Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175490 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"The article discusses institutional structure of Depok municipality as a consequence of Government Regulation number 22/1999's implementation. concerning current socio-economics condition of depok municipality, the institutional structured is framed around suburbanization process. the process is largely a consequence of Depok suburbanization of Depok toward Jakarta which in turn transform socio--economic condition of Depok into its current anatomical structure of Depok city, increase in population, and increase of economic activities. this dramatic change requires economy autonomy in order to facilitate government of Depok to efficiently manage the changes. this was further accommodated in structuring and strengthening executive structure of Depok municipality. the structure is an institutional effort made to improve Depok Municipality 's performance."
302 JSI 15:1 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Eddy M.T.
"Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang mulai diberlakukan sejak awal tahun 200I merupakan salah satu agenda reformasi dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya demokratisasi dalam pengelolaan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Pembagian sebagian besar kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga pemerintah daerah memiliki kesempatan besar untuk menggali dan mengembangkan segenap potensi daerahnya untuk kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan di era Otonomi Daerah menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip demokrasi yaitu meningkatnya partisipasi masyarakat daiam proses pengambilan keputusan kebijakan publik, transparansi dan akuntabilitas pertanggungjawaban publik. Prinsip-prinsip tersebut mengamanatkan adanya sharing afpower antara lembaga-lembaga negara, khususnya eksekutif dan legislatif.
Departemen Dalam Negeri mengakui bahwa selama Iima tahun pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia belumlah menunjukkan basil yang memuaskan. Permasalahan yang paling sering ditemukan antara lain terjadinya konflik kepentingan antar elite di daerah, khususnya eksekutif dengan legislatif, hak-hak politik masyarakat yang belum terakomodasi secara memadai dan tidak konsistennya penegakan hukum. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan yang berujung tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kota Bekasi sebagai salah satu kota penyanggah ibukota negara memiliki posisi yang semakin strategis dituntut untuk berkembang secara cepat. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi saat ini seiring dengan semakin derasnya arus urbanisasi ke Kota Bekasi mempersyaratkan terjalinnya koordinasi yang balk antar lembaga negara dengan berbagai elemen masyarakat, khususnya sinergi dan harmonisasi hubungan antara eksekutif (Walikota) dengan legislatif (DPRD).
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hubungan antara eksekutif dengan legislatif di Kota Bekasi, namun peningkatan tersebut belum optimal sesuai harapan dan keinginan masyarakat. Beberapa bidang pelayanan publik khususnya pendidikan, kesehatan, dan transportasi masih jauh dari yang diharapkah. Kurang fokusnya pemerintah Kota Bekasi dalam menetapkan prioritas sasaran program pembangunan dan lemahnya pengawasan internal birokrasi menjadi penyebab utama lambatnya perbaikan pelayanan publik. Kebijakan Pemkot Bekasi dengan slogan "Pelayanan Satu Atap" dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik belum menunjukkan basil yang memadai, karena tidak diikuti dengan perubahan perilaku dari aparatur. Dampak hubungan eksekutif dan legislatif di Kota Bekasi mulai menunjukkan adanya peningkatan partisipasi publik (partisipasi politik) dart kontrol sosial dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengawasan terhadap kinerja eksekutif dan Iegislatif. Partisipasi masyarakat Kota Bekasi tersebut masih Iebih banyak diinisiasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa, sementara peran partai politik belum memadai dalam meningkatkan pemberdayaan partisipasi politik masyarakat.

The policy of decentralization and autonomy that have been applied since 2001 is one of the reformation agendas to boost democratization in state management and governance. The dividing of central government's authorities to local governments in order to accelerate and improve people's prosperities, so that the local governments have a lot of opportunities to explore and develop their area's potencies. The government conducts its role in the era of area's autonomy guarantees the democracy principles including increase of people's political engagement in the decision making process of public policy, transparency and accountability. Those principles order a sharing of power among state institutions, especially between the executive and legislative.
The Department of Home Affairs states that during five years of the conduction of autonomy policy in Indonesia not enough yet show a satisfied result. The most problems have been found i.e.: the conflict of interest among local elites, especially the executive against the legislative, the public political rights that have not been accommodated equally and the inconsistency of Law enforcement. Those conditions hamper the development process, in turns it will impede the achievement of people's improvement and prosperity.
The Bekasi Municipality as one of the state's capital hinterland has a strategic position and it is expended to develop rapidly. The complexity of problems such as a growing number of urbanization to Bekasi Municipality is required a good coordination among the state institutions with several of society elements, especially a synergic and harmonic relationship between the executive (Mayor) and legislative (DPRD).
The result of this study indicates that there is an improvement in relationship between the executive and the legislative in Bekasi Municipality, nevertheless that improvement has not been optimal and it has not satisfied people's expectations and Needs. Some of public services especially education, health and transportation are still Far from the expectation. Since the Bekasi Municipality was failed to remain focus in determining its target priority of development programmed and the weakness of internal bureaucratic -control- become- -the--main--factor- of--the -lateness--of -public services Improvement. The policy of Bekasi Municipality by a slogan "One Roof Service" in conducting its roles and functions as a public servants still not yet shows a significant performance improvement, because of not yet followed by a changing of apparatus behavior. The impact of the relation between the executive and legislative in Bekasi Municipality indicates and improvement in public political engagement and social control in the process of public policy decision making and to control the performance of the Executive and legislative. The participation of Bekasi Municipality urban communities is still initiated by NGO's and mass media; other while the role of political parties are still not optimal yet in improving the empowerment of public political engagement."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhlis Abidin
"Masalah penyediaan perumahan dan penertiban permukiman merupakan salah satu masalah serius yang kini sedang dihadapi oleh Pemerintah Kota Tangerang. Masalah tersebut timbul akibat angka pertumbuhan penduduk di Kota Tangerang yang cukup tinggi. Dalam Proyek Inovasi Manajemen Perkotaan tentang Restrukturisasi dan Revitalisasi Pelayanan lJmum Kota Tangerang Tahun 2002 tercatat pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sebesar 4,86% pertahun. Hal ini disebabkan baik karena kelahiran maupun karena banyak pendatang baru yang berasal dari luar Kota Tangerang.
Pentingnya masalah perumahan terutama untuk penyediaan rumah-rumah yang murah dan Iayak huni dengan fasilitas pendukung yang memadai menjadi perhatian serius Pemerintah Kota Tangerang. Perhatian Pemerintah Kota Tangerang terhadap masalah perumahan setidaknya dapat dilihat dari Rencana Strategis Pemerintah Kota Tangerang yang memasukkan masalah perumahan menjadi salah satu core business.
Untuk mengatur dan menjamin tersedianya perumahan yang layak beserta fasilitas pendukungnya, telah dibentuk suatu Dinas Perumahan dan Perrnukiman (Disperkim) yang mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan di bidang perumahan, permukiman, teknik penyehatan dan pemakaman.
Dari latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model-model aransemen kelembagaan (Institutional arrangement) apa raja yang digunakan dalam memberikan pelayanan di bidang perumahan dan permukiman di Kota Tangerang. Selain itu penelitian ini juga ingin mengetahui Iebih jauh altematif model-model aransemen kelembagaan dalam kegiatan pelayanan perumahan dan permukiman yang dapat dikembangkan.
Untuk mendukung penelitian ini, penulis banyak menggunakan teori-teori yang dikemukakan oleh E.S. Savas dalam buku Privatization and Public Private Partnership (2000). Menurut Savas (2000:66), penggunaan model-model aransemen kelembagaan dapat dipahami dengan memperhatikan hubungan dan interaksi antara tiga elemen panting yang mempengaruhi penyediaan layanan publik, yaitu: pelanggan (customer), produser (producer) dan penyedia (provider/arranger). Lebih jauh Savas menjelaskan 10 model yang sering ditemui dalam kegiatan pelayanan kepada masyarakat, yaitu: government service, intergovernmental agreements, government vending, contracts, franchise, grants, free market, voluntary service, self-service, dan vouchers. Tujuh model aransemen yang disebut terakhir dapat dikategorikan kedalam bentuk-bentuk privatisasi dimana peran pemerintah semakin berkurang sementara peran swasta dan masyarakat semakin besar.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kwalitatif agar peneliti dapat mengetahui lebih jauh tentang bagaimana model-model aransemen kelembagaan (Institutional arrangement) yang dilakukan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman. Sedangkan teknik pengambilan data dilakukan dengan mengunakan teknik wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat enam model aransemen kelembagaan yang digunakan dalam pelayanan bidang perumahan dan permukiman, yaitu: government service, franchise, contract, voluntary service, free market dan aransemen kombinasi. Dari kelima aransemen tersebut, model aransemen kontrak dapat dikembangkan dalam membangun infrastruktur dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan teknik penyehatan. Sedangkan model aransemen free market juga dapat dikembangkan untuk pembangunan dan pengelolaan rumah susun sederhana sewa. Model institutional arrangement pelayanan bidang perumahan dan permukiman yang dapat dikategorikan kedalam bentuk-bentuk privatisasi, menjadi sesuatu yang panting untuk dilaksanakan agar tujuan pelayanan yang cepat, tepat dan murah dapat tercapai. Hal ini juga didukung dengan adanya kebijakan pemerintah tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur sendiri bentuk dan model-model layanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Thahir R.
"Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan yang selama 32 (tiga puluh dua tahun) tidak berubah dan cenderung bersifat stagnan. Karena itu perubahan yang terjadi saat ini dipandang sebagai langkah baru menuju terciptanya Indonesia baru dimasa depan dengan dasar-dasar efesiensi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demokratisasi menjadi pilihan wajib bagi kegiatan pemerintahan berdasarkan pertimbangan bahwa hanya pemerintahan yang demakratisiah yang dapat menempatkan manusia pada jati dirinya. Proses demokratisasi itu sendiri sedang berlangsung di Indonesia, dimana saluran-saluran yang dulunya dianggap menghambat demokratisasi telah dibuka secara lebar.
Pada masa kurun waktu Pemerintahan Orde Baru proses pelaksanaan sistem pemerintahan dinilai kurang berhasil. Hal ini terlihat dengan munculnya berbagai kondisi ketidakpuasan di daerah yang menuntut agar Pemerintah Pusat dapat lebih bijak dalam menyikapi permasalahan-parmasalahan di daerah. Ada tiga hal yang menyangkut pemerintahan daerah masa lalu yang dapat kita lihat. Pertama, selama masa tersebut (orde baru) penyelenggaraan pemerintahan di daerah terlalu menekankan prinsip sentralistik dalam pelaksanaannya. Dampak dari kondisi ini adalah banyak hal yang seharusnya bisa diputuskan didaerah, namun karena sistem tersebut harus menunggu persetujuan pusat yang tentunya saja harus melalui birokrasi yang panjang serta membuka kemungkinan korosi, kolusi dan nepotisme pada semua tingkatan. Kedua, akibat tingkat pengaturan yang sebegitu ketat dan kuat dari pusat, berakibat pada minimnya tingkat kreativitas daerah sehingga pemerintah di daerah hanya melaksanakan apa yang diperintahkan dan atas, dan banyak diantaranya yang tidak sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan. Ketiga, karena aspirasi-aspirasi dari daerah tidak pernah sampai kepusat, maka timbul ketidakpuasan didaerah-daerah yang lama-kelamaan akan menjadi semacam duri dalam daging yang apabila dibiarkan akan menimbulkan sikap berontak terhadap ketidakpuasan tersebut yang bermuara disintegrasi bangsa.
Permasalahan-permasalahan pada sistem pemerintahan yang terjadi pada masa orde baru tersebut merupakan salah satu penyebab lahirnya tuntutan perubahan. Perubahan ini ditandai dengan bergulirnya arus reformasi yang melahirkan otonomi daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan-perubahan inilah yang selanjutnya akan menjadi dasar penelitian dalam penyusunan tesis ini.
Selanjutnya penelitian ini ditujukan untuk melihat implementasi otonomi daerah di Kota Palembang dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Adapun faktor-faktor dimaksud adalah faktor manusia sebagai pelaksana , faktor keuangan yang cukup , faktor peralatan serta factor organisasi yang baik. Namun dalam penelitian ini penulis akan membatasi tingkat penelitian dengan mengkaji faktor organisasi saja, khususnya dalam hal penataan kelembagaan perangkat daerah Kota Palembang .
Adapun yang menarik perhatian penulis untuk lebih mengkaji faktor tersebut adalah dengan melihat proses perubahan sistem pemerintah daerah yang terjadi saat ini, dimana salah satu akibat dari perubahan ini berdampak pada adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah. Kondisi ini pada satu sisi dapat merupakan berkat, namun pada sisi lain sekaligus merupakan beban yang pada gilirannya menuntut kesiapan dari daerah yang melaksanakannya. Artinya daerah tidak boleh bergembira dengan hadirnya kewenangan baru tersebut. Akan tetapi hams berfikir dan berusaha keras agar urusan-urusan pemerintahan yang menjadi urusan rnmah tangga daerah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik atau malah sebaliknya.
Untuk melaksanakan kewenangan urusan pemerintah daerah yang cukup luas tersebut maka diperlukan suatu wadah berupa kelembagaan yang dapat digunakan untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan yang dimaksud dengan baik. Untuk mencapai suatu bentuk kelembagaan yang dimaksud maka diperlukan suatu restrukturisasi kelembagaan dari sistem kelembagaan perangkat daerah yang lama yang selanjutnya akan diadakan perbaikan untuk menghasilkan sistem kelembagaan yang baik dan dapat mengakomodasi semua kenbutuhan masyarakat.
Restrukturisasi organisasi tersebut akan dibahas pada ruang lingkup perangkat daerah dalam hal penataan kelembagaan yang didasarkan pada kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah. Kewengangan-kewenangan ini akan diukur dengan melihat kewenagan yang harus dimilki oleh Pemerintah Daerah dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (basic services), potensi unggulan daerah (core competencies) dan kewenangan-kewenangan normative dan yang dibutuhkan oleh Pemerintah daerah Kota Palembang.
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan terlihat bahwa Pertama, terjadi restrukt ulsasi lembaga perangkat daerah. Restrukturisasi ini merupakan jawaban dari konsekuensi perubahan yang dibawa oleh arus reformasi kearah globalisasi dan masyarakat yang telah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini masyarakat mulai kristis melihat rantai hirarki dalam organisasi pemerintah daerah yang terlalu panjang dan kadang menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih baik (better) dan lebih murah (cheaper). Kedua, secara garis besar lembaga perangkat daerah yang sudah terbentuk sudah sesuai dengan lembaga perangkat daerah hasil analisis yang akan direkomendasikan. Ketiga, terdapat beberapa lembaga perangkat daerah yang belum dibentuk berkaitan dengan fungsi lembaga perangkat daerah untuk melaksanakan kewenangan yang harus dimiliki oleh Pemerintah daerah Kota Palembang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Munandar
"Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi momentum bagi daerah untuk dapat lebih leluasa mengatur sendiri penyelenggaraan rumah tangganya berdasarkan aspirasi masyarakat lokal di daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat menentukan sendiri pekerjaannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu segera melengkapi dirinya dengan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Karena kelembagaan perangkat daerah adalah `tools' bagi pemerintahan daerah untuk dapat bergerak dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya itu. Dengan penataan kelembagaan perangkat daerah yang disesuaikan dengan yang dibutuhkan di Kota Bengkulu, diharapkan Pemerintah Kota Bengkulu dapat bekerja dengan lebih optimal, efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Kota Bengkulu.
Agar dapat melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah maka diperlukan assesmen terhadap kebutuhan daerah itu sendiri. Dalam hal ini kebutuhan daerah ditentukan dari kebutuhan akan penyediaan pelayanan dasar (basic services) dan kebutuhan pengembangan potensi-potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Dengan mengidentifikasi kebutuhan basic services dan core competencies pemerintah daerah dapat diketahui kewenangan rill pemerintah Kota Bengkulu, berupa jenis-jenis pelayanan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu yang selanjutnya akan menjadi rujukan untuk melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah.
Basic services diidentifikasi dengan 5 indikator, yaitu : protective services, environmental services, personal services, recreation services dan commercial services. Dan core competencies diidentifikasi dengan melihat struktur mata pencaharian penduduk, struktur penggunaan lahan serta kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kota Bengkulu. Sementara penataan kelembagaan dioperasionalisasikan dengan merujuk kepada 5 komponen dasar organisasi, yaitu : strategic apex, middle line, techno-structure, support staff dan operating core.
Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 3 pertanyaan penelitian, yaitu: 'Bentuk pelayanan apa saja yang dibutuhkan dan perlu diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu `Bagaimana format kelembagaan perangkat daerah yang sesuai untuk Kota Bengkulu berdasarkan kebutuhan tersebul T dan ' Apakah kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah sesuai dengan yang dibutuhkan ?'
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama adalah studi dokumen dan kepustakaan sedang untuk tahap kedua dilaksanakan studi lapangan dengan 'observasi non partisipan' dan `interview'. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif-deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendulum analisa.
Dari proses analisa data diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kebutuhan di Kota Bengkulu terdiri dari 49 jenis urusan. Sementara berdasarkan karakteristik potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya, di Kota Bengkulu dibutuhkan pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan bidang usaha jasa, perdagangan dan pertanian. Setelah dikurangi dengan 8 jenis pelayanan yang telah diselenggarakan oleh pihak-pihak lain diluar Pemerintah Kota Bengkulu, diketahui bahwa pelayanan yang perlu diselenggarakan di Kota Bengkulu terdiri dari 41 jenis pelayanan.
Dengan menggunakan teori-teori organisasi dan aturan-aturan norrnatif yang ada dirumuskan 3 alternatif bentuk kelembagaan untuk perangkat daerah Kota Bengkulu, Dan dari masing-masing alternatif itu dapat dibagi lagi ke dalam 2 altematif format susunan organisasi. Sehingga secara keseluruhan terdapat 6 alternatif kelembagaan perangkat daerah yang cukup sesuai untuk Kota Bengkulu.
Dari keenam alternatif tersebut teridentifikasi bahwa format kelembagaan yang dinilai paling ideal untuk Kota Bengkulu adalah format kelembagaan yang terdiri dari 28 jenis lembaga dengan kedudukan Sekretaris Daerah yang `kuat'.
Dan melalui proses komparasi diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup sesuai dengan yang dibutuhkan daerah, Ini terbukti dengan sudah tercakupnya semua unsur kebutuhan pelayanan oleh urusan-urusan yang diselenggarakan Perangkat Daerah Kota Bengkulu. Namun format kelembagaan yang telah dibentuk tersebut dinilai masih terlalu 'gemuk' dan tergolong cukup rawan untuk terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pejabat politis di daerah. Sehingga dalam rangka mendapatkan format kelembagaan yang lebih efisien dan ideal maka masih diperlukan perampingan dan penataan kembali terhadap susunan organisasi yang telah ada itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fujiartanto
"Dalam rangka pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat akibat krisis, Pemerintah menerapkan kebijakan reformasi bidang pembangunan dan pemerintahan, diantaranya melalui ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai konsekuensi, daerah otonom (termasuk Kota Depok yang ditetapkan melalui UU No. 15 Tahun 1999) perlu melakukan penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terintegrasi membentuk pemerintah daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya secara politis dan administratif, meliputi: (a) adanya kewenangan daerah, (b) dibentuknya perangkat daerah, (c) tertatanya persona (pegawat), (d) tersedianya dukungan keuangan daerah, (e) berfungsinya unsur perwakilan rakyat, dan (f) peningkatan penerapan menajemen pelayanan publik. Mengingat cakupan masing-masing elemen sangat luas, maka dalam penelitian ini hanya membatasi tiga aspek (penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah), yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran representatif kesiapan Pemerintah Daerah Kota Depok mengimplementasikan otonomi daerah.
Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran terfokus pelaksanaan penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah, maka penelitian ini bersifat deskriptif anatisis, dengan pendekatan kualitatif dan dilakukan melalui survey lapangan. Teknik interview dan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder, dan pengolahan serta analisisnya dilakukan melalui langkah-Iangkah: pengumpulan data, penilaian data, penafsiran data, dan penyimpulan. lingkup pembahasannya, dengan menerapkan pendekatan campuran, antara pndekatan konseptual dan pendekatan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundangan.
Dalam penelitian menerapkan berbagai konsep dan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah, kewenangan, penataan organisasi, dan personal. Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, penelitian ini memfokuskan tataran pada ketersediaan sumber daya (kewenangan), karakteristik institusi Implementasi (unit organisasi dan penataan personal). Dengan demikian, hasil penelitian tentang Implementasi otonomi daerah belum sampai pada tingkat masyarakat tetapi hanya pada tingkat suprastruktur pemerintahan daerah..Sehingga melalui pendeskripsian pelaksanaan penataan kewenangan daerah, perangkat daerah, dan kepegawaian daerah memberikan gambaran tentang kesiapan Kota Depok mengimplementasi otonomi daerah.
Sebagai implikasi ditetapkannya, Kota Depok sebagai daerah otonom melalui UU No. 15 Tahun 1999, maka dalam implementasinya, Pemerintah Daerah Kota Depok menetapkan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah, diarahkan guna mencapai visi dan misi Kota Depok. Pertama, kebijakan penataan kewenangan diarahkan pada pendesentralisasian kewenangan ke Kecamatan dan Kelurahan. Pemahaman kewenangan yang abstrak menghambat pendelegasian wewenangan. Sesuai dengan Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, menetapkan 22 bidang kewenangan, 166 sub bidang kewenangan, dan 1.511 rindan kewenangan. Pemerintah telah mengakul kewenangan melalui Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002, disertai dengan beberapa catatan verifikasi. Kedua, kebijakan penataan perangkat daerah diarahkan pada penyusunan perangkat daerah yang ramping dan kaya fungsi. Pelaksanaannya, diinformasikan telah mempertimbangkan kewenangan daerah, kebutuhan dan karakteristik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, serta disesualkan visi dan misi Kota Depok.
Berdasarkan Perda Kota Depok No. 47 Tahun 2000 dan Perda Kota Depok No. 48 Tahun 2000, perangkat daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 14 Dinas, 3 UPTD, 1 Cabang Dinas, dan 6 Lembaga Teknis Daerah (Badan/Kantor), 6 Kecamatan dan 37 Kelurahan. Namun, dengan ditetapkannya PP No. 8 Tahun 2003, Pemerintah Daerah akan menata kembali perangkat daerah. Ketiga, kebijakan penataan pegawai diarahkan pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai. Telah dilakukan penataan staf 5.964 orang (termasuk dalam jabatan struktural 390 orang), pengembangan pegawai, mutasi, dan penegakkan disiplin pegawai. Dengan dltetapkannya PP No. 9 Tahun 2003, pemerintah daerah akan menata kembali pegawal daerah dengan mengadopsi pola nasional.
Hasil analisa menunjukan bahwa: kebijakan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum konsisten dengan visi dan misi Kota Depok. Pertama, dalam mengidentifikasi kewenangan untuk didelegasikan ke Kecamatan dan Kelurahan, serta diserahkan pada Propinsi, masih mengacu pada kewenangan dari Departeman/LPND, bukan pada Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, sehingga pelaksanannya tidak konslsten. Penataan bidang kewenangan "Daerah Kota" belum dilakukan, masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan; cenderung mempersamakan antara sub bidang, dan rlndan kewenangan dengan suatu kegiatan/aktivitas; serta pelaksanan penataan kewenangan tidak melakukan need assessment Dengan adanya verifikasi, Pemerintah Daerah belum melakukan penyempumaan kewenangan dan rnenyampaikan kepada Pemerintah. Kedua, mengacu pada Kepmendagri dan Otda No. 50 Tahun 2000, menunjukan bahwa organlsasi perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping. Namun demiklan, dalam pelakanaan penataan, pembentukan organisasl perangkat daerah belum rnemperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, dan belum sesual visi dan misi Kota Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8575
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>