Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173717 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"This article describes and analyzes the people empowerment through strategy of the development of participation practice. It views the participation towards social problems to be a people's responsibility of the people is formed by way of giving knowledge and new experiences through practices and dialogical techniques. "
JASOS 9:3 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Utang Suwaryo
"Umat Islam Indonesia pada umumnya tengah mengalami perubahan (transformasi), khususnya NU sebagai organisasi keagamaan Islam. (jami'yah diniyah islamiyah) yang anggotanya cukup banyak, mencapai sekitar 15 juta dan cabang-cabangnya tersebar luas di seluruh Nusantara. Perubahan ini disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi yang ada, sehingga NU ditantang harus mampu merubah format lamanya dalam memandang kehidupan politik dengan format baru, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan konstelasi yang ada yang akan menjamin keberadaan NU itu sendiri. Dengan demikian, maka akan timbul kemungkinan adanya kebudayaan. politik baru pada kalangan warga NU baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Sepanjang kehidupannya dari mulai dilahirkan yaitu pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) di Surabaya Jawa Timur oleh Hadratus Syeikh Hasyim Asya'ri dan KH Abdul.Wahab Hasbullah sampai sekarang NU mengalami pasang surut dalam kehidupan politik, partisipasi mereka dalam politik berubah-ubah, sesuai dengan pernbahan pandangan mereka dalam menanggapi kehidupan politik. NU didirikan bermula sebagai organisasi sosial non politik, non kooperasi yang ketat dengan Pemerintah Kolonial Belanda dan sebagai jawaban atau reaksi dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaa'h terhadap gerakan pembaharuan Islam yang tumbuh di Saudi Arabia yang menamakan dirinya Wahabi yang selanjutnya menjalar ke Indonesia melalui Muhamadiyah, Al Irsyad dan Persis.
Kemudian pada tahun 1942-1945 NU dipaksa untuk bekerja sama dengan Pemerintah Jepang melalul wadah MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia) yang merupakan satu-satunya badan yang menghimpun aspirasi umat Islam di Indonesia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, agama dan kelaskaran (bersenjata). Setelah tahun 1945 MIAI berubah menjadi Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) dimana NU dalam Masyumi ini memperoleh status keanggotaan istimewa. Aspirasi politik NU seluruhnya diwakilkan melalui Masyumi.
Karena dalam tubuh Masyumi terjadi keretakan, maka NU keluar dari Masyumi dan pada tahun 1952 NU berdiri sendiri sebagai partai politik dan secara langsung bebas berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan atas nama sendiri sampai tahun 1973. NU menyusun program perjuangan sendiri yaitu ingin menegakkan syaria't Islam secara konsekuwen. NU berusaha mewujudkan suatu negara kesatuan berdasarkan Islam yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan memeluk agama, dan kebebasan mempunyai serta mengembangkan pikiran dan paham yang tidak merugikan. Haluan perjuangan NU adalah perdamaian, bentuk negara yang diinginkan adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Ermawati Chotim
"Salah satu wujud dorongan untuk membangun kekuatan masyarakat sipil dan mempraktekkan proses demokratisasi di tingkat lokal adalah terbentuknya wadah yang kemudian disebut dengan forum warga. Kelahiran Forum warga mengundang perdebatan wacana tersendiri. Pada satu sisi, kelahiran forum warga dimaknai sebagai terbangunnya dan proses penguatan masyarakat sipil di tingkat lokal. Kalangan yang setuju dengan pendapat ini percaya bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat dalam forum warga dapat membuka peluang terjadinya perubahan-perubahan kebijakan di tingkat lokal lebih partisipatif; dan memenuhi prinsip-prinsip demokrasi yang lain sehingga berbagai perubahan kebijakan akan berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Pandangan ini lebih menekankan pada keuntungan yang diperoleh dari proses partisipasi sebagai salah satu prinsip demokrasi yang dijalankan forum warga.
Pandangan ini dikritik karena melupakan sentralitas `aturan main politik' yang mendefinisikan demokrasi independen dan gerakan-gerakan rakyat atau pasar-pasar kapitalis. Pandangan ini menekankan tidak hanya pada arti pentingnya proses maupun dampak dari satu program demokratisasi yang berjalan. Namun juga harus melihat secara lebih kritis tentang demokrasi dari proses masuk dan diterimanya issu ini, pihak-pihak yang terlibat, dan melihat lebih dalam arti panting demokrasi dari perspektifmasyarakat lokal sendiri.
Pandangan ini juga mencoba mengkritisi konteks makro isu demokrasi masuk ke Indonesia dan juga negara-negara dunia ketiga lainnya. Dengan kata lain, bahwa keberadaan forum warga dalam pandangan ini, tidak dapat dibaca secara sederhana hanya sebagai sebuah proses yang independen. Pandangan ini menekankan bahwa perubahan (ekonomi, politik) yang terjadi di Indonesia -sebagai konteks yang mendorong kemunculan forum warga- merupakan dampak dari situasi dunia yang sedang berjalan. Proses itu tidak lain adalah proses hegemonisasi, dimana demokrasi menjadi piranti ideologi yang disosialisasikan di dalamnya. Demokratisasi lokal adalah produk dari gerakan-gerakan cakyat dan bagian dari bentuk perjuangan kelas, dan merupakan elemen integral dari ekspansi hubungan-hubungan pasar. Pandangan ini memperkuat argumentasi bahwa proses demokrasi berkaitan dengan kapitalisme sebagai bagian dari neoliberal. Liberalisasi ekonomi yang membebaskan kekuatan¬kekuatan perkembangan ekonomi untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi demokrasi atau sebaliknya. Liberalisasi politik dan demokrasi yang menciptakan kondisi-kondisi bagi pembangunan ekonomi. Menurut alur pemikiran ini, pasar-pasar babas memperbanyak pilihan, menumbuhkembangkan individualisme dan memajukan pluralisme sosial, semua hal yang dianggap panting bagi demokrasi.
Dalam penelitian ini, saya menemukan bahwa keberadaan forum warga muncul sebagai wujud perpaduan faktor internal dan eksternal di atas. Faktor internal sebagai respon terhadap situasi untuk melakukan praktek-praktek demokrasi dan membentuk institusi demokrasi yang barn di luar institusi maupun organisasi yang dibentuk pada masa orde barn. Dorongan internal ini diperkuat dengan dorongan eksternal yang distimulasi oleh berbagai program yang difasilitasi oleh pihak-pihak diantaranya LSM, intemasional donor dan aktivis jaringan. LSM, internasional donor dan aktivis jaringan dalam konteks ini memfungsikan diri sebagai intelektual organik hegemon yang mereproduksi dan mensosialisasikan gagasan tersebut kepada masyarakat lokal. Melalui fasilitasi yang dilakukannya dalam berbagai bentuk, masyarakat menerima gagasan demokrasi secara sukarela dan rnenganggap bahwa gagasan tersebut benar-benar sebagai kebutuhan dan milik masyarakat lokal. Dalam konteks ini terbangun kesepakatan konsensual dari masyarakat terhadap demokrasi sebagai ideologi. Dengan demikian legitimasi kelompok dominan tidak ditentang karena ideologi, kultur,nilai-nilai dan norma politiknya sudah diintemalisasi sebagai milik sendiri. Begitu konsensus diperoleh, ideologi, kultur, nilai-nilai, norma dan politik semakin terlihat wajar dan legitimate. Dalam kondisi ini masyarakat cenderung tidak lagi kritis terhadap makna demokrasi bagi kepentingan dan kebutuhan di tingkat mereka.
Praktek demokrasi yang dijalankan di tingkat forum warga yang berorientasi untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat mengalami perubhan ke arah dominasi elite lokal. Komponen-komponen masyarakat miskin dan marjinal yang pada awal teriibat melalui prosedur demokrasi pada akhirnya `terlempar' dari forum. Keberadaan forum warga pada akhirnya cenderung menjadi media dan legitimasi kelompok elite lokal. Meskipun memang harus diakui bahwa keberadaan forum secara positif di tingkat lokal telah membuka peluang bertemunya komponen¬komponen masyarakat untuk duduk dan menyepakati prioritas persoalan di tingkat mereka. Dimana kesempatan tersebut sulit terjadi sebelumnya. Situasi tidak akomodatifnya forum terhadap kepentingan kelompok marjinal telah mendorong dibentuknya forum warga 'tandingan'.
Reaksi ini merupakan wujud kesadaran dan kelompok masyarakat terhadap demokratisasi yang distimulasi oleh munculnya intelektual organik kelompok ini dalam proses menumbuhkan dan menyebarkan kesadaran pada anggota kelompok lain. Bentuk forum warga tandingan masih awal, belum memiliki kekuatan yang secara dengan FM2S. Masih sulit untuk mengkategorikan reaksi yang muncul sebagai counter hegemony karena kelompok tandingan belum mampu mengabstraksikan pengalaman-pengalaman praktisnya menjadi dasar dari terbangunnya kesadaran, ideologi altematif. Perjuangan rakyat dalam konteks ini harus mempunyai karakter revolusi anti pasif yang dibangun dengan memperiuas perjuangan kelas dan perjuangan demokrasi kerakyatan dengan tujuan memobilisasi lapisan masyarakat yang lebih luas dalam memperjuangkan reformasi demokrasi ke arah perjuangan yang menguntungkan masyarakat lokal secara keseluruhan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22587
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bejo Untung
"Tesis ini bertujuan untuk menginvesitagasi secara mikroskopis struktur sosial masyarakat di desa dalam agenda negara tentang demokratisasi desa. Sebagaimana dipahami bahwa semenjak Indonesia memasuki era reformasi, desentralisasi dan demokrasi dikedepankan sebagai upaya untuk mengevaluasi pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Pada dasarnya desentralisasi dan demokratisasi adalah suatu agenda yang mengedepankan proses pembangunan berbasis komunitas atau community-driven development. Akan tetapi dalam perkembangannya analisis terhadap agenda demokratisasi desa sebagai lanjutan dari proses desentralisasi dan demokratisasi tersebut sering dilakukan dengan pendekatan legal-driven, suatu pendekatan yang menganggap bahwa urusan mendemokrasikan desa hanya berhenti pada sebatas penerapan UU. UU Desa yang diterbitkan belakangan sebagai evaluasi terhadap UU sebelumnya, dianggap sebagai UU yang cukup kuat sebagai dasar bagi pelaksanaan demokrasi desa, terutama karena secara normatif telah menjamin keberfungsian BPD dan berjalannya musyawarah desa. Sementara dalam praktiknya, UU Desa tidak selalu implementatif sehingga tidak ada jaminan bagi berfungsinya BPD dan berjalannya musyawarah desa. Dengan demikian arena demokrasi desa yang dibayangkan oleh UU Desa tidak selalu terwujud. Melalui penelitian etnografi selama empat bulan di Desa Pabuaran, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tesis ini menunjukkan situasi politik di tingkat mikro bahwa warga desa dapat menciptakan arenanya sendiri selain arena demokrasi desa sebagaimana yang dibayangkan oleh UU Desa. Melalui proses pembentukan arena inilah kemudian dapat diperlihatkan gambaran praktik aktual demokrasi desa, suatu gambaran yang tidak dapat diungkap oleh pendekatan legal-driven. Untuk mengungkap sejauhmana praktik aktual demokrasi desa tersebut, tesis ini berangkat dari beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: Mengapa BPD dan musyawarah desa yang telah dijamin secara normatif oleh UU Desa tidak berjalan dan berfungsi dengan baik?; Bagaimana warga menyikapi ketidakberfungsian BPD dan musyawarah desa? Ketika arena demokrasi desa tidak terbentuk seiring dengan tidak berfungsinya BPD dan musyawarah desa, arena apa yang diciptakan oleh warga desa?; Bagaimana warga menciptakan arena tersebut?; Bagaimana arena tersebut dapat menampilkan warga desa biasa menjadi para tokoh yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan desa?; dan Bagaimana para tokoh yang muncul tersebut kemudian memainkan peran publiknya sebagai pihak yang menjalankan peran kontrol di satu sisi dan mementingkan interes pribadinya di sisi lain?

This thesis aims to investigate the social structure microscopically in the village level on the state agenda of village democratization. As already known that since Indonesia entering the reformasi era, decentralization and democratization have been put forward as evaluations on centralistic of New Order government. Basically, decentralization and democratization both are the agenda that emphasize the community driven development processes. However, time by time, analysis of the village democratization agenda as a continuation of the decentralization and democratization process is conducted by a legal driven approach, an approach that consider that all the matters of village democratization just stop in the implementing of the Law. Village Law that enacted later as an evaluation of the previous laws, is considered as a strong legal basis for the implementation of village democracy, especially when normatively it gives a guarantee for the functioning of BPD and the progress of the village deliberation. However, practically Village Law is not always implemented so there is no guarantee for the functioning of BPD and the progress of the village deliberation. Therefore the arena of village democracy has been imagined by Village Law does not necesseraly establish. Through four months of ethnographic research in Pabuaran Village, Sukamakmur Sub District, Bogor Regency, West Java, this thesis shows the political situation at the micro level where villagers can create their own arena instead of arena of village democracy as envisaged by Village Law. Through such this arena creation the actual practice of village democracy can be depicted, a picture that can not be explained comprehensively by a legal driven approach. To reveal the extent of the actual practice of village democracy, this thesis departs from several research questions as follows Why is the BPD and village deliberation that have been normatively guaranteed by the Village Law not implement and functioning properly How do villagers respond to the non functioning of BPD and village deliberation When the arena of village democracy is not establised along with the non functioning of BPD and village deliberation, what arena is created by the villagers How do villagers create the arena How can the arena make ordinary villagers become leaders who can influence the administration of village government How do the leaders then play their public role as social control on the one hand and attach their personal interest on the other hand "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T50537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juni Thamrin
"
This paper argues that in the era of decentralization of developmental democratization at the local level through forums involving citizens have not yet formally involved strategic roles of women. The author reviews on how women?s strategic role on the local level has not been entirely met by mechanisms of formal channels at the village level. Taking a case study in Indramayu, the author outlines issues of democratization through various citizen forums that show problems of political participation that turn out to limit the role of women. The transformation of the public decision making structure on the local level should collaboratively involve aspirations of women who are still engaged in informal political context."
2010
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Evawani Ellisa
Universitas Indonesia Fakyultas Teknik, 2014
LP 2015 3
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"The space between building are meaning as areas opened can to accsess by the people, and usually be located between buildings. The space between building in this case, to be interesting because inside can to carried out of activity public characteristic in community scale limited. At first glance the space between building is a public space are property with communal by community or country facility in the interest of the space. But reality its not it. Some spaces between building is personal property. Fieldes the usually to purpose for sport, the majority is personal property and not yet to use and than to let use by the public and some times its make use of, untill definition of public space in this case not only the space for public society, but to carried out by self supporting people. This research are characteristic of eksploratif with use fenomenologic-hermenitic approach in the architecture and ethnografic. It can be concluded, the research shows that the fenomena of the space between building as the public space still to exploration as a general fenomena from the open space. The public space will be seen are meaning at the moment of ritual adat, like as: seren taun, ngadegkeun imah, hajat sasih, etc. In outside moments its, so the public space like as loosing clear function. The public space just to mean as the public space usual for the people activity every day. This research to give contribution for development research about of genius local and will be enrich instruction of vernacular architecture. In the praxiss, this research can to use in the design of public space Sundanese contemporer, like as: restaurant, , café, etc. "
710 JIAUPI 8:1 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995
307.72 HEL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>