Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158072 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Agus R. Rahman
"This study proposes a research question on why six of Eastern European countries held the same their foreign policy orientation toward EU. To answer the question,the study relies on comparative perspective in which its level analysis is still nation state level.Despite of same factors on European-based context, there are substantial different factors on individual contex and process of their negotiations. Breakdown of the Soviet Union and the Warwasa Pactare dominant factors of the regional context, and by this way, EU gives the highest point of his foreign policy's priority to this Eastern Europe countries.Basically,changing of their political systems from close to open society determined their positions in process of the negotiation and the current "
2006
JKWE-II-1-2006-31
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Nigeriawati
"Penulisan tesis ini berangkat dari Iatar belakang bahwa skema forum kerjasama inter-regional Asia-Europe Meeting (ASEM) - dengan kompleksitas dan keragaman yang ada di dalamnya - memiliki sejumiah permasalahan. Permasalahan yang timbul dalam hubungan kerjasama kelompok Eropa (yang cliwakili oleh 15 negara ariggota UE) dan kelompok Asia (yang diwakili oieh 10 negara Asia Timur) dalam ASEM, bermula dari adanya perbedaan konsep kebijakan iuar negeri yang diterapkan oleh kedua kelompok tersebut, yaitu kebijakan kelompok nsgara-negara anggota UE di daiam ASEM yang cenderung menerapkau konsep-konsep sebagaimana terkandung dalam kebijakan luar negeri UE dan kebijakan luar negeri kelompok negara-negara Asia Timur yang cenderu ng menerapkan nilai-nilai Asia atau yang dikenal sebagai Asian vafues.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis implikasi dari perbedaan kebijakan luar negeri UE dan kebijakan luar negeri Asia Timur terhadap permasalahan hubungan kerjasama UE dan Asia Timur dalam ASEM. Sedangkan asumsi peneiitian adalah bahwa perbedaan kebijakan luar negeri UE dan kebijakan luar Asia Timur memiliki implikasi tertentu terhadap timbulnya permasalahan hubungan kerjasama UE dan Asia Timur da lam ASEM.
Kerangka pemikiran yang digunakan adalah teori pendekatan realisme dan teori kerjasama (cooperarion) dari Robert O. Keohane. Di dalam teorinya tersebut, Keohane menjelaskan bahwasanya suatu bentuk kerjasama tidalc akan lepas dari timbulnya konflik. Sedangkan penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Teknik pengumpulan data penelitian adalah melalui Studi puslaka dan Studi dokumentasi.
Hasil yang diperoleh dari peneiitian ini adalah memang terdapat sejumlah permasaiahan dalam hubungari kerjasama UE dan Asia Timur di ASEM, yaitu (1) masalah perluasan keanggotaan ASEM yang mencakup kontroversi rencana keanggotaan Myanmar, Laos dan Kamboja ke dalam ASEM dan kriteria-kriteria keanggotaan ASEM (2) agenda dialog politic, dan (3) agenda yang berkaitan dengan WTO-related issues. Setelah penelitian dilakukan, dapat dijelaslcan bahwa permasalahan hubungan kerjasama yang dihadapi oleh UE dan Asia Timur di dalarn ASEM disebabkan oleh perbedaan kebijakan Iuar negeri yang dibawa oleh kelompok UE dan kelompok Asia Timur.
Berdasarkan hal-hal tersbut di atas, kiranya secara sederhana dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara penerapan kebijakan luar negeri UE dan kebijakan Iuar negeri Asia Timur pada forum ASEM dengan timbulnya permasalahan hpbungan kerjasama kedua kelompok tersebut dalam ASEM."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T4919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Atep Abdurofiq
"Timur Tengah merupakan salah satu kawasan yang menjadi perhatian utama politik luar negeri Amerika. Sejauh ini, Amerika memandang Arab Saudi sebagai salah satu sekutu strategisnya di Timur Tengah. Amerika telah menjalin kerjasama cukup lama dengan Arab Saudi, negara penghasil serta pemilik cadangan minyak terbesar di dunia. Sehingga keberadaannya ini menempati posisi sentral dalam kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah.
Hubungan kedua negara ini merupakan hubungan ketergantungan. Amerika sangat membutuhkan pasokan minyak Saudi untuk pertumbuhan industrinya, sedang pada sisi lain Arab Saudi sangat tergantung pada keterlibatan Amerika dalam bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan. Sebelumnya meskipun Arab Saudi negara monarki, Amerika tidak mempersoalkan sistem politik Arab Saudi yang tidak mempraktikkan nilai-nilai demokrasi. Bagi Amerika selain menjaga hubungan dengan keluarga kerajaan yang telah dibangun sejak tahun 1930-an, alasan minyak karena kapasitas produksi harian Arab Saudi mampu menggoyang atau mengamankan pasar minyak global juga karena pertaruhan politiknya terlalu besar jika rezirn Saudi runtuh. Bila hal ini terjadi maka pengganti alternatif di luar keluarga Al-Saud adalah para penantang hegemoni Amerika, terutama Al Qaeda. Disini, nampak bahwa kepentingan Amerika mempertahankan kerajaan, selain faktor ekonomi juga faktor politik.
Namun dasar hubungan Amerika dengan negara-negara Arab umumnya dan Arab Saudi pada khususnya berubah secara mendasar setelah tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan menara kembar World Trade Center di New York dan gedung Pentagon di washington, di mana 15 dari 19 tersangka pelaku tindak terorisme itu adalah berwarganegara Arab Saudi. Amerika berusaha mengubah infrastruktur tatanan sosial bangsa Arab yang dianggap sebagai sumber bagi lahirnya radikalisme dan terorisme. Sehingga prioritas utama kebijakan politik Amerika di kawasan Arab saat ini adalah upaya mensosialisasikan dan menerapkan demokrasi di kawasan tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang baru terjadi dalam sejarah hubungan Amerika-Arab Saudi.
Bahkan pada 6 November 2003, Presiden Amerika George Walker Bush secara terbuka mendesak Saudi dan Mesir menerapkan demokrasi. Di Timur Tengah sendiri, banyak pihak yang setuju dengan seruan Bush untuk lebih mengembangkan demokrasi. Bahkan di Arab Saudi tuntutan perubahan pun muncul tidak hanya dari oposisi moderat namun juga datang dari oposisi garis keras yang menentang sikap kerajaan dan anti Amerika sehingga melancarkan aksi terorisme yang menyerang berbagai kepentingan Amerika di Arab Saudi. Namun, seruan untuk mendukung gagasan Bush itu juga ditanggapi dengan dingin sebagai akibat sikap Amerika yang lebih berpihak pada Israel dan keputusan Amerika mengobarkan perang di Irak. Akibatnya gelombang oposisi kian meningkat sebagai prates terhadap kebijakan Amerika. Kedua Persoalan, kebijakan Amerika dan oposisi anti Amerika, ini merupakan rintangan utama bagi keinginan untuk menjadikan Timur Tengah sebagai kawasan yang iebih demokratis.
Desakan reformasi Amerika juga temyata berpengaruh pada kebijakan dalam negeri Arab Saudi buktinya pihak kerajaan telah mengumumkan akan melakukan pemilu nasional dalam waktu dekat untuk memilih wakil rakyat setelah sebelumnya menyetujui pembentukan komite hak asasi manusia nonpemerintah. Persetujuan Arab Saudi atas pembentukan komite hak asasi manusia tersebut adalah suatu perubahan sikap dart persepsi atas isu hak asasi manusia itu sendiri. Sebelum ini, Arab Saudi memandang ada sejumlah prinsipprinsip hak asasi manusia yang diakui dunia saat ini tidak sinkron dengan ajaran Islam, sedangkan pemilu merupakan sebuah proses politik bersejarah bagi Saudi karena untuk pertamakalinya dilaksanakan sejak negara ini didirikan.
Namun belum jelas apakah pemilu ini akan independen dan akan menciptakan parlemen yang berfungsi mengontrol pemerintah sebagaimana lazimnya demokrasi Ataukah, sekadar bentuk lain dari Dewar' Syura yang tidak memiliki kekuasaan, kecuali hanya sekadar memberi masukan kepada pemerintah. Nampaknya walaupun berjalan dengan lamban namun perubahan sedikit demi sedikit sedang terjadi dan terus bergulir di kerajaan Saudi ini.

The Middle East is the main focus of The United States Foreign Policies. Yet, the US government saw Saudi Arabia as their strategic ally in the Middle East. They have been having good cooperation with Saudi Arabia, the biggest oil producer and the owner of the largest number of oil reserves, for years. This strategic condition has put Saudi Arabia in the center of the US foreign affairs policies in the Middle East.
The relationship between these two countries is considered as a dependent connection. The US needs Saudi Arabia to supply them oil for their industry, while Saudi is very dependent on the US involvement in its economy, defense and security. The US does not want to bother the Saudi Arabia's System of Monarchy, even though it is against the values of democracy. For the US, besides keeping a good relation since 1930's with Saudi which its daily oil production is very powerful to the global market they cannot take the great risk they might encounter if the Saudi regime is collapsed. If it happened, Saudi would possibly be ruled by those who are against the US hegemony, especially Al Qaeda. This shows that the US interests are not only economic but also politics.
But generally, the basic form of relationship between the US government and the Arabic countries -especially Saudi Arabia- has changed fundamentally after the 911 incident. The US government is trying to revolutionize the social structure of the Arabian that they consider to be the cause of all radicalism and terrorism. Thus, the most recent priority of the US policies in the Middle East is to socialize-and apply democracy there. This is a new thing in the US-Saudi Arabia mutual aid.
On the 6th of November 2003, George W. Bush, moreover, openly forces Saudi Arabia and Egypt to apply the democracy system in their countries. In fact, in the Middle East, many have agreed with Bush to develop democracy in the area. Even in Saudi Arabia, the demand of changes comes not only from the moderate opposition but also from the radical opponent that protests the Royal attitude and anti-US movements. But the call to approve Bush idea is responded negatively as well, due to the US taking sides Israel and their decision to trigger war in Iraq. This increases the opposition action to protest the US policies. The two problems, the US policies and anti-US movement, can be the real factor to obscure the Middle East becomes a more democratic area.
The US reformation pressure has also influenced the Saudis domestic policies. The Saudi Arabia Royal have announced their willing to run the national election immediately to select their representatives after agreeing the formation of a non government commission for human rights. The Saudi's agreeing the formation of the commission shows attitude and perception changes in viewing human right issues. Prior to that, Saudi perceives some human rights values are not synchronous to Islamic teachings, whereas the election is a very momentous political process to Saudi because it will be the first time ever in Saudi.
But it is still uncertain whether the election will be real independent and result in a parliament that controls government, or just a different form of "Diwan Syura" that has no authority but to give the government advices. It seems that even though it runs slowly but the changes will gradually occur in this Kingdom of Saudi Arabia.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S7949
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Saya kira kaum perempuan memiliki keunggulan tambahan kreativitas dan ketabahan yang membantu mereka dalam memulai usaha kecil dan kemudian berhasil mengembangkannya .Di pihak lain mereka masih memerlukan dorongan semangat ,dukungan dan lebih dari itu program pelatihan tardisional. Saya percaya sekali bahwa perempuan adalah sumber potensi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi,tetapi saya juga percaya bahwa untuk memobilisasi sumberdaya ini kita pertama-tama harus menyediakan informasi dan program pendidikan pengembangan kewirausahaan untuk perempuan ."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Aptsar Ndomente
"ABSTRAK
Arab Saudi, Mesir, Bahrain dan beberapa negara lainya melakukan tindakan boikot terhadap Qatar yang dimulai sejak Juni 2017 lalu. Geopolitik Timur Tengah seakan terbelah antara yang mndukung dengan yang menolak tindakan koalisi Arab Saudi tersebut. Kebijakan politik Qatar yang kerap berseberangan dengan negara-negara tersebut, adalah penyebab utamanya. Tentu saja, peristiwa tersebut berkaitan dengan sikap kemandirian politik luar negeri Qatar di kawasan Timur Tengah selama ini. Menjalin kedekatan dengan Iran dan mendukung kelompok-kelompok oposisi, adalah dua hal utama diantara sekian banyak kekhawatiran negara-negara tersebut. Kemandirian politik luar negeri Qatar selama ini, perlahan-lahan mendapat pengakuan di dunia internasional. Qatar tidak lagi dianggap remeh. Qatar telah berubah menjadi sebuah lsquo;Brand rsquo;. Pendekatan lsquo;soft power rsquo;, melaui kekuatan media, didukung kekuatan ekonomi sebagai pemilik ladang gas terbesar di dunia, semakin meningkatkan profil negara ini di dunia internasional. Tesis ini membahas upaya Qatar menuju kemandirian politik di kawasan Timur Tengah, fokus permasaalahan dalam penelitian dirumuskan pada dua pertanyaan: Pertama, faktor apa saja yang mendorong Qatar memilih kebijakan politik luar negeri yang mandiri, bebas, aktif serta independen di kawasan Timur Tengah. Kedua, bagaimana upaya Qatar menjalankan dan membangun kemandirian politik luar negerinya di tengah situasi geopolitik Timur Tengah yang terus berubah. Metodologi yang digunakan melalui pendekatan kualitatif, melalui studi pustaka dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan informasi terkait dengan tema penelitian.

ABSTRACT
Saudi Arabia, Egypt, Bahrain and several other countries are boycotting Qatar which began in June 2017. Geopolitics of the Middle East seemed to be split between those who supported and those who rejected the actions of the Saudi coalition. Qatar 39 s political policies that are often opposed to those countries are the main cause. Of course, the event has to do with Qatar 39 s foreign policy independence in the Middle East. Establishing proximity to Iran and supporting opposition groups are two of the major concerns among these countries. Qatar 39 s foreign policy independence has been gradually gaining recognition internationally. Qatar is no longer underestimated. Qatar has turned into a 39 Brand 39 . The 39 soft power 39 approach, through the power of the media, backed by economic power as the owner of the largest gas field in the world, further enhances the profile of this country internationally. This thesis discusses Qatar 39 s efforts towards political independence in the Middle East, the focus of the problem in the study formulated on two questions First, what factors encourage Qatar to choose independent foreign policy in the Middle East. Secondly, how does Qatar 39 s effort run and build its foreign policy independence amidst the changing geopolitical situation of the Middle East. The methodology used through qualitative approach, through literature study by collecting as much data and information related to the research theme. "
2017
T49159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megan Anglingsari Raritra Intanti
"

Nama                         : Megan Anglingsari Raritra Intanti

Program Studi             : Ilmu Hubungan Internasional

Judul                          : Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa

Pembimbing                : Dr. phil. Yandry Kurniawan

 

Kajian Analisis Kebijakan Luar Negeri atau FPA telah menjadi bidang studi independen dalam ilmu hubungan internasional sejak tahun 1950an. Fokus FPA terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dianggap telah berhasil menjawab permasalahan studi HI yang cenderung menciptakan jarak antara politik domestik dan internasional. Menariknya, klaim bahwa FPA telah inklusif menuai kritik diantara cendekia Eropa, khususnya dalam pembahasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana literatur menempatkan kebijakan luar negeri Uni Eropa diantara kajian FPA. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, penulis menyusun 96 total temuan literatur dengan akreditasi internasional dalam empat kategori tema, yaitu: (1) konsep kebijakan luar negeri Uni Eropa; (2) institusionalisasi kebijakan luar negeri Uni Eropa; (3) Uni Eropa sebagai aktor; dan (4) lingkup kawasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Upaya tinjauan literatur menghasilkan beberapa temuan seperti konsensus, perdebatan, dan kesenjangan terkait topik ini. Selain itu, tulisan ini juga menelusuri tren tema literatur, persebaran penulis, serta tren persebaran paradigmatik. Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini berhasil menyingkap fakta bahwa FPA belum menjadi perspektif yang umum digunakan dalam mengkaji kebijakan luar negeri Uni Eropa. Meskipun begitu, tulisan ini tidak menemukan literatur yang menolak keberadaan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Tulisan ini akan ditutup dengan penjabaran sejumlah rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang meliputi perluasan paradigmatik khususnya FPA dan pendekatan kritis, serta topik-topik yang belum banyak terbahas tetapi cukup relevan dengan kondisi empirik kebijakan luar negeri Uni Eropa.

 

 

 

Kata kunci:

Analisis Kebijakan Luar Negeri, Uni Eropa, kebijakan luar negeri Uni Eropa, European Foreign Policy, hubungan eksternal Uni Eropa, EPC, CFSP

 


Name                        : Megan Anglingsari Raritra Intanti

Study Program           : International Relations

Title                          : European Union’s Foreign Policy

Counsellor                 : Dr. phil. Yandry Kurniawan

 

Foreign Policy Analysis or FPA has been developed as an independent field of international relations (IR) studies since the 1950s. FPA’s primary focus on foreign policy decision making processes is considered to have successfully answered IR studies problem which tends to create a gap between domestic and international politics. Interestingly, the claim that FPA has been inclusive drawn criticism among European scholars, particularly in the discussion of the EU's foreign policy. Therefore, this paper aims to explain how literature interpret EU’s foreign policy among FPA studies. In order to achieve this goal, the authors compiled 96 total international accreditation literature within four categories of themes, namely: (1) the concept of EU’s foreign policy; (2) institutionalization of EU’s foreign policy; (3) European Union as an actor; and (4) regional scope of the EU’s foreign policy. This literature review has resulted in several findings such as consensus, debates, and gaps related to this topic. In addition, this paper also traces the literature trend, distribution of authors’ origin, as well as the paradigmatic trend. Based on these conditions, this paper was successfully revealed the fact that FPA is not a mainstream perspective in studying EU’s foreign policy. Even so, this paper didn’t identify scholar that rejects the idea of EU’s foreign policy. This paper will conclude with some recommendations for further research including paradigmatic diversification, especially FPA and a critical approach, as well as topics that rarely discussed but are quite relevant to the empirical conditions of EU’s foreign policy.

 

 

 

Keywords:

Foreign Policy Analysis, European Union, European Foreign Policy, EU Foreign Policy, EU External Relations, EPC, CFSP

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 20101
342.041 2 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>