Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116745 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hianly Muljadi
"This article examines factory outlet as a cultural phenomenon in Indonesia. It specifically focuses in the shift in FO meanings. Through observation, bibliographic study and critical critique, it is shown that FO has been perceived differently from a place to get "branded products" for the lower middle class in order to increase their social status to a shopping heaven for the upper class."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2002
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufiqurrohman
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan penelitian mengenai produksi budaya/budaya produksi chick lit Indonesia di penerbit GagasMedia. Penelitian ini bertujuan menunjukkan tentang bagaimana budaya produksi (nilai-nilai dan ideologi) dan perannya terartikulasikan dalam produksi chick lit Indonesia di GagasMedia dan membahas bagaimana artikulasi makna terjadi dalam proses produksi budaya chick lit Indonesia di GagasMedia, baik secara teknis maupun secara kultural. Sumber data adalah penerbit GagasMedia, penulis chick lit Indonesia dan chick lit Indonesia itu sendiri. Landasan pemikiran yang dipakai adalah konsep produksi budaya (production of culture) dan budaya produksi.(cultures of production). Kerangka eklektik-teori digunakan untuk menggunakan beberapa teori dalam penelitian ini. Landasan metodologi adalah pendekatan Cultural Studies untuk penelitian produksi budaya (cultural production research), yaitu pendekatan etnografi dan pendekatan teks dan analisis teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara budaya produksi dan produksi budaya chick lit Indonesia merupakan satu mata rantai yang saling mempengaruhi. Penelitian ini menunjukkan salah satu kemungkinan penelitian sastra Indonesia, khususnya sastra popular, dengan menggunakan pendekatan Cultural Studies.

ABSTRAK
This thesis draws on the production of culture/cultures of production of Indonesian chick lit. It highlights how the cultures of production and its roles are articulated in the production of culture of Indonesian chick lit in GagasMedia publisher. It also explores the articulation of the process of its production of culture, technically or culturally. The sources of the data are the publisher itself, Indonesian chick lit writer, and the chick lit itself. The methodology used is Cultural Studies approach for cultural production research. This thesis concludes that the cultures of production of Indonesian chick lit play important roles in its production of culture in GagasMedia. This thesis also shows the possibility of taking a research on the Indonesian literature?especially its popular literature?by using Cultural Studies approaches."
2010
T26714
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muchammad Sidik Roostandi
"Tesis ini merupakan penelitian mengenai konsumen Factory Outlet (FO). FO menawarkan ideologi baru dalam berbelanja, yaitu menjual 'produk sisa ekspor'. Makna 'sisa' dan 'ekspor' yang dikonstruksi oleh pengusaha (produsen) FO memiliki problematikanya tersendiri ketika dimaknai kembali oleh konsumen. Makna 'sisa' yang diikuti dengan makna 'murah' yang identik dengan konsumen kelas menengah ke bawah dan makna 'ekspor' yang diikuti dengan 'produk high-class' yang identik dengan kelas menengah ke atas menjadi kontradiksi karena pada praktiknya konsumen FO didominasi oleh konsumen kelas menengah ke atas. Tidak hanya itu saja, FO yang memiliki makna sebagai 'toko pakaian' menjadi kontradiksi karena FO juga dimaknai sebagai 'objek wisata'. Keragaman pemaknaan tersebut menggambarkan bagaimana proses pemaknaan konsumen terhadap suatu artefak budaya terus dikontestasikan (ideologis) dan tidak semata-mata 'tunduk' pada ideologi dominan. Hal tersebut membuat ideologi berhubungan dengan identitas konsumen (formasi sosial) yang terbentuk di FO. Ideologi dan identitas konsumen merupakan fokus analisis penelitian ini.

This thesis examines Factory Outlet (FO) consumers. FO comes up with a 'new ideology of shopping; selling excess export products'. The meaning of 'excess' and 'export' which is defined by the cultural producer have their own contradiction when it is redefined by the consumers. The quality of 'excess' that implies the quality of 'cheap' and the quality of 'export' that implies the quality of 'high-class product' represents a particular group of consumers. The lower-middle class is identified with the quality of 'cheap' while the upper-middle class is identified with 'high-class product'. The identifications present a contradiction when, on the practice, the FO is dominated by the upper-middle class consumer. Moreover, FO as a place has two meanings; as a clothing store and as a tourist object. The various meanings of FO occupy consumers as the significant element of culture that actively defines a cultural artifact (FO). Consumer activities in FO are considered ideological since they contest their ideology with the dominant ideology of shopping. Therefore, ideology relates to the construction of consumer identity or social formation in FO. Ideology and identity of FO consumers are the frameworks of this research."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
T39168
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisayoesti Puspa
"Skripsi ini membahas bagaimana jangkauan pelayanan factory outlet yang dilihat berdasarkan karakteristik factory outlet dan karakteristik konsumen di Kota Bogor. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan analisis keruangan. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah jangkauan pelayanan factory outlet Kota Bogor mencakup daerah Jabodetabek dan dibagi menjadi 3 kelas yaitu <20 km, 20-40 km, dan 40-60 km. Jika dilihat dari karakteristik factory outlet terdapat perbedaan persentase jumlah konsumen antara kategori yang satu dengan yang lainnya pada masing-masing jangkauan. Sedangkan jika berdasarkan karakteristik konsumen tidak terlihat perbedaan pada tiap jangkauannya.

This thesis describes how the range of services is seen factory outlet based on the characteristics of factory outlet and characteristics of consumers in Bogor City. This research was a qualitative descriptive with a spatial analysis. The results of this research is range of services factory outlet in Bogor City covers Jabodetabek areas and divided into 3 classes which is <20 km, 20-40 km, and 40-60 km. When viewed from the characteristics of factory outlet there is a difference between the percentage of consumers that category to another at each range. Whereas, if based on consumer characteristics there is not seen significant differences on each reach."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1027
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Icu Surtini Marwati
"Artikel ini berbicara mengenai fenomena Factory Outlet di Indonesia yang dikaji dengan menggunakan buah pemikiran Jean Baudrillard tentang masyarakat konsumeris. Dewasa ini, manusia tidak lepas kaitannya dengan kegiatan konsumsi, mulai dari konsumsi barang maupun jasa. Kegiatan konsumsi ini bukan semata pemenuhan kebutuhan atas nilai guna suatu barang, namun juga untuk memenuhi nilai rasa dan nilai simbolis yang dapat menempatkan konsumen ke dalam suatu kelas masyarakat tertentu. Hadirnya Factory Outlet yang menyediakan barang-barang ternama dengan harga murah memperlihatkan adanya indikator perilaku konsumeris masyarakat. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, dengan membeli produk dari Factory Outlet masyarakat turut pula membeli citraan yang dimiliki barang tersebut. Dengan demikian, konsep konsumeris dari Jean Baudrillard dapat menjelaskan bahwa fenomena Factory Outlet yang semakin menjamur di Indonesia terjadi karena konsumsi objek tidak lagi sekedar memenuhi nilai fungsi, namun juga nilai simbolis dan nilai rasa dari objek tersebut.

This article talks about the phenomenon of Factory Outlet in Indonesia, which is discussed using the thought of Jean Baudrillard about the consumer society. Nowadays, people can’t be separated from consumption, either the consumption of goods or services. Consumption activity is not merely the fulfillment of the above requirements for a use value, but also to fulfill a sense of value and symbolic value that can put consumers into a particular class of people. The existence of Factory Outlet providing branded goods at a low price indicate the presence of consumer society . Not only to meet the needs of clothing, by buying products from Factory Outlet, people by the image of the products at the same time. Thus, the concept of consumer society from Jean Baudrillard is able to explain that phenomenon of Factory Outlet in Indonesia which now is mushrooming. The concept of consuming the object for the consumer is no longer just to meet a use value but also the sign and symbolic value.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Desiana E. Pramesti
"Tesis ini mengangkat suatu fenomena berkenaan dengan praktik-praktik sosial yang dimunculkan oleh para model, supemodel dan model multi talenta dari 'agensi model' Look Inc. 'Agensi model' beserta model binaannya merupakan bagian dari produk kebudayaan dimana keberadaan mereka tidak terlepas dari interaksinya dengan persoalan-persoalan internal dan ekternal.
Memfokuskan pada sejumlah praktik-praktik sosial dari para pelaku model ini, dapat dikuak apa yang menjadi persoalan komplek dibalik pernak-pernik kelakuan atau perilaku mereka, keseluruhan kelakuan atau perilaku mereka ditampakkan pada munculnya reaksi ataupun respon para pelakunya terikat dengan situasi obyektif di sekeliling mereka yang terkoneksi dengan pengaruh globalisasi.
Perbincangan tesis ini mengurai isu-isu berkenaan dengan terma globalisasi, gejala ini tengah menjadi kesadaran umum dan pada realitasnya ditampakkan pada sejumlah praktik sosial masyarakat kontemporer yang tengah mengalami proses transformasi. Dalam situasi demikian tersebutlah model, supermodel dan model multi talenta dalam seting kegiatannya dunia show bussines industry seperti apa praktik-praktik sosial pelaku model yang terikat dengan situasi globalisasi ini? Interpretivisme simbolik dipergunakan sebagai pisau analisis untuk membedah persoalan ini. Melalui pendekatan kualitalif dengan orientasi paradigmanya interpretivisme simbolik ajuan Gifford Geertz, dimungkinkan untuk menjelaskan persoalan ini hingga menjadi masuk akal.
Kehadiran pelaku berikut dengan kelakuannya mengisyaratkan 'sesuatu' dan 'suatu'-nya itu dapat dijelaskan dan dipahami melalui proses observasi yang mendalam, sensitif dan terlibat penuh dalam rangka mengurai jalinan simbol- simbol yang merefleksikan suatu isyarat-isyarat. Beragam isyarat-isyarat tersebut dapat dipahami melalui kegiatan pengamatan yang rinci dengan mengobservasi segenap tindakan pelaku, penggunaan bahasa dalam perbindangan mereka, penampilan berbusana berikut dengan aksesoriesnya, pengkonsumsian barang-barang konsumsi, jalinan pertemanan mereka, arena tempat bermainnya, dan paparan cerita mereka tentang 'apa saja', lalu pada tahapan selanjutnya keseluruhan penampakan-penampakan itu dikonfirmasikan kepada pelakunya melalui teknik wawancara mendalam untuk dapat menemukan native's point of view para pelakunya. Pada akhirnya ini dapat mengurai jalinan deskripsi menda Iam tentang proyek-proyek kehidupan pelaku, dan pada muaranya tertampaklah pengalaman 'eskotik' mereka berkenaan dengan pengimajinasiannya terhadap dunianya, dunia yang dibenakkannya sebagai kehidupan yang modern, glamours dan tampak 'wah'. Sekiranya dengan menggabungkan diri pada sebuah 'agensi model' memungkinkan bagl pelakunya untuk merealisasikan 'mimpi-mimpinya', melalui proses rekrutmen, seleksi clan pelatihan, 'agensi model' berkenan untuk menyodorkan kesempatan-kesempatan lebih luas bagi pelakunya untuk meraih 'mimpi-mimpi' tersebut.
Mengutip dari apa yang dikatakan oleh Giddens, "individu adalah sumber kunci perubahan politik, melalui individu proyek politik penentuan atas nasib pribadinya dilakukan", bahwa kehidupan politik kontras dengan politik emansipatoris memungkinkan individu membangun identitas pribadi dalam lingkungannya yang secara relieksif terorganisir dan hal ini dapat diartikan bahwa identitas pribadi terhubung dengan persoalan individu melakukan proyek adaptasi dalam rangka mengantisipasi perubahan lingkungan dalam konteks Iokal maupun global. Ketika seseorang 'memutuskan' dirinya untuk menjadi sosok model, supermodel dan model multi talenta sesungguhnya tindakannya 'harus dipahami' sebagai rasionalisasi pelaku terhadap situasi-situasi yang terbentang dihadapannya, terdapat produsen kebudayaan sebagai penyedia fasilitas-fasilitas yang memung kinkan bagi pelakunya untuk menyatakan keberadaan dirinya, menyatakan pilihan hidupnya,dan mengkabulkan impiannya menjadi sosok Cindrella abad -21."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchammad Sidik Roostandi
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan penelitian mengenai konsumen Factory Outlet (FO). FO menawarkan ideologi baru dalam berbelanja, yaitu menjual ?produk sisa ekspor?. Makna ?sisa? dan ?ekspor? yang dikonstruksi oleh pengusaha (produsen) FO memiliki problematikanya tersendiri ketika dimaknai kembali oleh konsumen. Makna ?sisa? yang diikuti dengan makna ?murah? yang identik dengan konsumen kelas menengah ke bawah dan makna ?ekspor? yang diikuti dengan ?produk high-class? yang identik dengan kelas menengah ke atas menjadi kontradiksi karena pada praktiknya konsumen FO didominasi oleh konsumen kelas menengah ke atas. Tidak hanya itu saja, FO yang memiliki makna sebagai ?toko pakaian? menjadi kontradiksi karena FO juga dimaknai sebagai ?objek wisata?. Keragaman pemaknaan tersebut menggambarkan bagaimana proses pemaknaan konsumen terhadap suatu artefak budaya terus dikontestasikan (ideologis) dan tidak semata-mata ?tunduk? pada ideologi dominan. Hal tersebut membuat ideologi berhubungan dengan identitas konsumen (formasi sosial) yang terbentuk di FO. Ideologi dan identitas konsumen merupakan fokus analisis penelitian ini.

ABSTRACT
This thesis examines Factory Outlet (FO) consumers. FO comes up with a ?new ideology? of shopping; selling ?excess export products?. The meaning of ?excess? and ?export? which is defined by the cultural producer have their own contradiction when it is redefined by the consumers. The quality of ?excess? that implies the quality of ?cheap? and the quality of ?export? that implies the quality of ?high-class product? represents a particular group of consumers. The lower-middle class is identified with the quality of ?cheap? while the upper-middle class is identified with ?high-class product?. The identifications present a contradiction when, on the practice, the FO is dominated by the upper-middle class consumer. Moreover, FO as a place has two meanings; as a clothing store and as a tourist object. The various meanings of FO occupy consumers as the significant element of culture that actively defines a cultural artifact (FO). Consumer activities in FO are considered ideological since they contest their ideology with the dominant ideology of shopping. Therefore, ideology relates to the construction of consumer identity or social formation in FO. Ideology and identity of FO consumers are the frameworks of this research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
T27901
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2003
S33848
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurbaya
"Persaingan antar media televisi telah mendorong pelaku media untuk berlomba-lomba menciptakan suatu suguhan yang menarik pemirsa untuk tetap berada di posisi yang menguntungkan. Berawal dari kesuksesan sinetron Si Doel Anak Sekolahan inilah yang mengundang hadimya sejumlah pilihan sinetron Betawi dengan tema yang hampir seragam. Salah satunya cerita dan gambaran dari sinetron berlatar belakang kehidupan masyarakat Betawi yang berjudul Kecil kecil Jadi Manten, gambaran Betawi yang identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pinggiran, muncul melalui karakter tokoh yang memang bodoh, "bloon", suka kawin, sangat primitif dan tidak berbudaya serta berdialog dengan bahasa komunikasi yang dangkal. Hubungan sosial yang diungkapkan Iewat sinetron itu sudah menyimpang, kadang tidak lagi mengindahkan norma agama dan etika sosial.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan dengan metode kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui proses produksi budaya yang terjadi dalam sinetron tersebut dan mengungkap alasan yang melatarbelakanginya. Untuk mengetahui proses produksi yang berlangsung dan alasan dibalik proses pembuatannya, maka tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan pihak produksi yang terdiri dari producer, sutradara sinetron kecil kecil jadi manten serta kru-kru yang terlibat secara langsung dalam proses produksi sinetron tersebut termasuk juga di dalamnya kepala unit manager dan beberapa pemain utamanya. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap budayawan Betawi dan praktisi Betawi untuk mengetahui gambaran dari realitas sosial yang sebenarnya.
Penelitian ini menyimpulkan hasil atas wacana sinetron berlatar belakang budaya Betawi di televisi, memperlihatkan adanya penggambaran budaya Betawi yang termarjinalisasi dalam sinetron tersebut. Terdapat perbedaan persepsi tentang budaya Betawi yang ditampilkan oleh media dalam sebuah sinetron yaitu sinetron kecii kecil jadi manten dengan gambaran masyarakat Betawi yang sebenarnya. Karena tidak hanya terdapat pada masyarakat Betawi saja melainkan stereotype seperti itu juga ada pada masyarakat manapun. Tidak terkecuali masyarakat Jawa, Sumatera atau Madura. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa produksi sinetron kecil-kecil jadi manten hanyalah melanggengkan dan mengukuhkan ideologi dominan yang sudah ada yaitu ideologi yang menampilkan realitas imajiner bukan berdasarkan realitas faktual seperti pada kenyataan berdasarkan pada kebenaran. Dapat dikatakan bahwa produksi sinetron ini tidak memiliki keunikan secara substansial tentang nilai-nilai budaya Betawi namun hanya sekedar mencoba menampilkan keunikan setting atau nuansa cerita yang secara kebetulan mengambil nuansa ke-Betawi-an. Hal ini tampak jelas pada dialek para tokohnya dan gaya arsitektur bangunan rumahnya dan kesenian-kesenian yang mewamai jalan ceritanya.
Meski sutradara berupaya keras menjaga rasionalitas alur cerita dengan menampilkan konflik-konflik yang dibuat menjadi seakan-akan wajar dan tidak berlebihan, namun secara keseluruhan tidak ada penggambaran makna dari subtansi nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya. Kondisi ini terjawab dengan melihat pada temuan di lapangan antara lain tidak ada konsep cerita yang diambil berdasarkan riset atau pengamatan mendalam terhadap nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya, pemilihan para pemain yang tidak memiliki standar jelas untuk menampilkan nilai-nilai budaya Betawi. Dan penulis cerita itu sendiri sekaligus merangkap sebagai sutradara bukan orang dengan latar belakang Betawi. Hal ini yang menyebabkan penggambaran tentang budaya dan kehidupan Betawi tidak sesuai dengan realitas seperti yang kebanyakan ada dalam kehidupan masyarakat Betawi yang sebenarnya.
Pada akhirnya, semua ini memperlihatkan bahwa realitas media tidaklah muncul begitu saja, melainkan telah dibentuk melalui interaksi di antara para pelaku produksi yang kemudian dipengaruhi oleh struktur. Relasi-relasi yang terlibat dalam suatu proses produksi yang secara struktural pemilik modal adalah yang paling dominan, tetapi dalam penelitian ini pemilik modal tidak lagi menentukan proses pengambilan keputusan dengan kata lain tidak ada intervensi. Aktorlah yang secara leluasa menetukan performance suatu hasil karya produksi. Di sini yang menjadi dominan adalah persepsi di mana hasil persepsi tersebut akan menampakkan hasil produksi yang termarjinalisasi. Dengan demikian produksi wacana dalam sinetron Betawi kecil-kecil jadi manten yang berlatar belakang historis, sosial, dan ideologi tertentu akan rnmunculkan wacana tertentu pula dan bukan tidak mungkin akan berdampak secara kultural dan ideologis pada pengetahuan pemirsanya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alex Silas P. author
"Industri musik anak Sherina adalah suatu industri budaya, dimana kegiatan di dalamnya, memunculkan kebutuhan baru dan bukan memenuhi kebutuhan yang sudah ada dengan ditandai kehadiran organisasi-organisasi budaya yang saling berhubungan, untuk memproduksi produk budaya dengan tujuan mencari keuntungan. Untuk itu, produk budaya tersebut hams dipublikasikan dan didistribusikan agar dapat menarik perhatian konsumen. Produser kaset, rumah produksi Miles Production an stasiun televisi merupakan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya terutama dalam hal produksi dan penayangan video musik anak Sherina. Video musik anak Sherina dibuat sebagai bagian publikasi produk budaya lainnya dalam industri musik anak Sherina, yaitu album Andai Ak,u Besar Nanti. Album ini adalah produk budaya karena menampilkan suatu performa atau kesatuan ide. Produser kaset dan production house adalah organisasi budaya yang terlibat dalam proses produksinya. Sebagai produk budaya, video musik anak juga dipublikasikan secara nasional melalui stasiun televisi. Penelitian ini bertujuan menggambarkan peran gatekeeper dalam proses produksi dan penayangan video musik anak Sherina kepada masyarakat, khususnya, dalam menentukan sisi idealis dan materialis yang terkandung di dalam produk budaya tersebut. Penelitian ini bertipe deskriptif dan menggunakan wawancara tidak berstruktur dalam pengumpulan datanya. Gatekeeper didefinisikan sebagai setiap orang/organisasi formal yang mempunyai fungsi membuka, menutup atau mengevaluasi setiap pesan yang masuk melewatinya, untuk diteruskan kepada masyarakat. Temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa gatekeeper dalam proses produksi adalah produser kaset, sekaligus ayah Sherina, sedangkan gatekeeper dalam proses penayangan adalah pihak stasiun televisi, dalam kasus ini adalah Tim Pelaksana dan Pengelola Musik RCTI. Penulis menemukan bahwa sebagai gatekeeper, produser kaset berperan sebagai pengevaluasi proses produksi video musik anak dari konseptualisasi sampai dengan pengambilan gambar. Produk budaya yang dihasilkan disini memiliki sisi idealis yang berimbang dengan sisi materialisnya. Produser kaset tidak hanya menekankan visualisasi video musik tersebut untuk mendapatkan keuntungan, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai yang menurutnya sepatutnya terlihat dalam suatu video musik anak. Dalam proses penayangan, peran RCTI sebagai gatekeeper dalam hal ini mengevaluasi video musik anak tersebut sebelum sampai ke masyarakat. Berbeda dengan produser kaset, sisi materialis dalam produk budaya tersebut lebih diperhatikan oleh pihak RCTI dibandingkan sisi idealis. RCl"I menggunakan kriteria tertentu untuk mengontrol nilai-nilai yang divisualisasikan dalam suatu video musik anak. Tetapi, kriteria ini seringkali dikalahkan oleh kepentingan komersil sehingga visualisasi produk budaya tersebut lebih diperhatikan dibandingkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S4162
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>