Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93583 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jayusman
"Dalam sejarah DI/TII Jawa Tengah, masa kepemimpinan Amir Fatah (1949-1950) merupakan periode awal dari gerakan tersebut secara keseluruhan. Dalam periode tersebut, aktivitas gerakan baru terbatas pada daerah Tegal-Brebes. Peranan Amir Fatah dalam masa-masa awal gerakan DI/TII Jawa Tengah ini sangatlah menonjol. Namun demikian, sejauh ini belum ada studi yang membahas secara khusus dan mendalam mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, sangatlah beralasan apabila studi ini dilakukan.
Permasalahan yang akan dicari jawabannya lewat studi ini adalah: mengapa Gerakan DI/TII Amir Fatah muncul di daerah Tegal- Brebes, bagaimana pertumbuhan dan perkemhangannya selama di bawah kepemimpinan Amir Fatah, serta bagaimana Iangkah Pemerintah untuk menyelesaikan pemberontakan tersebut ?
Gerakan DI/TII Amir Fatah dapat dikategorikan sebagai aksi kolektif yang sifatnya proaktif. Ini disebabkan karena gerakan tersebut memperjuangkan sesuatu yang belum dimiliki, yaitu diakuinya kedaulatan Negara Islam Indonesia (NII).
Studi ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang berlaku dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, serta penulisan. Data diperoleh dari sumber-sumber sejarah baik primer maupun sekunder. Sumber primer meliputi arsip, koran, dan majalah sejaman, serta hasil wawancara dengan para pelaku sejarah. Sedangkan sumber sekunder diperoleh dari sejumlah buku dan artikel.
Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi Militer Belanda II, yang ditandai dengan diproklamasikannya NII di desa Pengarasan, tanggal 28 April 1949. Gerakan ini didukung oleh Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI), yang merupakan pendukung inti gerakan, serta massa rakyat yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan.
Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memberikan dukungannya kepada DI/TII karena alasan ideologi, yaitu memperjuangkan Ideologi Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam Indonesia (NII).
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.
Dalam meiakukan aksi-aksi militernya, Amir Fatah berhasil memobiliasikan berbagai sumber daya dari para pendukungnya, baik normatif, utilities, maupun Koersif. Namun di samping itu juga terdapat hambatan yang harus dilaluinya, yaitu berupa tentangan yang datang dari kelompok gerilyawan Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI), serta dari "Orang-orang Kiri", terutama kaum Komunis.
Dalam menyelesaikan pemberontakan Dl/TII tersebut, Pemerintah RI menempuh dua cara, yaitu operasi militer dan politik. Operasi militer dilakukan dengan membentuk Komando Gerakan Banteng Nasional (GBN). Untuk cara-cara politis, Pemerintah menawarkan amnesti kepada para pemberontak. Pelaksanaan kedua cara yang ditempuh oleh Pemerintah itu, ditambah dengan kekecewaan Amir Fatah terhadap intern organisasi DI/TII telah berhasil memaksa Amir Fatah untuk meninjau kembali perjuangannya selama itu, dan kemudian menyerah. Kekecewaan itu muncul karena dalam struktur organisasi Divisi IV Syarif Hidayat yang baru terbentuk, posisinya berada di bawah Satibi Mughny, yang dahulu merupakan anak buahnya.
Dalam kesatuan tersebut Amir Fatah hanya menjabat sebagai Komandan Brigade, sedangkan Satibi Mughnya menduduki jabatan Kepala Staf Divisi.
Dibawah kepemimpinan Amir Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan ia behasil mempengaruhi Angkatan Oemat Islam (AOI), dan Batalyon 426 untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan pengaruhnya terhadap Batalyon 423 tidak sempat memunculkan pemberontakan kerena adanya tindakan pencegahan dan Panglima Divisi Diponegoro.

In the history of DI/TII of Central Java, the leadership of Amir Fatah (1949-1950) was the first period of the movement entirely. In this period, the activities of the movement was only in Tegal and Brebes. Amir fatah had a great part in Central Java in the first of DI/TII movement So far, there weren't any studies ,specifically and deeply, that discussed about it. Through this study, we want to know why Amir Fatah's DI/TII movement appeared in Tegal-Brebes, How it grew and developed under Amir Fatah leader ship, and How Government faced this movement.
Amir Fatah's movement could be Categorized as a collective action that was pro-active, because it struggle from something that they hadn't had before, it was the recoaizing of the Indonesian Islamic Country (NII) sovereignty.
This study based on the steps of the method of history : heuristic, critic, interpretation and also in writing. The Batas have been got from the primary and secondary history resources. And also from the interview results of the actor of the history. The secondary resources were from the books and articles.
The movement appeared after the aggression of Dutch Military II when the NII was proclaimed in Pengarasan Village, April 28, 1949. It was also supported by the Hisbullah Army (Laskar Hisbullah) and Islamic Council(Majelis Islam), and the farmers in the village (a group of society).
This group gave their support to DI/TII because of Islamic Ideology in order to proclaim Indonesian Islamic Country (Negara Islam Indonesia).
Amir Fatah was the former of DI/TII of Central java. He supported the movement very much even before he was loyal to the Indonesian Republic (RI). It was caused by many reason : first, He had the same ideology with S.M. Kartosuwiryo and also both of them supported Islamic Ideology faithfully. Second, according to Amir and his friends that the Government apparatus of Indonesia and Also the army (TNI) that were in Tegal-Brebes had been influenced by "the leftist" and had disturbed the Moslem. Third, the influence of "the leftist" had made the RI government and the army (TNI) not respect to the struggle of Amir and his followers in Tegal-Brebes. Even the Islamic Council (Majelis Islam), that had been formed before Militer Aggression II, should be given to the TNI under Wongsoatmojo. Fourth, Major Wongsoatmojo give a command to arrest him.
In his military actions, Amir had been success in mobilizing many recourses of his follower in normative, utilities, and coercive. But still there were some problems that they had to face it, that was from the Antareja Movement of Indonesian Republic (Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI) and Guerrilla of Indonesian Republic (Gerilya Republic Indonesia (GRI), also from "The leftist" especially the communist.
The government of Indonesian Republic had two ways to face the revolt of DI/TII : Military and Political Operations . The military operation was done by the forming of the command of the National Banteng Movement (Gerakan Banteng National/GBN). Politically, the Government offered amnesty to the insurgents. The execution of the two ways by the government was in the same time that Amir had been very disappointed of the intern of DM because his friends insisted him to reconsider their struggle and then to give up. His disappointment also because his new position in the structure of division II organisation/Syarif Hidayat was under Satibi Mughny that used to be his crew member. In this unit Amir was only the Brigade Commander, but Satibi Mughny was the chief of Division Staff.
DI/TII movement developed very quick under the Leadership of Amir Fatah until 1950. He also had influenced Moslem Forces (Angkatan Oemat Islam/AOI) and Battalion 426 to make a revolt. But he failed to influence Battalion 423 because of the preventive of Diponegoro Division Commander."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamuni
"Adapun yang menjadi masalah penelitian ini adalah Cara-Cara ABRI dalam menyelesaikan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara dengan mengacu pada Pancasila, UUD 1945, dan Sapta Marga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai: (a) keberadaan DI/TII di Sulawesi Tenggara dalam struktur DI/TII Kahar Muzakkar, (b) dampak pemberontakan DI/Tll. terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara, (c) bentuk strategi yang digunakan ABRI dalam menumpas pemberontakan DI/TIl tersebut, serta (d) digunakan, atau tidak digunakannya strategi non-militer dalam penumpasan DI/TlI, dan apa implikasinya terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara.
Data penelitian diperoleh melalui dua sumber, yaitu: (a) sumber primer sebagai sumber data lisan diperolah melalui penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara besar dan mendalam dengan informan penelitian, dan (b) sumber sekunder sebagai sumber data tertulis melalui studi arsip atau dokumen, hasil penelitian terdahulu yang relevan, dan sumber kepustakaan lainnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, dengan pertimbangan bahwa sumber data berupa arsip atau dokumen yang dipilih memiliki obyektivitas serta memenuhi syarat untuk dijadikan sumber data penelitian.
Berdasarkan prosedur metodologis di atas, maka diperoleh temuan-temuan penelitian, bahwa pemberontakan DI/TI1 di Sulawesi Tenggara merupakan bahagian dari stuktur DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan kuat, punya jaringan dan mereka menteror rakyat. Basisnya juga ada dan kuat yaitu KGSS serta ada dukungan basis dari kelompok Islam seperti Bahar Mattalioe dan Usman Balo, juga banyak mendapat dukungan dari ahli agama. Karena itu DI/T11 di Sulawesi Selatan bisa kuat dan bertahan lama. Sedangkan di Sulawesi Tenggara, DI/TII tidak punya jaringan dan tidak punya basis, medannya susah sehingga jaringan antara rakyat dengan DI/TII gampang dipotong oleh ABRI. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara membawa dampak buruk berupa gangguan terhadap ketahanan nasional yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan itu sendiri yang telah mendorong Iahirnya goncangan stabilitas di daerah Sulawesi Tenggara, stabilitas nasional atau disintegrasi bangsa.
Di Sulawesi Selatan, penumpasan pemberontakan DI/TII lebih banyak digunakan strategi militer (full militer), bahkan dengan menggunakan pesawat terbang. Itulah sebabnya sehingga operasi penumpasan DI/ TII di Sulawesi Selatan didatangkan pasukan bantuan dari Jawa.
Strategi penumpasan DI/TIl di Sulawesi Tenggara mempunyai kekhususan lain dengan yang ada di Sulawesi Selatan, yakni lebih banyak menggunakan strategi non-militer. Ini disebabkan karena di Sulawesi Tenggara tidak ada basis kekuatan DI/TII seperti KGSS di Sulawesi Selatan, medannya susah, dan tentara dari putra daerah juga sedikit sekali. Itulah sebabnya jaringan basis DI/TII di Sulawesi Tenggara gampang dipotong oleh ABRI. Dalam hubungan ini ABRI lebih banyak memotong hubungan rakyat dengan DI/TlI. Bahkan strategi penumpasan DI/TII di Sulawesi Tenggara juga menggunakan strategi gabungan antara strategi militer dengan strategi non-militer.
Karena itu implikasi strategi penumpasan DI/ TII terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara pada saat itu ialah pemerintah, ABRI yang mendapat dukungan rakyat berhasil meniadakan atau meminimalkan gangguan terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Baik itu gangguan yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri. Dengan demikian dapat dihindari hal-hal yang dapat mendorong lahirnya goncangan stabilitas nasional di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anas Anwar Nasirin
"Tesis ini mengkaji Konflik ajengan dalam menyikapi Gerakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) di Priangan Timur tahun 1949-1962. Ajengan sebagai tokoh yang memiliki pemahaman dan pengamalan mumpuni tentang agama Islam mencipta pengaruh yang kuat di masyarakat Priangan Timur. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan konflik yang dihadapi ajengan selama berlangsung hingga berakhirnya Gerakan DI/TII Kartosoewirjo di Priangan Timur. Kajian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan pendekatan teori kewibawaan tradisional untuk menjelaskan pengaruh kewibawaan ajengan selama berlangsungnya gerakan DI/TII di Priangan Timur. Kewibawaan ajengan dan konflik yang dihadapinya selama berlangsung Gerakan DI/TII di Priangan Timur disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, kewibawaan ajengan diikat oleh aspek ‘keberkahan’ sehingga seorang santri atau masyarakat jika ingin mendapat keberkahan harus hormat (takzim) kepada ajengan. Kewibawaan ajengan melebihi batas dalam kehidupan duniawi, tetapi menyangkut aspek ibadah, suatu perbuatan yang membuahkan keselamatan di dunia dan di akhirat; Kedua, ajengan pihak yang dibutuhkan oleh DI/TII sebagai penasehat dan penegak syariah Islam; Ketiga, ajengan menghadapi dilema dan ancaman dari kedua kelompok, yaitu DI/TII dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) jika diketahui memihak salah satu kelompok. Gerakan DI/TII telah menyebabkan konflik atas sikap ajengan yang bergabung dengan DI/TII, mendukung TNI, dan ajengan yang tidak menentukan sikap baik terhadap DI/TII maupun TNI. Gerakan DI/TII berakhir setelah ditetapkan Keputusan Mahader Djawa dan Madura Nomor KPTS-X/III/8/1962 Tanggal 15 Agustus 1962 tentang vonis hukuman mati terhadap Panglima Tertinggi DI/TII Krtosoewirjo. Gerakan itu telah menimbulkan dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat di Priangan Timur (1949-1962).

This thesis examines the conflict in responding to the Darul Islam Movement (DI) and the Indonesian Islamic Army (TII) in East Priangan in 1949-1962. Ajengan as a figure who has a qualified understanding and practice of Islam creates a strong influence in the people of East Priangan. The purpose of this study is to explain the conflicts faced by the participants during the period until the end of the DI/TII Kartosoewirjo Movement in East Priangan. This study uses historical research methods and traditional authority theory approaches to explain the influence of authority during the DI/TII movement in East Priangan. The authority of the ajengan and the conflicts it faced during the DI/TII Movement in East Priangan were caused by three factors: First, the authority of the ajengan was tied by the aspect of 'blessing' so that a student or the community if he wanted to receive blessings must respect (takzim) to the ajengan. The authority of the world exceeds the limit in worldly life, but it concerns the aspect of worship, an act that brings salvation in this world and in the hereafter; Second, the support of parties needed by DI/TII as advisors and enforcers of Islamic sharia; Third, they face dilemmas and threats from both groups, namely DI/TII and the Indonesian National Army (TNI) if they are known to take sides with one of the groups. The DI/TII movement has caused conflicts over the attitude of the people who joined the DI/TII, supported the TNI, and the people who did not determine the attitude of both the DI/TII and the TNI. The DI/TII movement ended after the Mahader Decree of Java and Madura Number KPTS-X/III/8/1962 dated August 15, 1962 concerning the death sentence against the Supreme Commander of DI/TII Krtosoewirjo. The movement had an impact on the socio-economy of the people in East Priangan (1949-1962)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
"Pada tanggal 7 Agustus 1953 Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sulawesi Selatan, Abdul Qahhar Mudzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan-pasukan dan daerah yang dikuasainya, ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) yang berada di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan demikian jangkauan pengaruh Kartosuwirjo yang telah memproklamasikan berdirinya NIX pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat bertambah luas. Untuk menopang NXI yang didirikannya itu, Kartosuwirjo membentuk Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TXI), yang digunakan untuk menentang pemerintah negara Republik Indonesia (RI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Perlawanan pemberontakan gerakan DI/TII mampu berlangsung dalam waktu kurang lebih 15 tahun; perlawanan bersenjatanya baru dapat diakhiri pada tahun 1965. Gerakan DI/TXI yang digerakkan oleh Kartosuwirjo yang bertujuan mendirikan NII itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa yang pernah terjadi dalam periode yang sama. Sekadar sebagai contoh, telah terjadi peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 dari pelakunya jelas kelihatan latar belakang ideologi komunis. Ada juga pemberontakan yang bersifat kesukuan, yaitu gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang berkehendak mendirikan negara kesatuan di daerah Maluku Selatan. Krisis tampaknya masih tetap berlanjut dan salah satu puncak dari krisis itu ialah lahirnya gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Gerakan ini kemudian bersekutu dengan gerakan Pembangunan Semesta (Perznesta), sehingga gerakan yang mereka ciptakan dikenal dengan gabungan nama : Gerakan PRRI/PERMESTA. Gerakan RMS berlangsung pada 1950-1962, sedang gerakan PRRI/PERMESTA berlangsung pada tahun 1958-1962.
Ketika peristiwa-peristiwa yang disebut di atas berlangsung, sistem pemerintahan dan atau kabinet serta sistem demokrasi yang dipergunakan untuk menata kehidupan bernegara sebagai bangsa merdeka, memang tidak dalam keadaan yang cukup baik untuk mendukung jalannya pemerintahan negara. Dalam periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) sistem pemerintahan dan bentuk negara telah mengalami perubahan-perubahan, dari sistem presidensil ke sistem Kabinet Parlementer untuk kemudian kernbali lagi ke sistem Kabinet Presidentil yang kemudian berubah lagi menjadi sistem Kabinet Parlementer. Demikian pula bentuk negara kita; pada awal kemerdekaan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku ketika itu, UUD 1945, bentuk negara kita adalah negara kesatuan. Tetapi kemudian, sesuai dengan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) bentuk negara itu berubah menjadi bentuk negara federasi. Walaupun usianya sangat singkat, December 1949-16 Agustus 1950, namun di dalam perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia, kita pernah memberlakukan bentuk negara federasi dengan nama : Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sistem demokrasi yang berlaku di dalam periode 20 tahun pertama {1945-1965) dari kemerdekaan itu juga telah berubahubah, dari sistem demokrasi liberal yang berlangsung pada tahun 1950-1959 untuk kemudian berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Berlakunya sistem demokrasi liberal ditopang oleh UUD. Sementara 1950 dengan ciri pemerintahan sistem Kabinet Parlementer dan kekuasaan partai-partai politik amat menentukan jalan pemerintahan waktu itu, di samping juga keliberalan yang dilaksanlah persaingan antara partai-partai untuk menjadi pemegang pemerintahan negara. Salah satu hal yang nampak dalam persaingan partai-partai itu ialah tiadanya Kabinet yang berusia panjang dan mampu menjalankan programnya secara teratur, sebagaimana yang mereka rencanakan. Program partai dari formatur Kabinet yang menjadi Perdana Menteri sering dianggap lebih penting, walaupun sudah ada program Kabinet yang disepakati. Di dalam situasi persaingan antara partai-partai itu berlangsung pula persaingan ideologi di antara partai-partai pendukung, yaitu antara golongan yang berideologi Pancasila dan Islam."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D133
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
"Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ada adalah nama yang digunakan Abdul Qahhar Mudzakkar dalam menghimpun pasukan-pasuk_an bekas pejuang periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) di Sulawesi Selatan dan menjadi pendukung daiam menuntut penggabungannya ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, sampai saat proklamasi penggabungannya dengan NII pimpinan Kartosuwirjo itu, kehendaknya tidak pernah dipenuhi oleh pemerintah negara Republik Indonesia (RI). Istilah TKR sebenarnya pernah digunakan secara resmi untuk organisasi ketentaraan negara RI pada awal pembentukannya. Nama ini bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pada 5 Oktober 1945 diubah menjadi Tentara Keamanan Rak yat (TKR) dan tanggal ini menjadi hari kelahiran ABRI yang chiperingati setiap tahun. Namun TKR diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), yang kemudian pada 5 Mei 1947 diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di dalam proses pembentukan organisasi ketentaraan negara RI digunakan pula istilah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang di dalamnya tercakup ke-tiga unsur Angkatan Perang, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) tidak termasuk Angkatan Kepolisian (POLRI) digunakan pula nama ABRI yang di dalamnya tercakup, disamping ketiga angkatan, juga POLRI. Nama ABRI sampai se-karang tetap dipertahankan, sedang istilah APRI sudah tidak digunakan lagi. Untuk memperoleh keterangan lebih lanjut ten tang pertumbuhan organisasi ketentaraan negara RI ini, lihat A.H. Nasution, TNI Tentara Nasional Indonesia, 3 jilid, ter_bitan 1971. Lihat juga Ulf Sundhaussen, The Road to power:"
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D1607
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusmala Dewi Kabubu
"ABSTRAK
Nama : Rusmala Dewi KabubuProgram Studi : Ilmu SejarahJudul : Gerakan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Tana Toraja,1953-1965 Tesis ini membahas tentang gerakan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Tana Toraja sejak 1953 sampai 1965. Fokus kajian ini terkait bagaimana aksi DI/TII Qahhar Mudzakkar di wilayah yang ideologinya berbeda dengan DI/TII, dalam hal ini Tana Toraja. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan latar belakang berkembangnya aksi DI/TII di Tana Toraja, aktivitas DI/TII, dan dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan masyarakat. Kajian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan menggunakan teori collective action untuk mejelaskan bagaimana aksi DI/TII di Tana Toraja. Ada tiga faktor yang mendukung berkembangnya aksi DI/TII di Tana Toraja, yaitu kondisi geografis yang ideal untuk taktik perang gerilya, kepercayaan dan budaya masyarakat Tana Toraja, dan pengaruh komunis di Tana Toraja. Walaupun DI/TII menggunakan ideologi Islam, bukan berarti orang Toraja tidak terlibat di dalamnya. Adapun motivasi orang Toraja untuk bergabung dengan DI/TII dilatarbelakangi oleh kekecewaan mereka terhadap Pemerintah Indonesia karena dibubarkannya Pemeritahan Tongkonan Ada rsquo; di Tana Toraja. Dalam melakukan aksinya, pasukan DI/TII melakukan berbagai tindakan yang menimbulkan kekacauan di Tana Toraja. Kesulitan diberbagai sektor kehidupan dirasakan masyarakat Tana Toraja kala itu. Tana Toraja terisolasi dari dunia luar akibat aktivitas-aktivitas DI/TII. Penderitaan itu berakhir ketika banyak pendukung dan pasukan DI/TII di Tana Toraja menyerahkan diri.

ABSTRACT
Name Rusmala Dewi KabubuStudy Program Historical StudiesTitle The Movement of DI TII Qahhar Mudzakkar in Tana Toraja, 1953 1965 This thesis discussed about the movement of DI TII Qahhar Mudzakkar in Tana Toraja since 1953 until 1965. The focus of this study was concerning the action of DI TII Qahhar Mudzakkar in the region which had different ideology from DI TII, which was Tana Toraja. The purpose of this study was to elucidate the background of the development of DI TII action in Tana Toraja, the activities of DI TII, and its impact caused on communities rsquo life. This study applied historical research method and the use of collective action theory to explain how DI TII action in Tana Toraja was. There were three factors contributing to the development of the DI TII action in Tana Toraja, such as the ideal geographical condition for guerilla tactics, the beliefs and the culture of Tana Toraja communities, and the communist influence in Tana Toraja. In spite of the fact the DI TII utilized Islamic ideology, it did not mean that Toraja people did not involve. The motivation of Toraja people to join in with DI TII was because of their disappointment with Indonesia rsquo s Government due to the dismissal of Tongkonan Ada rsquo Government in Tana Toraja. In committing their action, the DI TII caused a lot of disorders. People underwent difficulties in several sectors of life. Tana Toraja was isolated from the out side world owing to the activities of DI TII. The suffering ceased when the DI TII armies and partisans conceded."
2017
T48254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maftukhi
"Dalam dua dasa warsa pertama abad ke-20, golambang radikalisme membersihkan corak dalam pergerakan partai-partai politik di Hindia Belanda. Dua kekuatan yang dominan dan berpengaruh ketika itu adalah Serikat Islam dan Partai Komunis Indonesia (PK1). Dalam merekrut anggotanya, PKI rrnggunakan strategi Block Withia ke dalam tubuh SI yang menyebabkan perpecahan di kubu SI yang kemudian menetapkan disiplin partai tahun 1523. Dampaknva adalah SI-merah tersingkir keanggotaannya dari Sl dan berafiliasi dengan PKI yang dalam porkembangan selaniutnya menjadi Sarekat Rakyat, sebagai organisasi massa utama PKI untuk menandingi Sl yang masih loyal dengan ideologi lslamya. Sebagai organisasi massa di bawah naungan Sarekat Rakyat mulai menanamkan pengaruhnya ke daerah-daerah pedesaan melalui agitasi dan propaganda serta cara-cara yang tidak konvensional. Karena memasukkan unsur Islam. Propagandis-Propagandis SR mamadukan antara Marxisme dan islam yang dinilai sejalan. Proses; ini yang dikenal dengan konvergensi yang kiranya dapat merekrut anggota dalam jumlah yang sukup banyak di daerah Tegal. Dalam bulan Januari 1926, Jumlah anggota SR sekitar 3.500 orang. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran partai cabang, yang umumnya tersebar di daerah Tegal bagian selatan Dalam tahun 1923, VSTP (Vereniging van Spoor en Tramweg Personel atau Serikat Buruh Angkatan Darat, Kereta Api dan Trem) melancarkan aksi pemogokan yang berakibat penekanan terhadap gerakan-gerakan politik oleh Pemerintah, khususnya gerakan revolusioner PKI dan ormas-ormasnya. Aktivitas partai politik dibatasi, rapat-rapat dilarang, tokoh-tokoh sentral ditahan. Hal ini menyebabkan laju pertumbuhan SR ikut terhambat. Dengan kemampuan agitasinya, SR mendorong petani untuk melakukan aksi protes terhadap pemberlakuan peraturan-peraturan pemerintah yang dirasakan cukup memberatkan kaum tani. Kondisi sosial ekonomi petani yang buruk di Jawa pada umumnya, dan daerah Tegal khususnya, diangkat sebagai isyu yang paling tepat oleh Sarekat Rakyat. Adanya beban pajak, wajib kerja dan dominasi pabrik gula dianggap sebagai penyebab utama timbulnya keresahan di kalangan petani. Di sinilah Sarekat Rakyat manfaatkan kondisi yang dialami petani deagan menghasut mereka untuk berontak dengan cara memprotes dan menentang peraturan-peraturan yang memberatkan petani. Isyu pembebasan pajak bagi petani dan pengambil-alihan tanah--tanah garapan petani dari pabrik gula, terus diangkat oleh pemimpin-pemimpin SR agar petani mau bergabung dengannya untuk menjalankan aksi-aksi yang telah direncanakan Protes terhadap beban pajak dan mogok tidak mau melaksanakan kewajiban denda merupakan awal retorika pemberontakan karangcegak 1926, yang disusul dengan perlawanan terhadap polisi patroli dan penyerbuan-penyerbuan ke pabri gula, yang berlangsung salami 10 (sepuluh) hari mulai 24 Fehruari sampai 4 Maret 1926. Dengan bantuan polisi dari Semarang, Kudus dan Sukabumi, pemberontakan Karangcegak dapat ditumpas pada akhir Maret 1926. Dampaknya adalah penangkapan dan penahanan tokoh-tokoh pemberontakan dipenjarakan di Tegal, Pekalongan, Glodok (Jakarta) dan Cipinang (Jakarta), serta ada yang dibuang ke Boven Digul. Daerah Karangcegak dinyatakan sebagai daerah rawan yang setiap malam harus diadakan tugas ronda bagi penduduk, tidak terkecuali bagi wanita, karena jumlah peronda laki-laki berkurang. Sebagian besar ditawan karena teriibat dalam pemberontakan. Gejala akhir dari keadaan i.ni adalah munculnya sentimen anti-Sarekat Rakyat di kaiangan penduduk karena SR tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah diberlakukannya ketentuan ronda bagi wanita."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zari Rafida
"Skripsi ini membahas identitas waria santri di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, mulai dari terbentuknya identitas santri hingga pemahaman mereka mengenai identitas gender dan identitas santri yang melekat dalam diri mereka. Penulis menggunakan pendekatan etnografi dengan metode life history berupa wawancara mendalam dan observasi partisipasi terhadap empat waria santri yang terbagi menjadi dua kategori, yakni waria santri bukan pekerja seks dan waria santri pekerja seks. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa identitas waria santri terbentuk dari tahap identifikasi diri yang diawali dengan minat dan tujuan mereka menjadi santri hingga memunculkan pemahaman diri sebagai bagian dari pondok pesantren waria. Identitas merupakan sesuatu yang terus dikonstruksi dan direkonstruksi supaya dapat diakui sehingga waria santri cenderung mengelola public image-nya sebaik mungkin dihadapan orang lain.

This thesis discussed about the identity of santri in Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, starting from the development of their santri identity to their own understanding of gender identity and the santri identity itself. I use ethnographical approach paired with life history methods where I did in depth interview and participant observation with four of the transgender santri which are devided into two categories, transgender santri non sex worker and transgender santri sex worker. The result shows that the identity of transgender santri are formed by the process of self identification based on their interest and goals for being a santri which the proceeded by the self realization as a part of pondok pesantren waria. Their identity is something they constantly construct and re construct to get the acceptance as a transgender santri, which means that they have to manage their public image when interacting with others."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosidin
"ABSTRAK
Banyak unsur-unsur historis yang cukup menarik untuk diungkap dalam penulisan sejarah penumpasan DI/TII di wilayah Bogor. Dalam hal ini, munculnya DI/TII di Bogor dapat ditarik suatu benang merahnya dengan factor-faktor geografis, agama, sosial, ekonomi, agama dan politik pemerintah yang memang mendukung untuk meletupnya gerakan sparatis tersebut. Dilihat dari kaca mata historis, gambaran mengenai operasi penumpasan DI/TII di wilayah Bogor dimulai dari situasi politik pemerintah yang memang mendukungnya (kembalinya sistem demokrasi Pancasila dari sistem Liberal), dan terbentuknya Komando Operasi tersebut yang ternyata cukup memuaskan berkat kerja sam yang baik antar TNI dan rakyat. Guna mengungkap kejelasan historis operasi penumpasan DI/TII di wilayah Bogor ini, dalam pengumpulan data atau heuristik (primer maupun skunder), penulis lakukan dengan studi literatur di berbagai instansi pemerintah maupun perpustakaan. Mengingat aspek politik militer sangat dominan dalam pembahasan skripsi ini, maka pendekatan politik militer merupakan pendekatan yang lebih cocok digunakan untuk mengupas dimensi kesejarahannya."
1996
S12406
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd Rahman
"Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis upaya Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) dalam mewujudkan terbentuknya Negara Islam Indonesia di tengah-tengah operasi Tentara Nasional Indonesia melalui aspek pendidikan. Tulisan ini mempertanyakan bagaimana perkembangan pendidikan yang diberikan oleh DI/TII terhadap masyarakat di wilayah kekuasaannya atau situasi konflik. Pembahasan dikaji menggunakan metode sejarah dengan sumber lisan dalam kerangka konsep pendidikan dan konflik. Konflik selama ini selalu identik dengan terganggu dan hancurnya pendidikan, namun studi sejarah ini justru menunjukkan bahwa pendidikan digencarkan di wilayah-wilayah konflik digunakan sebagai media propaganda bagi DI/TII. Artikel ini menyajikan perbedaan kondisi pendidikan di daerah yang dikuasai oleh TNI dan yang dikuasai oleh DI/ TII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan bagi masyarakat Benteng Alla masih berjalan meskipun berada dalam situasi konflik antara DI/ TII dan TNI. Namun, pendidikan yang diberikan dibangun atas dasar kepentingan DI/ TII untuk mendirikan Negara Islam sehingga tidak berada dalam pengawasan negara."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2023
900 HAN 6:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>