Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86292 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Harun Alrasyid
"Topik tentang DPRD ini sengaja penulis munculnya untuk menggugah semangat demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sekarang ini menjadi isu penting dalam kehidupan politik lokal. Upaya untuk mewujudkan demokrasi di tataran lokal, dibutuhkan adanya lembaga perwakilan lokal yang berdaya dan memiliki kedudukan yang kuat dalam mewakili kepentingan rakyat. Karena itu, isu pemberdayaan DPRD menjadi salah satu elemen penting terwujudnya sistem pemerintahan daerah yang demokratis.
Kedudukan DPRD pada masa reformasi seperti sekarang ini sangat berbeda dengan masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, kedudukan DPRD berada pada posisi yang inferior bila berhadapan dengan Kepala Daerah, namun pada era reformasi, justru DPRD berada pada posisi yang superior. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 di mana secara kelembagaan DPRD bukan lagi sebagai bagian dari Pemerintah Daerah melainkan sebagai mitra sejajar dalam kedudukannya sebagai lembaga yang berwenang meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, membuat kebijakan daerah, mengontrol jalannya pemerintahan dan membuat anggaran daerah. Karena itu, kedudukan DPRD pada era reformasi lebih beruntung karena memiliki bargaining position yang lebih kuat dalam menentukan arah kehidupan politik di daerah. Kedudukan DPRD yang kuat dalam konstelasi pemerintahan daerah seperti saat ini mempunyai dua implikasi terhadap kondisi politik di Daerah.
Implikasi pertama adalah munculnya kehidupan politik yang lebih demokratis karena menguatnya posisi rakyat yang direpresentasikan oleh para wakilnya di DPRD dalam proses sistem politik lokal. Asumsi dasar dari implikasi pertama ini, Kepala Daerah (eksekutif) tidak lagi dominan untuk membuat berbagai kebijakan dan tidak bisa lagi mengabaikan kepentingan rakyat, karena segala tindakannya senantiasa dikontrol oleh DPRD. Implikasi kedua adalah munculnya arogansi DPRD karena memillki kekuasaan yang jauh Iebih besar dibandingkan dengan Kepala Daerah. Implikasi ini dapat menimbulkan tindakan atau perilaku anggota DPRD yang tidak sesuai dengan etika politik dan pemerintahan, seperti kasus yang marak di berbagai daerah, yakni praktek money politik.
Implikasi yang muncul di daerah setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tersebut menggugah minat penulis untuk meneliti lebih mendalam sejauhmana kontrol DPRD Kabupaten Bekasi dilaksanakan dan bagaimana dampaknya terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah yang balk. Di samping itu, penulis juga mencoba menjawab faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kontrol DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis ditemukan fakta bahwa DPRD Kabupaten Bekasi belum optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Indikasinya terlihat dari kemampuan DPRD dalam mengontrol pemerintah melalui kewenangan membuat anggaran daerah yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan DPRD dan Kepala Daerah ketimbang kepentingan rakyat. Sebagai "wakil rakyat", DPRD juga tidak optimal dalam mewujudkan aspirasi rakyat ke dalam kebijakan daerah yang dibuatnya. Lemahnya kemampuan DPRD mengontrol penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan indikasi bahwa perjuangan untuk terbentuknya suatu pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel dan partisipatif atau dikenal dengan istilah good governance masih membutuhkan waktu.
Di samping itu, penulis juga menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kontrol DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat :dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari pendidikan dan pengalman politik anggota DPRD, kepentingan partai politik, hubungan Kepala Daerah dengan DPRD serta mekanisme atau prosedur penggunaan hak-hak DPRD. Faktor internal yang cukup dominan mempengaruhi efektivitas kontrol DPRD adalah mekanisme/ prosedur penggunaan hak-hak DPRD. Walaupun anggota DPRD memiliki hak-hak yang lebih luas, namun penggunaan hak-hak tersebut seringkali tidak dapat diwujudkan secara optimal, karena terkendala oleh aturan yang sangat birokratis. Mekanisme seperti ini dirasakan menjadi kendala bagi anggota-anggota DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh kelompok kepentingan yang terdiri dari kalangan pengusaha dan kelompok penekan yang terdiri dari berbagai kalangan masyarakat yang tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat. Kedua kelompok ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan daerah walaupun cara yang digunakan berbeda. Kelompok kepentingan lebih persuasif dalam mempengaruhi para aktor pembuat kebijakan, sedangkan kelompok penekan lebih agresif dalam mempengaruhinya, bahkan dalam beberapa kasus cenderung menggunakan cara-cara intimidasi dengan mengerahkan massa dan juga kekerasan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Implikasi dari UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 tahun 2004 adalah secara langsung mempengaruhi gerakan perubahan dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam mengambil keputusan khusunya pembangunan desa melalui aktivitas Musrengbangdes selama ini."
321 KYBER 2:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lambiombir, Herpie
"Disertasi ini membahas mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam Mewujudkan Kemandirian Desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Permasalahan mengenai kemandirian desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar muncul pasca pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mulai diberlakukan, hal ini menyebabkan terbentuklah pemerintahan desa secara administratif sehingga menyebabkan terjadinya kondisi penyesuaian berlakunya aturan undang-undang Desa dengan kondisi Pemerintah desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang secara umum masih terbilang prematur dalam menyikapi berlakunya undang-undang desa dengan berbagai tuntutan serta program yang harus dilaksanakan dalam proses pemerintahan desa. Pemahaman mengenai dinamika pengaturan desa masih terbilang minim sehingga menyebabkan jalannya roda pemerintahan desa menjadi tidak seimbang, belum lagi ditambah dengan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai sehiggga menyebabkan sering terjadi konflik dalam pemerintahan desa baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa maupun oleh masyrakat desa yang berimbas terjadinya konflik berkepanjangan antar desa sehingga dinamika pemerintahan desa belum dapat berjalan secara normal sesuai dengan tuntutan aturan Undang-Undang No 6 Tahun 2014. Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan data primer dan sekunder yang dilakukan secara diskriptif kualitatif untuk menjawab pertanyaan mengenai : 1)Bagaimana Dinamika pengaturan desa-desa di Indonesia? 2)Bagaimana implementasi UU Desa terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar? 3) Bagaimana mewujudkan kemandirian desa melalui penyelenggaraan pemerintahan desa baik secara administrasi maupun adat?. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa dalam mewujudkan kemandirian desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar sudah mulai di terapkan dengan baik meskipun Meskipun demikian, penyelenggaraan pemerintahan desa belum berjalan dengan optimal karena masih ditemui berbagai masalah dan kendala dalam mengimplementasikan UU Desa. Mewujudkan kemandirian desa melalui penyelenggaraan pemerintahan desa baik secara administrasi maupun adat adalah pengelolaan dan penataan aspek pemerintahan desa, namun juga berhubungan dengan masalah daerah, potensi daerah, kehidupan sehari-hari dan adat istiadat, kesiapan kelembagaan sosial, politik dan ekonomi pedesaan. Memberdayakan masyarakat desa yang dianggap sebagai metode untuk mencapai kemandirian desa diantaranya melalui partisipasi aktif masyarakat desa untuk menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki desa serta menuntaskan permasalahan di desa. Konsep dari pemberdayaan adalah bertujuan agar menemukan alternatif-alternatif baru menuju kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Oleh karena itu Pengaturan desa-desa di Indonesia hendaknya di berikan pendampingan tidak hanya pembentukan peraturan desa. Peraturan desa ialah produk hukum harusnya berdasarkan dengan teknik pembentukan Perpu yang tertulis pada Undang-Undang Tahun 2011 No. 12 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengingat keterbatasan SDM, sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, penerapan konsep kemandirian sosial, politik dan ekonomi harus menjadi patokan utama sehingga kondisi desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dapat menjadi desa yang mandiri secara keseluruhan sehingga dapat menjadi contoh bagi desa desa di kabupaten/kota dalam propinsi Maluku maupun bagi desa-desa lain di Indonesia.

Dissertation discusses the Implementation of Village Government in Realizing Village Independence in the Tanimbar Islands Regency. Problems regarding village independence in the Tanimbar Islands Regency emerged after the implementation of Law no. 6 of 2014 concerning Villages came into force, this led to the formation of village government administratively thus causing conditions for adjusting the entry into force of village laws with the condition of village governments in the Tanimbar Islands Regency which in general were still fairly premature in responding to the enactment of village laws with various demands and programs that must be implemented in the process of village governance. Understanding of the dynamics of village regulation is still relatively minimal, causing the running of the village government to become unbalanced, not to mention the inadequate quality of human resources which causes frequent conflicts within village governance both carried out by village government officials and by the affected village community. the occurrence of prolonged conflicts between villages so that the dynamics of village government cannot run normally in accordance with the demands of Law No. 6 of 2014. This writing uses normative legal research supplemented by primary and secondary data which is carried out in a qualitative descriptive manner to answer questions regarding: 1 ) What are the dynamics of village arrangements in Indonesia? 2) How is the implementation of the Village Law on the implementation of village governance in the Tanimbar Islands Regency? 3) How to realize village independence through the administration of village administration both administratively and customarily? From the results of the study it can be seen that the implementation of village governance in realizing village independence in the Tanimbar Islands Regency has begun to be implemented well, although even so, the implementation of village governance has not run optimally because there are still various problems and obstacles in implementing the Village Law. Realizing village independence through the administration of village government both administratively and customarily is the management and arrangement of aspects of village governance, but also related to regional problems, regional potential, daily life and customs, preparedness of social, political and rural economic institutions. Empowering village communities is considered a method for achieving village independence, including through the active participation of village communities to explore and develop the potentials of the village and resolve problems in the village. The concept of empowerment is aimed at finding new alternatives towards independence in administering village governance. Therefore, the arrangement of villages in Indonesia should be provided with assistance not only in the formation of village regulations. Village regulations are legal products that must be based on the Perpu formation technique written in the 2011 Law No. 12 concerning Formation of Laws and Regulations bearing in mind the limited human resources, facilities and infrastructure in administering village governance, the application of the concept of social, political and economic independence must be the main benchmark so that the conditions of villages in Tanimbar Islands Regency can become independent villages as a whole so that they can become an example for villages in regencies/cities within the Maluku province as well as for other villages in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The authority of sub - regency chief in management of government of sub - regency, as a person who making decision can influence the successful of the goal of local government management. That authoity of sub - regency chief limited at the implementation of coordination of local government management and not with order attributes like authority in giving sanction of disipline punishment result in governance and development of local government coordination and to agreement result in governance and development of local government agency who conducting activity/project in district, including people empowering activity, the tranquillity and orderliness of public and straightening of apple regulation. Even not apart happened overlap of activity/project of local government agency, incompatible of implementation of local government policy and even the happening of horizontal conflict between on local agency (local agency's branch) who doing that activity/project. More that the involvement of local agency (local agency's branch) in implementation of coordination of governance and development not implemented together with other local agency (local agency's branch) in district meeting. This research use descriptive method with qualitative approach, where researcher as especial instrument according to research. Data and information obtained from resource person and supported by document according to research field and focus. Data method collecting that used is observation, documentation and interview. Besides descriptive method with qualitative approach, writer also use WTO analysis technique as a instrument to formulate strategy of management coordination of local governance. Thereby in management of local government in sub-regency , role of sub-regency chief to coordinate activity of governance and development will efficient and effective if there are existence comprehension and attitude of pro active, innovative, creative and also coherence of sub - regency chief to create unity of comprehension, agreement of activity, loyalty / adherence and exchange of information with another and also recpect with another of other agency unit in district level who doing people empowering activity , the tranquillity and orderliness and straightening of law and regulation. Beside it need awareness and careness of units work to create an efficient and effective management governance."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alessius Asnanda
"Pemerintahan Desa adalah penyelenggara kegiatan Lembaga Pemerintahan dan Pembangunan di tingkat Desa, terdepan serta paling dekat dengan masyarakat yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing untuk kesuksesan pembangunan dan kemajuan masyarakat. Lebih dari itu, praktek pelaksanaan Pemerintahan Desa sesungguhnya merupakan potret dan cerminan sejauhmana demokrasi diimplementasikan dalam pemerintahan kita.
Adapun formulasi pertanyaan penelitian ini adalah : Bagaimanakah penataan Pemerintahan Desa serta Pandangan Masyarakat Ada( mengenai format struktur dan Fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Landak. Sedangkan secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui pandangan masyarakat adat tentang format Pemerintahan Desa yang sesuai dengan Otonomi Daerah, dan untuk mengetahui faktor penghambat, pendukung serta pro dan kontra dalam pelaksanaan penataan kembali ke Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teori dan konsep tentang Desa, Pemerintahan Desa, Otonomi Daerah, termasuk didalamnya Pembangunan Sosial, Pemerintahan Adat dan Pelayanan kepada masyarakat (public services) serta Pemberdayaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data, yaitu teknik wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, dengan informan sebanyak 9 orang yang terdiri dari pejabat Pemerintah Daerah, DPRD, Dewan Adat dan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Kabupaten Landak.
Penelitian ini merupakan studi penataan Pemerintahan Desa dengan kajian tentang struktur dan fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah. Sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan penataan terhadap Pemerintahan Desa kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung tersebut maka adanya pembuatan sejurnlah Peraturan Daerah, yang mana memerlukan mekanisme dan tahapan serta melibatkan pihak-pihak yang kompeten atau pihak yang benar-benar memahami materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang sesuai asal usul dan adat istiadat masyarakat Kabupaten Landak. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan apabila dipelajari sungguh-sungguh sesuai dengan kepentingan, terutama bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Landak dalam penataan Pemerintahan Desa.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan penelitian ini berkesimpulan, bahwa ada sejumlah hat panting dan menarik yang perlu dikaji. Namun dari sejumlah hal panting dan menarik tersebut, maka penelitian ini berkesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah diterima dengan balk dan antusias di Kabupaten Landak. Penataan Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah merupakan suatu pemberdayaan dan untuk menciptakan pelayanan yang baik atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, adanya silang pandangan, ide maupun konsep yang berkembang, terutama mengenai penataan format pemerintahan sebagai pengganti Pemerintahan Desa yaitu kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung. Semua pihak mempunyai konsep maupun pandangan yang menarik serta baik sebagai pendorong menuju Pemerintahan yang baik dalam rangka untuk mengembangkan demokratisasi, partisipatif, berkeadilan, kemandirian, akomodatif, transparan, bertanggunJ'awab, yang dekat dengan masyarakat. Meskipun secara teknis mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaan penataan tersebut.
Adapun saran-saran dalam penelitian, yaitu :
pertama : Nama, struk-tur dan sistem pemerintahan yang appropriate sebagai pengganti sistem Pemerintahan Desa adalah gabungan format Pemerintahan Adat dan sistem Pemerintahan Nasional, maka perlu diberlakukan kembali Pemerintahan Kampung di Kabupaten Landak.
Kedua Peraturan Daerah yang dibuat bukan hanya untuk menggali Pendapat Asli Daerah (PAD), tetapi yang lebih panting adalah masyarakat memahami bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah untuk kepentingan pembangunan, kelancaran tugas dan fungsi Pemerintah Daerah.
Ketiga : Untuk menghindari lerjadinya konflik akibat adanya pro dan kontra dalam penetaan Pemerintahan Desa sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah maka perlu sharing duduk bersama secara demokratis Pemda, DPRD dan masyarakat dalam membahas sating silang konsep, ide maupun pandangan dimaksud.
Selain itu juga perlu mengadakan assessment terhadap potensi dan materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang benar-benar sesuai dengan asal usul dan adat istiadat masyarakat Daerah Kabupaten Landak. Keempat : Pemerintahan Desa yang ditata menjadi Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak masih sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas - fungsi pemerintahan dan pembangunan. Karena Pemerintahan Binua atauy Kampung adalah pemerintahan yang dekat dengan warga masyarakt dalam rangka pelayanan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Otonomi adalah salah satu hal penting di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam pemikiran ini mana keberadaan pemerintahan desa sangatlah penting. Untuk itu diperlukan perbaikan yang berkesinambungan."
321 KYBER 2:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irwansyah
"Perubahan paradigma yang panting dilakukan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah adalah adanya konsistensi pemerintah daerah terhadap pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum good governance.
Berbagai karakteristik utama good governance merupakan pilar dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Efektivitas, efisiensi, dan transparansi yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah wujud akuntabilitas kinerja pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dan stakeholders akan meningkat apabila akuntabilitas publik dari pemerintah dapat terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Prinsip-prinsip hukum good governance merupakan definisi yang berkaitan dengan aturan-aturan, segala proses dan tingkah laku yang mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahannya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan oleh administrasi negara.
Dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahannya, pemerintah bertanggung jawab terhadap program perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya, sesuai peraturan perundang-undang yang berlaku. Satu bagian program pembangunan adalah bidang pendidikan (dasar) yang telah menjadi kebijakan nasional, serta diimplementasikan pada tingkat daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Pembahasan mengenai kebijakan anggaran (APBN dan APBD) terkait dengan alokasi anggaran belanja publik dalam pembiayaan perencanaan pembangunan khususnya bidang pendidikan dasar merupakan suatu kenyataan hukum yang parlu dilakukan kajian secara sistematik dan menyeluruh dalam perspektif good governance.
Berdasarkan data yang diperoleh, kebijakan anggaran Pemerintah Kota Medan khususnya dalam bidang pendidikan maaih terdapat berbagai hambatan. Dengan pemberdayaan dan pendayagunaan kepemerintahan yang balk, Pemerintah Kota Medan dapat memanfaatan segala potensi untuk keberlangsungan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanif Nurcholis
Jakarta: Erlangga, 2011
352 HAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sad Dian Utomo
"Selama 40 tahun terakhir, kecamatan mengalami perubahan seiring perubahan kebijakan mengenai pemerintahan daerah. Perubahan kebijakan makro ini memerlukan penyesuaian pada tingkat organisasi dan operasional. Namun belum direspon baik oleh Pemerintah Pusat, dan gamang dalam memosisikan kecamatan, dengan tidak jelasnya bentuk organisasi kecamatan, camat diberi tugas urusan pemerintahan umum yang merupakan kewenangan kepala wilayah, dan tidak ada pedoman pengukuran kinerja kecamatan. Timbul masalah konseptual, yaitu bagaimana memosisikan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apakah bagian unit kewilayahan yang diperluas perannya melalui desentralisasi dalam kota (Norton, 1994); unit yang menjalankan fungsi tertentu dalam rangka dekonsentrasi (Leemans, 1970); ataukah dipandang tidak relevan lagi dalam pengelolaan kota terpadu (Smith, 1985)? Hal ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: bagaimana dinamika kelembagaan kecamatan, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kelembagaan kecamatan diposisikan. Penelitian ini menggunakan teori desentralisasi, pemerintahan daerah, pemerintahan wilayah, dan kelembagaan sebagai panduan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktifis dengan teknik kualitatif melalui studi kasus di Kecamatan Cikulur, Tulakan, Jatiuwung dan Bubutan. Hasil penelitian memperlihatkan dinamika kelembagaan kecamatan lebih banyak disebabkan faktor eksogen daripada endogen. Selanjutnya, dilakukan reposisi kelembagaan kecamatan dalam tiga model, yaitu model kelembagaan kecamatan kawasan perkotaan, perdesaan dan hybrid.

Local government has changed sub-district status over 40 years. This macro policy alters operations and organization. The Central Government must improve, and placing the sub-district is giddy. The sub-district head manages regional government and does not assess performance. Then a conceptual problem arises: how to position the sub-district in local government administration—as part of a local government unit whose role is expanded through decentralization within cities (Norton, 1994), as a unit that performs specific functions in deconcentration (Leemans, 1970), or as a unit no longer relevant in integrated city management (Smith, 1985). This is formulated in research questions, namely: how are the dynamics of sub-district institutions in the administration of local government, why does it happen, and how are sub-district institutions positioned? Rebuilding sub-district institutions needs knowing their dynamics and causes. Decentralization, local self-governance, local state government, institutional theory, and institutional dynamics drive this research. Four sub-districts—Cikulur, Tulakan, Jatiuwung, and Bubutan—are studied using constructivist case studies. The research found that exogenous factors caused the sub-district institutional dynamics more than endogenous ones. Three models—urban, rural, and hybrid—reposition sub-district institutions."
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Munandar
"Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi momentum bagi daerah untuk dapat lebih leluasa mengatur sendiri penyelenggaraan rumah tangganya berdasarkan aspirasi masyarakat lokal di daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat menentukan sendiri pekerjaannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu segera melengkapi dirinya dengan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Karena kelembagaan perangkat daerah adalah `tools' bagi pemerintahan daerah untuk dapat bergerak dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya itu. Dengan penataan kelembagaan perangkat daerah yang disesuaikan dengan yang dibutuhkan di Kota Bengkulu, diharapkan Pemerintah Kota Bengkulu dapat bekerja dengan lebih optimal, efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Kota Bengkulu.
Agar dapat melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah maka diperlukan assesmen terhadap kebutuhan daerah itu sendiri. Dalam hal ini kebutuhan daerah ditentukan dari kebutuhan akan penyediaan pelayanan dasar (basic services) dan kebutuhan pengembangan potensi-potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Dengan mengidentifikasi kebutuhan basic services dan core competencies pemerintah daerah dapat diketahui kewenangan rill pemerintah Kota Bengkulu, berupa jenis-jenis pelayanan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu yang selanjutnya akan menjadi rujukan untuk melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah.
Basic services diidentifikasi dengan 5 indikator, yaitu : protective services, environmental services, personal services, recreation services dan commercial services. Dan core competencies diidentifikasi dengan melihat struktur mata pencaharian penduduk, struktur penggunaan lahan serta kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kota Bengkulu. Sementara penataan kelembagaan dioperasionalisasikan dengan merujuk kepada 5 komponen dasar organisasi, yaitu : strategic apex, middle line, techno-structure, support staff dan operating core.
Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 3 pertanyaan penelitian, yaitu: 'Bentuk pelayanan apa saja yang dibutuhkan dan perlu diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu `Bagaimana format kelembagaan perangkat daerah yang sesuai untuk Kota Bengkulu berdasarkan kebutuhan tersebul T dan ' Apakah kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah sesuai dengan yang dibutuhkan ?'
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama adalah studi dokumen dan kepustakaan sedang untuk tahap kedua dilaksanakan studi lapangan dengan 'observasi non partisipan' dan `interview'. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif-deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendulum analisa.
Dari proses analisa data diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kebutuhan di Kota Bengkulu terdiri dari 49 jenis urusan. Sementara berdasarkan karakteristik potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya, di Kota Bengkulu dibutuhkan pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan bidang usaha jasa, perdagangan dan pertanian. Setelah dikurangi dengan 8 jenis pelayanan yang telah diselenggarakan oleh pihak-pihak lain diluar Pemerintah Kota Bengkulu, diketahui bahwa pelayanan yang perlu diselenggarakan di Kota Bengkulu terdiri dari 41 jenis pelayanan.
Dengan menggunakan teori-teori organisasi dan aturan-aturan norrnatif yang ada dirumuskan 3 alternatif bentuk kelembagaan untuk perangkat daerah Kota Bengkulu, Dan dari masing-masing alternatif itu dapat dibagi lagi ke dalam 2 altematif format susunan organisasi. Sehingga secara keseluruhan terdapat 6 alternatif kelembagaan perangkat daerah yang cukup sesuai untuk Kota Bengkulu.
Dari keenam alternatif tersebut teridentifikasi bahwa format kelembagaan yang dinilai paling ideal untuk Kota Bengkulu adalah format kelembagaan yang terdiri dari 28 jenis lembaga dengan kedudukan Sekretaris Daerah yang `kuat'.
Dan melalui proses komparasi diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup sesuai dengan yang dibutuhkan daerah, Ini terbukti dengan sudah tercakupnya semua unsur kebutuhan pelayanan oleh urusan-urusan yang diselenggarakan Perangkat Daerah Kota Bengkulu. Namun format kelembagaan yang telah dibentuk tersebut dinilai masih terlalu 'gemuk' dan tergolong cukup rawan untuk terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pejabat politis di daerah. Sehingga dalam rangka mendapatkan format kelembagaan yang lebih efisien dan ideal maka masih diperlukan perampingan dan penataan kembali terhadap susunan organisasi yang telah ada itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>