Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69226 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagalung, Maria Renata
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap masalah nuklir Korea Utara, khususnya pada masa pemerintahan Clinton kedua dengan implementasi Kerangka Kesepakatan. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana faktor eksternal, yakni dinamika politik keamanan di Semenanjung Korea dan faktor internal, yakni sikap Kongres AS terhadap isu nuklir Korea Utara mempengaruhi kebijakan luar negeri Clinton.
AS mempunyai kepentingan untuk mempertahankan wilayah Semenanjung Korea yang bebas nuklir. Kapabilitas nuklir Korea Utara tidak hanya membahayakan kawasan regional dengan adanya kemungkinan perlombaan nuklir di Asia Timur; tetapi juga membahayakan rejim non-proliferasi internasional.
Pembahasan permasalahan tesis ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran : Russet dan Starr mengenai konsep kebijakan luar negeri; pemikiran Holsti mengenai pengaruh lingkungan internal dan eksternal terhadap implementasi kebijakan luar negeri; dan pemikiran Kegly dan Wittkopf mengenai peranan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.
Hasil dan penelitian bahwa kebijakan luar negeri AS adalah mempertahankan kawasan Semenanjung Korea yang bebas nuklir dengan upaya meminimalisir ancaman yang ditimbulkan dengan keberadaan kapabilitas nuklir Korea Utara. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, Kerangka Kesepakatan merupakan upaya yang paling rasional untuk menangani isu nuklir tersebut. Baik Jepang dan Korea Selatan, sebagai sekutu-sekutu AS, maupun kalangan Kongres sebagai faktor politik domestik yang mempengaruhi implementasi Kerangka Kesepakatan, ternyata mendukung implementasi kesepakatan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T2288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Hermawan
"Krisis nuklir Iran berawal ketika pada Agustus 2002, Dewan Nasional Perlawanan Iran, oposisi pemerintah Iran yang berada di pengasingan, melaporkan tentang adanya fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan fasilitas air berat di Arak. Dalam perkembangan selanjutnya, pada Januari 2006 Iran melepaskan segel IAEA dan memulai penelitian bahan bakar nuklir yang kemudian dilanjutkan dengan pengayaan uranium.
Di sisi lain, pasca tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat melakukan revisi mendasar tentang strategi keamanan nasionalnya yang tercermin dengan diadopsinya konsep preemption dan prinsip unilateralism dalam National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 merupakan justifikasi bagi Amerika Serikat untuk bertindak secara proaktif dengan menyerang negara lain yang dianggap membahayakan keamanan nasionalnya sebelum negara tersebut menyerang AS. Implikasi dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari agresi dan invasi militer AS di Afghanistan dan Irak.
Kebijakan luar negeri AS terhadap krisis nuklir Iran dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi dinamika politik domestik Amerika Serikat yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan terhadap krisis nuklir Iran, sedangkan faktor eksternal merupakan konstelasi politik internasional yang dominan.
Beberapa faktor internal adalah: National Security Strategy 2002, kepentingan strategis (minyak) AS di kawasan Teluk, perubahan persepsi publik AS tentang ancaman dan keamanan nasional, serta menguatnya peran Presiden AS dalam menentukan kebijakan luar negeri AS. Sementara itu untuk faktor eksternal, ancaman terhadap keamanan Israel, serta kebangkitan politik Islam di Timur Tengah merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh AS.Tesis ini mencoba menganalisa faktor strategis yang mendasari kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap krisis nuklir Iran pada masa pemerintahan George Walker Bush, terutama pasca dirumuskannya NSS 2002.

Iran's nuclear crisis began in August 2002, when Board of Iran National Resistance, oposition of Iran Government, denounced evidence of uranium enrichment facility in Natanz and heavy water reactor in Arak. In January 2006 Iran broke IAEA seal and started research on nuclear fuel, followed with uranium enrichment activity.
On the contrary, post of 9/11 aftermath, US revised her fundamental national security, which reflected on adopting concept of preemption dan unilateralism into National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 acts as justification for US Government to take any necessary and proactive measure by attacking countries which endanger US interests. Transformation of US national security brings implication of military target and use of force abroad which can be obviously seen in Iraq and Afghanistan invasion.
US foreign policy towards Iran's nuclear crisis is affected by many internal and external factors. Internal factors are characterized by national politics which have significant influence to perception of decision maker, while external factors attribute to dominant international politics.
Some of internal factors are: National Security Strategy 2002, US interests (oil) in gulf, changing of US public opinion on threat and national security, and role of US President in guiding foreign policy. External factors are Israel's national security point of view, and the rise of political Islam in Middle East The thesis tries to analyze strategic factors of US foreign policy responding to Iran's nuclear crisis during George Walker Bush administration, mainly after NSS 2002."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Gopokson Tarulitua
"Penulisan ini akan memfokuskan perhatian pada perbandingan kebijakan Bush dan Clinton periode 1989-1996 yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti institusional setting (kelembagaan bail( Presiden maupun Badan Eksekutif), Kongres, lingkup sosial, media massa dan faktor ideologi dan munculnya masalah-masalah dalam domestik Cina seperti HAM, Ekonomi (defisit perdagangan dan hak cipta), Taiwan maupun militer.
Pembahasan perbandingan kebijakan Bush dan Clinton pada dasarnya bermuara pada hubungan antara AS dan RRC yang timbul sebagai akibat dari strategic triangle yang dibentuk oleh Presiden Nixon melalui kunjungan bersejarah ke Beijing dan Moskwa tahun 1973. Hubungan AS-RRC berkembang menjadi suatu kemitraan strategis yang terbina oleh ketakutan bersama terhadap kekuatan Siviet pada masa Brezhnev. Belakangan kemitraan tersebut pecah karena hilangnya ancaman Soviet, terjadi peristiwa Tiannanmen dan munculnya Cina sebagai negara adidaya yang potensial.
Kerangka pemikiran penulisan tesis ini adalah bagaimana kebijakan kedua pemimpin tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal AS sendiri dan pada saat yang sama juga sebagai respon terhadap kebijakan-kebijakan internasional (faktor eksternal RRC).Kondisi internal yang meliputi lingkungan sosial, lembaga-lembaga/institusi, dan karakteristik pengambilan keputusan menurut Kegley dan Witkoft merupakan input bagi proses pengambilan kebijakan luar negeri Bush dan Clinton dan seluruh proses tersebut mengubah input menjadi kebijakan terhadap lingkungan eksternal yang menjadi landasan bagi para pengambil kebijakan dalam mencapai tujuan nasionalnya.
Masalah-masalah HAM, ekonomi, Taiwan, dan militer Cina merupakan masalah luar negeri yang paling sulit ditanggulangi oleh pemerintah AS khususnya pada masa Clinton dan Bush karena berkaitan erat dengan persepsi-persepsi yang tumbuh di dalam negeri AS sendiri baik itu dari kelembagaan pemerintahan AS maupun persepsi lingkungan Sosial (opini publik yang dituangkan dalam media massa).
Terlihat bahwa dalam menetapkan kebijakan luar negerinya, baik Bush maupun Clinton menggunakan instrumen/alat seperti kebijakan yang berasal dari pengaruh social environment dan institusional setting yang meliputi opini publik, Kongres, maupun perbedaan ideologi (Partai Republik - kubu Bush dan Partai Demokrat - kubu Clinton) yang dituangkan dalam pemberitaan media massa cetak maupun elektronik turut mempengaruhi langkah kebijakan yang diambil kedua pemimpin tersebut. Kebijakan Bush maupun Clinton dalam banyak hal seringkali mengkaitkan isu-isu HAM, dan demokrasi maupun isu Taiwan dalam masalah domestik negeri tirai bambu tersebut untuk menekan Cina dalam mencapai apa yang menjadi tujuan Polugri AS."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Verona
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang pada era pasca Perang Dingin, khususnya masa Clinton I, dengan memfokuskan pada aliansi keamanan AS-Jepang dan upaya AS mempertahankan komitmennya di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah kebijakan dan perilaku politik AS dan Jepang - dua negara besar di dunia.
Kelangsungan aliansi AS-Jepang penting bagi kawasan. Dalam pandangan AS, aliansi keamanan AS-Jepang adalah kuat dan penting, namun untuk terus menjaga tercapainya kepentingan nasional bersama, aliansi tersebut harus terus berkembang. Khususnya untuk kawasan Asia Timur, AS mencari bentuk aliansi yang dapat terus menjadi insurance policy, yaitu menyediakan pertahanan bagi Jepang dan menjamin stabilitas di Asia Timur dan dapat bertindak sebagai investment policy yaitu dalam hal meningkatkan kontribusi bagi stabilitas regional dan keamanan global. Dalam kaitan ini, ada dua faktor yang mempengaruhi aliansi keamanan AS-Jepang yaitu perubahan pada lingkungan strategis kedua negara dan persepsi yang berbeda dalam berbagi beban, tanggung jawab dan kekuatan diantara mereka.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan pendapat Hanrieder yang mengaitkan kebijakan luar negeri dengan sasaran yang hendak dicapai, teori Lentner mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan, pendapat Newsom mengenai cakupan politik Iuar negeri, pendekatan sistem politik Almond, teori Kegley dan Wittkopf dan Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosenau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri dan tujuan jangka panjang suatu politik luar negeri, pendapat Gross mengenai kepentingan nasional suatu negara, konsep keamanan Buzan, dan pandangan Viotti dan Kauppi mengenai negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan komitmen dan keberadaan militernya di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh tarik menarik antara dua faktor, yaitu perubahan persepsi ancaman keamanan eksternal AS dan perubahan sistem internasional pasca Perang Dingin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Worang, Toary Ceacer Fransiskus
"Internasionalisme Amerika adalah orientasi dalam politik luar negeri Amerika. Penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia merupakan ciri utama dalam orientasi ini. Internasionalisme Amerika diformulasikan oleh Presiden Amerika Woodrow Wilson. Ia percaya bahwa Amerika memiliki sense of mission dan sense of obligation memperkenalkan demokrasi dan liberalisme kepada masyarakat internasional dalam rangka pembentukan tatanan dunia yang aman, stabil dan makmur. Bagi Wilson upaya membawa demokrasi dan liberalisme pada masyarakat internasional tidak bisa dilepaskan dari bentuk kerjasama dengan institusi intemasional/ multilateral. Pemikiran Wilson inilah yang diangkat kembali dalam politik luar negeri masa Clinton. Ciri utama politik luar negeri Clinton adalah pemanfaatan institusi internasional/multilateral dalam upaya penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia lewat strateginya "Enlargement". Tesis ini akan menunjukan bagaimana pemerintah Clinton memanfaatkan institusi internasional/multilateral dalam mendukung terlaksananya strategi `Enlargement'. Pelaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat masa Clinton sendiri tidaklah mudah karena perkembangan lingkungan internasional yang mana Neo Cold War Orthodoxy yang semakin membahayakan dan tidak terduga bagi Amerika Serikat. Untuk itu tesis ini jugs akan menunjukan bagaimana sikap pragmatis pemerintah Clinton menyebabkan keberhasilan pemanfaatan institusi internasional/multilateral mendukung strategi "Enlargement".

American Internationalism is an orientation in American Foreign Policy. The main characteristic of American internationalism is the universalism of democracy and liberalism. It was President Woodrow Wilson who formulated American Internationalism since he believed that Americans have sense of mission as well as sense of obligation to introduce democracy and liberalism to international community in order to create a stable, secure, and prosperous world order. According to Wilson, American's effort to promote democracy and liberalism is highly in collaboration with various international and multilateral institutions. In Clinton's administration Wilsonianism has been adopted and become the main element in its foreign policy. In this regard, the use of international/multilateral institutions become prominent in universalizing democracy and liberalism through so called `enlargement strategy'."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahfudin
"Tesis ini mencoba membahas perubahan kebijakan luar negeri Libya terhadap Amerika Serikat. Hubungan antara Libya dan Amerika Serikat pada awal masa pemerintahan Muanunar Qadhafi memburuk. Libya-AS terlibat konflik. Konflik Libya-AS mengalami eskalasi. AS menyerang Libya dengan embargo dan sanksi-sanksi lewat PBB.
Libya mengalami kerugian di berbagai sektor akibat embargo AS dan sanksi PBB itu. Libya terkucil di dunia internasional. Runtuhnya rezim Taliban dan Saddam Hussein merupakan salah satu faktor terjadinya perubahan kebijakan politik luar negeri Libya terhadap Amerika yang dulu anti-Barat kini menjadi mitra kerjasama. Akhirnya pada tanggal 28 Juni 2004, Amerika Serikat juga membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan Libya, menyusul dicabutnya embargo dan sanksi PBB atas Libya pada bulan September 2003.
Untuk menganalisa perubahan kebijakan Libya tersebut penulis menggunakan teori perubahan politik dan kepentingan nasional. Menurut J.Barry Jones perubahan dapat dilihat dari 1. Adanya perubahan pada kuantitas dan kualitas, 2. Adanya faktor penyebab, baik simple Causality maupun Systemic dynamics, dan 3. Adanya perbedaan antara konsep sudut pandang perubahan bagi aktor dengan konsep sudut pandang perubahan di mata para analis.
Faktor lain, Libya melakukan modernisasi dan liberalisasi. Maka, tidak ada alasan bagi AS untuk menolak Libya bergabung di dunia internasional. Ditambah dengan kebijakan-kebijakan Libya dalam hal persenjataan dan terorisme yang akomodatif dan kompromis. Hal ini berkaitan dengan keinginan Libya untuk menghilangkan berbagai hambatan politik yang disebabkan oleh program persenjataan, dan tuduhan-tuduhan serta stereotip negatif yang dituduhkan AS pada Libya.
Adapun untuk menganalisa permasalahan faktor-faktor perubahan kebijakan Libya tersebut penulis menggunakan model kepentingan nasional (national interest) yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau, James N. Rosenau dan George F. Kennan. kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan, bahwa semua kebijakan luar negeri cenderung cocok dengan dan merefleksikan salah satu dari tiga pola aktivitas; memelihara keseimbangan, imperialisme, dan politik prestise.
Kedua negara mendorong perubahan hubungan ke arah kerjasama. Libya menghendaki survive, citra positif dan tidak mau mengalami nasib serupa Irak. Sedangkan kepentingan politik luar negeri AS dalam hal ini adalah kekuasaan, dan suplai pasokan minyak ke AS terjamin.
Adapun tipe penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan sifat penelitiannya adalah case study.

This thesis tries to extend a change of foreign policy of Libya toward United States of America. The relationship between Libya and USA was deteriorates in the early a period of Muammar Qadhafi government. Libya and USA involved a conflict it was escalate. USA attacked Libya with embargo and sanctions trough out United Nations.
Libya gets misfortune in all field caused USA embargo and the sanctions of PBB. Libya was isolated from sight of world. The determination of Taliban and Saddam Hussein caused Libya to change its foreign policy toward USA, from No-Western nowadays open to become closer partner. Finally on 28 of June 2004, USA reopened his relationship with Libya, and decides to cut in touch UN embargo and sanction to Libya on September 2003.
To analyses the change of it's policy, the writer uses politic change and national interests theory. According to Barry Jones analyses, that the change of its policy can be seen from three views; because of quantity and quality change. 2. Cause of Simple Causality and systemic dynamic theory and 3- Existence of different among change viewpoint concept to actor with change viewpoint concept in sight of each analysis.
USA and Libya relation increase while modernization in Libya occurs, no reason for America to refuse Libya joining in International World. When Libya is ready with it's own accommodation in weapons and suspected as terrorism country, the matter relates to desire of Libya to eliminate various resistance of politic and it's damage images.
For analyzing the factors of relationship change of Libya and USA, the author uses the model of national interest that have been told by Hans J, Morgenthau, James N Rosenau and Goerge F Kerman. National interest each country is running after the power, all abroad policy tends compatible and reflect one of three pattern of activities; looking after balance, prestige politic and imperialism.
Both countries push a change of relation up to cooperation. Libya wishes survive, positive image and don't want to suffer as Iraq. But USA policy hopes as diplomacy victory. Then USA consortiums oil able to supply more.
The type of this research is qualitative using method of collecting data trough out study of literatures and it's characteristic of research is study case.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Berlianto Pandapotan Hasudungan
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan Iuar negeri Thailand terhadap Vietnam dalam periode waktu tahun 1988-1990 yang ditandai dengan adanya upaya-upaya pendekatan terhadap Vietnam dan kebijakan untuk merubah kawasan Indochina dari medan perang menjadi wilayah perdagangan yang menjadi prinsip dasar kebijakan luar negeri Thailand sejak tahun 1988.
Kebijakan luar negeri Thailand terhadap Vietnam pada masa pemerintahan Perdana Menteri Chatichai Choonhavan, sangat berbeda dengan para pendahulunya yang ditujukan untuk 'menjaga dan menjamin keamanan serta stabilitas wilayahnya dari ancaman komunis Vietnam. Pada era Chatichai, paradigma lama itu justru ditinggalkan dan digantikan dengan kebijakan yang kooperatif, yaitu melalui kerjasama ekonomi. Langkah ini ditempuh Chatichai guna meningkatkan stabilitas keamanan wilayah dan kemakmuran negara Thailand. Perubahan kebijakan tersebut juga dilakukan dalam rangka mengantisipasi perubahan isu global pasta perang dingin.
Tujuan dari peneilitian ini adalah untuk menganalisis bentuk kebijakan Iuar negeri Thailand terhadap Vietnam, terutama dalam mengantisipasi perubahan sistem internasional pada periode menjelang berakhirnya perang dingin serta menganalisis kepentingan dan motivasi yang melatarbelakangi perubahan kebijakan luar negeri Thailand tersebut.
Permasalahan dicoba untuk dianalisa dengan menggunakan pemikiranpemikiran dari Rosseau, yaitu mengenai adanya faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri, sedangkan linkage theory-nya membahas mengenai keterkaitan yang erat antara faktor internal dan eksternal; Kegley dan Wittkopf mengenai komponen kebijakan luar negeri Snyder tentang adanya faktor subyektif dari sudut pandang para pembuat keputusan; dan Frankel serta David Easton mengenai pengaruh eksternal dalam memberikan output bagi kebijakan luar negeri suatu negara. Pembahasan permasalahan ini dilakukan melalui penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi kepustakaan dan internet, berupa data-data sekunder.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa perubahan kebijakan Iuar negeri Thailand dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Tekanan faktor internal didominasi oleh kepentingan ekonomi guna meningkatkan kemakmuran Thailand, sedangkan faktor eksternal merujuk pada perubahan pads isu global pasca perang dingin. Dalak kaitan ini, Perdana Menteri Chatichai Choonhavan menggunakan sektor ekonomi sebagai alat politiknya dalam rangka merubah kawasan Indochina dari medan perang menjadi medan pasar. Hal ini dilakukan mengingat Thailand telah berkembang menjadi negara industrialisasi Baru di Asia dan sebagai kekuatan ekonomi regional. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulana Putra
"Penelitian ini berfokus pada dampak kebijakan luar negeri terhadap identitas kolektif suatu negara dengan menggunakan disain penelitian studi kasus dimana kasus yang digunakan adalah hubungan internasional di Semenanjung Korea. Analisis dilakukan melalui dua tahap: (1) analisis pada kebijakan luar negeri yang berfokus pada hasil kebijakan luar negeri, (2) analisis yang menjelaskan hasil kebijakan luar negeri pada empat aspek identitas kolektif: ketergantungan, kesenasiban, keseragaman, dan ketahanan diri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kebijakan Trust Building Process Korea Selatan dan kebijakan denuklirisasi Amerika Serikat serta Tiongkok terhadap Korea Utara mempunyai pengaruh pada identitas kolektif Korea Selatan.

This study focuses on the impact of foreign policies toward a state?s collective identity. The study was conducted by implementing a case study design which used international relation in Korea peninsula as the main case. The data of the study was analyzed in two phases: first, analysis focused on the outcomes of South Korea's, China?s, and the U.S.? foreign policies and, second, analysis on the results of the foreign policies in four aspects of collective identity, which are interdependence, common fate, homogeneity, and self-restrain. Eventually, the study concludes that South Korea's Trust Building Process policy, as well as the U.S.? and China?s denuclearization policy toward North Korea had an influence on South Korea?s collective identity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhanty Yusmar
"Tesis ini membahas mengenai aspek pertahanan dan keamanan dart kebijakan luar negeri AS terhadap Irak dengan fokus pada upaya pencegahan pengembangan Weapons of Mass Destruction atau yang dikenal dengan senjata pemusnah massal pada periode tahun 1991-2000.
Pada tesis ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Adapun yang menarik bagi penulis adalah mekanisme dan kebijakan AS terhadap pengembangan WMD Irak dan tanggapan masyarakat international atas mekanisme kebijakan AS tersebut yang berupa penggunaan kekuatan militer.
Secara konsisten, kebijakan AS terhadap Irak berfokus pada tiga area utama, yaitu : 1) upaya untuk menghadapi tantangan dari rezim Saddam Hussein yang menurut AS melanggar dasar HAM terhadap suku syiah dan kurdi. 2) masalah tantangan terhadap kebijakan AS pada sistem keamanan regional dan gelombang supplai minyak. 3) masalah tantangan AS pads upaya pencegahan pengembangan WMD yang dilakukan Irak. AS melihat potensi pengembangan WMD di Irak sebagai sebuah ancaman yang cukup serius. Irak dianggap AS sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar bagi pengembangan dan penggunaan WMD. Hal ini nampak dari kepemilikan Irak atas unsur-unsur yang berkaitan dengan pembuatan dan pengembangan WMDnya yang melebihi batas-batas yang ditentukan oleh aturan international.
Dalam upaya meneegah pengembangan WMD Irak ini, AS menggunakan media antara lain : sanksi ekonomi berupa penghentian ekspor minyak Irak dan isolasi diplomatik yang sejauh ini dianggap kurang efektif, sehingga kebijakan AS pun terus berkembang sampai pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan secara berkala.
Metode penelitian yang digunakan adalah desciptive research dengan memaparkan data-data yang ada dan menganalisa data-data tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun kerangka pemikiran menggunakan pendapat antara lain dari Crabb, yang membagi kebijakan luar negeri menjadi dua elemen yaitu : tujuan nasional dan cara-cara mencapainya, teori Rosseau mengenai variabel yang mempengaruhi fondasi politik luar negeri, Kegley dan Wittkopft serta Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri. Ditambahkan dengan konsep Hartman dan Wendzel mengenai mengukur ancaman, Russet mengenai pengaruh belief system pada kebijakan luar negeri, serta teori propaganda yang dikemukakan oleh Qualter dan Young.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS terhadap Irak dalam isu WMD pada tiga fase kepemimpinannya yaitu: George Bush (senior), Clinton I dan Clinton II memiliki tingkat kesuksesan sebagai berikut penyerangan yang dilakukan AS dapat dikatakan sukses hanya pada tingkatan jangka pendek, yakni penggunaan kekuatan militer tersebut mampu membuat Irak berjanji untuk mau bekerja sama dengan UNSCOM dan mematuhi resolusi yang ditetapkan oleh PBB, walaupun kemudian Irak selalu mengingkari janjinya tersebut, namun untuk jangka panjang belum bisa dikatakan sukses, melihat tujuan AS yang utama adalah menurunkan rezim Saddam Hussein karena dianggap sebagai ujung dari hapusnya potensi WMD Irak.
Adapun tanggapan yang datang baik dari negara-negara besar maupun negara-negara tetangga Irak sendiri sedikit unik. Negara-negara tersebut berpedoman bahwa isu terpenting di Irak adalah bagaimana menghilangkan potensi ancaman WMD yang ada di Irak. Namun pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS secara berkala itu, membuat negara-negara tersebut merasa bahwa penggunaan kekuatan militer tersebut tidak membuahkan hasil yang sesungguhnya tetapi hanya merupakan usaha propaganda bagi pemenuhan kepentingan nasional AS sendiri, yaitu penurunan rezim Saddam Hussein dan penggunaan minyak di Irak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>