Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80883 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Nurhayati
"Didasari pandangan bahwa peranan pemerintah diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi sehingga berkembang teori-teori perencanaan pembangunan yang bertujuan untuk mengurangi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh mekanisme pasar. Di sisi lain, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan lahan atau ruang sebagai wadah kegiatan untuk menciptakan nilai tambah, yang keberadaannya terbatas. Sehingga diperlukan upaya untuk pengaturan pemanfaatan ruang agar tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang. Penataan ruang merupakan salah satu bentuk peran pemerintah dalam mengalokasikan dan mengatur pemanfaatan lahan.
Kondisi Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam mengalokasikan sumber daya lahan yang terbatas dan adanya berbagai kendala dalam menciptakan pertumbuhan wilayah. Tujuan dari penelitian adalah menelaah mengenai penggunaan lahan yang ada serta rencana penggunaan lahan yang telah ditetapkan RTRWP, apakah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Bagaimana pengaruh suatu kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Penelitian difokuskan pada pengaruh kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap pencapaian alokasi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian PDRB maksimal. Kebijakan pengaturan penggunaan lahan merupakan kebijakan pemerintah daerah yang diterapkan, yaitu kebijakan mengenai penentuan batasan juga penggunaan lahan untuk kawasan industri dan kebijakan mengenai perlunya swasembada pangan yang memerlukan batasan luas penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah pertama, bahwa suatu penggunaan lahan untuk kegiatan tertentu akan menghasilkan nilai tambah bruto bagi lapangan usaha yang bersangkutan; kedua, besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan dari suatu penggunaan lahan dianggap tetap; ketiga, luas lahan yang dapat dimanfaatkan dianggap tetap.
Kesimpulan penelitian adalah:
- Luas penggunaan lahan suatu kegiatan tertentu mempuyai pengaruh yang positip terhadap pembentukan nilai tambah bruto sektoral yang bersangkutan. Semakin besar luas penggunaan lahan suatu kegiatan akan semakin besar pula terbentuknya nilai tambah bruto sektor yang bersangkutan.
- Kebijakan pengaturan penggunaan akan mempengaruhi pencapaian alokasi penggunaan lahan optimal dan besarnya PDRB yang dihasilkan
- Komposisi penggunaan lahan saat ini (kondisi obyektif tahun 1998) menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi pada komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal).
- Komposisi penggunaan lahan sesuai RTRWP Jawa Barat yang telah ditetapkan diperkirakan akan menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal).
- Dengan melihat pemecahan optimal yang menghasilkan PDRB maksimal adalah alternatif 2.c. Hal ini akan mengimplikasikan pada akan berubahnya penggunaan lahan kegiatan pertanian menjadi kegiatan non pertanian, yang semula (tahun 1998) seluas 3.596.214 hektar menjadi 888.696,23 hektar. Semakin meluasnya penggunaan lahan untuk kegiatan industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya. Penggunaan lahan industri dari 30.151 hektar menjadi 472.120,94 hektar. Penggunaan lahan permukiman, perdagangan dan jasa dari 482.236 hektar menjadi 928.899,88 hektar. Penggunaan lahan lainnya dari 158.169 hektar menjadi 371.559,95 hektar.
- Analisis sensitivitas koefisien variabel fungsi tujuan menunjukkan bahwa koefisien variabel penggunaan lahan untuk pertanian dan industri (koefisien variabel XI dan X2) menunjukkan pengaruhnya yang peka terhadap perubahan nilai fungsi tujuan, namun tidak mempengaruhi komposisi penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas penggunaan lahan untuk pertanian dan industri dengan memanfaatkan luas lahan yang tersedia, masih dapat meningkatkan pencapaian PDRB yang maksimal.
Sebagai masukan untuk kebijakan pengaturan penggunaan lahan disarankan hal-hal sebagai berikut:
- Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengalokasikan komposisi penggunaan lahan yang optimal pada masing-masing kabupaten dan kotamadya berdasarkan kondisi dan keterbatasan masing-masing kabupaten atau kotamadya sehingga dapat menciptakan PDRB yang optimal pada tingkat kabupaten/kotamadya maupun pada tingkat propinsi.
- Perlu dilakukan peninjauan ulang dan revisi RTRWP untuk mencapai kondisi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian nilai PDRB dapat maksimal. Namun perlu dipertimbangkan bahwa dalam penelitian ini fungsi tujuan yang dirumuskan adalah memaksimalkan output atau pendapatan, belum mempertimbangkan aspek pemerataan, lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga untuk peninjauan ulang RTRWP terlebih dahulu perlu disempurnakan fungsi tujuan sehingga semua aspek dapat dipertimbangkan.
- Melihat implikasi yang akan terjadi jika alternatif 2.c akan diterapkan maka perlu dilakukan:
a. Untuk meningkatkan PDRB namun tidak mengubah komposisi penggunaan lahan optimal dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas atau nilai tambah bruto per hektar penggunaan lahan pertanian.
b. Upaya pengendalian perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi kegiatan non pertanian, terutama berkaitan dengan aspek lokasi yang diijinkan berubah dan tidak diijinkan berubah. Terutama pada wilayah-wilayah pertanian dengan produktivitas per hektar yang tinggi perlu dipertahankan agar pencapaian PDRB tetap maksimal.
c. Perlunya pengendalian dalam mengalokasikan luas penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan lainnya pada wilayah-wilayah kabupaten dan kotamadya
- Antisipasi yang perlu dilakukan bila kondisi kebijakan pada alternatif 2.c akan diterapkan, yaitu:
a. Penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya akan meningkat sehingga perlu dikaji masalah lingkungan yang akan terjadi seperti polusi, kemacetan dll.
b. Adanya peningkatan kebutuhan listrik, bagaimana antisipasi penyediaannya.
c. Masalah penduduk yang akan masuk karena adanya daya tarik kegiatan bagi penduduk dari luar Jawa Barat, yang tentunya akan menimbulkan berbagai masalah dalam pelayanan penduduk oleh pemerintah daerah, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T5016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Sunarjanto
"Selama ini kebijakan perencanaan sampai dengan pengawasan kegiatan dalam suatu wilayah pertambangan belum dilengkapi kebijakan yang didasari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kutub pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan hanya mengembalikan lahan bekas tambang seperti saat belum ditambang, tentu akan merugikan masyarakat setempat dan akibat selanjutnya merugikan generasi akan datang yang hanya mendengar cerita dan melihat bekas kegiatan perekonomian waktu tambang masih aktif. Contoh kasus seperti ini adalah bekas kegiatan pertambangan Timah di Pulau Bangka Sumatra Selatan, ataupun sisa peralatan sumur minyak bumi di daerah Cepu dan sekitarnya Jawa Tengah.
Untuk menghindari dampak negatip yang timbul akibat kegiatan pertambangan tersebut salah satu upaya menciptakan wilayah tambang tetap tumbuh walau kegiatan pertambangan berakhir, dan diharapkan menjadi bahan kajian perencanaan dan pengambilan kebijakan publik yang perlu dipersiapkan pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan.
Berawal dari pemikiran tersebut dan selaras dengan era perubahan yang sedang terjadi di Indonesia saat ini, suatu perencanaan yang selama ini banyak diterapkan pada perencanaan regional akan diterapkan pada perencanaan suatu wilayah pertambangan yang merupakan wilayah ekonomi, dengan studi pada Unit Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Hasil analisis komparatif PDRB Kecamatan Nanggung dan kecamatan yang berdekatan (Kec.Cigudeg dan Leuwiliang), menunjukkan bahwa semua sektor cenderung mengutub pada masing-masing kecamatan. Khusus pada Kecamatan Nanggung tahun 1997 mempunyai 3 sektor basis yaitu pertambangan, pertanian dan pengangkutan.
Dengan metode AHP dilakukan perencanaan forward dan backward process, dihasilkan skenario kebijakan mengembangkan sektor pertanian dengan PT. Aneka Tambang sebagai prioritas pertama pelaku yang dipandang mampu melaksanakannya. Dari forward-backward process ditindak lanjuti pembuatan proyeksi menghasilkan hirarki yang tidak sensitif akan perubahan-perubahan, dengan skenario yang dihasilkan proyeksi inipun tetap dengan skenario mengembangkan sektor pertanian, diikuti pengembangan perdagangan dan pariwisata.
Berdasar pengalaman selama masa transisi pemerintahan (Tahun 1998-1999) banyak perubahan kebijakan yang diperbarui atau bahkan diganti, hal itu menjadi salah satu pertimbangan adanya perubahan-perubahan pada sektor pertambangan, yang tentunya berpotensi memicu terjadinya kompetisi atau konflik kepentingan berbagai pihak. Konflik yang kemungkinan akan terjadi antara Pemda Kab.Bogor yang akan menerapkan UU No.22 dan UU No.25 Tahun 1999 pada satu pihak, dan PT. Aneka Tambang sebagai pemegang ijin pengusahaan pertambangan emas Daerah Pongkor pada pihak lain. Analisis game theory dengan AHP dapat menunjukkan tercapainya keseimbangan antara strategi Pemda Kabupaten Bogor untuk mengkoodinasikan penyelesaian Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) dan strategi PT. Aneka Tambang mengembangkan penambangan bawah tanah. Pihak manapun yang berinisiatif lebih dulu, prioritas pilihannya pada kedua strategi itu.
Kompilasi hasil analisis masing-masing tahapan dapat lebih menekankan skenario kebijakan yang sesuai dengan keinginan responden adalah; Prioritas utama skenario kebijakan untuk Daerah Pongkor ke depan adalah, mengembangkan penambangan bawah tanah agar tetap menjaga kelestarian lingkungan dan tetap mengembangkan sektor pertanian sehingga tercipta kutub pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dari diskusi dengan berbagai pihak khususnya dengan responden dari Pemda Kabupaten Bogor, PT Aneka Tambang, LSM dan Swasta yang bekerja di Daerah Pongkor, perencanaan kutub pertumbuhan ekonomi pada wilayah pertambangan dapat dan perlu dilakukan. Diharapkan perencanaan yang telah dilakukan pada Unit Pertambangan Emas Pongkor dalam karya akhir ini dapat diimplementasikan di lapangan dan disarankan dapat dijadikan model percontohan untuk dikembangkan pada wilayah pertambangan lain di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Hikmat
"ABSTRAK
Laju pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi telah menjadi indikator keberhasilan pembangunan di Propinsi Jawa Barat, sehingga kebijakan pembangunan di Propinsi Jawa Barat dikategorikan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jika dihubungkan dengan kemajuan sosial yang dicapai, maka berdasarkan indikator-indikator kemajuan sosial nampak bahwa Jawa Barat belum mencapai kemajuan yang seimbang dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
Masalah pokok penelitian ini adalah : "apakah pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi mempengaruhi secara nyata terhadap penurunan masalah kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup penduduk. Hipotesis yang dirumuskan adalah : pertama, jika suatu daerah memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat partisipasi angkatan kerjanya tinggi; kedua, jika suatu daerah memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tinggi, maka persentase penduduk miskin dan persentase desa tertinggalnya rendah; dan ketiga banyaknya persentase penduduk miskin dan persentase desa tertinggal di suatu daerah mempengaruhi kualitas hidup penduduk.
Pengukuran didasarkan indikator-indikator sektoral dan komposit objektif, dengan jenis data penampang silang. Disain penelitian yang digunakan deskriptif analitik, dengan sifat penelitian menerangkan hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian. Populasi penelitian adalah seluruh Daerah Tingkat II di Jawa Barat, dengan unit analisis tingkat Kotamadya/Kabupaten Daerah Tingkat II. Data yang dikumpulkan berasal dari sumber sekunder dengan sumber data utama hasil Survel Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1995. Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis korelasi dan analisis jalur (path analysis).
Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah cenderung mendorong terjadinya marginalisasi dan peningkatan permasalahan sosial. Hal ini selain akibat dari partisipasi angkatan kerja yang rendah dan lapangan kerja yang tersedia belum mampu menyerap tenaga kerja yang semakin bertambah, Kondisi ini mendorong terjadinya urbanisasi dan kemiskinan di perkotaan. Walaupun pertumbuhan ekonomi masih mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk, namun persebaran pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, akhirnya mendorong terjadinya kesenjangan antar sektor pertanian dan industri, antar desa dan kota, serta antar spasial di Jawa Barat. Daerah yang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi, tingkat partisipasi angkatan kerjanya cenderung rendah. Hal ini berkaitan dengan adanya daerah-daerah yang pesat pertumbuhan penduduknya, namun penduduk usia kerja yang ada belum terserap dalam sektor pekerjaan yang berkembang di wilayah tersebut. Di lain pihak pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkorelasi negatif dengan tingkat partisipasi angkatan kerja dan tidak berkorelasi nyata dengan penurunan pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah tidak nyata mempengaruhi penurunan penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah yang tidak diimbangi dengan upaya penurunan angka pengangguran, berakibat tidak mempengaruhi penurunan kemiskinan di wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah juga tidak nyata mempengaruhi kemajuan infrastruktur suatu daerah, malah terjadi sebaliknya. Daerah-daerah Tingkat II yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, justru persentase desa tertinggalnya juga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, cenderung mendorong terjadi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakihi tinggi.
Tingkat partisipasi angkatan kerja mempengaruhi secara positif banyaknya desa tertinggal di suatu daerah. Hal ini juga tidak terlepas dad tingginya pertumbuhan ekonomi di suatu daerah tidak mempengaruhi penurunan kemiskinan dan nyata mempengaruhi tingginya persentase desa tertinggal. Selanjutnya persentase penduduk miskin tidak nyata mempengaruhi Indeks Mutu Hidup (kualitas hidup) di suatu daerah, sedangkan persentase desa tertinggal mempengaruhi secara nyata Indeks Mutu Hidup. Persentase desa tertinggal efektif digunakan sebagai penduga atau penyebab kemajuan Indeks Mutu Hidup di suatu daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup penduduk yang merupakan agregat dari berbagai indikator sosial dipengaruhi oleh kemajuan infrastruktur suatu daerah. Selain itu diketahui juga bahwa semakin tinggi persentase desa tertinggal di suatu daerah semakin tinggi penduduk miskinnya.
Berdasarkan hasil penetitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa indikator keberhasilan dan kekurangberhasilan pembangunan tidak hanya indikator-indikator kemajuan aktivitas ekonomi namun perlu juga merujuk pada indikator-indikator sosial yang lebih mencerminkan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk. Saran yang diajukan yaitu perlu reorientasi model pembangunan yang tidak hanya berupa pemerataan pembangunan melalui pemerataan investasi ekonomi, tetapi yang terpenting bagaimana menciptakan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusianya melalui: pertama, reorientasi investasi dan kelembagaan yang memperhatikan keterpaduan fungsional dengan tata ruang; kedua, penataan infrastruktur di kawasan-kawasan terbelakang; ketiga, penanggulangan masalah kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup penduduk dalam konteks spasial; dan keempat, diterapkan Analisis Dampak Lingkungan Sosial di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagdja Muljarijadi
"Penelitian ini mencoba untuk menganalisis dampak ekonomi pemekaran (pemisahan) wilayah Banten dari Propinsi Jawa Barat pada tahun 2000, yang bertujuan untuk menjawab apakah diperlukan reorientasi perencanaan pembangunan Propinsi Jawa Barat pasca pemekaran. Untuk maksud tersebut penelitian dilakukan dengan menganalisis beberapa. indikator kriteria, seperti analisis deskriptif, keterkaitan antar sektor, perubahan struktur ekonomi, dampak sektoral dari produktivitas tenaga kerja, multiplier sektoral, serta perubahan sisi biaya produksi dari input primer.
Informasi utama yang diperlukan adalah Label input-output Jawa Barat tahun 1999 (sebelum pemekaran) dan 2000 (sesudah pemekaran). Metode normalized coefficients dan biproportional projection digunakan sebagai analisis utama untuk melihat ada atau tidaknya perubahan struktur perekonomian pasca pemekaran. Selanjutnya dengan menggunakan metode principal component analysis, beberapa indikator kriteria digunakan sebagai dasar penentuan sektor-sektor unggulan di Jawa Barat.
Analisis ini menunjukkan bahwa perubahan struktur perekonomian tidak terjadi pada variabel-variabel yang terkait dengan demand driven dan sebaliknya untuk variabel yang lainnya. Selain itu juga tidak ditemukan perbedaan yang mencolok dari hasil-hasil analisis (terutama untuk 10 sektor kegiatan terbesar) yang didasarkan pada invers matrik Leontif pada perekonomian Jawa Barat sebelum dan pasca pemekaran wilayah Banten.
Analisis ini juga membuktikan bahwa sektor-sektor unggulan di Propinsi Jawa Barat pasca pemekaran tidak mengalami perubahan yang berarti, dibandingkan dengan sektor-sektor unggulan sebelum pemekaran. Oleh sebab itu kesimpulan akhir yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa seharusnya tidak diperlukan perubahan arah perencaan pembangunan yang berarti di Jawa Barat pasca pemekaran. wilayah Banten."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T4283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Arsyad
"Pelaksanaan otonomi daerah yang berdasarkan pada UU nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, membawa implikasi pada pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah dalam pelbagai bidang. Dengan adanya oronomi daerah maka terjadi desentralisasi yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah, perencanaan ekonomi (termasuk menyusul program-program pembangunan daerah) dan perencanaan lainnya yang dilimpahkan dari pusat ke daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang luas dalam mengatur sumberdaya yang ada untuk meningkatkan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.
Esensi dari UU No. 2211999 adalah pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan daerah. Sementara UU No. 25/1999 mengatur pembagian sumber-sumber daya keuangan (financial sharing) antara pusat-daerah sebagai konsekuensi dari adanya pembagian kewenangan tersebut. UU No. 25 Tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah didesain dengan menggunakan prinsip money follows fine/ion atau "uang mengikuti kewenangan". Artinya, jika kewenangan dilimpahkan ke daerah, maka uang untuk mengelola kewenangan itu pun harus dilimpahkan ke daerah.
Diterapkannya UU No. 25/1999 memiliki dampak atau implikasi yang cukup besar terhadap perekonomian daerah pada umumnya. Banyak hal-hal baru yang diatur dalam UU No.25/1999 yaitu mengenai Dana Perimbangan sebagai penerimaan daerah yang merupakan transfer dari pusat kedaerah. Dana Perimbangan ini meliputi : Partama, Dana Bagi Hasil Pajak (Tax Revenue Sharing) yang meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan bagi hasil pajak penghasilan (PPh). Kedua, Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam (Natural Resources Revenue Sharing). Ketiga, Dana Alokasi Umum (DAU). Keempat, Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum merapakan bentuk lain dari SDO (Subsidi Daerah Otonom) dan Dana INPRES pada jaman sebelum otonomi daerah. Melalui kebijakan bagi hasil Sumberdaya alam diharapkan daerah dan masyarakat setempat dapat lebih merasakan hasil dari sumberdaya alam yang dimiliki, Karena selama ini basil sumberdaya alam lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat dibandingkan masyarakat setempat.
Dengan adanya desentralisasi fiskal, kemampuan daerah dalam pengelolaan dana secara mandiri menjadi tuntutan yang nyata, sehingga seluruh potensi dapat dioptimalisasikan melalui mekanisme perencanaan secara tepat. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonom di Indonesia. termasuk propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Setiap upaya pembangunan daerah di propinsi NTB, dimana pemerintah daerah propinsi NTB dan masyarakatnya hams secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah propinsi NTB beserta partisipasi masyarakatnya dengan mengunakan sumberdaya-sumberdaya unruk menggali sumber-sumber asli daerah dalam rangka peningkatan penerimaan total pemerintah, sehingga propinsi NTB mampu mengoptimalisasikan potensi dari sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan didalam merancang dan membanglin perekonomian di daerahnya.
Berdasarkan pada data keuangan daerah propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dimana ketergantungan propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sangat besar dari dana transfer untuk menutupi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), sehingga perlu penerapan kebijakan-kebijakan didalam menggali sumber-sumber asli daerah dalam rangka peningkatan penerimaan total pemerintah daerah, karena memang behun optimainya propinsi NTB didalam menggali sumberdaya alam seperti, tambang emas, budi daya ikan, budi daya mutiara, sumberdaya hutan dan sumber-sumber daya lainnya yang semestinya masih dapat ditingkatkan lagi, sehingga diharapkan dengan berlakunya desentralisasi fiskal melalui optimalisasi sumberdaya-sumberdaya yang ada dengan perencanaan yang tepat akan membawa dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Propinsi NTB.
Hasil simulasi kebijakan untuk melihat dampak dari desentralisasi fiskal diketahui bahwa seluruh komponen dana perimbangan merniliki dampak positif terhadap PDRB di NTB, baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten.
Hasil simulasi pada tingkat propinsi, dana transfer menghasilkan dampak peningkatan PDRB yang lebih besar dari komponen bagi hasil lainnya. Sementara itu hasil simulasi untuk kabupaten di NTS menunjukkan bahwa peranan bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan PDRB di seluruh kabupaten membawa dampak positif, dimana kabupaten Sumbawa menjadi kabupaten yang memiliki kontribusi bagi hasil pajak paling besar terhadap pertumbuhan PDRB. Di sisi lain simulasi terhadap bagi hasil sumber daya a]arn membawa dampak bagi pertumbuhan PDRB paling besar di kabupaten Lombok Barat, Sedangkan dana transfer paling berrnanfaat bagi kabupaten Sumbawa.
Simulasi terhadap keseluruhan variabel endogen menunjukkan bahwa seluruh kabupaten di NTB sangat tergantung pada dana transfer dibanding variabel dana perimbangan lainnya.
Dari hasil analisis disparitas diketahui bahwa kesenjangan antar kabupaten dapat dikurangi dengan adanya bagi basil pajak, bagi basil sumberdaya alam, sedangkan dana transfer akan menyebabkan kurang dapat mengatasi kesenjangan antar kabupaten."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T20447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervin Septian Firdaus
"[ABSTRACT
This paper investigated whether fiscal policy, especially government investment
expenditure in Indonesia, depends on changes in the economic business cycle and
whether its impact is significant on economic growth. This paper analyzed the
relationship between government investment expenditure and output gap using an
ordinary least squares (OLS) regression covering three periods of study (1980?
1996, 2001?2014, and 1980?2014). In general, the result showed government
investment expenditure tended to be acyclical. This study also evaluated the
impact of the changes in government investment expenditure on gross domestic
product (GDP) using a vector autoregression (VAR) approach. The results
revealed government investment expenditure did not have a significant impact on
economic growth.

ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi;Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi;Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi;Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980–1996, 2001, dan 1980–2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi]"
2015
T42732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin Samsudin
"Kesenjangan antar wilayah di Kabupaten Tangerang merupakan salah satu masalah serius yang harus segera ditangani melalui langkah-langkah kebijakan dengan strategi yang tepat. Hal ini jika tidak mendapat perhatian yang serius dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial, yang pada akhirnya akan menciptakan konflik antar kelompok dan antar wilayah yang akan mengganggu stabilitas keamanan wilayah.
Masalah pengembangan wilayah (Regional Development) oleh sebagian ahli dianggap sebagai masalah yang ditimbulkan oleh adanya gejala "regional inequality", yaitu adanya perbedaan tingkat pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta adanya perbedaan tingkat pendapatan dan tingkat kemakrnuran masyarakat. Pengembangan wilayah merupakan usaha untuk meningkatkan kehidupan masyarakat setempat atau merupakan alat untuk tercapainya keseimbangan dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangan antar daerah.
Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles) adalah salah satu teori yang paling terkenal dalam ilmu Ekonomi Regional. Kepopuleran teori ini pada dasarnya timbul karena ia dapat merupakan salah satu alat utama yangdapat melakukan penggabungan antara prinsip-prinsip "konsentrasi" dengan "desentralisasi" secara sekaligus (Allonso,1968). Dengan demikian diharapkan Teori Pusat Pertumbuhan ini akan dapat merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Disamping itu teori ini merupakan salah satu alat yang paling "ideal" untuk dapat menggabungkan kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah danperkotaan secara terpadu. Karena itu tidaklah mengherankan bila para ahli dan penulis selalu menghubungkan antara Teori Pusat Pertumbuhan dengan dengan teknik perencanaan wilayah.
Konsep Pusat Pertumbuhan berasal dari seorang Ahli Perencanaan Wilayah berkebangsaan Perancis bernama Francois Perroux (1955) yang pendapatnya bersumber dari Teori Inovasi ciptaan Schumpeter. Menurut Perroux, konsep poles de croissance lebih banyak menyangkut dengan konsep economic region daripada geographic region. Karena itu Pusat Pertumbuhan didefinisikan sebagai sekelompok industri yang mampu menggerakkan dinamika pertumbuhan ekonomi dan mempunyai keterkaitan yang sangat kuat antara satu dengan lainnya melalui keterkaitan input output industri unggulan. Industri dan sektorsektor yang saling tergantung ini tumbuh lebih cepat dari pada kegiatan ekonomi lainnya karena pemanfatan teknologi canggih dan tingkat inovasi yang tinggi, elastisitas income yang tinggi terhadap permintaan akan barang-barang, penjualan pada pasar nasional, dan adanya efek multiplier serta dampak pada berbagai kegiatan ekonomi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djabaruddin Ahmad
"Berakhirnya pemerintahan Orde Baru, memberi kesempatan untuk memperbaiki kemandirian daerah, dengan pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Nubungan Keuangan Pusat dan Daerah, yang mulai dilaksanaan sejak Januari 2001. Harapan yang digantungkan dari pelaksanaan kedua undang-undang tersebut perbaikan pelayanan publik, kepada masyarakat lokal, yang bermuara kepada peningkatan kinerja perekonomian daerah. Pada akhirnya pelaksanaan kedua undang-undang tersebut, akan meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama yang tinggal di daerah. Dengan kata lain, ada keyakinan bahwa otonomi daerah, khususnya.desentralisasi fiskal akan meningkatkan kinerja perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Uraian di atas, membangkitkan pertanyaan, apakah desentralisasi fiskal yang lebih besar, dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran? Pertanyaan itulah yang dicoba dijawab oleh studi ini, dengan mengambil studi kasus perekonomian Sumatera periode 1993-2003. Studi lebih difokuskan pada nisbah desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, baik pada tingkat kabupateri/kota maupun provinsi. Studi ini, juga ingin melihat secara khusus, apakah pelaksanaan UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 telah memberikan perubahan yang baik, sekalipun masih dalam tahap awal pelaksanaan.
Hasil studi menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal belum memberikan dampak siginifikan atau besar terhadap pertumbuhan ekonomi. ini disebabkan belum berubahnya komitmen pemberdayaan rakyat. Struktur pengeluaran sejak dilaksanakan UL' No.22/1999 dan UU No.25/1999 masih sama seperti periode sebelumnya. Pengeluaran APBD masih didominasi pengeluaran rutin. Sedangkan pengeluaran pembangunan masih didominasi untuk pengeluaran pembangunan infrastruktur. Kedua undang-undang tersebut hanya memperbesar keleluasaan daerah mengatur pengeluaran, tetapi tidak memperbaiki komitmen pemberdayaan. Di sisi penerimaan, terjadi hal yang berkebalikan, karena struktur penerimaan APBD yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), masih sangat kecil, sama seperti sebelum pelaksanaan UU No.22/1999 dan UU No.15/1999. Hal disebabkan pemerintah pusat, masih memegang kontrol untuk sumbersumber penerimaan pajak yang besar. Riga sudah terlihat distorsi peiaksanaan desentralisasi fiskal, yang disebabkan tidak adanya panduan pelaksanaan yang mencakup aspek hukum, ekonomi dan manajemen pengelolaan anggaran. ]uqa belum tersedia perangkat hukum, yang menjamin peiaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Berdasarkan hasil studi ini, direkomendasikan bahwa memang benar, UU No.22/1999 dan UU No.25/1999, sebaiknya direvisi, sejak dini, sebelum pelaksanaannya semakin terdistorsi. Selain itu pemerintah harus segera mempersiapkan petunjuk pelaksanaan yang mengandung dimensi hukum, ekonomi dan manajemen, yang seimbang dan saling melengkapi yang merupakan acuan pemerintah daerah daiam mengelola APBD."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Firman Susanto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas hubungan antara pembangunan manusia dan
pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 – 2011.
Pembangunan manusia melalui pendidikan dianggap berpengaruh dalam
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktifitas dan pendapatan
perkapita. Tingkat pendapatan perkapita yang tinggi mampu meningkatkan
pembangunan manusia melalui alokasi biaya pendidikan dalam porsi konsumsi
penduduknya. Dalam penelitian ini pembangunan manusia diukur dengan ratarata
lama sekolah, pertumbuhan ekonomi diukur dengan pendapatan perkapita.
Penelitian ini menggunakan data panel (26 kabupaten/kota) model fixed effect
dengan estimasi 2SLS (two stage least square). Hasil penelitian adalah terdapat
hubungan dua arah antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi di
provinsi Jawa Barat.

ABSTRACT
This thesis examines the relationship between human development and
economic growth in the province of West Java in 2007-2011. Human
development through education is considered influential in economic growth
through increased productivity and income per capita. High per capita income
levels can improve human development through the allocation of the cost of
education in the consumption per capita. In this study of human development is
measured by the average years of schooling, economic growth measured by per
capita income. This study uses panel data (26 districts / cities) fixed effect model
to estimate the 2SLS (two stage least squares). Results of the study is that there is
a two-way relationship between human development and economic growth in the
province of West Java"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T38608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Widyana
"Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah ada hubungan (pengaruh) kondisi ekonomi negara-negara mitra dagang dan faktorfaktor pertumbuhan ekonomi di dalam negeri terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia? Dengan negara-negara mitra dagang mana saja, pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan terus meningkat? Penelitian menggunakan data panel: 20 negara mitra dagang, yaitu jumlah ekspor terbesar ke negara tujuan (Australia, Belgia, Kanada, Cina, Perancis, Jerman, Hong Kong, India, Italia, Jepang, Korea, Malaysia, Belanda, Filipina, Saudi Arabia, Singapura, Spanyol, Thailand, Inggris, dan Amerika Serikat sebagai mitra dagang utama) pada periode waktu 30 tahun (1974-2003).
Regresi data panel dengan menggabungkan (pooling) data cross-section dan time series, menggunakan variabel dummy (least square dummy variable) dan variabel lag dependen (YP(-1)); serta dikombinasikan dengan model kuadratik ( YPPxYPP, TRDIxTRDJ dan YPRxYPR) adalah serupa dengan estimasi data panel dengan fixed efects.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan (pengaruh) kondisi ekonomi negara-negara mitra dagang dengan pertumbuhan ekonomi di indonesia. Peningkatan US$ 1 pdb per kapita riil negara mitra dagang (YPP) menyebabkan peningkatan US$ 0.039771 tingkat PDB per kapita rill indonesia (YP) (signifikan). Pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan terus meningkat dengan negara-negara mitra dagang yang mempunyai nilai rasio pdb per kapita rill terhadap PDB per kapita rill negara mitra dagang (ypr) lebih kecil dari nilai ypr optimal 3.102024 dengan prioritas dalam hubungan kerjasama perdagangan, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Belanda, Perancis, Belgia, Hong Kong, Kanada, Inggris, Australia, Singapura, Italia, Spanyol, Saudi Arabia, Jerman, Korea, Malaysia, Thailand, Filipina, Cina, dan India. pertumbuhan ekonomi akan meningkat dengan negara-negara mitra dagang yang mempunyai tingkat PDB per kapita riil (YPP) yang besar.
Ada hubungan (pengaruh) faktor-faktor pertumbuhan di dalam negeri terhadap pertumbuhan ekonomi. peningkatan US$ 1 PDB per kapita rill inisial indonesia (LYP) menyebabkan penurunan US$ 0.029591 tingkat PDB per kapita rill Indonesia (signifikan); pertambahan 1 orang pertumbuhan penduduk Indonesia (PI) menyebabkan penurunan US$ 1832.987 tingkat PDB per kapita riil Indonesia (signifikan); peningkatan 1 persen investasi/PDB rill Indonesia (invi) menyebabkan peningkatan US$ 4.033363 tingkat PDB per kapita riil Indonesia (signifikan); peningkatan 1 poin angka inflasi Indonesia (inft) menyebabkan peningkatan US$ 804.2352 tingkat PDB per kapita riil Indonesia (signifikan); peningkatan 1 poin secondary enrollment ratio (SER) Indonesia (SCHI) menyebabkan penurunan US$ 12.65101 tingkat PDB per kapita rill Indonesia (signifikan); peningkatan US$ 1 trade/PDB rill Indonesia (TRDI) menyebabkan peningkatan US$ 689.5339 tingkat PDB per kapita riil Indonesia (signifikan); peningkatan 1 poin YPR menyebabkan peningkatan US$ 246.6701 tingkat PDB per kapita rill Indonesia (signifikan); peningkatan US$ 1 pola interaksi PDB per kapita riil negara mitra dagang dengan trade/PDB riil indonesia (YPPxTRDI) menyebabkan penurunan US$ 0.009320 tingkat PDB per kapita rill Indonesia (signifikan).
Keterbukaan (openness) tidak selalu akan memberikan manfaat yang lebih (more benefit) dengan pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan impor bahan baku yang iebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor barang modal seperti mesin-mesin industri menunjukkan bahwa tingkat kapitalisasi (capital intensive) proses perekonomian di dalam negeri masih rendah.
Dari hasil penelitian ini, saran untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi adalah pemerintah kembali menggiatkan program keluarga berencana (KB) untuk mengurangi laju peningkatan jumlah penduduk; investasi diarahkan untuk menghasilkan produk-produk antara (intermediate goods) guna mengurangi laju impor barang-barang dasar sehingga share of trade meningkat, menyebabkan pdb per kapita meningkat; jaminan kepastian di dalam negeri, yaitu stabilisasi harga untuk mencegah peningkatan inflasi walaupun sebenamya diperlukan untuk rangsangan investasi; kebijakan pemerintah terhadap peningkatan SDM lulusan sekolah menengah, contoh pemberian training (tenaga kerja siap pakai) dan penyediaan lapangan pekerjaan yang sesuai untuk tenaga menengah; peningkatan kerjasama perdagangan dengan negara-negara mitra dagang yang mempunyai YPR iebih kecil dari YPR optimal 3.102024 dengan prioritas dalam hubungan kerjasama perdagangan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T 17092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>