Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90889 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saiful Mahdi
"Muslimin Indonesia (MI) adalah organisasi massa yang sudah mengalami penggabungan dan perubahan bentuk, dari fungsi partai politik independen hingga menjadi salah satu unsur dalam Partai Persatuan Pembangunan. Perubahan bentuk ini dilakukan karena adanya kebijakan politik dari Jenderal Soeharto pada tahun 1971 yang menginginkan agar diadakan pengelompokkan partai politik berdasarkan persamaan ideologi dan platform partai. Tujuan politik dari Orde Baru mengadakan pengelompokkan terutama terhadap kelompok politik Islam adalah untuk memudahkan pengawasan dan mudah memecah dari dalam. Dalam kondisi yang pro dan kontra terhadap ide fusi tersebut Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nahdhatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah sepakat mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tahun 1973.
Sejak tahun 1973-1994, kepemimpinan di PPP dikuasai oleh elite-elite politik dari unsur Muslimin Indonesia.Di bawah pimpinan HMS Mintaredja kondisi partai dalam keadaan yang kompak walaupun terjadi konflik internal partai tetapi berkat adanya kedudukan beberapa ulama kharismatik seperti KH Bisri Syansuri berhasil diredam. Bagi seluruh anggota legislatif, Mintaredja memberikan kebebasan mengeluarkan pendapatnya tanpa khawatir akan dipecat dari keanggotaan DPR maupun partai. Kejatuhan Mintaredja di PPP karena ia telah tidak disukai lagi oleh Jenderal Soeharto terutama sejak keberaniannya menuntut kepada Soeharto agar PPP diberikan kursi kementrian di kabinet.
Mulai tahun 1978, pimpinan di PPP diambil alih oleh Djaelani Naro secara kontroversial tanpa melalui suatu forum Muktamar partai. Selama dipimpin oleh Djaelani Naro, keadaan PPP mulai diterpa oleh konflik internal yang luar biasa konflik tersebut tidak hanya melibatkan antara elite politik MI versus NU, tetapi juga antara elite politik ME versus MI. Djaelani Naro memiliki- kebijakan keras terhadap para anggota legislatif yang menyimpang dari kebijakan Orde Baru. Sosok Naro lebih terkesan sebagai perpanjangan-tangan kebijakan rezim Orde Baru di PPP. Keberanian Djaelani Naro untuk mencalonkan dirinya sebagai salah seorang wakil presiden RI di tahun 1988 pada saat sidang umum MPR, telah mengakibatkan kemarahan Soeharto terhadapnya.
Periode kepemimpinan Ismail Hasan Meutareum (1989-1994), mulai membenahi konflik internal partai melalui kebijakan rekonsiliasi terhadap tokoh-tokoh PPP baik dari unsur NU, MI,SI, dan Pena. Ismail Hasan melakukan kebijakan untuk mengurangi fanatisme berlebihan diantara empat unsur tersebut melalui bentuk pengajian bersama dan pendidikan-pendidikan kader bersama.Yang diinginkan olehnya adalah fanatisme terhadap PPP saja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T4274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rizali
"Struktur politik masyarakat terdiri dari dua kelompok : Pertama, elite politik yang mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi individu-individu lainnya dan membuat keputusan politik kolektif. Kedua, massa yang hanya diperintah saja tanpa kekuasaan. Elite berada di semua lapisan masyarakat, dari yang primitif--tradisionil hingga beradab-modern. Mekanisne pembentukannya dilakukan melalui rekrutmen politik yang salah satu diantaranya adalah Pemilu. Kegiatan tersebut biasanya diikuti oleh partai-partai politik.
Batasan-batasan diatas ditemui pula di masyarakat Palembang. Rekrutmen politik dilakukan melalui Pemilu lima tahun sekali, dan diikuti oleh tiga kekuatan politik. Akan tetapi karena keterbatasan peneliti, fokus perhatian hanya diarahkan kepada Partai Persatuan Pembangunan saja, dengan pembatasan waktu 1977-1987. Mengapa permasalahan ini menarik diteliti, karena daya pikatnya terletak pada beraneka ragamnya kekuatan-kekuatan politik masyarakat yang terlibat, penggunaan jalur-jalur rekrutmen politik yang bervariasi. Disamping itu, perolehan suara yang didapatkan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
Realitas ini memunculkan pertanyaan khusus: (1) Mengapa terjadi penurunan suara terus menerus? (2) Bagaimanakah mekanisme rekrutmen politik tersebut berlangsung?. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penelitian ini didukung oleh empat teori politik : (1) Teori Elite Politik. (2) Teori Partai Politik. (3) Teori Patron Klien. (4) Teori Rekrutmen Politik itu sendiri.
Sedangkan untuk nemperoleh gambaran sirkulasi elite dan rekrutmen politik yang utuh, maka usaha pencarian jawabannya dilakukan sejak awal Februari 1992 - hingga akhir September 1992. Dimana dua variabel digunakan sebagai dasar model analisis, yaitu jalur-jalur rekrutmen politik (unsur fusi, pendukung, kaderisasi dan nepotisme) sebagai variabel bebas dan dukungan basis-basis politik sebagai variabel terikat. Dan dari model analisa inilah dapat dirumuskan hipotesa, yaitu adanya penggunaan keempat jalur yang sangat bervariasi atau tidak konsisten, mengakibatkan pola rekrutnen politik dalan tubuh PPP Palembang tidak tetap atau berubah-ubah, dan kondisi itulah yang menyebabkan perolehan suara menurun.
Kemudian sebagai pedoman lebih lanjut, dijabarkan dalam metodologi penelitian dengan menjelaskan; Pendekatan penelitian (kualitatif), sifat penelitian (deskriptif), tahapan penelitian (survey lapangan dan pengumpulan data), tehnik pengumpulan data (studi pustaka, dokumentasi, wawancara), unit penelitian (DCT-individu), analisa data, lokasi penelitian dan waktu penelitian. Gambaran perkembangan dan pertunbuhan Partai Persatuan Pembangunan Kotamadya Palembang, merupakan titik awal penelusuran mencari jawaban penelitian Sejarah terbentuknya partai, struktur kepengurusan, basis-basis politik, karakteristik sosial, dan hasil-hasil pemilihan umum. Keseluruhan data ini sangat membantu menemukan jawaban penelitian.
Dari temuan-temuan penelitian diperoleh gambaran bahwa, rekrutmen politik tidaklah menpunyai pola yang tetap atau berubah-ubah. Penggunaan keempat jalurnya sangatlah bervariasi dari Pemilu ke Pemilu.
Pada Pemilu 1977, jalur unsur fusi merupakan jalur yang dominan. Penentuan nomor urut, kriteria rekrutmen politik yang selektif, pengusulan nama, pencoretan dan penggantian nama sangat ditentukan oleh Pimpinan Cabang keempat unsur fusi. Namun disisi lain, mereka mempunyai massa yang memberikan dukungan penuh. Basis-basis politik terlibat aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan partai. Kondisi ini sangat nempengaruhi perolehan suara dalan Penilu. Sementara itu, jalur pendukung mempunyai peranan yang lemah, bahkan tidak diikutkan dalam rekrutmen politik. Dibagian kelompok pendukung mereka gagal berperan akibat dominasi unsur fusi yang kuat. Dan dibagian individu pendukung, walaupun mereka terlibat aktif memberikan dukungan dan mempunyai massa. Tidak dapat direkrut karena hambatan-hanbatan peraturan pemerintah. Sedangkan jalur kaderisasi dikuasai oleh kader-kader unsur fusi, kader-kader personal, dan kader-kader organisasi sebagai penggembira. Adapun jalur nepotisme diterapkan dalam rekrutmen politik, dan mereka mempunyai peranan yang kuat dengan banyaknya "nomor-nomor jadi" dikuasainya.
Pada Pemilu 1982, keadaannya mulai berubah. Jalur unsur fusi tidak begitu dominan lagi. Hal ini disebabkan oleh mengendornya-keterikatan Pimpinan Cabang unsur fusi, krisis keanggotaan dan pengurus, dan kebijakan politik pemerintah yang membatasi ruang gerak mereka. Sementara itu, jalur pendukung neningkat, dengan masuknya salah satu tokoh mereka ke dalam jajaran pengurus partai. Akan tetapi mereka tidak didukung oleh massa yang kuat. Sehingga tidak dapat membantu perolehan suara. Sedangkan jalur kaderisasi diwarnai dengan berkurangnya kader-kader unsur fusi. Ditopang oleh kaderisasi yang tetap menduduki posisi"pinggiran". Dan dikuasai oleh kader-kader personal yang menguasai "nomor-nomor jadi". Adapun jalur nepotisme tetap kuat, dengan banyaknya wakil mereka di "nomor-nomor jadi".
Pada Pemilu 1987 lebih banyak lagi terjadi perubahan. Peranan unsur fusi semakin memburuk dengan adanya kebijakan partai tentang fusi tuntas.mDominasi mereka diambil alih oleh Lajnah Penetapan Cabang (Lantapcab) yang dibentuk partai. Kondisi ini sangat menguntungkan jalur pendukung yang semakin dominan, walaupun tidak didukung oleh massa yang jelas. Organisasi-organisasi underbouw dibentuk partai untuk mengantisipasi peranan unsur fusi. Sedangkan jalur kaderisasi ditandai dengan semakin menghilangnya kader-kader unsur fusi. Tidak beranjaknya kekuatan kader-kader organisasi sebagai kelompok "nomor-nomor bawah". Dan berkurangnya dominasi kader-kader personal, walaupun mereka tetap menempatkan banyak kadernya di "nomor-nomor jadi". Adapun jalur nepotisme tetap menguasai "nomor-nomor atas" dalan rekrutmen politik.
Adanya penggunaan jalur-jalur rekrutmen politik yang berubah-ubah ini nenyebabkan perolehan suara terus menurun dari waktu-ke waktu. Pemilu 1977 menang mutlak dengan 145.934 suara atau 54,2 % dari suara keseluruhan. Unggul di semua kecanatan, mendominasi 36 kelurahan, imbang dengan Golkar di 5 kelurahan, dan kalah di 8 kelurahan. Pada Pemilu 1982 perolehan suara menurun menjadi 162.217 suara atau 47,9 % suara keseluruhan. Hanya unggul di 2 kecamatan, imbang dengan Golkar di 3 kecamatan, dan kalah di 1 kecamatan. Juga unggul mutlak di 26 kelurahan, imbang dengan Golkar di 4 kelurahan, menang tipis di 6 kelurahan, kalah di 22 kelurahan. Pada Pemilu 1987 menurun tajam dengan 113.220 suara. Kalah di semua kecamatan, kalah mutlak di 41 kelurahan, menang tipis di 4 kelurahan, dan imbang dengan Golkar di 10 kelurahan. Temuan-temuan penelitian yang diuraikan secara terperinci di bab tiga dan empat, menbenarkan asumsi-asumsi dan hipotesa penelitian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Effendi Anas
"Dari perspektif Emitai Etzioni dalam buku "Organisasi modern" sebuah organisasi dikatakan efektif manakala fungsi yang melekat pada dirinya dapat dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya bila fungsi-fungsi itu tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya maka partai tersebut dikatakan tidak efektif. Pelaksanaan fungsi sebagai ukuran dari efektifitas sebuah organisasi disebabkan karena pada dasarnya fungsi merupakan manifestasi dari pelaksanaan tujuan organisasi.
Beberapa pengamat politik di Indonesia mengambil kesimpulan bahwa, perkembangan organisasi sosial politik selama Orde Baru tidak dapat memerankan fungsi-fungsinya secara maksimal. Hal ini didasarkan kepada fakta bahwa semenjak Orde Baru negara tampil sebagai kekuatan yang dominan bahkan organisasi sosial politik menjadi fenomena kelembagaan yang muncul dari domain negara bukan dari domain masyarakat sehingga keberadaan organisasi politik sangat tergantung dan dipengaruhi oleh negara.
Untuk mengetahui tingkat efektifitas fungsi organisasi sosial politik dilakukan dengan metode survei melalui observasi lapangan dengan melihat praktek kinerja organisasi, di samping itu ditempuh pula wawancara mendalam dengan kalangan tokoh serta mempelajari keputakaan yang berkaitan dengan perkembangan organisasi sosial politik sekaligus diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas organisasi dengan pendekatan ekploratif untuk mencari tahu sebab-sebab atau pengaruh terhadap efektifitas fungsi organisasi tersebut.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dari 8 fungsi yang diteliti dengan studi kasus Partai Persatuan Pembangunan ditemukan bukti bahwa 4 fungsi dapat dikatakan berhasil dilaksanakan secara efektif yaitu : fungsi rekrutmen politik, partisipasi politik, sarana pembuat kebijakan dan sarana pengatur konflik, sedangkan 4 fungsi lainnya tergolong gagal dilaksanakan oleh organisasi ini meliputi : fungsi sosialisasi politik, komunikasi politik, agregasi dan artikulasi kepentingan serta fungsi kontrol terhadap eksekutif. Fungsi yang berhasil dan fungsi yang gagal tersebut di atas secara cukup signifikan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal organisasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usni
"Disertasi ini akan menjawab pokok permasalahan, bagaimana karakteristik keislaman PPP secara organisasi mengenai hubungan negara dan agama; mengapa PPP mendorong dan mengusulkan perubahan Pasal 29 dan Pasal 31; dan bagaimana interaksi politik power interplay PPP dalam meyakinkan fraksi-fraksi di MPR selama proses perubahan UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 31 tahun sidang 2000, 2001 dan 2002 berlangsungStudi ini menggunakan teori hubungan agama dan negara sebagai teori utama yang didukung dengan, teori ideologi partai politik, teori elite politik, teori civil society dan teori konflik dan konsensus. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian bersifat deskriptif analisis, untuk menggambarkan perjuangan politik PPP. Sumber data berdasarkan wawancara mendalam dengan para tokoh yang terlibat secara langsung dalam proses perubahan UUD 1945. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran dokumen PPP dan MPR RI, jurnal, majalah dan koran serta data yang bersifat kepustakaan lainnya.Temuan dalam studi ini, menunjukkan bahwa karakteristik PPP selama proses Perubahan Pasal 29 dan 31 UUD 1945 ialah akomodatif simbiotik. Akomodatif PPP merupakan sikap PPP yang dapat menyesuaikan diri berdasarkan pada kepentingan ideologi politik dan kenegaraan PPP. Sedangkan simbiotik merupakan paradigma politik PPP yang menempatkan agama dan negara saling membutuhkan. Maka dapat disimpulkan sikap akomodatif simbiotik PPP ialah karakteristik keislaman PPP yang dapat menyesuaikan diri berdasarkan pada terakomodirnya kepentingan politik PPP dengan menempatkan kepentingan negara dan agama yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, PPP bukanlah partai politik yang memiliki paradigma integralistik maupun sekuler akan tetapi memiliki kesamaan dengan partai-partai politik lainya yaitu paradigma simbiotik meskipun menggunakan atribut Islam sebagai pembeda.Dengan demikian, pendekatan teori paradigma agama dan negara Al Mawardi dan Ibnu Taimiyah, yang dielaborasi dengan teori ideologi partai politik Maurice Duverger, teori, elite politik dari Pareto, teori civil society dari Jhon Keane serta teori konflik dan konsensus Maswadi Rauf memiliki relevansi dan memperkuat terhadap hasil temuan pada penelitian ini yang menyatakan karekteristik organisasi keislaman PPP yang bersifat akomodatif simbiotik berdasarkan perjuangan elite politik PPP selama pembahasan sampai pencabutan usulan Pasal 29, setelah terakomodasinya Pasal 31 saat penetapan, menunjukkan PPP tidak memiliki perbedaan dengan partai politik lainnya terhadap paradigma agama dan negara yaitu tidak integralistik maupun sekuler. Kata Kunci : Partai Politik Islam, Partai Persatuan Pembangunan, Undang-Undang Dasar 1945.

The objective of this dissertation is to answer three matters: 1 the characteristics of the United Development Party rsquo;s PPP Islamic perspective on organization in regards to the relations of the state and religion; 2 the reason PPP suggested changing Article 29 and 31 of the Constitution; 3 the power interplay of PPP in convincing the Parliamentary fractions in the amending process of the two articles during the 2000, 2001, and 2002 parliamentary sessions.The research utilizes the religion and state relations theory as the main theory. In addition, it is supported by the ideology theory of political parties, political elite theory, civil society theory, as well as the conflict and consensus theory. The research methodology in this dissertation adopts a qualitative approach, and the research category is characterized as descriptive-analytical mdash;in this context, it serves to depict PPP rsquo;s political struggles. Furthermore, the secondary data is obtained through journals, magazines, newspapers, other literary reviews, as well as PPP rsquo;s and the Parliament rsquo;s documents.The principal findings of this study reveal that PPP rsquo;s characteristics throughout the parliamentary sessions are accommodative and symbiotic in nature. PPP rsquo;s accommodative quality allowed them to adapt according to the party rsquo;s interest in regards to political and state ideology, while the symbiotic quality allows them to adapt according to the accommodation of its political interest by placing the intersecting interests of the state and religion. Therefore, it can be concluded that these two qualities are Islamic traits that helps the party adapt according to its political interest by placing the intersecting interests of the state and religion that is depend on one another. PPP does not have an integralistic or secular approach, but has similarities with other political parties, which is symbiotic paradigm. The distinguishing factor lies in the use of Islamic attributes.Hence, Al Mawardi rsquo;s and Ibnu Taimiyah rsquo;s state and religion paradigm approach theory, elaborated with Maurice Duverger rsquo;s political parties rsquo; ideology theory, Pareto rsquo;s political elites theory, John Keane rsquo;s civil society theory, and Marswadi Rauf rsquo;s conflict and consensus theory is relevant and supports the principal findings of this study. This study shows that the characteristics of PPP rsquo;s islamic organization, which is accomodative and symbiotic in nature during the process shows that the party does not differ from other parties in its views on the state and religion mdash;the party is neither integralistic nor secular. key word: Islamic Political Parties, United Development Party, 1945 Constitution
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
"Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana.
Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endra Wijaya
"Dalam sistem kepartaian sebagaimana yang diatur dalam IJndang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, telah terdapat 268 (dua ratus enam puluh delapan) partai politik, dan 24 (dua puluh empat) di antaranya telah berhasil ikut serta dalam pemilihan umum tahun 2004. Banyaknya partai politik yang telah berdiri, di sisi lain ternyata masih menimbulkan rasa tidak puas bagi sebagian masyarakat di daerah-daerah. Sebagian masyarakat di daerah masih menganggap aspirasi mereka belum bisa diperjuangkan oleh partai politik yang ada sekarang, dan partai-partai politik itu juga masih terlalu menyibukkan did dengan isu-isu "perebutan kursi kekuasaan di pusat" saja. Akibatnya, timbul kekecewaan pada diri masyarakat daerah terhadap partai politik. Kekecewaan masyarakat daerah itu pada perkembangan selanjutnya dapat mendorong timbulnya upaya untuk mendirikan partai politik lokal.
Penelitian ini difokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan partai politik lokaI, yaitu mengenai faktor-faktor yang mendorong timbulnya partai politik lokal di Indonesia, dan kedudukan partai politik lokal dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian hukum normatif. Dalam hukum positif di Indonesia, setidaknya terdapat beberapa produk hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menganalisis keberadaan partai politik lokal, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Dari penelitian ini terungkap beberapa hal yang menjadi faktor pendorong timbuinya partai politik lokal, antara lain, adalah berkaitan dengan masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia masyarakat daerah, baik hak ekonomi maupun politik, serta ketidakmampuan partai politik nasional dalam memperjuangkan kebutuhan masyarakat daerah. Terhadap isu partai politik lokal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 masih belum mengatumya secara jelas, sedangkan untuk di Aceh, keberadaan partai politik lokal sudah mempunyai dasar hukum yang lebih rinci, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Rohim Ghazali, 1967-
"Dalam berbagai kajian teori politik, selalu ditegaskan bahwa partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Secara teoritis, demokrasi tidak bisa dibangun dalam suatu negara tanpa adanya partai politik yang menjadi wahana agregasi kepentingan segenap warganya. Tetapi pada kenyataannya, partai politik tidak selamanya berfungsi secara maksimal dalam proses demokratisasi. Inilah kondisi yang terjadi di Indonesia pada masa transisi dan konsolidasi demokrasi yang berlangsung sejak 21 Mei 1998 hingga ditulisnya tesis ini (akhir tahun 2003).
Transisi politik yang terjadi di Indonesia dimulai sejak 21 Mei 1998. Pada masa ini telah lahir puluhan partai politik, di samping tetap eksisnya partai yang sudah ada sejak sebelum proses transisi berlangsung.
Setelah "Pemilu Perintis" pasca transisi dilangsungkan, 7 Juni 1999, seharusnya Indonesia sudah memasuki tahapan konsolidasi demokrasi. Tapi pada kenyataannya, proses transisi berlangsung terus disebabkan karena tidak berjalannya proses konsolidasi demokrasi.
Tesis ini mengkaji peranan salah satu dari partai-partai politik yang tumbuh pada era transisi dan konsolidasi di Indonesia, yakni Partai Amanat Nasional (PAN). PAN dipilih sebagai obyek kajian karena partai ini dipersepsikan banyak kalangan sebagai partai reformis: didirikan di atas platform yang reformis, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang reformis.
Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah content analysis yakni dengan cara analisis kualitatif yang secara teknis mencakup klasifikasi, penggunaan kriteria sebagai dasar klasifikasi, yang kemudian dianalisis untuk menghasilkan konklusi. Dalam merumuskan konklusi ditetapkan tiga macam kriteria: (i) legitimasi, yakni konklusi yang memperkuat data-data sekunder serta temuan-temuan hasil penelitian yang sudah dipublikasikan sebelumnya; (ii) verifikasi, yakni peninjauan ulang terhadap data-data sekunder dan temuan-temuan hasil penelitian sebelumnya; dan (iii) prediksi, yang berupa proyeksi ke depan yang beranjak dari kondisi obyektif yang ada di masa lalu dan masa sekarang.
Ada tiga teori yang digunakan dalam tesis ini, yakni teori-teori transisi politik, konsolidasi demokrasi, dan fungsi partai politik.
Dari metode yang dipakai, dan teori-teori yang menjadi rujukan, kajian tesis ini menemukan kesimpulan bahwa partai-partai politik pada umumnya, dan PAN khususnya, belum mampu berperan maksimal dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia dalam kurun waktu 1998 hingga 2003.
Menurut tesis ini, ada empat faktor yang menyebabkan PAN kurang mampu berperan maksimal dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pertama karena partai yang dideklarasikan 23 Agustus 1998 ini kurang konsisten dengan platform yang telah ditetapkannya. Kedua, seperti umumnya partai politik, PAN juga dilanda konflik internal yang berkepanjangan. Ketiga, masih kuatnya ketergantungan PAN pada Amien Rais sebagai tokoh simbolik. Keempat, disebabkan karena perolehan suaranya yang tidak signifikan dalam Pemilu 1999, PAN tidak memiliki bargaining yang memadai untuk menjadi motor penggerak demokratisasi. PAN masih tersubordinasi oleh kekuatan-kekuatan partai lain yang perolehan suaranya jauh lebih besar.
(Rincian isi Tesis: x + 229 halaman; Daftar Pustaka:75 buku, 3 artikel jurnal, 1 makalah, 27 majalah, 5 tabloid, 32 surat kabar, 4 media online, 12 orang nara sumber, tahun buku-buku yang digunakan: 1988 s/d 2003)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13803
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michels, Robert, 1876-1936
Jakarta: Rajawali, 1984
324.2 MIC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Zaini
"Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Organisasi ini memiliki kultur yang khas, yakni budaya ketaatan para santri (anggota NU) kepada para kiai yang merupakan elit-elit di NU. Budaya itu, terbangun di lingkungan pesantren, di mana para kiai diposisikan sebagai patron yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat tinggi.
Ketika kultur itu diterapkan di lingkungan pesantren, interaksi sosial yang terbangun adalah interaksi sosial yang diwarnai ketaatan dan penghormatan yang begitu tinggi dari pada santri kepada kiai dan keluarga kiai. Namun, ketika kultur itu diterapkan di luar pesantren, khususnya di partai politik, kuitur semacam itu menimbulkan berbagai konflik politik.
Di lingkungan NU, frekuensi konflik sangat tinggi. Tercatat, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi pada 1952, konflik politik seperti itu telah muncul. Suasana seperti itu juga terjadi ketika NU masih aktif berfusi di PPP (1973-1984), kembali ke khittah (1984), serta pasta pemerintahan Orde Baru saat ini (1998-2003).
Fenomena di NU itu merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif: Di satu sisi (ketflca diterapkan di pesantren) melahirkan suasana yang serba patuh, namun di sisi lain (ketika diterapkan di partai politik) melahirkan konflik politik yang berkepanjangan. Kondisi itu, semakin menarik karena dalam berpolitik, dengan menggunakan kaidah usul fiqih, NU semestinya bisa sangat konpromistis.
Dalam kaidah usul fiqih itu, ada beberapa prinsip hukum yang memungkinkan tiap politik warga NU sangat lentur dan fleksibel. Sehingga, tidak jarang muncul penilaian, dalam berpolitik, NU oportunis. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, hal itu tidak berlaku di internal NU. Ketika bersentuhan dengan politik, warga NU, khususnya para elitnya selalu terlibat dalam konflik politik.
Jadi, pertanyaan yang muncul; mengapa NU selalu dilanda konflik politik?
Guna meneliti fenomena tersebut, penelitian menggumakan metode analisis proses terhadap konfhk-konflik yang terjadi di NU. Metode ini masuk pada paradigma kualitatiĀ£ Untuk memperoleh data-data mengenai konflik di NU 1952-2003, digunakan studi dokumen, wawancara dan pengamatan.
Adapun teori yang digunakan adalah teori konflik, teori kepemimpinan kharismatik dan teori elit.
Dari penelitian ini, ditemukan beberapa temuan penting. Di antaranya;
- Dalam berpolitik, warga NU selalu menggunakan standar ganda. Satu sisi berpijak pada kultur yang ada di pesantren. Namun, di sisi lain, menerapkan mekanisme politik modem yang . demokratis. Penggunakan standar ganda ini juga tercermin dengan struktur organisasi di NU, yakni adanya syuriah/syura dan tanfdziyah/tanfidz. Hal itu memungkinkan terjadinya konflik di antara mereka. Sebab, masing-masing pihak memiliki pembenaran sendiri-sendiri.
-Kaidah usul fiqih yang memungkinkan sikap politik yang lentur dan kompromistis, ternyata lebih banyak digunakan ketika NU secara institusional menghadapi persoalan dengan pemerintah yang berkuasa. Namun, ketika menghadapi persoalan di internal NU, hal itu jarang digunakan acuan. Pada bebarapa kasus, memang digunakan. Akan tetapi, kecenderungannya bukan untuk merumuskan format konsensus, melainlcan untuk mencari pembenaran dan legitimasi keagamaan.
- Dalam berpolitik, budaya patronase selalu diterapkan. Para santri yang menjadi pengikut, selalu dijadikan instrumen bargaining politik. Tokoh NU yang memiliki pengikut (santri) yang besar, kendati tidak memiliki skill politik yang memadai, selalu menuntut peran politik yang besar. Ketika peran itu tidak terpenuhi, mereka akan melakukan penarikan dukungan atau sabotase politik, seperti upaya pendongkelan.
- Terkait dengan upaya mempertahankan patronase, elit NU cenderung menutup terhadap munculnya patron baru di lingkungan NU. Hal ini terjadi, baik tatkala masih berada di lingkungan pesantren atau setelah di luar pesantren. Kondisi itu, akhirnya menimbulkan konflik antara tokoh yang sudah merasa layak menjadi patron baru dengan patron sebelumnya.
Semua fenoma di atas, terjadi karena pada dasarnya, dalam berpolitik warga NU memiliki motivasi yang lama dengan para politisi lainnya, yakni, mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Ketulusan dan keikhlasan yang terbangun di lingkungan pesantren, memudar ketika tokoh tersebut telah masuk ke arena politik praktis. Hanya, perubahan itu tetap berusaha disembunyikan dengan membungkusnya dengan legitimasi agama. Karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan, ketika warga NU masih terus menerapkan budaya politik yang dipraktekkan selama ini, maka konflik politik di NU sangat sulit dihindarkan.
Dengan demikian, untuk meminimalisir konflik tersebut, mutlak dilakukan perubahan budaya politik di lingkungan NU: Warga NU, harus bisa membuat garis yang tegas, antara sebagai anggota NU dengan sebagai anggota partai politik. Norma dan etika yang dipegang NU, bisa saja diimplimentasikan dalam bentuk perilaku politik warga NU. Namun, dalam hal-hal tertentu, khususnya ketika terjadi konflik, mekanisme organisasi politik modern, harus dijadikan acuan bersama. Sikap penggunaaan standar ganda, harus secepatnya ditinggalkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad Ali Safa`at
Jakarta: Rajawali, 2011
324.2 MUC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>