Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57055 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erni Erfan
"Perdarahan merupakan gejala klinis yang ditakuti terjadi pada demam berdarah dengue (DBD). Jumlah trombosit dalam darah penderita DBD mengalami penurunan hingga kurang dari 105/mL. Transfusi trombosit kepada penderita pada masa akut tidak menghasilkan peningkatan jumlah trombosit secara signifikan. Biasanya jumlah trombosit penderita yang telah diobati dengan kortikosteroid akan meningkat dengan sendirinya sehingga tidak memerlukan lagi transfusi trombosit. Mekanisme yang menyebabkan fenomena ini belum diketahui secara pasti. Meskipun demikian, fenomena ini menimbulkan dugaan akan adanya faktor imun, dalam hal ini otoimun terhadap trombosit penderita sendiri.
Untuk mencari kemungkinan adanya otoantibodi anti trombosit pada penderita DBD dengan jumlah trombosit kurang dari 105/mL, serum DBD tersebut dicampur dengan lisat trombosit normal. Lisat didapat dengan cara freeze-thawing. Pelacakan dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA dengan mengikat lisat trombosit pada rase padat, yaitu dinding sumur plastik mikroplat ELISA. Setelah penambahan serum DBD, yang disusul dengan pencucian, ditambahkan dengan antibodi kelinci anti protein serum manusia. Adanya kompleks imun dilacak dengan penambahan antibodi kambing anti IgG kelinci yang telah ditandai dengan peroksidase. Reaksi positif yang menunjukan adanya kompleks imun ditunjukan oleh terbentuknya senyawa yang berwarna jingga kekuning-kuningan pada penambahan substrast H202 dan kromogen odianisidine.
Pembacaan dilakukan pada k 450 nm. Berdasarkan rata-rata nilai serapan basil ELISA melalui uji t telah terbukti bahwa perbedaan rata-rata nilai serapan optik hasil ELISA kelompok pasien berbeda secara sangat signifikan dari kelompok serum normal. Rata-rata nilai serapan optik kelompok pasien setelah dikoreksi dengan rata-rata nilai serapan optik blanko berkisar 0,103 sampai dengan 0,193 dengan rata-rata 0,145 ± 0,0340. Rata-rata nilai serapan optik kelompok normal setelah dikoreksi dengan rata-rata nilai serapan optik blanko berkisar antara 0,004 sampai dengan 0,089 dengan rata-rata 0,037 ± 0,0339. Kemudian juga dilakukan deteksi otoantibodi tersebut dengan menggunakan teknik Western Bloat. Ternyata protein dengan berat molekul sekitar (160-200) kDa, 97 kDa dan 50 kDa dapat dikenali dan diikat oleh serum yang berasal dari pasien. Hasil yang sama tidak ditemukan pada serum normal. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T 1699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Retno Prijanti
"Homosistein adalah suatu senyawa antara yang mengandung sulfur pada proses sintesis asam amino sistein dari metionin. Radar normal dalam darah kurang lebih 10 µ mol/L. Peningkatan kadarnya dihubungkan dengan "premature vascular diseases" dan merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner. Peningkatan kadar lebih dari 100 µ mol/L menyebabkan homosisteinuria. Bila tidak diterapi maka 50°/o penderita akan mengalami tromboemboli dan mortalitasnya 20% pada penderita usia 30 tahun. Faktor resiko ?'kadar homosistein tinggi" ini apabila dapat diketahui maka dapat diupayakan pencegahannya atau paling tidak dapat memperlambat terjadinya kerusakan vaskuler pada seseorang.
Saat ini pengukuran kadar homosistein plasma ditetapkan dengan metoda HPLC yang canggih dan kepekaannya tinggi, namun sangat mahal biaya operasinya Karena itu dirasa perlu dikembangkan cara penetapan lain yang lebih murah dan cukup peka, seperti ELISA. Sebagai langkah awal dilakukan upaya isolasi antibodi kelinci anti hoinosistein.
Kelinci diinduksi dengan homosistein yang diikatkan pada permukaan membran eritrosit memakai glutaraldehid 2,5%. Induksi imunisasi dengan dosis total perkali 1 mL yang disuntikkan dengan cara subkutan di 5 lokasi berbeda pada kulit punggung kelinci. imunisasi dilakukan dengan selang waktu 1 minggu. Serum kelinci diambil pra dan pasca imunisasi ke 3. Titer antibodi kelinci anti hoinosistein diukur dengan metoda hemaglutinasi pasil. Hasil yang didapat, titer antibodi kelinci anti homosistein praimunisasi 0 (nol) dan pasca imunisasi ke 3 adalah 32."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bernard Iwantoro
"Latar belakang: Sepsis neonatal masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Hal ini tidak terlepas dari kesulitan dalam menegakkan diagnosis akibat sistem imun yang belum sempurna sehingga tidak memiliki gejala yang khas dan tidak memiliki penanda laboratorium tunggal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai potensi CD64 neutrofil, HLA-DR monosit dan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit sebagai penanda sepsis neonatal. Metode: Subjek penelitian ini adalah neonatus yang  dicurigai sepsis secara klinis yang ditandai dengan gejala pada salah satu sistem organ. Diagnosis sepsis neonatal secara klinis ditegakkan berdasarkan kriteria dari European Medical Association. Expresi CD64 neutrofil dan HLA-DR monosit dilakukan menggunakan flow cytometry mengikuti protokol Quantibrite dengan hasil dilaporkan sebagai indeks fluoresens dan dikonversi menjadi antibody bound per cell (ABC). Sedangkan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit didapatkan dari hasil perhitungan. Hasil: Lima puluh subjek neonatus berhasil direkrut dalam penelitian ini, yang terdiri 24 subjek sepsis, dan 26 subjek non sepsis. Ekspresi CD64 neutrofil dan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit lebih tinggi pada kelompok sepsis neonatal dan masing-masing memiliki area under curve (AUC) 71,8% dan 70,2%. Nilai titik potong CD64 neutrofil didapatkan 5.196,15 ABC sedangkan rasio CD64 neutrofil terhadap HLA-DR monosit memiliki titik potong 13,44%. Kesimpulan: CD64 neutrofil dan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit berpotensi menjadi penanda sepsis neonatal.

Background: Neonatal sepsis remains a global health concern. This is attributed to the challenges in establishing a diagnosis due to an immature immune system, resulting in a lack of specific symptoms and a singular laboratory marker. Objective: This research aims to explore the potential of CD64 neutrophils, HLA-DR monocytes, and the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio as markers for neonatal sepsis. Methods: The subjects of this study were neonates with suspected sepsis, identified by symptoms affecting one of the organ systems. Neonatal sepsis confirmation followed the criteria set by the European Medical Association. CD64 neutrophil and HLA-DR monocyte examinations were conducted using flow cytometry following the Quantibrite protocol and reported as fluorescence index that were converted to antibody bound per cell (ABC). Meanwhile, the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio was calculated. Results: Fifty neonatal subjects were recruited into this study, comprising 24 sepsis cases and 26 non-sepsis cases. The expression of CD64 neutrophils and the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio were higher in the neonatal sepsis group, with respective areas under the curve (AUC) of 71.8% and 70.2%. The cutoff value for CD64 neutrophils was determined to be 5,196.15 ABC, while the cutoff for the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio was 13.44%. Conclusion: CD64 neutrophils and the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio show potential as markers for neonatal sepsis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chaula Putri Rizkia
"Respons antibodi spesifik SARS-CoV-2 dapat diperoleh dari paparan virus ketika infeksi ataupun dari vaksinasi. Studi mengenai rasio CD4+/CD8+ sebagai penanda status imunitas masih belum banyak dilakukan pada dewasa sehat. Vitamin D yang memiliki efek imunomodulatori pada sistem imun adaptif dan alamiah, mampu memodulasi pembentukan antibodi dan regulasi dari sel T. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan kadar 25(OH)D serum terhadap titer antibodi SARS-CoV-2 dan rasio CD4+/CD8+ sebagai penanda status imunitas individu. Studi potong lintang ini dilakukan terhadap tenaga kesehatan di tiga rumah sakit rujukan COVID-19 di Jakarta dan Depok pada periode Juli–Desember 2021. Pengambilan data yang dilakukan berupa wawancara kuesioner data sosiodemografik, pemeriksaan tanda-tanda vital, pengukuran antropometri, dietary assessment menggunakan 24-h food recall dan SQ-FFQ. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk menilai kadar 25(OH)D serum, rasio CD4+/CD8+, dan titer antibodi SARS-CoV-2. Didapatkan 154 tenaga kesehatan usia 22-53 tahun dalam kondisi sehat dan tanpa riwayat penyakit kronis. Median asupan vitamin D subjek penelitian sebesar 2,42 mcg/hari (1,23–4,00) dengan 94,7% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang. Median kadar serum 25(OH)D pada subjek sebesar 14,4 ng/mL (9,50–18,62) dengan 81,8% subjek mengalami defisiensi dan 14,9% subjek mengalami insufisiensi vitamin D. Median rasio CD4+/CD8+ 1,14 (0,88–1,34), 85,7% subjek memiliki titer antibodi SARS-CoV-2 >250 U/mL dan 14,3% subjek memiliki titer antibodi ≤250. Tidak ditemukan adanya hubungan yang siginifikan antara kadar 25(OH)D dengan titer antibodi SARS-CoV-2 (p 0,209 OR 4,101 95% CI 0,45–37,04) dan Rasio CD4/CD8 (p 0,385 𝛃 -0,005 95% CI -0,0015–0,006). Asupan dan kadar vitamin D pada subjek penelitian masih tergolong rendah. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya hubungan antara kadar serum 25(OH)D dengan rasio CD4+/CD8+ dan titer antibodi SARS-CoV-2.

SARS-CoV-2 specific antibody response can be generated from exposure to the virus during infection or from vaccination. There is limited data on CD4+/CD8+ ratio in healthy individuals as a marker of immunity status. Vitamin D, which has an immunomodulatory effect on both  innate and adaptive immune systems, is able to modulate antibody formation and regulation of T cells. This study aimed to examine the association between serum 25(OH)D levels and SARS-CoV-2 antibody titers along with CD4+/CD8+ ratio as a marker of immunity status. This cross-sectional study was conducted on healthcare workers at three COVID-19 referral hospitals in Jakarta and Depok in the period of July–December 2021. Data collection was carried out using questionnaire, examination of vital signs, anthropometric measurements, dietary assessment using 24-h food recall, and SQ-FFQ. Blood samples were taken to assess serum 25(OH)D levels, CD4+/CD8+ ratio, and SARS-CoV-2 antibody titers. 154 healthcare workers aged 22-53 years who were in good health and had no history of chronic disease were examined in this study. The median intake of vitamin D was 2.42 mcg/day (1.23-4.00), with 94.7% of participants having insufficient intake of vitamin D. The median serum 25(OH)D level was 14.4 ng/mL (9.50-18.62), with 81.8% participants are vitamin D deficiency and 14.9% are insufficient. Median CD4+/CD8+ ratio was 1.14 (0.88 to 1.34). 85.7% participants had SARS-CoV-2 antibody titers >250 U/mL, while 14.3% were below 250 U/mL. There was no significant relationship of serum 25(OH)D levels to SARS-CoV-2 antibody titers (p 0.209 OR 4.101 95% CI 0.45–37.04) and CD4+/CD8+ ratio (p 0.385 o-0.005 95% CI -0.0015–0.006). Vitamin D intake and serum 25(OH)D levels are relatively low. This study disproves relationship between serum 25(OH)D levels with CD4+/CD8+ ratio and SARS-CoV-2 antibody."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah
"ABSTRAK
Penyakit asma bronkial dan/atau rinitis atopik terutama disebabkan oleh Dermatoohagoides pteronyssinus. Antibodi yang berperan pada reaksi alergi ialah IgE dan IgG, yaitu I gG sebagai 'short-term anaphylactic antibody' dan 'precipitating antibody'. Sebaliknya IgG dapat mencegah timbulnya reaksi alergi karena I gG berperan sebagai 'blocking antibody'. Tujuan penelitian mi meneliti peranan aktivitas antibodi IgE dan IgG terhadap D. pteronyssinus, serta hubungan antara keduanya terhadap alergen yang sama pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik sebelum dilakukan imunoteraoi. penentuan aktivitas IgE dan aktivitas I gG dilakukan dengan teknik 'Enzym Linked Immuno Sorbent Assay' (ELISA). Selain itu dilakukan pula penghitungan jumlah eosinofil. Berdasarkan uji Mann-whitney diketahui bahwa, aktivitas I gE, aktivitas I gG, serta kadar eosinofil pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik berbeda dengan orang non-alergi, yaitu lebih tinggi pada penderita ( E =66,81%; X G1 = 62,02%; X ES1 = 518,87 sel/mm3 ) daripada orang nonalergi (R E2 = 3996%; X = 40,32%; X ES 2 = 122,15 sel/ mm3 ). Dengan uji korelasi jenjang Spearman di.peroleh kesimpulan, tidak ada korelasi antara aktivitas igE dengan aktivitas I gG dan juga dengan kadar eosinofil."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Sari
"Latar belakang: Terapi kombinasi antiretroviral (ARV) telah meningkatkan angka harapan hidup pasien HIV. Koinfeksi HCV kemudian menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas terkait hati pada pasien HIV dalam terapi ARV. Aktivasi imun residual dipikirkan berperan penting dalam kondisi ini. Beta-2 mikroglobulin sebagai penanda aktivasi imun kronik dan hubungannya dengan CD4, derajat fibrosis, dan kadar RNA VHC masih harus dieksplorasi pada kelompok pasien HIV-VHC. Metode: Sebanyak 64 pasien yang telah mengalami supresi HIV diikutsertakan pada penelitian ini: 37 pasien koinfeksi HIV-VHC dan 27 pasien HIV. Seluruh pasien koinfeksi belum mendapat terapi VHC. Kadar β2M plasma dianalisis dengan teknik ELISA. Derajat fibrosis diperiksa menggunakan transient elastography. Kadar CD4 dan RNA VHC diperoleh dari rekam medis dalam enam bulan terakhir. Perbedaan rerata β2M dianalisis dengan uji t independen. Korelasi β2M dengan CD4, RNA VHC, dan derajat fibrosis dinilai dengan uji Pearson atau Spearman. Hasil: Kadar plasma β2M didapatkan lebih tinggi pada pasien koinfeksi HIV-VHC (2,75 ± 0,8 mg/L) dibandingkan dengan monoinfeksi HIV (1,93 ± 0,95 mg/L, p <0,001 dan IK95% 0, 37-1,25). Tidak ditemukan korelasi signifikan antara β2M dengan kadar CD4, derajat fibrosis, dan RNA VHC. Kesimpulan: Pasien koinfeksi HIV-VHC dalam terapi ARV menunjukkan derajat aktivasi imun residual yang lebih tinggi dibandingkan HIV monoinfeksi.

Background: Introduction of combined antiretroviral therapy (cART) has improved life expectancy of HIV infected individuals. HCV coinfection then becomes the main cause of liver-related morbidity and mortality. Residual immune activation may play an important role. The level of beta-2 microglobulin as an immune activation marker and its associations with CD4, fibrosis stage, and HCV RNA remain to be explored in HIV/HCV coinfection. Methods: A total of 64 patients having supressed HIV viral load were included: 37 patients with HIV/HCV coinfection and 27 HIV patients. All coinfected patients were naïve to HCV treatment. Plasma levels of β2M were analyzed using ELISA. The fibrosis stage was determined using transient elastography. CD4, HCV RNA levels were obtained from medical records within the last six months. The mean difference of β2M was analyzed using independent t-test. β2M correlations with CD4, HCV RNA, and fibrosis degree were assessed by Pearson or Spearman test. Results: The levels of plasma β2M were higher in HIV/HCV coinfected patients (2.75 ± 0.8 mg/L) compared to HIV monoinfection (1.93 ± 0.95 mg/L, p < 0.001 and 95CI 0.37-1.25). There were no significant correlations of β2M with CD4 level, fibrosis stage, and HCV RNA. Conclusion: HIV/HCV coinfected patients on ART show a higher level of residual immune activation compared to HIV patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58884
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathurrohim
"Latar belakang: Dari 36,9 juta orang yang terinfeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada akhir tahun 2018 di seluruh dunia, terdapat sekitar 1-2 juta yang terinfeksi HIV-2. Meskipun HIV-2 kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1, misdiagnosis infeksi HIV-2 dapat menyebabkan kegagalan pengobatan yang berujung pada perkembangan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Diagnostik yang akurat diperlukan untuk menentukan apakah suatu individu telah terinfeksi HIV-1, HIV-2 atau koinfeksi HIV-1 dan HIV-2. Metode: Penelitian ini menggunakan DNA sintetik penyandi antigen rekombinan gp125-gp36 HIV-2 yang bersifat immunodominan, lestari, telah dioptimasi kodon untuk sistem ekspresi E. coli, dan telah dianalisis struktur sekunder mRNAnya. DNA sintetik diklona ke plasmid pQE80L untuk diekspresikan, kemudian dipurifikasi menggunakan kromatografi afinitas Ni-NTA. Antigen rekombinan kemudian diuji reaktivitasnya dengan antibodi anti-HIV-2, serta 7 serum positif HIV-1, HBV, HCV, dan serum normal.
Hasil: Gen sintetik berhasil dikonstruksi pada plasmid pQE80L dan dapat diekspresikan dengan induksi 0,1 mM IPTG selama 4 jam. Antigen rekombinan terpurifikasi secra optimal pada kondisi denature dengan pH elusi 4,5. Selanjutnya, hasil uji reaktivitas menunjukkan hasil reaktif untuk antibodi anti HIV-2 dan tidak tidak reaktif untuk 7 sampel serum positif HBV, HCV, dan serum normal. Sedangkan untuk serum positif HV-1, terdapat hasil reaktif pada sampel serum nomor 3 yang diduga disebabkan oleh protein kontaminan dari E. coli.
Kesimpulan: Antigen rekombinan gp125-gp36 HIV-2 untuk deteksi antibodi anti-HIV-2 telah berhasil dikembangkan, akan tetapi perlu dilakukan optimasi lebih lanjut untuk mendapatkan antigen rekombinan yang benar-benar murni.

Background: From 36.9 million people worldwide infected by the Human Immunodeficiency Virus (HIV) at the end of 2018, 1-2 million are infected by HIV-2. Although HIV-2 is less patogenic than HIV-1, misdiagnostic of HIV-2 infection could effect to treatment failure which leads to development of Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Accurately diagnostic is required to ascertain whether an individual has been infected HIV-1, HIV-2, or HIV-1 and HIV-2 co-infection.
Method: This study used immunodominant and sustainable synthetic DNA encoding of recombinant antigen gp125-gp36 HIV-2 which was optimized by codon for E. coli expression system, and analyzed the secondary structure of its mRNA. Synthetic DNA was cloned to the pQE80L plasmid to be expressed, purrifyed using Ni-NTA affinity chromatography. Recombinant antigen therefore was verified for reactivity by anti-HIV-2 antibodies and 7 positive serum of HIV-1, HBC, HCV, and normal serum.
Result: The synthetic gene was succesfully constructed on pQE80L plasmid and able to be expressed by induction of 0.1 mM IPTG for 4 hours. Recombinant antigen was optimally purified in denature conditions due to elusion pH of 4.5. Furthermore, the reactivity test revealed reactive result for anti HIV-2 antibodies and unreactive to 7 positive sample serum of HBC, HCV, and normal serum. While positive serum HIV-1 demonstrate a reactive result in sample serum number 3 supposed causing by protein contaminants from E. Coli. Conclusion: Recombinant antigen gp125-gp36 HIV-2 for the detection anti HIV-2 antibodies has been succesfully developed, however further optimization is required in case to obtain truly pure recombinant antigens.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN I
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN II
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN III
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>