Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200201 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lineke Guntara
"Tujuan : Mengetahui hubungan kadar magnesium serum dan asupan magnesium dengan hipertensi, serta hubungan magnesium serum, asupan magnesium dan tekanan darah dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, pada orang dewasa > 35 tahun.
Tempat: Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Bahan dan cara : Studi cross sectional dilakukan pada 105 subyek pria dan wanita > 35 tahun yang dipilah secara simple random sampling dari sampel MONICA Jakarta 2000. Data yang dikumpulkan meliputi: data umum subyek, asupan makanan, antropometri, tekanan darah, pemeriksaan laboratorium (kadar magnesium serum, kreatinin serum dan gula darah puasa). Data dianalisis dengan uji statistik Chi-square, Fisher's exact, Kolmogorov-Smirnov, Anova dan t- tes.
Hasil : Hipertensi didapatkan pada 40 % subyek dan makin banyak pada kelompok umur yang lebih tua. Sebanyak 38,8% subyek pria dan 55,4% subyek wanita mempunyai asupan magnesium kurang, Hipomagnesemia lebih sering terjadi pada subyek hipertensi daripada subyek tidak hipertensi. Dari hasil analisis bivariat, didapatkan hubungan bermakna antara :1) perilaku gizi dengan pola makan, 2) umur dan pola makan dengan asupan magnesium, 3) umur dengan tekanan sistolik, 4) asupan protein dengan tekanan darah sistolik, 5) asupan magnesium dengan tekanan darah diastolik dan hipertensi. Rata-rata kadar Mg serum lebih rendah pada subyek hipertensi, namun tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar Mg serum dengan hipertensi.
Simpulan : Defisit asupan magnesium didapatkan pada semua subyek dan terutama berhubungan dengan pola makan yang kurang baik. Kurangnya asupan magnesium makanan dan rendahnya magnesium serum dapat menjadi salah satu faktor penunjang hipertensi.

The Relationship Between Serum And Dietary Magnesium With Hypertension And The Influential Factors In Adults In Mampang Prapatan District, JakartaObjective: to determine the relationship between serum and dietary magnesium with hypertension, and the relationship between serum magnesium, dietary magnesium and blood pressure with the influential factors in age > 35 year.
Location: Mampang Prapatan District, South Jakarta.
Materials and method: A cross-sectional study had been carried out among 105 subjects selected by simple random sampling method. The collected information consist of socioeconomic status, smoking and physical activities, dietary intake, anthropometric, blood pressure and laboratory examinations for serum magnesium, creatinine serum and fasting blood glucose. Statistical analysis was performed by Chi Square, Fisher's exact, Kolmogorov-Smirnov, Anova and t -test.
Results: Hypertension was found in 40 % subjects and more prevalent in older groups. Low level of magnesium intake was found in 38,8 % men and 55,4% women. Hypomagnesaemia was more prevalent in hypertensive subjects than in non-hypertensive. Bivariat analysis found significant relationships between :1) nutritional behavior with food pattern, 2) age and food pattern with dietary magnesium intake,3) age with systolic blood pressure, 4) dietary protein intake with systolic blood pressure, 4) dietary magnesium intake with diastolic blood pressure and hypertension. The average serum magnesium level was lower in hypertensive subjects, but no significant relationship between serum Mg levels with hypertension.
Conclusions: Dietary magnesium deficit was found in all of subjects, especially associated with the poor food pattern. The reduced level in magnesium diets and the low level of magnesium serum could be a responsible factor in the development of hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T2028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini Permata Sari
"Latar Belakang: Jumlah pasien penyakit kritis semakin meningkat dengan mortalitas yang cukup tinggi, sehingga diperlukan model prediksi yang memiliki performa yang baik untuk memprediksi mortalitas. MSOFA adalah salah satu sistem skor yang dapat memprediksi mortalitas 28 hari. Walaupun validasi MSOFA menunjukkan hasil yang baik di berbagai negara, masih diperlukan untuk melakukan validasi di Indonesia dan mencari parameter lain untuk meningkatkan ketepatan prediksi mortalitas. Kadar magnesium darah perlu diperhitungkan penggunaannya dalam memprediksi mortalitas terutama jika ditambahkan pada skor MSOFA.
Tujuan: Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi MSOFA serta nilai tambah kadar magnesium total dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis medis di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo (UPI RSUPNCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien penyakit kritis medis yang dirawat di UPI RSUPNCM pada periode April-Juli 2013. Hasil pemeriksaan fisik, Glasgow Coma Scale, saturasi oksigen perifer, serum kreatinin dan magnesium dinilai saat pasien masuk ke UPI. Outcome dinilai saat pasien mencapai hari ke 28 setelah hari perawatan pertama. Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC). Kemampuan prediksi skor MSOFA bersama magnesium ditentukan dengan ROC dari nilai predicted probability terhadap mortalitas.
Hasil: Sebanyak 150 pasien diikutsertakan dalam penelitian dengan angka mortalitas 33,3%. Plot kalibrasi MSOFA menunjukkan koefisien korelasi r = 0,7 dan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,08. Performa diskriminasi ditunjukkan dengan nilai AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,90). Kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis.
Simpulan: MSOFA memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis.

Background: Critically ill patients are increasing in number with high mortality rate and good performance of prediction model is needed to predict mortality. MSOFA is one of the scoring systems which can predict 28 days mortality. MSOFA has showed a good validation in many patients abroad, yet still need to be tested in Indonesia and improving its performance. Total magnesium serum can be used as an added value to improve MSOFA performance.
Objective: To evaluate calibration and discrimination of MSOFA and magnesium as an added value to predict mortality in critically ill patients.
Methods: This is a prospective cohort study of medical critically ill patient who admitted to Intensive Care Cipto Mangunkusumo Hospital. Physical examination, Glasgow Coma Scale, peripheral oxygen saturation, creatinine and magnesium serum were obtained when the patient was admitted at ICU. Outcome was assessed when patients have reached 28 days after the first day of admission. Calibration was evaluated calibration plot and Hosmer-Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve (AUC). Prediction performance of MSOFA and magnesium were evaluated with ROC curve.
Results: 150 patients was submitted to this study with mortality rate 33,3%. Calibration plot of MSOFA showed r = 0,7 and Hosmer-Lemeshow test showed p = 0,08. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,83 (CI 95% 0,76-0,90). Magnesium total serum has no added value to MSOFA as a mortality predictor in critically ill patients.
Conclusion: MSOFA has good callibration and discrimination performance, and magnesium blood level has no added value to MSOFA for predicting mortality in critically ill patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengetahuan mengenai manfaat klinis kadar magnesium serum baru dimulai akhir-akhir ini sering dengan adanya analisis dan penemuam bahwa kadar magnesium abnormal pada gangguan kardiovaskuler,metabolik dan neuromuskuler."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suzanna Immanuel
"Pengetahuan mengenai manfaat klinis kadar magnesium serum baru dimulai akhir-akhir ini setting dengan adanya analisis dan penemuan bahwa kadar magnesium abnormal pada gangguan kardiovaskuler, metabolik dan neuromuskuler. Meskipun kadarnya di serum lidak menggambarkan kadar magnesium tubuh, tetapi saat ini yang dikenal Iuas penggunaannya hanya pemeriksaan kadar magnesium serum. Magnesium eritrosil saat ini dinilai lebih sensitif dari pada magnesium serum, karena magnesium eritrosit dapat mewakili penilaian status magnesium intrasel. Menurun NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) setiap laboratorium dianjurkan memiliki nilai rujukan sendiri untuk pemeriksaan yang dikerjakannya, termasuk juga pemeriksaan magnesium. Nilai rujukan yang didapat sesuai dengan populasi dan dipengaruhi oleh metode serta teknik pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk menidapatkan nilai rujukan magnesium dalamn serum dan plasma serta mendapatkan nilai rujukan magnesium intrasel yaitu magnesium eritrosit dengan metode pemeriksaan langsung dan mengtlahui perbandingan hasil pemeriksaan antara magnesium serum dengan plasma. Bahan darah diambii dari 114 peserta donor darah di Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) Budhyarto PMl DKl Jakarta, terdiri dari 57 orang pria dan 57 orang wanita berusia antara 17-65 tahun, secara klinis sehat menurut kriteria donor darah PMl. Darah diambii dari selang blood set, langsung dimasukkan 4 mL ke dalam tabling vakum tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan magnesium serum dan 3 mL kedalam tabling vakum dengan antikoagulan lithium heparin untuk pemeriksaan magnesium eritrosit dan plasma. Penetapan kadar magnesium dilakukan dengan alat kimia klinis olomatis Hitachi 912 dengan metode Xylidil Blue dengan prinsip kolorimetri.Pada penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan bermakna untuk hasil pemeriksaan magnesium ekstrasel memakai bahan serum maupun plasma heparin. Nilai rujukan untuk magnesium serum atau plasma adalah 1.30 - 2.00 mEtq/L dan magnesium eritrosit adalah 4.46-7.10 mEq/L. (Med J Iiidones 2006; 15:229-235).

The interest in the clinical importance of serum magnesium level has just recently begun with the analysis and findings of abnormal magnesium level in cardiovascular, metabolic and neuromuscular disorder. Although the serum level does not reflect the body magnesium level, but currently, only serum magnesium determination is widely used. Erylhrocyte magnesium is considered more sensitive than serum magnesium as it reflects intracelhdar magnesium status. According to NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) every laboratory is recommended to have its own reference range for the tests it performs, including magnesium determination. The reference range obtained is appropriate for the population and affected by the method and technique. This study aimed to find the reference range of serum and plasma magnesium and also intracelhdar magnesium i.e. erythrocyte magnesium by direct method, and compare the results of serum and plasma magnesium. Blood was taken from 114-blood donor from Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) Budhyarto Palang Merah Indonesia (PMl) DKl Jakarta, consisted of 57 male and 57 female, aged 17 - 65 years, clinically healthy according to PMl donor criteria. Blood was taken from blood set, collected into 4 ml vacuum tube without anticoagulant for serum magnesium determination and 3 ml vacuum tube with lithium heparin for determination of erythrocyte and plasma magnesium Determination of magnesium level was performed with clinical chemistry auto analyzer Hitachi 912 by Xylidil Blue method color/metrically. This study showed no significant difference between serum and heparinized plasma extra cellular magnesium. The reference range for serum or plasma magnesium was 1.30 - 2.00 mEq/L and for erythrocyte magnesium was 4.46 - 7.10 mEq/L (MedJIndones 2006; 15:229-35)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-229
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Hadi Surya
"Proses elektrolisis temperatur tinggi telah diaplikasikan untuk mendapatkan bubuk magnesium dari hidromagnesit dan magnesium oksida sebagai material umpan. Dalam proses elektrolisis, garam MgCl2 hidrat dipanaskan hingga 750 °C - 850 °C hingga menjadi lelehan elektrolit. Beda tegangan antara elektroda sebesar 0 - 12 V diberikan untuk mendapatkan bubuk magnesium. Ditemukan bahwa bubuk magnesium terbentuk pada katoda Pt sebagaimana warna dari lelehan garam berubah dari putih menjadi abu-abu seperti warna Mg. Pembentukan Mg juga diindikasikan dengan kenaikan arus pada pembacaan amperemeter. Sayangnya, proses dilakukan pada kondisi udara terbuka dan kemudian bubuk Mg segera teroksidasi menjadi bubuk MgO. Disimpulkan meskipun tidak ada bukti puncak-puncak difraksi dari Mg pada pola XRD dari sampel, bubuk Mg berhasil dihasilkan selama proses. Kata kunci: elektrolisis, magnesium.

High temperature electrolysis process has been applied to obtain magnesium powders from hydromagnesite and magnesium oxide as the feed materials. In the electrolysis process, hydrat MgCl2 salts were heated to 750 °C - 850 °C towards molten electrolyte. Voltage between electrodes of 0 - 12 V was then applied for obtaining Mg powders. It was found that Mg powders formed in the Pt cathode as color of molten salts changed from white to grey which is similar to that of Mg. Formation of Mg was also indicated by a current rise as read in amperemeter. Unfortunately, the process was carried out under open atmosphere and thus Mg powders were immediately oxidized to MgO powders. It is concluded that despite no evidence of diffraction peaks for Mg in XRD pattern of the sample, the Mg powders were successfully produced during process. Keywords: electrolysis, magnesium."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S29012
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Andrean Martin
"Paduan Feronikel (FeNi) merupakan salah satu produk utama yang dihasilkan dalam pengolahan bijih nikel laterit. Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan deposit nikel besar dalam bentuk bijih laterit. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kadar senyawa Magnesium melalui proses leaching menggunakan larutan asam klorida dengan variasi konsentrasi larutan dan waktu proses leaching. Sampel yang digunakan berupa Slag Feronikel yang telah diberikan penambahan aditif Na2CO3 dan telah dipanggang dengan temperatur 1100oC. Penelitian dilakukan dengan melakukan proses leaching sampel menggunakan larutan HCl 4M dan 6M. Proses leaching untuk setiap konsentrasi larutan kemudian divariasikan waktu proses leaching yang digunakan yaitu 2, 4, dan 6 Jam. Setelah proses leaching mencapai waktu yang ditentukan, dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan filtrat dan residu yang dihasilkan. Pada filtrat hasil leaching dilakukan karakterisasi ICP-OES untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang terlarut pada filtrat selama proses leaching berlangsung. Sedangkan residu hasil leaching dilakukan karakterisasi SEM/EDS untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada residu setelah proses leaching. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan kadar Magnesium dari kadar sebelum dilakukan proses leaching. Proses leaching menggunakan larutan HCl 6M menghasilkan peningkatan kadar Magnesium yang lebih besar. Selain itu, waktu proses leaching yang digunakan juga berpengaruh terhadap hasil yang dilakukan, dimana proses leaching Roasted Slag Feronikel memiliki waktu optimal untuk proses ekstraksi senyawa Magnesium. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa larutan asam klorida (HCl) yang digunakan dalam proses leaching Roasted Slag Feronikel dapat meningkatkan kadar senyawa Magnesium pada filtrat. Proses leaching yang paling optimal pada penelitian ini menggunakan larutan HCl 6M selama 4 Jam, dengan persentase leaching sebesar 49,05%.

Feronickel Alloy (FeNi) is one of the main products produced in the processing of nickel laterite ore. Indonesia is one of the countries with a large nickel deposit in the form of laterite ore. This research aims to increase the levels of Magnesium compounds through the leaching process using hydrochloric acid solutions with varying solution concentrations and leaching process times. The sample used is the Feronickel Slag which has been given the addition of the Na2CO3 additive and has been baked at an 1100oC temperature. Research is conducted by conducting leaching process samples using a solution of HCl 4M and 6M. The leaching process for each solution concentration is then varied when the leaching process used are 2, 4, and 6 hours. After the leaching process reaches the specified time, the filtering process is performed to separate the filtrate and the resulting residue. In filtrate, leaching is performed ICP-OES characterization to identify the dissolved elements of the filtrate during the progress of the leaching process. Meanwhile, leaching residue is performed SEM/EDS characterization to know the changes occurring in residue after leaching process. The results of this study showed that the presence of increased levels of Magnesium from levels prior to leaching processes. The leaching process using a 6M HCl solution produces a greater increase in Magnesium levels. In addition, the leaching process time used also affects the results, where the leaching process of Roasted Slag Feronickel has the optimal time for the extraction process of Magnesium compounds. Based on the results of this study, it can be concluded that a solution of hydrochloric acid (HCl) used in the leaching process of Roasted Slag Feronikel can increase the levels of Magnesium compounds in filtrate. The most optimal leaching process in this study was using an 6M HCl solution for 4 hours, with a leaching percentage of 49,05%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Handayani
"Latar Belakang: Magnesium ECAP mempunyai sifat mekanis yang baik danpengaruh osteoanabolik, namun magnesium memiliki sifat korosif.Imunohistokimia mengidentifikasi respon proses korosi dengan melihat jejakjaringan sekitar.
Metode: Tulang femur dipasang miniplate dan screwdikelompokkan 1-3-5 bulan. Tulang kontrol diambil pada sisi berlawanan. Hasil Imunohistokimia dinilai dengan skoring. Data diuji nonparametrik dengan tingkatkepercayaan 99.
Hasil: Perbedaan bermakna kelompok perlakuan dengankelompok kontrol p=0,000 . Peningkatan pembentukan trabekula dan responosteogenesis. Peningkatan revaskularisasi dan reaksi kluster diferensiasi terhadapgas poket hingga bulan ke-3.
Kesimpulan: Respon jaringan sekitar tertoleransi dengan terjadinya peningkatan osteogenesis, tidak ditemukannya jaringannekrosis, dan penurunan nilai gas poket.

Background : ECAP processed magnesium has an excellent mechanicalproperties and osteoanabolic effect. However metal materials are known to havecorrosive nature, and magnesium was no exception. Immunohistochemistry is ableto identify corrosion process response in living organism by looking into its tracesin surrounding tissus.
Methods : The femur bone samples were implanted byECAP processed magnesium miniplate and screw for 1, 3, and 5 months. Theopposing femur was left alone as control samples. Afterwards,immunohistochemical staining results were scored and tested using nonparametrictests with confidence interval of 99.
Results : Significant differences werefound between treatment groups and control groups p=0.000. The increase oftrabeculae formation and osteogenesis responses also revascularisation anddifferentiation clusters to gas voids are observed well into the 3 month samples.
Conclusion : Surrounding tissue responses are tolerated as shown by the increaseof osteogenesis, untraceable necrotic tissues, and the decrease in gas voids score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Silvia Pagitta
"ABSTRAK
Magnesium merupakan salah satu komponen mikronutrien dan dilaporkan
mempunyai peran dalam proses metabolisme dan kekuatan otot namun belum
mendapat cukup perhatian yang luas sehingga jarang dilakukan pemeriksaan rutin. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan untuk
mengetahui korelasi asupan magnesium dan kadar magnesium eritrosit dengan
mobilitas fungsional. Penelitian ini dilakukan di 3 panti jompo di Jakarta Timur
pada bulan April-Mei 2016. Pengumpulan subjek dilakukan dengan metode
consecutive sampling dan didapatkan 52 lanjut usia. Sebagian besar berjenis
kelamin perempuan dengan rerata usia 74,5 ± 8,6 tahun dan terbanyak pada
kelompok usia 70-79 tahun. Rerata asupan magnesium subjek adalah 188 mg/ hari dan sebagian besar (84,6%) memiliki asupan magnesium yang rendah. Rerata kadar magnesium eritrosit adalah 3,69 ± 0,63 mEq/ L dan didapatkan 96,2 % memiliki kadar magnesium eritrosit yang rendah. Median nilai tes Timed Up and Go adalah 11,5 detik. Pada penelitian ini terdapat korelasi bermakna dengan arah negatif antara asupan magnesium dengan mobilitas fungsional yang ditunjukkan dengan tes Timed Up and Go (p = 0,031, r = -0,3) sedangkan kadar magnesium eritrosit dengan mobilitas fungsional yang ditunjukkan dengan tes Timed Up and Go tidak didapatkan korelasi bermakna (p = 0,113, r = 0,223).

ABSTRACT
Magnesium is one component of micronutrients and is reported to have a role in the metabolism proccess and muscle strength, but this still didn?t get much
attention, so that a routine examination is rarely done.This cross-sectional study aimed to evaluate the correlation of magnesium intake and erythrocyte
magnesium levels with functional mobility. This study was done in 3 nursing
home in East Jakarta, from April to May 2016. Data were collected from 52
subjects with methods consecutive samping. The subjects of this study are women with mean age of 74,5 ± 8,6 years old and mostly in 70-79 years old group age. The mean magnesium intake are 188 mg/day, with 84,6 % of the subjects with a low magnesium intake, at the same time, the mean erytrocyte magnesium levels was 3,69 ± 0,63 mEq/ L and 96,2 % of the subjects experienced magnesium deficiency. The median score for TUG test is 11,5 seconds. There was a significant negative correlation between magnesium intake and functional mobility shown by Timed Up and Go test in elderly (p = 0,031, r = -0,3) and erythrocyte magnesium levels did not correlated significantly with functional mobility shown by Timed Up and Go test in elderly (p = 0,113, r = 0,223)."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arfan Badeges
"Dalam penatalaksanaan trauma maksilofasial diperlukan material implan sampai terjadi penyembuhan tulang. Magnesium memiliki potensi sebagai material implan tulang, dengan syarat memiliki laju biodegradasi yang baik. Proses equal channel angular pressing (ECAP) merupakan salah satu metode untuk memperbaiki sifat biodegradasi dari material logam.
Tujuan: Mengkaji proses biodegradasi magnesium ECAP pada cairan fisiologis.
Metode: Laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen didapatkan dari uji perendaman pada larutan DMEM dengan metode weight loss dan spektrometri dengan menggunakan dua belas spesimen magnesium ECAP dan enam spesimen magnesium murni sebagai kontrol. Pola biodegradasi didapatkan dari analisis struktur permukaan mikro. Analisis data menggunakan uji T independen.
Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan antara laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen antara magnesium ECAP dengan magnesium murni. Magnesium ECAP memiliki pola biodegradasi yang homogen.
Kesimpulan: Magnesium ECAP memiliki laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen yang lebih baik dibandingkan dengan magnesium murni.

Implant material are used in the management of maxillofacial trauma until bone healing occur. Magnesium has the potential to be a bone implant material, but it requires a good biodegradation rate. The process of equal channel angular pressing (ECAP) is a method to improve the biodegradation properties of metallic materials.
Purpose: To observe the biodegradation process of magnesium ECAP in physiological fluid.
Method: The biodegradation and hydrogen evolution rate were obtained from immersion test in a DMEM solution, using weight loss and spectrometric method within twelve magnesium ECAP specimens and six specimens of pure magnesium as a control. Biodegradation pattern were obtained from the micro surface structures analysis. The result was statistically analyzed with independent T test.
Results: There were significant difference between the biodegradation and hydrogen evolution rate between magnesium ECAP and pure magnesium. Magnesium ECAP has a homogeneous biodegradation pattern.
Conclusion: Magnesium ECAP has better biodegradation and hydrogen evolution rate than pure magnesium.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T33021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Syaflida
"Magnesiummerupakan suatu material yang berpotensi digunakan sebagai biomaterial logam yang dapat terdegradasi. Syarat magnesium dapat digunakan sebagai material implan biodegradable adalah laju degradasimagnesiumharus sesuaidenganlaju penyembuhandarijaringan yang terlibat.Umumnya magnesium memiliki laju degradasi yang cepat, hal ini merupakan kekurangan magnesium yang tidak diinginkan.Aplikasimagnesiumsebagai implanyang terdegradasiterhambatkarena tingkattinggidegradasilingkungan fisiologisdan kerugiankonsekuen dalamsifat mekanik. Oleh karena itu, proses Equal Channel Angular Pressing (ECAP) yang dilakukan padamagnesium diharapkan akanmengurangiukuran butir yang dapat menurunkanlaju degradasidan meningkatkansifat mekanis magnesium.
Tujuan: Menganalisasifat mekanismagnesium ECAP dalam cairan fisiologis.
Metode:Sifat mekanis magnesium ECAP dianalisis setelah dilakukan perendaman dalam larutan DMEM dengan menggunakan masing-masing sepuluh sampel magnesium ECAP dan lima sampel magnesium untuk uji tarik dan uji kekekrasan. Sifat mekanis di analisis menggunakan nilai ultimate tensile strength (UTS) pada uji tarik dan vickers hardness number (VHN) pada uji kekerasan.
Hasil: Kekuatan dan kekerasan magnesium meningkat setelah proses ECAP.

Magnesium has thepotential to be used asdegradable metallic biomaterial. For magnesium to be used as biodegradable implant materials, their degradation rates should be consistent with the rate of healing of the affected tissue, the release of the degradation products should be within the body?s acceptable absorption levels. Conventional magnesium degrades rapidly, which is undesirable. The successful applications of magnesium as degradable implants are mainly inhibited due to their high degradation rates in physiological environment and consequent loss in the mechanical properties. Equal channel angular pressing (ECAP) was applied to a pure magnesium. This processes will be decreasing grain size, decreasing degradation rates and increasing mechanical properties.
Purpose: To analyze the mechanical properties of magnesium ECAP in physiological fluid.
Method:The mechanical properties were obtained from immersion test in a DMEM solution, within ten magnesium ECAP specimens and five specimens of pure magnesium as a control. Mechanical properties were analyzed using the value of ultimate tensile strength (UTS) with tensile testing and vickers hardness number (VHN) with hardness testing.
Results:The ultimate tensile strength and hardness magnesium increased after ECAP, and the mechanical properties of the magnesium ECAP decreased in physiological fluid.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T33041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>