbuhan ramalan energi yang terjuat dan harga produksi listrik dapat membentuk suatu persamaan harga produksi listrik. Dan dari persamaan tersebut dapat dihasitkan jumlah energi listrik yang harus terjual dari PLTU baru agar harga produksi listrik asumsi simulasi sesuai dengan harga tistrik asumsi PLN. Dan dengan memasukkan nilai ramalan energi tistrik yang terjual kedalam persamaan tersebut, dapat juga diketahui harga produksi listriknya.

Demand power electricity Growth and level of waiting-list amount at Kupang Electricity System of cause PLN do plan to build new PLTU. To add new power generating, PLN do planning that is marginally consisted by the technical and financial plan. Upon which the simulation and analyze, electrics energy sold from new PLTU divided to 2 shares that is energy sold with assumption of addition energy waiting-list and energy sold by PLN assumption of equal to 80% from nominal power able like in PPA (Power Purchase Agreement).
From result of simulation, price produce electrics result of simulation still is bigger compared to price of production electrics of assumption PT. PLN (Persero). Difference the Price because different assumption of electrics energy sold. By using statistical methods of relation between growth of energy sold forecast and the electrics produce price can form an equation of electrics produce price. And from the equation can be yielded amount of electrics energy which must be sold from new PLTU in order to the electrics produce price of simulation as according to electrics produce price of assumption PLN. And entered assess forecast of electrics energy sold into the equation, can also known its the electrics produce price.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
T15015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>