Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 236521 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Hamdan Basyar
"Kekerasan politik pada pemilu 1997 di Pekalongan disebabkan oleh adanya disempowerment dari penguasa kepada masyarakat yang berbeda aliran politik. Hal itu dilakukan baik di bidang sosial, ekonomi, dan maupun bidang politik. Sedangkan penyebab kekerasan politik tahun 1999 adalah adanya perbedaan penafsiran antara masyarakat NU terhadap khittah NU yang dimulai tahun 1984. Pada pemilu 1997, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung Golkar. Pada pemilu 1999, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung PKB.
Ulama sebagai tokoh penutan tidak cukup efektif dalam penyelesaian kekerasan politik tersebut. Dalam kajian dengan masalah politik tersebut, Ulama di Pekalongan, dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, menurut mereka keterlibatan ulama dalam masalah politik sehari-hari adalah suatu keharusan. Kelompok ulama inilah yang kemudian secara langsung ikut terlibat dalam partai politik. Kedua, mereka juga berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, termasuk politik, tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, mereka merasa tidak perlu melibatkan diri dalam politik praktis. Kelompok ulama ini, peduli pada masalah politik dan kenegaraan, tetapi tidak mau menjadi pendukung salah satu partai politik, secara terbuka. Ketiga, mereka yang tidak mau, dan tabu dengan urusan kehidupan politik. Mereka merasa kehidupan berpolitik bukan merupakan bidang urusan ulama. Kelompok ini membatasi kiprahnya hanya dalam masalah moral keagamaan. Mereka sengaja menghindari kehidupan politik, karena hal itu dianggap "terlalu dunia".
Dimana kelompok pertama tidak dapat berperan secara efektif, karena seringkali dicurigai oleh pihak lain yang berbeda aliran politiknya. Ulama kelompok kedua kurang efektif dan efisien dalam berperan menyelesaikan kekerasan politik, karena cara yang dilakukannya tidak secara langsung dan memakan waktu yang agak panjang. Sedangkan ulama kelompok ketiga tidak berperan, karena mereka dengan sengaja menghindari masalah politik dalam kehidupannya.
Dengan tidak berperannya ulama di Pekalongan dalam penyelesaian kekerasan politik, maka keadaan masyarakat menjadi mengambang. Mereka seakan kehilangan tokoh panutan yang mengarahkan kehidupan politiknya. Sebagian masyarakat menjadi apatis terhadap kehidupan politik. Sebagian yang lain terlalu bersemangat dalam kehidupan politik, tanpa memperhatikan hak politik warga lainnya. Akibatnya, mereka menjadi rawan dan rentan terhadap adanya perbedaan aliran politik.
Kondisi itu tentunya bisa menggangu ketahanan wilayah Pekalongan yang pada gilirannya akan mengganggu pula ketahanan nasional. Hal itu dikarenakan berbagai pihak, baik tokoh formal maupun informal, tidak menggunakan pendekatan "ketahanan nasional" secara jelas.
Kalangan ulama, misalnya, tidak begitu memperhatikan asas tannas yang melihat sesuatu secara komprehensif integral atau menyeluruh terpadu. Padahal asas ini bisa disamakan dengan apa yang dalam Islam disebut sebagai "kaffah". Masyarakat Pekalongan yang "agamis" tidak menyeluruh dalam mengamalkan ajaran agama yang mereka anut. Yang mereka lakukan adalah sesuatu yang lebih menguntungkan diri atau kelompoknya, sehingga masalah kekerasan politik di sana tidak dapat diselesaikan dengan tuntas."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifyal Ka`bah
"Topik penelitian ini berhubungan dengan salah satu sumber hukum Islam, setelah Qur'an, Sunnah dan Ijma (konsensus ulama), yaitu Ijtihad. ljtihad secara sederhana sebenarnya adalah usaha sungguh-sungguh kalangan ahli hukum Islam yang bertolak dari maksud-maksud (magdshid) Qur'an dan Sunnah dengan menggunakan akal sehat dan dalil-dalil logika untuk sampai kepada suatu ketentuan hukum syari (sah secara Islam). Formulasi hukum melalui ijtihad ini biasanya menggunakan metodologi ushul figh, dengan metode-metode standar seperti giyus (analogi), istihsan (pemakaian opsi terbaik, application of the discretion in a legal decision), istishlah (kemaslahatan) dan lain-lain.
Di zaman lampau, Ijtihad dilakukan secara individual, dan pada zaman modern, karena kelangkaan ulama atau ahli hukum tipe mujtahid (individu yang melakukan ijtihad) masa lalu, maka tugas ini dilakukan secara kolektif. Usaha bersama untuk memformulasikan hukum ini dapat disebut sebagai ijtihad jama'i (ijtihad kolektif) atau istinbath jama?i (perumusan hukum secara kolektif). Usaha ini di Indonesia, antara lain, dilakukan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa'il Nahdlatul Ulama.
Lajnah Tarjih mengadakan penyeleksian terhadap ketentuan-ketentuan hukum Islam yang pernah dikeluarkan oleh para mujtahid muslim pada masa lalu. Tarjih berarti mengambil pendapat yang arjah (terkuat) dari beberapa pendapat yang ada, dari aliran (mazhab) mana pun. Karena itu, dalam masalah figh (pemahaman hukum), Muhammadiyah terkenal sebagai tidak bermazhab, atau tidak terikat oleh satu mazhab tertentu. Selain penyeleksian, lembaga ini juga memutuskan ketentuan-ketentuan hukum bare yang belum dibicarakan oleh para pendahulu.
Sementara itu, pertemuan Lajnah Bahsul Masa'il dihadiri oleh alim ulama NU untuk membahas "kitab-kitab kuning" (buku-buku lama) dari berbagai disiplin pengkajian Islam tradisional, dari karangan imam imam mazhab, terutama mazhab Syafi'i. Tujuannya adalah untuk menyarikan ketentuan-ketentuan hukum Islam bagi kepentingan umum. Dalam pertemuan pertemuan ini juga dibahas masalah-masalah baru yang belum jelas ketentuan hukumnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
D1144
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifyal Ka`bah
"Topik penelitian ini berhubungan dengan salah satu sumber hukum Islam, setelah Qur'an, Sunnah dan Ijma (konsensus ulama), yaitu Ijtihad. ljtihad secara sederhana sebenarnya adalah usaha sungguh-sungguh kalangan ahli hukum Islam yang bertolak dari maksud-maksud (magdshid) Qur'an dan Sunnah dengan menggunakan akal sehat dan dalil-dalil logika untuk sampai kepada suatu ketentuan hukum syari (sah secara Islam). Formulasi hukum melalui ijtihad ini biasanya menggunakan metodologi ushul figh, dengan metode-metode standar seperti giyus (analogi), istihsan (pemakaian opsi terbaik, application of the discretion in a legal decision), istishlah (kemaslahatan) dan lain-lain.
Di zaman lampau, Ijtihad dilakukan secara individual, dan pada zaman modern, karena kelangkaan ulama atau ahli hukum tipe mujtahid (individu yang melakukan ijtihad) masa lalu, maka tugas ini dilakukan secara kolektif. Usaha bersama untuk memformulasikan hukum ini dapat disebut sebagai ijtihad jama'i (ijtihad kolektif) atau istinbath jama?i (perumusan hukum secara kolektif). Usaha ini di Indonesia, antara lain, dilakukan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa'il Nahdlatul Ulama.
Lajnah Tarjih mengadakan penyeleksian terhadap ketentuan-ketentuan hukum Islam yang pernah dikeluarkan oleh para mujtahid muslim pada masa lalu. Tarjih berarti mengambil pendapat yang arjah (terkuat) dari beberapa pendapat yang ada, dari aliran (mazhab) mana pun. Karena itu, dalam masalah figh (pemahaman hukum), Muhammadiyah terkenal sebagai tidak bermazhab, atau tidak terikat oleh satu mazhab tertentu. Selain penyeleksian, lembaga ini juga memutuskan ketentuan-ketentuan hukum bare yang belum dibicarakan oleh para pendahulu.
Sementara itu, pertemuan Lajnah Bahsul Masa'il dihadiri oleh alim ulama NU untuk membahas "kitab-kitab kuning" (buku-buku lama) dari berbagai disiplin pengkajian Islam tradisional, dari karangan imam imam mazhab, terutama mazhab Syafi'i. Tujuannya adalah untuk menyarikan ketentuan-ketentuan hukum Islam bagi kepentingan umum. Dalam pertemuan pertemuan ini juga dibahas masalah-masalah baru yang belum jelas ketentuan hukumnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
D168
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Powers, David
Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001
340.5 POW p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tata Fathurrohman
"ABSTRAK
Saat ini di Indonesia terdapat tiga sistem hukum, yaitu sistem Hukum Adat, sistem Hukum Islam, dan sistem Hukum Barat. Hukum Adat, telah lama berlaku di tanah air kita, bahkan jika dibandingkan dengan kedua sistem hukum tesebut di atas, maka Hukum Adatlah yang tertua umurnya.
Sebelum tahun 1927 keadaannya biasa saja hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, tetapi sejak tahun 1927 dipeiajari dan diperhatikan dengan seksama dalam rangka pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda, setelah toeri resepsi dikukuhkan dalam Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregelinq pada tahun 1925.
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah Agama Islam disebarkan di tanah air kita. Bila Islam datang ke tanah air kita belum ada kata sepakat antara para ahli sejarah Indonesia. Walaupun para ahli itu berbeda pendapat mengenai bilamana Islam datang ke Indonesia, namun dapat dikatakan bahwa setelah Islam datang ke Indonesia, Hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk Islam di Indonesia.
Hal tersebut di atas dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa itu mengenai Hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Hasil studi mereka, misalnya Sabilal Muhtadin, Sajinatul Hukum. Sirathal Mustaqim, dan lain-lain, di samping studi mengenai Hukum Islam yang ditulis oleh bukan orang Indonesia, seperti Muharrar karangan ar-Rafi'i, dan lain-lain.
Setelah Belanda menjajah tanah air kita ini, perkembangan Hukum Islam mulai dikendalikan, dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peraturan perundang-undangan (Indische Staatsregelinq 1925), menurut Prof. Hazarin, Perkembangan Hukum Islam dihambat di tanah air kita.
Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersama dengan kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di tanah air kita. Mula-mula hanya diperlakukan bagi orang-orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan, Hukum Barat itu dinyatakah berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang-orang Eropa, orang-orang Timur Asing, dan orang-orang Indonesia.
Hukum Adat dan Hukum Islam adalah hukum bagi orang-orang Indonesia ash clan yang disamakan dengan penduduk Bumiputra. Hal seperti itu direkayasa oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu sejak tahun 1854 sampai penjajahan mereka di tanah air kita berakhir.
Pada dasarnya Hukum Islam muiai berlaku bagi bangsa Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam, karena Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam. Ditinjau secara konstitusional Hukum Islam diakui keberlakuannya. Di dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, disebutkan sebagai berikut:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Mengenai Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 tersebut di atas, Prof. Hazairin dalam bukunya "Demokrasi Pancasila", menafsirkannya dalam beberapa kemungkinan, di antaranya sebagai berikut:
Dalam Negara RI. tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaedah-kaedah. Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangandengan kaedah-kaedah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaedahkaedah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan kesusilaan agama Hudha bagi orang-orang Budha.
Negara RI. wajib menjalankan syari'at Islam bagi orang Islam syari'at Nasrani bagi orang Nasrani dan syari'at Hindu-Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syari'at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara. Syari?at yang'tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankan sendiri menurut agamanya masing-masing.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasyry Agustin
"Penelitian ini didasarkan pada perceraian yang dilakukan tidak di depan sidang pengadilan, perceraian yang dilakukan hanya berdasarkan hukum Islam. Setelah melakukan perceraian tidak di depan sidang pengadilan, suami istri tersebut rujuk. Rujuk dari perceraian yang tidak didaftarkan secara hukum, dilihat dari Hukum Islam dan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penelitian ini membahas dua permasalahan utama. Pertama, pengaturan hukum yang ada di Indonesia mengenai rujuk atas perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan. Kedua, akibat hukum suami- istri (analisa kasus) yang rujuk atas cerai talak yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan menurut Hukum Islam dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hukum Perkawinan Indonesia tidak mengenal perceraian yang tidak dilakukan didepan pengadilan. Jika ingin melakukan rujuk juga harus didaftarkan/ dicatatkan kembali agar pernikahannya kembali sah. Sehingga rujuk atas perceraian yang tidak di depan sidang pengadilan atau hanya mengikuti peraturan agama tidak diakui oleh Hukum Perkawinan Indonesia. Akibat hukum yang terjadi atas rujuk dari perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan suami dan istri tersebut harus melaksanakan kewajiban dan hak yang sudah diatur dalam Hukum Islam dan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

The study was based on divorce conducted not before the trial court, the divorce is done only on the basis of Islamic law. After performing in front of the divorce court hearing, the married couple reconcile. Refer from a divorce that was not legally registered, views of Islamic Law and Law No. 1 of 1974 on Marriage. This study addresses two main issues. First, the existing legal arrangements in Indonesia on reconciliation for the divorce which was not done in front of the court. Secondly, due to legal spouses (case analysis) that reconcile over divorce divorce do not do in front of the trial court under Islamic law and Law No. 1 of 1974 on Marriage. The method used in this study is the use of normative secondary data.
The results showed that the Indonesian Marriage Law does not recognize divorce is not done in front of the court. If you want to refer also must be registered / recorded back in order to return a valid marriage. So refer to the above divorce before the trial court or just follow the rules of religion is not recognized by the Indonesian Marriage Law. Legal consequences of divorce occurs above reconciliation is not done before the trial court that the husband and wife should carry out the obligations and rights set out in Islamic Law and Law No. 1 of 1974 on Marriage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jazuni
"Masalah pokok berkaitan dengan legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah "Bagaimana pemikiran di kalangan (gerakan) Islam tentang legislasi hukum Islam di masyarakat Indonesia kontemporer." Posisi hukum Islam di Indonesia perlu dibahas karena hukum Islam bukan satu-satunya hukum yang berpengaruh di Indonesia, yang masyarakatnya majemuk dari segi agama. Peluang dan tantangan legislasi hukum Islam di Indonesia perlu dibahas untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat legislasi hukum Islam, baik di dalam Islam sendiri (substansi ajaran Islam, dan umat Islam) maupun dari luar Islam. Posisi hukum Islam di Indonesia akan dan dapat dilihat dalam dua hal: pertama, dalam peraturan perundang-undangan, dan kedua, dalam wacana yang (pernah) berkembang. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah sosio-yuridis."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
D1122
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuga Ray Ardella
"Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mengutamakan studi kepustakaan dan berfokus kepada analisis akad murabahah dalam pembiayaan mikro bank syariah yang ditinjau dari hukum positif dan fatwa dewan syariah nasional MUI. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk memahami tinjauan akad murabahah yang digunakan oleh bank syariah dalam pembiayaan mikro berdasarkan hukum positif dan fatwa DSN MUI dan upaya yang dapat ditempuh terhadap penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Metode penulisan hukum Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini berpedoman pada teori yang dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki yang menerangkan bahwa karakteristik ilmu hukum adalah preskriptif dan terapan, karena ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep aturan hukum, dan norma-norma hukum. Hasil penelitian penulis menemukan adanya penyimpangan penerapan akad Murabahah dalam pembiayaan mikro bank syariah dari ketentuan Pasal 9 ayat (1) butir d Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, dalam pasal ini menjelaskan jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka akad murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank, ini artinya akad wakalah dilakukan terlebih dahulu sebelum akad murabahah dilakukan, hal ini bertujuan agar barang secara prinsip menjadi milik bank terlebih dahulu, baru setelah itu akad murabahah dilaksanakan dengan mengalihkan hak milik yang sebelumnya berada di bank beralih kepada nasabah, selain itu bank syariah juga melanggar Fatwa MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 angka 9 ketentuan umum pembiayaan murabahah yang menyatakan bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. Kemudian dari permasalahan tersebut, penulis memberikan beberapa upaya untuk mengatasinya yaitu yang pertama adalah dengan revisi Peraturan Bank Indonesia agar pemberian sanksi dapat lebih tegas, yang kedua adalah dengan membuat perusahaan baru yaitu perusahaan patungan atau joint venture.

This study, using normative legal research that promotes literature study and focus on the analysis of the murabaha contract in Islamic microfinance bank which is reviewed by positive law and national sharia council MUI fatwa. The purpose of writing this thesis is to understand the murabaha contract which is used by Islamic banks in microfinance which is reviewed by positive law and DSN MUI fatwa and efforts that can be taken against the irregularities that occur in it. authors use the method of normative legal research, legal research is done by examining library materials or secondary data. Nature of this research Peter Mahmud Marzuki’s theory which explain that the characteristics of the law is prescriptive and applied. Because it studies the law purposes, the values ​​of justice, the validity of the rule of law, the concepts of the rule of law, and legal norms. Results of the study found irregularities in the application of Murabahah Islamic microfinance bank of the provisions of Article 9, paragraph (1) item d Bank Indonesia Regulation (PBI) No.7/46/PBI/2005 2005 on Akad The collection and distribution of funds for banks conducting business based on Sharia Principles, This chapter explains if banks want to represent to customers (power of attorney) to buy goods, then the murabaha contract must be made after the goods become the property of the bank in principle, This means that the contract wakalah done before murabaha contract is done, it is intended that the goods in principle be the first bank-owned. After that, the murabaha contract executed by transferring property rights that had previously been transferred from bank to the customer. Islamic banks also violates the MUI Fatwa No.04/DSN-MUI/IV/2000 general provisions 9s murabaha financing. Author gives several attempts to overcome this problem, the first is the revision of the Regulation of Bank Indonesia in order to be more decisive sanctions, the second is to create a joint venture company.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35052
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini pertama bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis : dinamika perkembangan hukum islam dalam perundang-undangan di Indonesia ; Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi pegangan dalam penerapan hukum islam dan mengetahui upaya pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya, Cianjur dan Kabupaten Garut Jawa barat membrantas penyakit sosial masyarakat....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
A. Salman Maggalatung
"Dinamika perkembangan dan posisi hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut sesuai gelombang dan iklim politik yang menyertainya. Jauh sebelum Kemerdekaan, hukum Islam telah berkembang dan menjadi hukum positif bagi kerajaan Islam. Pada awal pemerintahan kolonial Belanda hukum Islam diterima sepenuhnya sebagai hukum yang berlaku bagi orang Islam dengan teori Receptio in Complexu oleh L.W.C. Van den Berg yang mengakui eksisensi hukum Islam, namun teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dengan teori Receptie-nya, bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Selanjutnya teori ini mendapat reaksi dari umat Islam, Hazairin misalnya menyebutnya sebagai teori iblis. Pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, posisi hukum Islam masih tetap sama seperti pada masa pemerinahan Hindia Belanda. Menjelang Indonesia merdeka tercapai sebuah kompromi antara pendukung negara berdasarkan agama (Islam) dan pendukung negara berdasar Pancasila tertuang dalam ?Piagam Jakarta?, kendatipun hanya sebentar, piagam tersebut seolah meniupkan angin segar bagi perkembangan dan posisi hukum Islam. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan terjadi nncoretan atas kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari?at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebagai garansi utuhnya NKRI. Demi menjaga stabilitas politik, keamanan dan keselamatan negara, Prsiden Soekamo mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam dekrit tersebut Presiden Soekamo menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi. Piagam Jakarta memang tidak tampak dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi ia ada, menjiwai dan hidup, serta memberi kehidupan bagi perkembangan hukum Islam, Jiwa dari Piagam Jakarta itulah yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dari sini dapat dipahami, bahwa Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi dasar inspirasi dan pegangan dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia. Era reformasi dan otonomi claerah temyata disambut baik oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk berperan lebih besar. Di Kabupaten Tasikmaiaya, Cianjur dan Gamt misalnya, telah menetapkan Perda untuk membasmi penyakit sosial masyarakat dan sejumlah kebijakan Iainnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Kreativitas Pemerintah Daerah dan masyarakar tampaknya cukup beralasan, yakni adanya semacam kerinduan umat Islam terhadap syari'at agamanya untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kreatifitas ini clinilai oleh sebagian anggota masyarakat sebagai kompensasi politik pemerintah kepada rakyat. Upaya itu terkesan dipolitisasi dalam bentuk formalisasi dan simbolisasi syari'at Islam untuk menarik simpatik rakyat dan institusi-institusi umat Islam untuk memuluskan roda pembangunan yang dicanangkannya. Seperti apapun wacana dan kontroversi yang muncul mengenai gerakan pemerintah yang sedang berkuasa, bagi penulis adaiah hal yang wajar. Yang panting dalam perspektif yuridis tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional kebijakan itu dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pancasila dan Dekrit Presiden RI S Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD I945, tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan sesuai dengan realitas masyarakat. Keherlakuan hukum Islam adalah suatu kenyataan, bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, menafikan keberlakuan hukum Islam berarti menafikan pula terhadap realitas, dan menafikan terhadap realitas, itu artinya pengkhianatan terhadap keberadaan umat Islam. Karena itu, kenika kita berbicara mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka semua unsur pembentukan hukum harus cliperlakukan secara adil, tak terkecuali hukum Islam. Mengenai simbolisasi dan substansialisasi dalam penerapan hukum Islam, menurut penulis keduanya baik dan diperlukan. Narnun jika lerjadi pilihan karena sesuatu hal yang dapat memicu terjadinya konflik sesama anak bangsa, maka tentu saja yang menjadi pilihan adalah substansinya, karena simbolisasi itu memang hanya merupakan proses dan jalan menuju tercapainya substansialisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D748
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>