Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121471 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Nazar Bakry
Jakarta: Radja Grafindo Persada, 1994
297.4 NAZ p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Nandini Aryawan
"Konflik daerah di Indonesia sering kali sulit diselesaikan karena daerah tidak memiliki data yang akurat. Selain itu, data akurat dapat dipergunakan untuk melawan penindasan maupun kecurangan yang merugikan masyarakat. Pemerintah Nagari Panampuang, Kecamatan Ampek Angkek, Sumatera Barat melakukan penyusunan kebijakan untuk melegitimasi data mandiri dan lebih akurat untuk daerahnya yang disebut sebagai data presisi melalui Peraturan Nagari Panampuang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari Berbasis Data Presisi. Berpijak pada pemikiran Bourdieu mengenai praktik sosial termasuk habitus, kapital, dan arena diikuti kekuasaan simbolik, penelitian ini juga menggunakan konsep komunikasi politik Lilleker untuk memetakan proses penyusunan kebijakan. Penelitian bersifat kualitatif konstruktivis dengan metode studi kasus ini menemukan bahwa kapital yang dimiliki aktor politik digunakan atau ditempatkan dalam arena komunikasi politik untuk keberhasilan penyusunan Perna Data Presisi hingga mendapat pengakuan publik. Selaras dengan kepemilikan kapitalnya, wali nagari menjadi aktor politik Panampuang yang paling banyak melakukan upaya penempatan kapital selama penyusunan kebijakan pendataan. Usaha penempatan kapital yang dilakukan aktor politik nagari didukung juga oleh bentuk-bentuk kekuasaan simbolik, di mana keduanya saling mendukung untuk mencapai tujuan politik aktor, yaitu melegitimasi penggunaan data presisi dalam Pemerintahan Nagari Panampuang.

Regional conflicts in Indonesia are often difficult to resolve because regions do not have accurate data. Besides, accurate data can be used to fight oppression and fraud that harm society. The government of Nagari Panampuang, Ampek Angkek District, West Sumatra, is preparing a policy to legitimize its more accurate regional independent data, which is referred to as precision data, through Nagari Panampuang Regulation Number 2 of 2023 concerning the Nagari Government Administration System Based on Precision Data. Based on Bourdieu's thinking regarding social practices, including habitus, capital, and arena followed by symbolic power, this research also uses Lilleker's concept of political communication to map the policy-making process. This qualitative research found that the capital owned by political actors was used or placed in the arena of political communication for the successful preparation of the policy to gain public recognition. In line with his capital ownership, Wali Nagari is the Panampuang political actor who makes the most efforts to place capital during the preparation of data-related policy. Capital placement efforts carried out by nagari political actors are also supported by forms of symbolic power, where both support each other to achieve the actor's political goals, such as legitimizing the use of precision data in the Nagari Panampuang Government."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmi
"Bergulirnya Undang-Undang nomor 22 / 1999, tentang pemerintahan daerah, memberi peluang bagi daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Sistem pemerintahan Nagari yang semenjak dahulu pernah berlaku di Minangkabau, kembali muncul. Pemerintahan Nagari mempunyai suatu wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional. Dengan demikian pemerintahan Nagari dapat mengembangkan peran serta seluruh masyarakat secara demokratis dengan memanfaatkan nilai-nilai budaya Minangkabau serta peranan lembaga adat dan lembaga lainnya sebagai mitra kerja dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Keinginan yang kuat bagi masyarakat Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung untuk kembali pada sistem pemerintahan Nagari pada hakekatnya masyarakat sangat ingin memfungsikan kembali unsur-unsur yang terdapat dalam sistem pemerintahan Nagari yang disebut dengan Tungku Tigo Sajarangan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat Nagari. Tiga unsur yang saling memberi kontribusi satu sama lainnya dan mempunyai peranan masing-masing yang sangat penting dalam suatu Nagari. Tiga unsur tersebut adalah Penghulu sebagai pemegang kekuasaan dibidang adat, Alim Ulama sebagai pemegang kekuasaan tertinggi bidang agama, cerdik pandai memegang peranan sebagai pemikir, peranan ketiga unsur ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Nagari.
Adapun pemulihan sistem pemerintahan Nagari yang dilaksanakan saat ini tidak seratus persen kembali pada sistem pemerintahan Nagari yang berlaku pada zaman dahulu, namun tentulah sistem pemerintahan Nagari yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Karena sebagai suatu aturan hidup adat Miinangkabau tidaklah bersifat kaku, sifat adat Babuhue Sintak yang artinya simpul atau ikatannya dapat dikencangkan atau dilonggarkan. Adat Minangkabau dapat menerima perkembangan baru sesuai pertimbangan Attie jo Patuik, menurut logika orang Minangkabau.
Dengan berhasilnya sistem pemerintahan Nagari dalam mempertahan ketahanan daerahnya dari ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam daerahnya, sekaligus dapat meningkatkan ketahanan Nasional dan integrasi Nasional dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan Republik Indonesia."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Akhyar Effendi
"Lahirnya Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari yang didasarkan pada pasal 93 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa disambut antusias oleh masyarakat Sumatera Barat. Mengingat bahwa pemerintahan nagari telah dilikuidasi sejak tahun 1983, permasalahannya adalah seberapa efektif pemerintahan nagari yang sekarang ini dapat berjalan dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Dengan adanya dua sistem pemerintahan adat di Minangkabau yaitu sistem koto piliang dan sistem bodi chaniago, maka penelitian ini ingin melihat perbedaan penyelenggaraan pemerintahan nagari dengan membandingkan dua nagari sebagai kasus yaitu nagari Batipuah Ateh (menganut sistem koto piliang) dan nagari Lubuk Basung (menganut sistem bodi chaniago).
Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengeksplorasi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang timbul dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan nagari dilihat dari perspektif kelembagaan, pengalihan aset, keuangan, sumber daya manusia dan manajemen pemerintahan.
Kedua nagari memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan sesuai dengan karakteristik dan pemahaman terhadap adat istiadat masing-masing. Persamaannya antara lain meliputi ; telah memiliki struktur organisasi pemerintahan nagari dan perangkat nagari sesuai dengan peraturan daerah kabupaten masing-masing; belum sepenuhnya mampu menjalankan kewenangan-kewenangan dan ketentuan-ketentuan lain seperti yang diatur dalam perda kabupaten masing-masing; mengalami kesulitan dalam menghasilkan peraturan nagari dan penyusunan rencana pendapatan dan belanja nagari serta lambatnya proses pengalihan harta kekayaan nagari dari Kerapatan Adat Nagari kepada pemerintah nagari. Mengenai pengalihan harta kekayaan ini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu yang mempersamakan antara harta kekayaan nagari dan harta kekayaan pemerintah nagari; dan yang membedakan antara keduanya. Pengetahuan dan kemampuan penyelenggara pemerintahan nagari tampaknya masih sangat terbatas untuk mampu memenuhi tuntutan sebuah sistem pemerintahan dalam arti tata penyelenggaraan administrasi pemerintahan.
Perbedaan yang menonjol antara keduanya antara lain adalah : potensi keuangan nagari Lubuk Basung lebih besar daripada nagari Batipuah Ateh; dan proses pengambilan keputusan tampaknya lebih sulit dilaksanakan di nagari Batipuah Ateh. Ini terbukti dari berlarut-tanrtnya penentuan lokasi kantor wali nagari yang baru. Wali nagari Batipuah Ateh berasal dari kalangan adat, sedangkan wali nagari Lubuk Basung bukan berasal dari fungsionaris adat. Fakta ini relevan dengan teori bahwa pada sistem koto piliang, nuansa adatnya lebih menonjol. Hanya saja proses musyawarah mufakat - walaupun secara teoritis bersifat hierarkis (bottom-up) sulit dilaksanakan. Sedangkan di nagari Lubuk Basung, tampaknya proses musyawarah mufakatnya tidak sesulit di nagari Batipuah Ateh. Secara kelembagaan, institusi yang terdapat di nagari Lubuk Basung lebih banyak dibandingkan dengan yang dimiliki oleh nagari Batipuah Ateh sehingga dari sisi tugas pokok, fungsi dan unsur-unsur yang duduk di dalamnya tampaknya terjadi overlapping antara satu dengan yang lainnya.
Dari hasil penelitian ini terdapat indikasi adanya perbedaan efektiftas penyelenggaraan pemerintahan nagari pada dua nagari yang memiliki sistem adat yang berbeda tersebut. Namun demikian, untuk membuktikan seberapa jauh perbedaan tingkat efektifitasnya akibat dari sistem adat yang dianut tersebut perlu dikaji 1agi secara lebih mendalam.
xvi + 205 halaman + - Label + 6 bagan + 4 lampiran.
Daffar Pustaka : 40 buku, 19 artikel, 6 Lain-lain (Tahun 1918 sd. 2003)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basnida Efrizal
"Penyeragaman bentuk Pemerintahan Desa seperti yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 merupakan awal terciptanya hukum nasional di bidang Pemerintahan Desa. Di Sumatera Barat, lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut telah menyebabkan perubahan yang mendasar bagi penyelenggaran Pemerintahan Nagari, terutama karena ditetapkannya Jorong (wilayah administratif dari Pemerintahan Nagari) menjadi Desa.
Dua puluh tahun kemudian, sejalan dengan gencarnya tuntutan reformasi dan demokratisisasi di berbagai bidang, Pemerintah mengganti UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 ini membuka pintu seluas-luasnya bagi refomasi bentuk Pemerintahan Desa.
Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Desa Kampung Baru dan Desa Situjuh Ladang Laweh Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat dengan judul "Dari Sistem Pemerintahan Desa Kembali Ke Sistem Pemerintahan Nagari" (Studi di Desa Kampung Baru dan Desa Situjuh Ladang Laweh Kabupaten Lima Puluh Kota). Rumusan masalah dari penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang memotivasi masyarakat untuk kembali ke sistem Pemerintahan Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Meskipun perubahan sistem Pemerintahan Desa kembali menjadi Pemerintahan Nagari merupakan perubahan organisasi formal yang menjadi objek kajian dalam administrasi negara, namun dalam tesis ini perubahan Desa kembali menjadi Nagari akan dilihat sebagai proses sosiologis yaitu proses perubahan lembaga sosial baik pada tingkat pranata sosial yaitu perangkat kaidah-kaidah status dan peran dan pads tingkat organisasi yaitu kelompok individu yang terlibat dalam dalam aktivitas lembaga Pemerintahan Desa dan Nagari. Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Kembali Menjadi Sistem Pemerintahan Nagari akan dilihat dalam keutuhan sistem sosial melalui penelusuran gejala-gejala empirik yang dianalisa dan dijelaskan dalam kaitan dengan berbagai kegiatan dan fenomena proses pembangunan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuaiitatif. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak digunakan model serta uji statistik angka-angka dan laporan statistik digunakan dalam rangka memperjelas masalah atau gejala yang diteliti.
Penelitian ini hanya akan difokuskan pada tiga faktor yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi motivasi untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari, yaitu :
1) terjadinya krisis kepemimpinan di tingkat Desa dan Nagari,
2) terjadinya disintegrasi sosial masyarakat Nagari dan
3) terlantarnya harus kekayaan Nagari.
Krisis Kepemimpinan adalah merosot atau berkurangnya kewibawan serta kurangnya keleluasaan untuk berinisiatif dari Pemerintah Desa dan Kerapatan Adat Nagari dalam menjalankan tugas dan fungsinya dibandingkan dengan Pemerintah Nagari. Disintegrasi Sosial adalah suatu keadaan dimana hubungan timbal balik antar sesama warga masyarakat Nagari tidak berlangsung dengan balk yang terlihat dari semakin melemahnya semangat kelompok kekerabatan dalam masyarakat Nagari. Terlantarnya Harta Kekayaan Nagari adalah suatu keadaan dimana Marta kekayaan Nagari tidak terkelola dengan baik sehingga tidak dapat memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat Nagari.
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah dalam menata pemerintahan terendah untuk menyikapi aspirasi masyarakat.
Tesis ini berkesimpulan bahwa sepanjang sejarah Minangkabau, belum ada ideologi di tingkat supra Nagari yang secara radikal menghapus sistem otoritas tradisional Minangkabau. Melihat sejarah perkembangan Pemerintahan Nagari sampai dengart berlakunya UU Nomor 22 Tahuh 1999, maka bentuk pemerintahan terendah di Kabupaten Lima Puluh Kota idealnya adalah kembali ke sistem Pemerintahan Nagari, karena sistem itu berakar dari kekuatan dasar-dasar sosiologis, ekonomis dan politis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Naufal Andrifi
"Bangunan dengan nilai-nilai kebudayaan dan juga nilai penting lainnya sudah sepatutnya dilindungi bila mengacu kepada UU No.11 Tahun 2010. Penelitian ini berfokus untuk menggali nilai lareh Bodi-Chaniago sebagai nilai kebudayaan rumah gadang ini dan juga nilai-nilai penting lainnya dalam upaya melestarikan dan melindungi nilai-nilai tersebut. Dalam menjawab permasalahan ini, dilakukan metode penelitian yang diperkenalkan oleh James Deetz yang terdiri dari tiga langkah yakni, observasion (observasi), description (deskripsi), dan explanation (eksplanasi). Hasil penelitian menunjukan bahwa Rumah Gadang Datuak Kamang Mudiak Mangkudun di Nagari Mudiak memiliki nilai lareh Bodi-Chaniago sebagai nilai kebudayaannya serta nilai-nilai lainnya menurut UU No.11 Tahun 2010. Selain itu bangunan ini juga memenuhi empat syarat pengangkatan sebuah bangunan menjadi cagar budaya menurut UU No.11 Tahun 2010. Dapat disimpulkan bahwa Rumah Gadang Datuak Mangkudun di Nagari Kamang Mudiak patut dilestarikan dan dilindungi secara hukum karena sudah memenuhi persyaratan-persyaratan produk hukum yang berlaku.

Buildings with cultural values and other important values should be protected when referring to Law No.11/2010. This research focuses on exploring the value of lareh Bodi-Chaniago as a cultural value of this rumah gadang and also other important values in an effort to preserve and protect these values. In answering this problem, a research method introduced by James Deetz is carried out which consists of three steps, namely, observation, description, explanation. The results showed that Rumah Gadang Datuak Kamang Mudiak Mangkudun in Nagari Mudiak has the value of lareh Bodi-Chaniago as its cultural value and other values according to Law No.11 of 2010. In addition, this building also fulfills the four requirements for the appointment of a building to become a cultural heritage according to Law No.11 of 2010. It can be concluded that Rumah Gadang Datuak Mangkudun in Nagari Kamang Mudiak should be preserved and legally protected because it meets the requirements of applicable legal products."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefnihan
"Nagari sebagai bentuk komunitas kecil yang ada di Sumatera Barat dalam perkembangannya telah melakukan pengaturan secara otonom terhadap kepentingan komunitasnya. Peran nagari sebagai bentuk pemerintahan desa dan sebagai institusi sosial di masyarakat telah dapat menyalurkan aspirasi dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam mencari corak kehidupan masyarakat desa yang lebih baik. Setelah mendapat campur tangan dan pengaturan dari pemerintahan yang lebih tinggi baik pada periode Pemerintah Penjajahan, periode Pemerintah Republik Indonesia sesudah penyerahan kedulatan dan periode dilaksanakannya UU No. 5 tahun 1979 terjadi perubahan terhadap bentuk dukungan atau partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari tersebut. Dengan latar belakang ini penulis berasumsi bahwa pada periode pemerintah penjajahan partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan cenderung terpaksa, sementara itu pada zaman sesudah penyerahan kedaulatan partisipasi masyarakat cenderung sukarela dan pada periode diselenggarakannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa partisipasi masyarakat cenderung mengharapkan imbalan.
Berdasarkan latar belakang dan asumsi di atas, pokok masalah yang menjadi pertanyaan penelitian adalah "bagaimanakah hubungan sistem pemerintahan dengan partisipasi masyarakat ?", dengan rincian permasalahan adalah mengapa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari sesudah penyerahan kedaulatan cenderung sukarela, pada periode kolonial cenderung terpaksa dan pada periode UU No. 5 Tahun 1979 cenderung mengharapkan imbalan ?
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sistem pemerintahan nagari semenjak asal usul nagari sampai keterlibatan pemerintah dalam pengaturannya, hubungan sistem pemerintahan nagari dengan partisipasi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari.
Penelitian dilakukan pada nagari yang telah dipilih sebagai kajian kasus yaitu Nagari Lumpo, Nagari Palangai dan Nagari Air Haji kesemuanya di Kabupaten Pesisir Selatan, menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan explanatory research. Sumber data atau yang dijadikan subjek penelitian adalah informan dan sumber data lainnya. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara yang disusun secara tidak terstruktur. Analisa data dilakukan dengan pengorganisasian data kedalam kelompok tertentu dan untuk memberikan gambaran tentang kecenderungan bentuk partisipasi dilakukan dengan mengemukakan contoh-contoh (anekdot) dalam mendukung interpretasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode penyelenggaraan pemerintahan nagari sesudah penyerahan kedaulatan cenderung bersifat demokratis. Pola hubungan pemerintah dengan masyarakat lebih memberikan peluang untuk berdialog dan tidak adanya unsur pemaksaan keinginan pemerintah kepada masyarakat. Makin cenderung demokratis penyelenggaraan pemerintahan makin membuka peluang kepada masyarakat untuk memberikan dukungan dan partisipasinya terhadap pemerintahan. Sehingga pada periode ini bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan kecenderungan tumbuh secara sukarela.
Pada periode penjajahan, penyelenggaraan pemerintahan nagari untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan otonomi nagari lebih bersifat demokratis sehingga partisipasi masyarakat cenderung sukarela. Sementara itu untuk hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan penjajahan dilakukan dengan otoriter dan penuh paksaan serta sanksi, sehingga partisipasi yang muncul cenderung terpaksa.
Pada periode UU No. 5 Tahun 1979, penyelenggaraan pemerintahan nagari lebih didominasi oleh kepentingan pusat dan besarnya campur tangan pemerintah yang lebih atas. Dengan kondisi ini partisipasi masyarakat mengalami perubahan karena pemerintah dengan aturan-aturan birokrasi yang baku telah mematikan kesadaran dan inisiatif masyarakat untuk berpartisipasi.
Partisipasi lahir karena adanya imbalan yang diharapkan oleh masyarakat sebagai akibat aturan yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat dijabarkan sesuai dengan kondisi masyarakat. Sementara itu nilai-nilai budaya yang sudah hidup di dalam masyarakat tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari secara umum adalah pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat yaitu pola hubungan yang cenderung demokratis, pola hubungan yang cenderung otoriter dan pola hubungan yang didasarkan oleh kepentingan tertentu sehingga hubungan tercipta karena ada kompensasi yang diharapkan. Faktor berikutnya adalah perubahan sosial yang terjadi baik yang disengaja maupun secara alami. Perubahan ini harus selalu diwaspadai baik oleh pemerintah maupun masyarakat sehingga perubahan yang terjadi tersebut bisa diarahkan kepada perubahan sosial yang menguntungkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliyana Yustikarini
"Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sebagai negara kesatuan, Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah seluas-seluasnya. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang.
Sejalan dengan berlakunya undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah, memberikan kewenangan daerah dalam hal ini masyarakat hukum adat telah memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Indonesia yang terdiri dari beribu pulau dan suku, yang didalamnya terdapat sistem kemasyarakatan yang berbeda-beda dan sistem pemerintahan asli atau adat yang berbeda pula. Sehingga di era otonomi daerah ini kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah hidup kembali dengan berdasarkan UUD 1945 hasil Amandemen, yang mana telah diakui kedudukan dan peranan masyarakat hukum adat di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>