Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56370 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Valerian Timothy
"Tugas karya akhir ini akan membahas soal dunia maya dalam Ilmu Hubungan Internasional. Hubungan Internasional akan menghadapi perubahan yang radikal di masa depan. Alasan perubahan akibat kemajuan Teknologi Informasi di penghujung abad 20 yang membuat kekuatan informasi mampu mempengaruhi kelangsungan sebuah negara (state survival) ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Sehingga, studi ini akan meneliti persoalan kekuatan informasi di dalam dunia maya dan pemetaan dunia maya yang akan berguna bagi pengambil keputusan untuk melihat dunia maya sebagai dunia baru dalam Hubungan Internasional yang penuh dengan kekacauan dan menyimpan ancaman bagi ketidakstabilan di dunia nyata.

The focus of this study is to explain cyberspace in International Relations science. International Relations will face a radical change in the future. It is because the advanced Information Technology growth since the 1980s that made information to have power to affect state survival, either for a better or worse condition. So, this study will attempt to research the power of information in cyberspace and thus also to map cyberspace that will be useful for decision maker to see cyberspace as a new domain in International Relations which has many complex elements and may hide threats that will cause instability in the real world.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rufino Putra
"Sengketa data pribadi yang terjadi di dalam cyberspace telah menyebabkan konflik kedaulatan dikarenakan mengingat sifat cyberspace yang dapat mengkoneksi berbagai jaringan komunikasi dapat menyebabkan bebeberapa negara berwenang untuk menerapkan yurisdiksinya. Dilihat dari hukum Indonesia sendiri, di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, keberlakuan dari peraturannya diterapkan dengan prinsip Extraterritorial Jurisdiction yang berlaku terhadap setiap orang dan badan hukum apabila merugikan kepentingan nasional Indonesia. Sudah jelas apabila dilihat dari keberlakuan dari peraturan ini tentu sudah dapat diperkirakan akan terjadi konflik yurisdiksi dengan negara lain. Oleh karena itu melalui penulisan ini akan dibahas bagaimana penerapan Yurisdiksi Indonesia dalam sengketa data pribadi yang terjadi di dalam cyberspace melalui upaya-upaya yang memungkinkan.
Personal data disputes that occur in cyberspace have caused conflicts of jurisdiction due to the nature of cyberspace it self can connect various of communication networks that can cause several countries capable to apply their jurisdiction. Judging from Indonesian law itself, based on Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions, the territorial scope of its regulations is relied on the principle of Extraterritorial Jurisdiction in which applies to every person or legal entity if it is detrimental to Indonesia’s national interest. It is clear that when seen from the enactment of this regulation, jurisdictional conflicts with other countries could be happen. Therefore, through this writing, we will discuss how to apply the Indonesian Jurisdiction in regards to personal data dispute that occur in cyberspace through possible efforts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmat Budiman
"Perkembangan kajian tentang Internet di Indonesia, antara lain, ditandai oleh beberapa kajian yang umumnya difokuskan pada upaya untuk menjelaskan relasi antara perkembangan pemanfaatan internet oleh masyarakat di satu sisi, dan kemungkinan potensial bagi perbaikan kualitas kehidupan politik demokrasi di sisi lain. Ungkapan-ungkapan seperti cyberdernocracy, information superhighway, atau medium of liberation, sering dipakai ketika membahas Internet sebagai domain politik. Pada level konseptual, kajian-kajian semacam ini biasanya merujuk, paling tidak, pada dua argumen teoritis. Yang pertama adalah filsafat politik tentang keutamaan sebuah ruang publik ( public sphare) dalam memelihara semangat berbeda pendapat yang menjadi ciri dari kehidupan politik demokratis. Sementara argumen kedua adalah penjelasan yang dititikberatkan pada reformulasi konsep-konsep tentang identitas individu dalam cyberspace yang dianggap memungkinkan orang bisa lebih bebas menyatakan pendapatnya.
Studi ini mencoba memberikan kontribusi pada beberapa kajian tentang Internet yang telah dilakukan sebelumnya, paling tidak untuk konteks sosiologi di Indonesia, dengan pertama-lama melakukan penelusuran peta teoritis dalam wacana ilmu sosial, yang bisa dijadikan acuan konseptual untuk mengkaji internet bukan hanya sebagai domain politik, melainkan juga sebagai sebuah fenomen kultural masyarakat di dunia. Dari penelusuran tersebut ditemukan bahwa dalam bidang kajian tentang internet atau, secara lebih luas, masyarakat yang berbasis teknologi jaringan elektronik (electronically networked society), ilmu sosial telah berkembang jauh lebih luas dari sekedar upaya teoritik untuk mencari kemungkinkan atau potensi internet dalam mengembangkan kehidupan politik demokrasi.
Cyberspace secara historis dibentuk oleh dua komunitas kultural yang bertolak belakang, yakni antara kultur para hacker komputer yang terobsesi dengan kebebasan dan membenci sensor, dan kultur bisnis militer yang terobsesi oleh keinginan melakukan kontrol dengan dalih keamanan.Menghindar dari kecenderungan semata-mata hanya memberi penekanan pada romansa kebebasan yang dijanjikan oleh teknologi internet, studi ini mencoba menelusuri beberapa kajian yang menghasilkan gambaran bahwa dalam banyak aspek cyberspace pada dasarnya dibentuk dan sekaligus membentuk berbagai hal yang kontradiktif satu dengan lainnya. Demikian, misalnya, sementara pada sisi yang satu internet, seperti tampak dalam beberapa analisa tentang relasi internet dengan kehidupan politik demokrasi, itu dicirikan oleh demikian terbuka dan bebasnya ia sebagai sebuah ruang sosial baru, tapi pada sisi yang lain beberapa temuan dan telaah mutakhir yang telah dilacak dalam studi ini memperlihatkan bahwa internet ternyata bisa juga dimanfaatkan sebagai instrumen kontrol sosial dalam apa teknologi kekuasaan beroperasi secara sangat eksesif.
Di lain pihak, pertumbuhan titik akses internet publik dalam bentuk warung internet atau Warnet juga menjadi salah satu fenomen yang dikaji secara kritis dalam studi ini. Kalau sejauh ini mungkin ada kecenderungan Warnet dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wacana tentang internet sebagai pendorong demokratisasi, studi ini mencoba memeriksa Warnet pertama-tama dengan menempatkannya sebagai sebuah lokus tempat aktivitas ekonomi pengetolanya. Dengan demikian, daripada menempatkan Warnet sebagai salah satu indikasi penling dalam upaya pemanfaatan internet untuk perbaikan kualitas demokrasi, studi ini melihatnya hanya sebagai pertemuan temporer antara dua kepentingan yang tidak sejalan: kepentingan produksi ekonomi para pengelola Warnet, dan kepentingan penggunanya unluk mendapatkan atau layanan akses internet berbiaya relatif lebih murah atau sekedar pemenuhan gaya hidupnya.
Dalam konteks yang lebih luas Warnet, dengan demikian, ternyata bukanlah sebuah ruang publik (public sphere) yang bisa menjadi pusat perbincangan politik, seperti konsep ideal yang diajukan oleh Jurgen Habermas dengan mengambil model historis kale dan salon di Eropa abad 17 dan 18. Sebaliknya, Warnet hanyalah sebuah lokasi spasial tempat ruang-ruang privat para pengguna internet berdampingan, dan terkoneksi ke dalam sebuah ruang sosial yang lebih besar di dalam internet. Di samping itu, melalui pelacakan leoritis studi ini juga mencoba memperlihatkan limitasi konseptual yang sering terjadi selama ini dalam kajian-kajian lentang internet sebagai sebuah domain politik: kecenderungan melihat internet sebagai ruang publik dalam pengertian Habermasian tadi. Konklusinya, ilmu sosial membutuhkan sebuah model atau metafor baru yang bisa lebih lepat merepresentasikan realitas-realitas kontradiktif dalam cyberspace."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faris Abdurrahman
"Hubungan Internasional merupakan studi yang mencakup dinamika antarnegara, termasuk area penting keamanan siber di era digital. Serangan siber di Estonia dan Iran telah menyoroti ketidaksiapan global dalam menghadapi ancaman siber, mendorong negara-negara untuk mengambil langkah pengamanan dan terlibat dalam diplomasi digital. Kajian ini mengeksplorasi konteks dan variabel pendorong di balik sekuritisasi ruang siber, evolusi norma siber global, serta dinamika pengamanan ruang siber dalam wujud sekuritisasi yang dilakukan. Literatur mengidentifikasi empat mekanisme sekuritisasi—aktor sekuritisasi, speech act, audiens, dan facilitating conditions, sekaligus empat komponen utama keamanan ruang siber—referent object, emergency situations, existential threat, dan extraordinary measures. Kemajuan pesat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah lanskap keamanan global, yang menuntut kebijakan keamanan siber yang adaptif. Akibatnya, fokus telah bergeser dari hanya melindungi infrastruktur menjadi memahami operasi siber, menempatkan ruang siber sebagai elemen penting dalam strategi keamanan nasional. Pendekatan extraordinary measures seperti multistakeholderisme dan kedaulatan digital menekankan kolaborasi antar pemangku kepentingan dan kontrol negara yang kuat. Eksplorasi strategi keamanan siber mencakup tindakan pencegahan dan mitigasi, potensi jalur kerjasama, dan formulasi kebijakan yang efektif. Kajian ini menekankan kebutuhan pendekatan holistik dan kooperatif terhadap sekuritisasi ruang siber, memberikan wawasan yang dapat diterapkan pada wilayah lain yang menghadapi tantangan serupa dan mewakili jalan yang menjanjikan untuk penelitian di masa depan.

International Relations encompasses the dynamics between nations, including the critical area of cybersecurity in the digital era. Recent cyberattacks on Estonia and Iran have highlighted global unpreparedness in addressing cyber threats, prompting nations to establish control measures and engage in digital diplomacy. This analysis explores the context and driving variables behind the securitization of cyberspace, along with the evolution of global cyber norms and the dynamics of cyber security through the lens of securitization. Literature identifies four mechanisms of securitization—securitizing actors, speech acts, the audience, and facilitating conditions, as well as four main components of cybersecurity—referent objects, emergency situations, and existential threats. The rapid advancement of information and communication technology (ICT) has transformed the global security landscape, necessitating adaptive cybersecurity policies. Consequently, the focus has shifted from safeguarding infrastructure to understanding cyber operations, positioning cyberspace as crucial in national security strategies. Extraordinary measure approaches such as multistakeholderism and digital sovereignty emphasize collaboration among stakeholders and robust state control. The exploration of cybersecurity strategies includes preventive and mitigation actions, potential cooperation avenues, and effective policy formulation. This analysis underscores the need for a holistic and cooperative approach to the securitization of cyberspace, providing insights applicable to other regions facing similar challenges and representing a promising avenue for future research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Rahmah
"Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah memasuki tahap hiperhistori dan revolusi komunikasi telah menghilangkan batasan ruang-waktu yang tetap dalam media. Perubahan ini mengubah dunia secara fundamental dan menciptakan mode masyarakat jejaring serta ekosistem digital bernama cyberspace. Keberadaan cyberspace, disertai kemampuan jejaring memproses data digital secara otonom menjadi tantangan besar bagi konsep properti intelektual. Tak hanya memperparah problem internal properti intelektual dalam mengkonstruksikan keterbatasan material pada objek imaterial, cyberspace telah menghilangkan distingsi antara proses publikasi, distribusi, dan re-distribusi, menjadi satu proses utuh yang bersifat interaktif. Artikel ini bertujuan untuk mengkritik bagaimana klaim dan paradigma yang digagas dalam teori justifikasi properti intelektual, baik secara proprietarian maupun konsekuensialis, tidak relevan dalam perkembangan teknologi informasi komunikasi. Melalui analisa konseptual, refutasi, dan elaborasi kritis, artikel ini menemukan bahwa klaim-klaim konsep properti intelektual sudah tidak relevan dalam konteks masyarakat jejaring. Kendati objek imaterial dan kreasi kultural tetap memiliki peran penting dalam sosial, namun keberadaannya dalam masyarakat jejaring lebih tepat untuk dikaji sebagai relasi dibandingkan entitas eksklusif sebagai properti.

Information and communication technology development has reached hyper history stage, and the communication revolution has surpassed the borders of fixed space-time in the media. This changes the world fundamentally and constitutes a mode of network society as well as the digital ecosystem called cyberspace. The existence of cyberspace, as well as the network’s power to process digital data autonomously, pose a great challenge to the concept of intellectual property. Not only it worsens the existing internal problem of intellectual property in its constructing material scarcity to immaterial objects, but cyberspace has also eradicated the distinction between processes of publication, distribution, and re-distribution, into one single interactive process. This article aims to criticize how intellectual property justification theory claims and paradigms, whether in proprietary view and consequentialist view, is irrelevant to the information and communication technology development. By conceptual analysis, refutation, and critical elaboration, this article exposes that intellectual property justification theory, especially as patent and copyright foundation, is incoherent within its claim in the context of the network society. In spite of the important role that immaterial object and cultural creation operate in society, its existence in the network is more suitable to be comprehended as a relation instead of the exclusive entity as a property.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nyoman Teusthi Eddy
Ende-Flores: Nusa Indah, 1985
895 NYO s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Buick, Joanna
Cambride: Icon Books, 1995
003.5 BUI c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Academy Editions, 1995.
729 ARC
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>