Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2294 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marina Hamadian
"Tujuan dan metode penelitian: Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus jeruk siam bersama klaritromisin terhadap bioavailabilitas klaritromisin. Dilaporkan bahwa jus jeruk jika diminum bersama obat-obat tertentu dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obat tersebut secara drastis karena jus jeruk merupakan penghambat paten transporter influks/uptake yang terdapat di brush border usus halus yaitu organic anion transporter polypeptide (OATP), dan obat-obat tersebut merupakan substrat OATP. Klaritromisin seringkali digunakan untuk pengobatan infeksi saluran napas, dan pasien yang menderita infeksi ini juga sering minum jus jeruk untuk tambahan vitamin C dan untuk rasa segar. Klaritromisin merupakan substrat/penghambat transporter efluks yang juga terdapat di brush border usus halus yaitu P-glycoprotein (P-gp). Terdapat tumpang tindih antara substrat/penghambat P-gp dan OATP. Penelitian ini merupakan studi menyilang dua kali pada 13 sukarelawan sehat. Klaritromisin dosis tunggal diminum bersama air dan bersama jus jeruk dengan urutan acak selang 2 minggu. Sampel darah diambil pada jam jam tertentu sampai dengan 12 jam, dan kadar klaritromisin dalam serum diukur secara mikrobiologis. Parameter bioavailabilitas yang dinilai adalah AUC0_12jam (area di bawah kurva kadar klaritromisin terhadap waktu dari 0-12 jam), Cmax (kadar puncak klaritromisin dalam darah) dan tmax (waktu untuk mencapai Cmax). Ketiga parameter tersebut dibandingkan antara klaritromisin yang diminum dengan air dan yang diminum dengan jus jeruk.
Hasil dan kesimpulan: Perbandingan bioavailabilitas (AIJCo-lz jam) tablet Abbotic® mengandung klaritromisin 500 mg, yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam dengan yang diminum bersama air, berkisar antara 20.6% sampai 527.4% dengan rata-rata 124.9%; peningkatan ini tidak bermakna secara statistik. Berdasarkan kriteria bioekivalensi jus jeruk siam dinyatakan tidak mempengaruhi bioavailabilitas klaritromisin jika perbandingan bioavailabilitas klaritromisin bersama jus jeruk berkisar antara 80-125% bioavailabilitasnya bersama air. Dari 13 subyek penelitian ini, jus jeruk siam tidak mempengaruhi bioavailabilitas klaritromisin pada 5 orang subyek. Jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas klaritromisin pada 4 subyek dan meningkatkan bioavailabilitas klaritromisin pada 4 subyek. Kadar maksimal klaritromisin dalam serum (Cmax) dari tablet klaritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 15.6% sampai 429.8% dengan rata-rata 136.6% dibandingkan jika tablet tersebut diminum bersama air, tetapi peningkatan ini tidak bermakna secara statistik, Waktu untuk mencapai kadar maksimal klaritromisin dalam serum (tmax) dari tablet klaritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam secara rata-rata tidak berubah dibandingkan jika tablet tersebut diminum bersama air (2.08 jam dengan jeruk dan 2.04 jam dengan air). Waktu paruh eliminasi (t112) tablet klaritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memanjang dibandingkan jika tablet tersebut diminum bersama air (rata-rata 5.43 dan 4.70 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik.

Interaksi Klaritromisin Dengan Jus Jeruk Field and methodology: Orange juice can drastically decrease bioavailability of some medications that are taken together with orange juice because orange juice is a potent inhibitor of organic-anion transporting polypeptides (OATP), the uptake/influx transporter expressed on the enterocyte brush border and the medications are substrates of OATP. Clarithromycin is a substrate and an inhibitor of P-glycoprotein, the efflux transporter also expressed on the enterocyte brush border. There is an extensive overlap between substrate/inhibitor of OATP and P-gp. Clarithromycin is often used in the treatment of respiratory tract infections, and patients suffer from these infections often drink orange juice for extra vitamin C and roborants. The present study was performed to find out the effects of a local orange juice (slam orange) on the pharmacokinetics of clarithromycin. An open-label, randomized, 2-way crossover study was performed with an interval of 2 weeks. Thirteen healthy volunteers received 500 mg clarithromycin with both water and orange juice in a random order. Serum concentrations of clarithromycin were measured by simple microbiologic method.
Results and conclusions: Bioavailability (AUCo.12 hours) of Abbotic® tablet containing 500 mg clarithromycin which was taken with 200 ml orange juice ranged from 20.6% to 527.4% with an average of 124.9% compared to that which was taken with water; this increase was not statistically significant. Based on the bioequivalence criteria, orange juice did not affect clarithromycin bioavailability if clarithromycin bioavailibility ranges from 80-125% of its bioavailability with water. Among 13 volunteers, only in 5 volunteers orange juice did not affect clarithromycin bioavailability. Orange juice decreased clarithromycin bioavailability in 4 subjects and increased clarithromycin bioavailability in 4 volunteers. Peak concentration (Cmax.) of clarithromycin with orange juice ranged from 15.6 to 429.8% with an average of 136.6% compared to that with water, and this increase was not statistically significant. Clarithromycin tmax was not changed by orange juice (averages 2.08 hours with orange juice and 2.04 hours with water), while tip of clarithromycin was slightly prolonged by orange juice (averages 5.43 hours with orange juice and 4.70 hours with water) but not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T2740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pemberian jus jeruk dengan feksofenadin telah ditemukan menurunkan bioavailabilitas feksofenadin sampai kurang dari 30% melalui hambatan organic-anion transporting polypeptide (OATP), suatu polipeptida yang mentransport obat ke dalam sel dan terdapat pada organ-organ seperti hati, ginjal dan usus. Eritromisin dan klaritromisin adalah substrat dan penghambat CYP3A4, suatu enzim pemetabolisme obat di hati dan usus, dan P-glikoprotein (P-gp), protein yang mentransport obat ke luar dari sel. Karena terdapat tumpang tindih antara substrat dan penghambat CYP3A4, P-gp dan OATP, kami ingin meneliti apakah pemberian bersama jus jeruk lokal (jeruk Siam) akan mempengaruhi bioavailabilitas ke-2 antibakteri tersebut di atas. Kami melakukan 2 studi menyilang, satu studi untuk setiap antibakteri (500 mg), yang diberikan bersama jus jeruk (200 ml) dan bersama air pada 12-13 sukarelawan sehat per studi. Kadar serum antibakteri diukur dengan cara mikrobiologik. Rasio rata-rata (kisaran) AUC0-t dengan jus jeruk / dengan air adalah sbb.: eritromisin : total (n=13) 81.7 (9.7-193.8)%, tidak berubah (n=4) 96.4 (80.5-107.9)%, menurun (n=6) 31.9 (9.7-49.0)%, meningkat (n=3) 161.8 (134.6-193.8)%; klaritromisin : total (n=12) 91.4 (20.6-158.3)%, tidak berubah (n=5) 103.1 (80.9-123.0)%, menurun (n=4) 34.8 (20.6-64.3)%, meningkat (n=3) 147.2 (132.9-158.3)%. Disimpulkan bahwa pemberian eritromisin atau klaritromisin bersama jus jeruk Siam menghasilkan efek yang tidak konsisten terhadap bioavailabilitas ke-2 antibakteri ini pada masing-masing subyek, dengan penurunan yang besar pada hampir separuh dari subyek, meskipun secara total efeknya tidak bermakna secara statistik. (Med J Indones 2004; 14: 78-86)

Concomitant administration of orange juice with fexofenadine has been found to decrease the bioavailability of fenofenadine to less than 30% via inhibition of organic-anion transporting polypeptide (OATP), a drug uptake transporter expressed in organs such as liver, kidney and intestine. Erythromycin and clarithromycin are substrates and inhibitors of CYP3A4, a drug metabolizing enzyme in the liver and enterocytes, and P-glycoprotein (P-gp), a drug efflux transporter expressed in the same organs as OATP. Since an extensive overlap exists between substrates and inhibitors of CYP3A4, P-gp and OATP transporters, we want to study the effect of coadministration of our local orange (Siam orange) juice on the bioavailability of the above antibacterials. We conducted two 2-way cross-over randomized studies, one study for each antibacterial (500 mg), crossed between administration with orange juice (200 ml) and with water, in 12-13 healthy subjects per study. The serum concentrations of the antibacterials were assayed by microbiological method. The mean (range) ratio of AUC0-t with orange juice/with water were as follows : erythromycin : total (n=13) 81.7 (9.7-193.8)%, unchanged (n=4) 96.4 (80.5-107.9)%, decreased (n=6) 31.9 (9.7-49.0)%, increased (n=3) 161.8 (134.6-193.8)%; clarithromycin : total (n=12) 91.4 (20.6-158.3)%, unchanged (n=5) 103.1 (80.9-123.0)%, decreased (n=4) 34.8 (20.6-64.3)%, increased (n=3) 147.2 (132.9-158.3)%. It was concluded that coadministration of Siam orange juice with erythromycin or clarithromycin produced unpredictable effects on the bioavailability of these antibacterials in individual subjects, with marked decreases in almost half of the subjects, although in totals the effects were not statistically significant. (Med J Indones 2004; 14: 78-86)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (2) April June 2005: 78-86, 2005
MJIN-14-2-AprJun2005-78
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Azzahra Nisya Zulkarnain
"Pelayanan farmasi klinik merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker yang bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan terapi pasien dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping obat sehingga keselamatan dan kualitas hidup pasien dapat terjamin. Apoteker diharapkan dapat terus meningkatkan kompetensinya agar dapat memenuhi hak pasien. Sebelum menjadi apoteker, mahasiswa apoteker harus memiliki keterampilan dan wawasan dibidang kefarmasian. Salah satu upaya agar mahasiswa apoteker mampu melakukan praktik kefarmasian secara profesional, legal, dan etik, yakni melalui kegiatan PKPA (Praktik Kerja Program Apoteker). Pelaksanaan praktik kerja profesi ini berlangsung selama dua bulan dengan tugas khusus, yakni Evaluasi Data Interaksi Obat pada Sepuluh Zat Aktif dengan Pemakaian Terbesar di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Metode yang dilakukan dengan membandingkan data interaksi obat sebelumnya dengan literatur terpercaya untuk melihat apakah terjadi perubahan dalam kategori interaksi obat. Dari data interaksi sepuluh zat aktif pemakaian terbesar di RSUPN Cipto Mangunkusumo diperoleh total data interaksi sebanyak 1280 data, sebanyak 262 data kategori interaksi obat tidak perlu dilakukan revisi, sebanyak 264 data perlu dilakukan revisi karena perubahan kategori interaksi obat, sebanyak 739 data perlu dihapus dari daftar interaksi obat dikarenakan setelah dievaluasi tidak ditemukan interaksi.
Clinical pharmacy services are service activities carried out by pharmacists that aim to increase the success of patient therapy and minimize the risk of drug side effects so that the safety and quality of life of patients can be guaranteed. Pharmacists are expected to continue to improve their competence in order to fulfill patient rights. Before becoming a pharmacist, pharmacist students must have skills and insight in the pharmaceutical field. One of the efforts so that pharmacist students are able to practice pharmacy in a professional, legal and ethical manner is through internship.The implementation of this professional work practice lasts for two months with a special assignment, namely Evaluation of Drug Interaction Data for the Top Ten Most Frequently Used Active Substances at Cipto Mangunkusumo Government-run General Hospital. The method is carried out by comparing previous drug interaction data with reliable literature to see if there is a change in the category of drug interactions. From the interaction data of the ten active substances used the most at Cipto Mangunkusumo General Hospital, a total of 1280 interaction data was obtained, 262 data in the category of drug interactions did not need to be revised, 264 data needed to be revised due to changes in the category of drug interactions, 739 data needed to be removed from the list drug interactions caused after being evaluated no interactions were found."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gaizi Nisma
"Dengan adanya konsep pharmaceutical care, pelayanan kefarmasian sudah bergeser orientasinya dari komoditi ke pelayanan yang komprehensif, dengan tujuan peningkatan kualitas hidup dari pasien. Dari basil uji coba pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian khususnya dalam pelayanan resep pads 45 apotek di Jawa Barat, diketahui bahwa proporsi apoteker yang memberikan informasi obat dalam rangka pelayanan resep yaitu sebesar 38%.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja apoteker dalam pelayanan resep di apotek Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 dan faktor determinannya. Rancangan penelitian yang digunakan adalah potong lintang dengan sampel total populasi sebanyak 72 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dan menggunakan Iembaran checklist. Untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen digunakan analisis bivariat menggunakan uji statistik chi-square, dan untuk menentukan faktor paling dominan berhubungan dengan kinerja dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian menunjukkan nilai median kinetja apoteker dalam pelayanan resep di apotek Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebesar 18,6%. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang bennakna antara pengalaman kerja, imbalan dan status kepemilikan sarana/prasarana dengan kinerja apoteker. Dari analisis multivariat hanya dua variabel yang berpotensi sebagai determinan yaitu imbalan dan status kepemilikan saranalprasarana Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kinerja adalah status kepemilikan sarana/prasarana.
Disarankan pada Departemen Kesehatan RI untuk mengembangkan suatu standarisasi dalam program monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap aktifitas apoteker di apotek dan dalam pelaksanaannya perlu adanya koordinasi antara dinas kesehatan dan organisasi profesi. Selanjutnya untuk pemberian izin apotek, hanya diberikan kepada apoteker dan dalam jangka waktu tertentu. Izin apotek dapat diperpanjang dengan suatu kiteria dan persyaratan tertentu. Dinas Kesehatan bersama organisasi profesi untuk mengembangkan suatu standarisasi bagi aktifitas apoteker di apotek dalam rangka pelayanan kefarmasian dan selanj utnya melaksanakan pendidikan berkeianjutan serta pelatihan yang tents menerus bagi apoteker.
Kepada apoteker yang mempunyai dukungan finansil dalam pengembangan profesi untuk dapat membuka sendiri praktek profesi di apotek tapi apabila bekerjasama dengan orang lain, sebaiknya dikembangkan suatu sistem yang dapat membuka peluang untuk menanamkan modal. Selanjutnya bagi penelitian lanjutan, untuk mengkaji lebih dalam mengenai hubungan antara status kepemilikan apotek dengan profesionalitas apoteker dan juga perlu dikembangkan suatu penelitian yang mengarah kepada mutu dari aktifitas apoteker dalam penyelenggaraan resep khususnya dalam layanan informasi obat.

With the concept of pharmaceutical care, the pharmacy service has shifted its orientation from commodity to comprehensive services, with the objective of life quality enhancement for the patients. From the test result of the pharmaceutical service performance standards especially in the prescription service of 45 pharmacies in West lava, it has been proven that the highest pharmacists' proportion who gives drug information in the prescription service is 38%.
This study is carried out to find out the factors which are related to the pharmacists' performance regarding prescription service of pharmacies in Nanggroe Aceh Darusslam Province in 2003 and the determinant factors. The research plan used is cross sectional with the total population sample of 72 people.
Data collection is undertaken through questionnaire enquires and checklist sheets. To distinguish the relationship the between dependent and independent variable, analysis bivariat is used through chi square statistical test; and to determine the most dominant factor which relates to the performance, analysis multivariate is used through double logistic regression test.
The result of this study shows that the pharmacists performance median value in the prescription service of pharmacies in Aceh Nanggroe Darussalam Province is 18,6%. The bivariat test result shows that there is a significant relationship between job experiences, rewards and facilities/infrastructures ownership status with the pharmacists' performance. From the multivariate analysis, there are only two variables which have the potential as determinants, which are rewards and facilities/infrastructures ownership status. The most dominant variable related to performance is the facilities/infrastructures ownership status.
It is advised to the Health Ministry of the Republic of Indonesia to develop standardization in the monitoring, evaluation and, supervision programs towards the activities of pharmacists in the pharmacy; and there is a need for coordination between the health board and professional organizations. Next, providing pharmacies license should only be given to pharmacists and in certain period. The license could be extended through certain criteria and requirements. The health board together with the professional organizations should develop standardizations for the pharmacists activities in the pharmaceutical services, and then to undertake continuous education and training for the pharmacists.
As for the pharmacists who have financial supports in profession development to embark their own profession practice; but if they work together with others, it is better to develop a system which could give opportunities for investments. Subsequently, for further study to examine closely the relationship between pharmacies ownership status with the pharmacists professionalism, and also to develop a study that could lead to the quality of pharmacists activities in the prescription process, especially in the medication information service.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Prayitno
"Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Sukanto, yang disebut juga Rumah sakit Sukanto merupakan badan pelaksana pada Disdokkes Polri. Salah satu kegiatan pelayanan yang dilakukan adalah pembedahan. Selama tahun 1997 telah dilakukan operasi sebanyak 1861 kasus yang terdiri dal 872 (46,86%) pasien umum dan 989 (53,14%) pasien dinas. Kegiatan ini memerlukan dukungan logistik farmasi yang besar. Unit Bedah Sentral menerima logistik farmasi melalui 4 jalur pengadaan dari 3 jenis pembiayaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi logistik farmasi yang pengadaannya berasal dari berbagai sumber, yang berguna untuk menentukan biaya yang harus di alokasikan Rumah said Sukanto untuk menunjang Unit Bedah Sentral sebagai pusat biaya dan pusat laba, mengetahui bantuan yang diberikan pasien umum terhadap pasien dinas, serta mengetahui sistem pengadaan logistik farmasi di Unit bedah Sentral.
Design penelitian adalah cross sectional, untuk mendapatkan gambaran bagaimana proses suatu pelayanan kesehatan di rumah sakit khususnya dalam hal pengadaan logistik farmasi di Unit Bedah Sentral. Tehnik pengumpulan data primer dengan pengisian kuesiner dilanjutkan dengan wawancara kepala pejabat terkait, sedangkan data sekunder didapatkan dengan cara pengumpulan data dari Unit Bedah Sentral, Bendahara Materiil dan Unit Farmasi.
Dari hasil penelitian di dapatkan komposisi logistik farmasi Unit Bedah Sentral terdiri dad 72 obat-obatan dan 108 jenis alat kesehatan habis pakai. Sebagian besar obat-obatan adalah obat anestesi (72,2 %), sedangkan sebagain besar alat kesehatan habis pakai yakni 83,3 % digunakan oleh dokter bedah. Alat kesehatan habis pakai terbanyak adalah benang operasi yang terdiri dari 52 jenis benang (50%).
Prosentasi pengadaan dari Dropping Disdokkes Polri hanya 6,17 % dad Apotik Pusat hanya 1,65 %, pengadaan Penunjang Medik (50,32%) dan pengadaan Unit Bedah Sentral (41,86%).
Selama tahun 1997 Unit Bedah Sentral Rumah Sakit Sukanto bukan merupakan pusat laba, karena ternyata terdapat subsidi dari Rumah sakit ke pasien umum sebesar Rp. 20.841.465,- atau 12,45 % dari seluruh kebutuhan logistik farmasi pasien umum.
Dari hasil penelitian ini didapatkan sistem pengadaan logistik farmasi Unit Bedah Sentral yang paling tepat adalah yang hanya melewati satu pintu yakni Penunjang Medik. Perlu dibuat formularium obat-obataan dan alat kesehatan habis pakai untuk Unit Bedah Sentral serta dilakukan analisis A B C untuk pengadaan benang yang jumlahnya besar dan harganya sangat mahal.

Raden Said Sukanto Central Police Hospital, which is also called Sukanto Hospital is the technical operational of Police Medical and Health Services. It serves surgery programmed. In 1997, 1861 surgical cases was done. It consists of 872 cases (46.86%) general patients and 989 cases (53.14 %) military patients. These surgeon activities need pharmaceutical logistics support. Central Surgery Department receives pharmaceutical logistics from four procurement resources and three fund resources.
The research's objective is to analyze the pharmaceutical logistics composition from many kinds of procurement resources. It is important to make cost decision to support Central Surgery Department as cost center and profit center. How far is the general patients support the military patients and which system pharmaceutical logistics procurement in the Central Surgery Department is needed.
The research design is a cross sectional based, how the hospital health services especially in the pharmaceutical logistics procurement of Central Surgery Department must be done. The primary, data is done due to questionnaire and interviews, whereas the secondary data is from Central Surgery Department, Logistic officer and Pharmaceutical Department.
The research's result has established pharmaceutical logistics composition consist of 72 pharmaceuticals and 108 pharmaceuticals used up product. Most of the pharmaceuticals product is anesthetic and the pharmaceuticals used up is mostly for surgical. Lots of the pharmaceuticals used up product is surgical suture that consist of 52 kinds.
There are only 6.17 % Procurement percentage from The Police Medical and Health Services dropping, 1.65 % from Central Pharmacy, 50.32 % from Medical Support procurement and 41.86 % from Central Surgery department procurement.
In the 1997, Central Surgery department is not likely to be the profit center because Rp. 20.841.465,- has been subsided by the hospital to the general patients. It is 12.45 % from all the pharmaceutical logistics composition needed by the general patients.
This research find out that one way procurement through medical supported department is the only right way of Pharmaceutical logistics procurement system in the Central Surgery department. We need pharmaceutical formulation of pharmaceuticals (medicines) and pharmaceutical used up product for the Central surgery. Whereas for the most expensive surgical suture we use the A B C analysis.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T5628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Riolina Ida Lamtiur
"Ke depan organisasi pemerintah miskin struktur kaya fungsi, yang diwujudkan melalui berbagai macam jabatan fungsional. Salah satu jabatan fungsional yang butir kegiatannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah Pengawas Farmasi dan Makanan. Jabatan fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan merupakan salah satu upaya strategis untuk meningkatkan kinerja dan sekaligus merupakan alternatif pengembangan karir yang sangat diminati oleh SDM di Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Beban kerja BPOM dalam upaya pengawasan terhadap mutu, keamanan dan efikasi atau manfaat obat, obat tradisional, makanan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan bahan berbahaya, baik yang beredar di Indonesia maupun untuk produk ekspor semakin meningkat dan semakin kompleks. Semakin terbukanya akses pasar global, akan semakin banyak beredar produk ilegal dan produk palsu. Sehingga semakin banyak kasus pro justicia di bidang farmasi dan makanan. Beban kerja yang berat dan sangat beresiko di lapangan inilah yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Pengawas Farmasi dan Makanan.
Oleh karena itu pengembangan karir sebagai pejabat fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan selain menarik dari segi profesionalisme dan orientasi kinerja, juga dari segi pencapaian jenjang jabatan dan pangkat tertinggi sebagai pegawai negeri sipil dan akhirnya adalah tunjangan jabatan itu sendiri.
Pelaksanaan jabatan fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan di lapangan harus sesuai dengan harapan setiap SDM. Oleh karena itu diperlukan sistem yang dapat melakukan penilaian dan penetapan (perhitungan) angka kredit serta dapat melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan jabatan fungsional tersebut.
Untuk itu dirancang suatu prototip aplikasi program otomasi Sistem Informasi Bagi pengembangan Karir Pejabat Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan, BPOMRI, yang diharapkan akan dapat melakukan penilaian dan penetapan (perhitungan) angka kredit serta dapat melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan di lapangan. Otomasi penilaian dan penetapan (perhitungan) angka kredit serta monitoring dan evaluasi tersebut dapat meringankan beban Tim Penilai dan pihak manajerial yang menangani jabatan fungsional yang menyita banyak tenaga, waktu dan biaya.
Prototip ini merupakan pemecahan awal, yang masih harus dikembangkan menjadi suatu sistem yang utuh. Untuk itu sangat diperlukan dukungan pimpinan BPOM untuk mewujudkannya, baik dari segi legalitas pengadan maupun dari segi penganggaran agar memberikan prioritas pengadaan sistem tersebut.
Untuk keberhasilan sistem jabatan fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan juga perlu dilakukan sosialisasi yang ditata dan terus menerus kepada setiap SDM di setiap level bahwa pejabat fungsional adalah partner yang setara bagi pejabat struktural dalam pencapaian visi dan misi BPOM, selain diperlukan juga pendidikan dan pelatihan yang terstruktur bagi pejabat fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan guna memenuhi kompetensi dalam menjalankan tugas jabatannya.

Information System Modelling for Jabatan Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan career development in Badan POM (National Agency of Drug and Food Control Indonesia)In the future, the government organization chart is designed to be simple but rich of functions. Various of functional services will be implemented. One of it is Jabatan Fungsional Pengawas farmasi dan Makanan.
Pengawas Farmasi dan Makanan is one of many strategic plan to increase Badan POM performance and interesting alternative career development for staff.
Global trade's affects the increasing of Badan POM's responsibility in pharmaceuticals and food control such as medicines, traditional medicines, medical devices and other commodities under Badan POM controlled. This situation opens the opportunity for distribution of illegal and counterfeit product; it is realized that the increase of pro justicia cases in pharmaceutical and food as the effects of those condition. Badan POM assumes that high risk responsibility.
Jabatan fungsional is interesting career development tract because its professionalism, performance oriented, career opportunity and of course the allowance as well.
Since the implementation of jabatan fungsional has to meet the staff needs, therefore the existing system that can evaluate, determine and to monitor its implementation is absolutely needed.
For that purpose it is designed an application prototype of automation system for jabatan fungsional pengawas farmasi dan makanan progress, in order to less the appraiser team duties and also to make the budget efficiency. The proposed prototype is beginning of the whole system to manage the implementation of jabatan fungsional in Badan POM. There are many supports have to be input to grow the prototype becomes the complete system such as, management, budget and legal aspects as well. Structured and consistent socialization is needed also to keep the pengawas farmasi dan makanan informed that structural and functional services are colleagues to achieve together the Badan POM mission and vision. Education and structured training are important and should be performed to fill them up with the competencies in their works.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Maryori
"Salah satu sarana penyaluran sediaan farmasi dan tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian adalah Apotek. Acuan yang menjadi pedoman dalam pengelolaan pelayanan kefarmasian di Apotek selama ini adalah Keputusan Menteri Kesehatan Rl Nomor1332/Menkes/SK/X/2002.
Data hasil pemeriksaan pelaksanaan pengelolaan pelayanan di Apotek Kota Depok tahun 2004 - 2006 menunjukkan lebih banyak Apotek yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) daripada yang Memenuhi Syarat (MS) berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1332 / Menkes / SK I X / 2002 sehingga perlu diteliti dan dianalisis faktor yang menjadi penyebabnya.
Rancangan penelitian ini merupakan kombinasi studi kuantitatif dan kualitatif. Desain cross sectional dipakai untuk studi kuantitatif sedangkan untuk studi kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan interpretasi data dalam bentuk matrik hasil wawancara mendalam. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan pengamatan langsung di Apotek. Responden adalah 96 orang Apoteker Pengelola Apotek di Kota Depok yang izinnya telah dikeluarkan sebelum tahun 2006. Penilaian pelaksanaan pengelolaan pelayanan di Apotek berpedoman pada pertanyaan yang ada pada bagian pengelolaan pelayanan lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1332 / Menkes/ SK/ X / 2002 dan dicocokkan dengan pengamatan di Apotek. Uji statistik digunakan untuk mengetahui hubungan tingkat pelaksanaan pengelolaan pelayanan di Apotek berdasarkan variabel pengetahuan, umur, pekerjaan lain, alamat Apoteker, jasa profesi, jumlah Asisten Apoteker, kepemilikan Apotek, lama kerja, kehadiran Apoteker dan supervisi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengelolaan pelayanan di Apotek Kota Depok tahun 2006 Iebih banyak Tidak Memenuhi Syarat (TMS) daripada Memenuhi Syarat (MS). Dari sepuluh variabel yang diteliti dengan menggunakan uji t independen dan didukung dengan wawancara mendalam terdapat 4 variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan pelaksanaan pengelolaan pelayanan di Apotek yaitu umur, jumlah Asisten Apoteker, kehadiran Apoteker dan supervisi.
Untuk meningkatkan pelaksanaan pelayanan pengelolaan di Apotek berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bagi Depanemen Kesehatan untuk mengkaji ulang aturan pelaksanaan pengelolaan pelayanan di Apotek khususnya Keputusan Menteri Kesehatan Rf Nomor 1332 / Menkes / SK / X / 2002 dan membuat petunjuk pelaksanaan. Bagi Dinas Kesehatan disarankan menambahkan syarat untuk perizinan Apotek yaitu Apoteker Pengelola Apotek sebaiknya berusia di atas 35 tahun, jumlah minimal Asisten Apoteker 2 orang, dan Apoteker harus hadir setiap hari di Apotek. Perlu peningkatan kualitas supervisi, menindak lanjuti hasil supenfisi, sosiaiisasi kembali aturan pengelolaan pelayanan di Apotek kepada Apoteker Pengelola Apotek, Asisten Apoteker dan Pemilik Sarana Apotek, dan pembekalan kepada Apoteker Pengeloia Apotek baru khususnya tentang aturan di Apotek. Bagi Apoteker disarankan menindaklanjuti hasil supervisi, menambah pengetahuan dan ilmu terutama aturan-aturan baru yang berhubungan dengan profesinya sebagai Apoteker."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusdini Banun Saptaningsih
"Apotik Kopkar RSKD memberikan kontribusi dana yang cukup besar, yaitu ± 10 % dari seluruh pendapatan rumah sakit. Hasil audit akuntan 1998 memperlihatkan kondisi Iiquiditas yang over liquit. Oleh karena itu diperlukan perencanaan strategik agar apotik dapat meminimalkan kelemahan dan mengatasi anacaman eksternal serta merebut peluang yang ada, sehingga misi dan visi apotik tercapai.
Untuk dapat menyusun perencanaan strategik apotik Kopkar RSKD, dilakukan penelitian analisa kualitatif dan kwantitatif dibantu dengan peramalan menggunakan model Time Series Forecasting dari program QSB. Penyusunan strategi ini melalui tahap awal masukan (input stage) terdiri dari analisa lingkungan eksternal dan internal Apotik Kopkar RSKD yang dilakukan dengan Consensus Decision Making (CDM) apoteker yang bekerja di Apotik Kopkar RSKD. Kemudian tahap analisis (matching) dengan internal - eksternal, TOWS dan BCG Matrix. Dilanjutkan dengan tahap pengambilan keputusan (decision stage) menggunakan matrix perencanaan strategi kuantitatif (QSPM).
Dari hasil penelitian, pemilihan alternatif strategi berdasarkan IE Matrix memperlihatkan posisi apotik Kopkar pada kuadran 4 yang berarti grow and build. Dari TOWS matrix menghasilkan posisi apotik pada kuadran future, serta dari BCG matrix pada kuadran star. Berdasarkan semua posisi ini, strategi yang dianjurkan adalah market penetration, market development dan product development.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa strategi ekspansi adalah strategi yang terpilih untuk melaksanakan misi dan merealisasikan visi apotik Kopkar RSKD, serta untuk mencapai tujuan jangka panjang 2003 yang disepakati oleh CDM. Sedangkan saran yang diajukan adalah untuk dapat merealisasikan perencanaan strategik ini, maka diperlukan pemantauan agar pelaksanaan misi dan pencapaian visi serta tujuan jangka panjang dapat tercapai.

The dispensary of employees' cooperative (Kopkar) in the Dharmais Cancer Hospital (RSKD) contributes a large enough fund IE, ca I0 % of the hospitals total income. The result of accounting audit of the year 1998 shows the liquidity condition as over liquid. Hence a strategic planning is necessary so that the dispensary can minimize its weaknesses and overcome external threats and grasp the available opportunity so that the mission and vision of the dispensary can be achieved.
In order to design a strategic plan of the Kopkar dispensary in RSKD, a study with qualitative and quantitative analyses is done, aided by the use of Time Series Forecasting model of the QSB program. The compilation of strategy is done through an initial input stage which consists of external and internal environmental analyses of the Kopkar dispensary using Consensus Decision Making (CDM) among the pharmacists working in the Kopkar dispensary in RSKD. Then an analytical (matching) step using lnternal-External, TOWS and BCG matrices, it is further followed by the decision stage using the quantitative strategic planning matrix (QSPM).
Result the study shows that strategy selection based on the IE Matrix indicates the position of the Kopkar dispensary is in the 4th quadrant denoting 'grow and build'. The result of TOWS matrix indicates the dispensary's position is in the future quadrant, and of the BCG matrix it is in the star quadrant. Considering all the positions, the recommended strategy is market penetration, market development, and product development.
This study concludes that expansion strategy is the strategy of choice to enact the mission and realise the vision of Kopkar dispensary in RSKD, as well as to reach the long-term aim in 2003 approved trough CDM. It is advised that in order to apply the strategic plan, a monitoring is needed so that the long-term mission implementation and mission achievement can be achieved.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Bhaktiar Koe
"Pernbentukan kawasan perdagangan bebas oleh banyak negara, termasuk Indonesia, membuat pexsaingan makin ketat, termasuk induslri rumah sakit. Agar dapat bcrtahan, rumah sakit diharapkan dapat mcningkatkan pendapatan dan menekan biaya. Pendapatan lnstaiasi Farmasi RSAB HK hanya mempunyai ratio pcndapatun sebesar 28 - 29 % giari total pendapatan rumah sakit, sedangkan litcmtur menyatakan sekitar 40-50 %. Dineksi rumah sakit mengharapkan pcndapatan ditingkatkan menjadi 40 %.
Dilakukan penelitian kualitatif selama 2 bulan pada bulan April dan Mei 2007 di Rumah Sakit Anak dan Bunda I-Iarapan Kita untuk mengctahui mengapa banyak resep keluar. Jumlah informan sebanyak 21 orang. Kesesuaian infonnasi didapatkan dari informan petugas Instalasi Farmasi dan petugas lain yang mcngetahui/berhubungan dengan aktivitas instalasi. Kecukupan informasi/inf`o|'man clilakukan dengan snow balling efécr. Metode pengumpulan informasi dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pemeriksaan data/dokumen. Validitas data dijaga dcngan lriangulasi sumber, metode, dan data/analisis.
Hasil penelitian menunjukkan harga obat mahal, obat tidak lengkap, dan waktu tunggu lama berhubungan dengan rendahnyn pcmanfaatan lnstalasi Farmasi RSAB HK. Peneiusuran lebih lanjut, empat faktor diatas disebabkan:
  1. Forrnularium yang out of date dan tidak ditaati;
  2. Pembayaran vendor dan petty cash yang terlambat,
  3. Kurangnya insentif untuk memotivasi pasien rnembeli opal di RS;
  4. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang kurang tepat;
  5. Pengelolaan dan monitoring stok kurang optimum;
  6. SIRS yang tidak dapat digunakan memonitor stok;
  7. Skedul kerja petugas tanpa pcnjadwalan scsuai beban kcrjajam sibuk.
Beberapa hal disarankan untuk mengatasi hal ini berdasarkan kemudahan melakukan, lama waktu pelaksanaan, penggunaan sumbcr daya, dan efektivitas:
  1. Koreksi hai-ga jual obat rajal scsuai aturan PPN;
  2. Mempcrccpal pembayaran vendor dan penggantian petty cash gudang farmasi;
  3. Menerapkan metode stok minimum dan maksimum pada pengelolaan persediaan;
  4. Sosialisasi peian lnstalasi Farmasi dalam memmjang aktivitas RS;
  5. Perbaikan SIRS schingga mampu mcmonitor stok dan melatih petugas menggunakan dengan benar;
  6. Mengatur jadwal masuk petugas sesuai jam sibuk;
  7. Membatalkan rencana penambahan depo ranap;
  8. Penentuan strategi harga dengan super value strategy (kualitas tinggi dan harga murah) untuk jangka pendek (misalnya 1 tahun) dan dilanjutkan dcngan high value strategy (kuaiilus tinggi dengan harga sedang) atau good value strategy (kualitas sedang harga dengan rendah) ditambah pengenaan margin lebih besar untuk obat pasien ranap kelas yang lebih linggi dan obat slow moving, serta perlakuan pembelian obat pasien rawat inap kelas 3 dan intensif sebagai pasien rawat map.

Free trade zone among countries, including Indonesia, create tight competitions in hospital industry. To survive, hospital has to increase revenues and decrease costs. As a government hospital, the ratio of pharmacy installation revenues compared to total revenues is 28 - 29 %. Some literatures indicate higher number reaching 40-50 % for industry average. The management of the hospital is targeting and demanding increased ratio to 40 %.
A qualitative research was conducted in April and May 2007 at the Children and Women Hospital Harapan Kita to detemtine why many prescriptions failed to be used inside and were outside. 21 persons were used as informants. Informations appropriateness was got by using employees of Instalation and other persons who knew lnstalation activity. Snow balling effect in deciding the adequacy of the informants and information was used. Information and data collection was conducted using interviews, observation, and documents/data study. Triangulation of sources, methods and data/analysis were used to maintain the validity of data.
The results of the study show that high price ofthe drugs/medicines, unavailability of some arrays of the medicines, and long queues are the prominent causes of internal prescription leakage. Further investigation reveal above problems were caused by:
  1. Outdated formularium;
  2. Dcllaycd payment lo vendor and reimbursement of the petty cash;
  3. Not enough incentives to motivate patient to buy inside;
  4. In-appropriate application of value added tax;
  5. Not optimized inventory management;
  6. Hospital Information system is unable to monitored drugs stocks;
  7. Evenly distributed staffs allocation, without considering the needs to assign more people at busy hours.
Seven issues are suggested to solve the problems based on feasibility, effcetivity, duration of the afford, and usages of the resources:
  1. Price correction due to in-appropriate of value added tax;
  2. Expedite faster payment to vendors, and expedite reimbursement petty cash;
  3. Apply minimum and maximum stock system to inventory management;
  4. Sosialize the iinance role of thc instalation to Hospital activity;
  5. Upgrade computer program systems and train staffs in better using it;
  6. Reschedule work force so that more staffs are on duty at peak hours;
  7. Abort the plan to establish second In-patient depo;
  8. Rocalculating thc selling price in terms super value strategy (high quality low price) for I year, then to high value strategy (high quality normal price) for good value strategy (normal quality low price), higher margin for higher class of in-patient and slow moving drug, and sell medicine without VA tax to class 3 and intensive in-patient.
    1. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>