Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Limfoma sinonasal merupakan kelainan yang jarang dijumpai yang mencakup jenis sel NK/T atau sel B. Penelitian2 terdahulu menunjukkan adanya perbedaan angka kejadian limfoma NK/T (LNKT) yang sesuai daerah geografis serta kaitan yang sangat tinggi dengan infeksi virus Epstein Barr. Penelitian yang dilakukan terhadap 4l kasus penyakit limfoproliferatif sinonasal yang tersimpan di arsip Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam kurun waktu 1994-2002 menunjukkan 35 kasus merupakan limfoma sinonasal. Pulasan imunohistokimia membuktikan 20 kasus (57%) sebagai LNKT dan 15 kasus (43%) limfoma sel B jenis sel besar. LNKT menunjukkan laki2 lebih banyak dari wanita (L:W=4:1) serta usia yng lebih muda (median 37 tahun); sedangkan limfoma sel B lebih banyak pada wanita (1:1.5) serta usia yang lebih tua (median 49 tahun). Hasil pemeriksaan genom virus Epstein Barr dengan cara hibridisasi in situ menggunakan pelacak EBER-1 menunjukkan 90% LNKT positif dan negatif pada semua limfoma sel B. Tulisan ini merupakan laporan limfoma sinonasal yang pertama dari Indonesia yang menunjukkan predominasi relatif limfoma sel B dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tidak adanya kaitan dengan virus Epstein Barr pada limfoma sel B juga berbeda dengan penemuan di negara Asia lain (positivitas 25-4l%) . Predominasi limfoma sel B tanpa kaitan dengan virus Epstein Barr mengarah pada kemungkinan adanya faktor etiologik yang spesifik untuk Indonesia. (Med J Indones 2004; 13: 71-6)

Sinonasal lymphoma is a rare disease with NK/T-cell (NKTC) or B-cell immunophenotype. Previous study revealed the geographic difference in frequency of NKTC lymphoma (NKTCL) and almost constant association with Epstein-Barr virus (EBV) infection. Through review of 41 cases with sinonasal lymphoproliferative diseases registered in the Department of Anatomical Pathology, University of Indonesia during the period 1994 to 2002, thirty-five were accepted as sinonasal lymphoma. Immunohistochemistry revealed that 20 cases (57%) were NK/T-cell type and 15 (43%) B-cell type with large cell morphology, i.e.,diffuse large B-cell lymphoma. NKTCL showed a marked male preponderance (M/F= 4:1) and younger onset of disease (median age, 37 years), and B-cell lymphoma showed a relative female preponderance (1:1.5) and older disease onset (median age, 49 years). In situ hybridization using EBER-1 probe revealed that 90 % of NKTCL were EBV-positive, but none of B-cell lymphoma were EBV-positive. This is the first report on sinonasal lymphoma in Indonesia showing relative predominance of B-cell lymphoma compared to other Asian countries and Peru (14-24 %). Lack of EBV-association in Indonesian sinonasal B-cell lymphoma showed a marked contrast to that in other Asian countries (EBV positive rate, 25-41 %). Predominance of sinonasal B-cell lymphoma without EBV genome might suggest presence of specific etiologic factors in Indonesia. (Med J Indones 2004; 13: 71-6)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (2) April June 2004: 71-76, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-71
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Sulaeman
"Latar belakang: Kanker nasofaring merupakan keganasan yang unik dimana angka kejadiannya termasuk jarang disebagian besar negara, namun endemis di wilayah tiongkok selatan, dan asia tenggara termasuk Indonesia. Histopatologi kanker nasofaring di daerah endemik biasanya merupakan karsinoma jenis tidak berkeratin tidak berdiferensiasi dan selalu terkait dengan infeksi EBV. Berbagai jenis protein virus diekspresikan pada infeksi laten EBV termasuk EBNA1 dan LMP1 mungkin berkontribusi dalam perkembangan kanker. Oleh karenanya, kami ingin menginvestigasi peran onkoprotein virus tersebut terhadap agresivitas dan respon terapi kanker nasofaring.
Metode: Spesimen biopsi jaringan dan darah yang diambil dari pasien kanker nasofaring diukur kadar EBNA1 dan LMP1 dengan menggunakan pemeriksaan ELISA kit masing-masing dari DRG® dan MyBioSource® kemudian dikorelasikan dengan voume tumor dan KGB terlibat yang dinilai berdasarkan delineasi berbasis pencitraan 3D. Pasien kemudian menjalani terapi standar, dan dilakukan penilaian 3 bulan paska terapi. Respon terapi akan dinilai hubungannya dengan kadar EBNA1 dan LMP1.
Hasil: 23 subjek dimasukan kedalam studi, 69,5% berada pada stadium IVA keatas, dengan mayoritas laki-laki sebanyak 61%. Median volume tumor primer dan volume KGB masing masing 41,4cc (13,2-128,8) dan 40,1cc (1,2-633,5). Uji korelasi Spearman mendapatkan hubungan bermakna (p=0,032) antara kadar LMP1 jaringan dan volume tumor sebelum terapi (r=0,448). Tren korelasi yang moderat terlihat pada kadar EBNA1 di jaringan dengan di darah, kadar EBNA1 di jaringan dengan volume tumor primer, kadar EBNA1 di darah dengan volume KGB, serta Kadar LMP1 baik di jaringan maupun di darah dengan volume KGB, meskipun secara keseluruhan tidak bermakna secara statistik. Sementara itu, pengaruh kadar LMP1 dan EBNA1 terhadap respon terapi belum dapat disimpulkan.
Kesimpulan: Semakin tinggi kadar LMP1 di jaringan tumor akan diikuti oleh semakin besarnya volume tumor primer nasofaring. Korelasi moderat tidak signifikan pada variabel lain mungkin diakibatkan oleh jumlah sampel yang kurang. Penambahan besar sampel diperlukan untuk konfirmasi signifikansi dari korelasi tersebut.

Background: Nasopharyngeal cancer is an unique malignancy where the incidence is rare in most countries but endemic in Southern China and Southeast Asia, including Indonesia. The histopathology of nasopharyngeal cancer in endemic areas is usually an undifferentiated nonkeratinizing type carcinoma and is always associated with EBV infection. Various viral proteins are expressed in latent EBV infection, including EBNA1 and LMP1. These viral oncoproteins may contribute to cancer development, but they are not always be defined. Therefore, we want to investigate the role of these viral oncoproteins when it comes to the aggressivity and treatment response of nasopharyngeal cancer.
Methods: Tissue biopsy and blood specimens taken from nasopharyngeal cancer patients were measured for EBNA1 and LMP1 using the ELISA kit examination from DRG® and MyBioSource® respectively, then correlated with primary tumor and nodal volume, which was calculated by delineation based on 3D imaging. Patients then underwent standard therapy, and was assessed 3 months post-therapy. Response to therapy will be assessed in relation to levels of EBNA1 and LMP1.
Results: 23 subjects were included in the study, 69.5% was at stage IVA and above with the majority being males (61%). The median primary tumor and lymph node volume were 41.4cc (13.2-128.8) and 40.1cc(1,2-633.5), respectively. Spearman correlation test found a significant relationship (p=0.032) between tissue LMP1 levels and tumor volume before therapy (r=0.448). A moderate correlation trend was seen in EBNA1 levels in tissue with blood, EBNA1 levels in tissue with primary tumor volume, EBNA1 levels in blood with lymph node volume, and LMP1 levels both in tissue and in blood with lymph node volume, although overall it was not statistically significant. Meanwhile, the effect of LMP1 and EBNA1 levels on the response to therapy cannot be concluded.
Conclusion: The higher the level of LMP1 in the tumor tissue, the larger the volume of primary nasopharyngeal tumor will be. Moderately insignificant correlation on the other variables may be caused by a small number of samples. The addition of the sample size is needed to confirm the significance of the correlation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rahmawati
"Lesi fokal otak merupakan komplikasi neurologi pada pasien HIV yang ditandai oleh lesi desak ruang (Space Occupying Lesion) yang membutuhkan penanganan cepat dan tepat. Di beberapa negara, lesi ini dapat disebabkan oleh toksoplasma ensefalitis dan limfoma otak primer. Lesi yang disebabkan oleh toksoplasmosis dan limfoma otak primer yang disebabkan oleh Epstein Barr virus sulit untuk dibedakan menggunakan CT scan ataupun MRI. Pemeriksaan gold standar untuk membedakan keduanya yaitu dengan biopsi otak, namun hal ini merupakan tindakan invasif dan dapat menimbulkan komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh uji deteksi untuk diagnosis cepat infeksi Toxoplasma gondii dan Epstein Barr virus. Desain yang dipakai pada penelitian adalah studi eksperimental laboratorium. Uji deteksi yang dikembangkan adalah dupleks real-time PCR yang dapat mendeteksi T.gondii dan EBV atau kombinasi keduanya dalam satu reaksi pada sampel pasien HIV dengan gejala klinis tersangka infeksi otak. Tahap pertama dilakukan optimasi dupleks real-time PCR meliputi suhu annealing, konsentrasi primer dan probe, uji volume elusi dan volume cetakan. Penentuan ambang batas deteksi dilakukan untuk mengukur minimal T.gondii dan EBV yang dapat dideteksi. Reaksi silang untuk mengetahui spesifisitas teknik dilakukan menggunakan bakteri dan virus sebagai berikut Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium tuberculosis H37Rv, Candida spp, Cytomegalo virus, Herpes zoster virus, dan Varicella zoster virus. Dupleks real-time PCR yang telah optimal diaplikasi pada sampel pasien. Sampel yang digunakan adalah darah dan cairan serebrospinal dari pasien HIV dengan gejala klinis infeksi otak yang dirawat di bagian neurologi RSCM. Hasil optimasi dupleks real-time PCR diperoleh suhu annealing untuk T.gondii dan EBV 58°C, konsentrasi primer forward dan reverse untuk T.gondii dan EBV adalah 0,2 µM, konsentrasi probe T.gondii 0,4µM, konsentrasi probe EBV 0,2 µM. Deteksi ambang batas minimal DNA untuk T.gondii 5,68 copy /ml, sedangkan EBV 1,31 copy/ml. Uji yang dikembangkan pada penelitian ini termasuk uji yang sensitif dibandingkan hasil penelitian lain. Uji reaksi silang primer dan probe dupleks real-time PCR terhadap beberapa bakteri dan virus lain, menunjukkan tidak bereaksi silang dengan primer dan probe yang digunakan untuk mendeteksi T.gondii dan EBV. Hasil pemeriksaan dupleks real-time PCR pada sampel darah diperoleh 16% positif T.gondii, 40% positif Epstein Barr virus, sebanyak 16% positif Epstein Barr virus dan T.gondii dan pada sampel cairan serebrospinal diperoleh hasil 20% positif T.gondii, sebanyak 28% positif Epstein Barr virus dan 4% positif terhadap Epstein Barr Virus dan T.gondii.

Focal brain lesion is neurology complication in HIV that marked with Space Occupying Lesion (SOL), that need rapid and effective handling. In most country, this lesion could be cause by encephalitis toxoplasma and Primary Central Nervous System Lymphoma that related to Epstein Barr virus infection that was difficult to distinguished using CT scan or MRI. Gold standard to distinguished was brain biopsy, but this examination was invasive procedure that cause complication. Therefore, we need a reliable and rapid examination to distinguished it. This study aimed to get detection for rapid diagnosis of T.gondii and EBV infection. This study was an experimental laboratory. First step was optimation of dupleks real-time PCR include annealing temperature, primer andprobe consentration, elution volume and template volume. Minimal detection of DNA to measured minimal T.gondii and EBV that could be detected. Cross reaction to know technique spesivisity using bacterial and virus Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium tuberculosis H37Rv, Candida spp, Cytomegalo virus, Herpes zoster virus, and Varicella zoster virus. Dupleks real-time PCR has been optimally applied to patient. The sample from blood and cerebrospinal fluid of HIV patients who admitted in the neurology department of RSCM then examined to duplex real-time PCR to detect T.gondii and EBV. The optimation of duplex real-time PCR, the annealing temperature for T.gondii and EBV were 58°C, consentration of primer forward and reverse for T.gondii and EBV were 0,2 µM, consentration of probe for T.gondii was 0,4µM and EBV was 0,2µM.. Minimal DNA detection for T.gondii was 5,68 copy/ml and EBV was 1,31 copy /ml. This study was sensitive like the others. Spesivisity technique of real-time PCR, there was not cross reaction between another bacteria and virus that used as primer and probe for T.gondii and EBV. From the results of the duplex real-time PCR on blood samples, 16 % was positive T.gondii, 40% Epstein Barr virus, and 16% were positive Epstein Barr virus and T.gondii and from cerebrospinal fluid samples 20% was positive T.gondii, 28% was positive Epstein Barr virus and 4% were positive for Epstein Barr Virus and T.gondii."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
"Latar belakang: Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat menjadi infeksi oportunistik pada anak dengan HIV. Gejala infeksi EBV sulit dibedakan dengan infeksi HIV dan bersifat laten. Infeksi EBV laten dapat reaktivasi mulai dari gangguan limfoproliferatif hingga terjadinya keganasan. Di Indonesia belum ada data mengenai infeksi EBV pada anak dengan HIV.
Tujuan: Mengetahui proporsi, karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Penelitian potong lintang untuk melihat karakteristik infeksi EBV pada anak dengan HIV dan faktor-faktor yang berhubungan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode bulan September 2020 hingga Februari 2021. Sampel darah diambil untuk dilakukan pemeriksaan PCR EBV kualitatif (whole blood), darah perifer lengkap, kadar CD4 dan viral load HIV.
Hasil: Total subyek 83 anak dengan HIV. Proporsi subyek terinfeksi EBV sebesar 28,9%, dengan rerata usia 9,58 tahun. Limfadenopati merupakan gejala terbanyak, meskipun tidak dapat dibedakan dengan infeksi lain. Dua anak mengalami keganasan akibat EBV yaitu Limfoma Non Hodgkin dan leiomiosarkoma. Sebanyak 75% subyek terinfeksi EBV yang berusia di bawah 12 tahun mengalami anemia (rerata Hb 10,68 ± 2,86 g/dL), dapat disebabkan infeksi EBV atau penyebab lain. Hasil analisis bivariat menunjukkan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada subyek (OR 2,69 (1,015-7,141); P = 0,043).
Simpulan: Proporsi anak dengan HIV yang terinfeksi EBV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 28,9%, dengan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV.

Background: Epstein-Barr virus (EBV) infection can be an opportunistic infection in HIV-infected children. EBV infection is difficult to be differentiated from HIV infection, and it can be latent. Latent EBV infection can reactivate into lymphoproliferative disorders and malignancy. There is no data on EBV infection in HIV-infected children in Indonesia.
Objective: To identify the proportion, manifestations and factors associated with EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta.
Methods: Cross-sectional study to examine the manifestations of EBV infection in HIV-infected children and it’s associated factors in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta, during September 2020 to February 2021. Blood samples were taken to examine qualitative EBV PCR (whole blood), complete blood count, CD4 levels and HIV viral load.
Results: Total subjects were 83 HIV-infected children. The proportion of children infected with EBV was 28.9%, with mean age 9.58 years. Lymphadenopathy was the most common symptoms, although it was difficult to differentiate from other infections. Two children have malignancy due to EBV, namely Non-Hodgkin's lymphoma and leiomyosarcoma. Total 75% of EBV-infected subjects under 12 years of age were anemic (mean Hb 10.68 ± 2.86 g/dL), could be due to EBV infection or other causes. Bivariate analysis showed HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with EBV infection in subjects (OR 2.69 (1.015-7.141); P = 0.043).
Conclusion: The proportion of EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta is 28.9%, with HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with the EBV infection in HIV-infected children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Handayani
"ABSTRAK
Latar Belakang : Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan di Indonesia dengan insiden 6,2/100 000 penduduk. Pemeriksaan serologik imunoglobulin A (IgA) terhadap viral capsid antigen (IgA-VCA) merupakan petanda tumor yang digunakan sebagai standar serodiagnostik karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap KNF. Titer antibodi IgA terhadap Epstein-Barr Virus (EBV) meningkat lebih dulu sebelum tampak tumor, dan titer pada usia ≤ 30 tahun lebih rendah daripada usia > 30 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ekspresi IgA pada jaringan biopsi KNF tidak berkeratin, tidak berdiferensiasi (WHO tipe 3) yang terinfeksi EBV pada kelompok usia ≤ 30 tahun dan usia > 30 tahun.
Bahan dan Metode : Studi potong lintang terhadap jaringan biopsi pasien KNF WHO tipe 3 yang terinfeksi EBV yang ditandai dengan positifitas EBER pada 13 pasien usia ≤ 30 tahun dan 20 pasien usia > 30 tahun, kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap IgA.
Hasil dan pembahasan : Positifitas EBER ditemukan pada seluruh kasus KNF WHO tipe 3. IgA terekspresi pada epitel permukaan jaringan tumor dan terdapat positifitas ekspresi IgA sel plasma yang berbeda-beda di stroma sekitar jaringan tumor, dengan rerata pada kelompok usia ≤ 30 tahun lebih rendah dari kelompok usia > 30 tahun. Hasil uji t tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara ekspresi IgA sel plasma pada KNF WHO tipe 3 pada kelompok usia ≤ 30 tahun dan > 30 tahun dengan nilai p=0,025.
Kesimpulan: Ekspresi IgA sel plasma disekitar jaringan tumor pada jaringan KNF WHO tipe 3 dipengaruhi oleh kelompok usia.

ABSTRACT
Background : Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is one of the most frequent malignant tumors in Indonesia, with incidence rate 6.2 / 100 000. The IgA-VCA serologic examination is considered as a useful marker for early detection of NPC because its high sensitivity and specificity to NPC. IgA antibody titer to Epstein-Barr Virus (EBV) increased before the tumor arise, and it lower in ≤ 30 years old patients compare to > 30 years old patients. The aim of this study is to evaluated the expression of IgA in biopsy specimen of EBV infected undifferentiated NPC among both ≤ 30 and > 30 years old patients.
Materials and methods : A cross-sectional retrospective study was performed in 13 young and 20 old groups of age of undifferentiated NPC. The EBER positive undifferentiated NPC was stained with IgA by immunohistochemistry, and then analized it between the two of age groups.
Results : EBER positivity was found in all undifferentiated NPC. IgA was expressed in the normal surface epithelial submucous plasma cells and stromal plasma cells surounding the tumor mass in all cases of undifferentiated NPC with differented positivity. Statistical analysis with unpaired t test showed that IgA expression is significantly lower in ≤ 30 years old patients than > 30 years old patients with p value 0,025.
Conclusion : IgA is expressed in plasma cell cytoplasm in the stromal site of undifferentiated NPC and influenced by age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Murni Asih
"Latar Belakang: Virus Epstein~Barr (EBV) merupakan virus dsDNA dan termasnk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti karsinoma nasofaring (KNF). Pada penderita KNF, gen EBV yang diekspresikan adalah gen lain, yaitu EBERs, EBNAI, LMP 1, LMPZA, dan LMPZB. Dari kesemua gen tersebuf., LMPI dianggap yang berperan penting dalam proses onkogenesis dan transformasi limfosit B oleh EBV. Dan beberapa Studi epidemiologi, ditemukan adanya Varian khusus pada gen LMP] berupa deiesi 30 pb pada bagian C-terminal. Di Indonesia, hingga saat ini belum diketahui apakah ditemukan delesi 30 pb gen LMPI pada penderita KNF dan bila ditemukan, apakah delesi tersebut berhubungan dengan patogenesis KNF.
Tujuan: Mengetahui apakah ditemukan delesi 30 pb gen LMP] EBV pada penderita KNF di Indonesia, dan bila ditemukan berapa frekuensi delesi 30 pb gen LMPI EBV pada penderita KNF di Indonesia, Serta mengetahui hubungan antara delesi tersebut dengan status patologi KNF.
Metode: Identifikasi delesi 30 pb gen LMPI Vi1'l.lS Epstein-Barr dilakukan dengan metode nested PCR dan hasil PCR divisualisasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 2%. Hasil amplifikasi bempa pita DNA berukuran 162 pb untuk gen LMPI yang tidak mengalarni delesi 30 pb, sedangkan pita DNA berukuran 132 pb untuk gen LMP! yang mengalami delesi 30 pb.
Hasil: Dari 100 sampel penderita KNF yang diidentifikasi, 29 sampel mengalami delesi 30 pb, 71 sampel tidak mengalami delesi 30 pb, dan 21 sampel mengalami coexislence varian.
Kesimpulan: Di Jakarta, varian EBV berupa delesi 30 pb gen LMPI ditemukan dalam frekuensi yang rendah (24%; 29/ 121) bila dibandingkan varian yang tidak mengalami delesi 30 pb (76%; 92/121). Pada penelitian ini juga ditemukan adanya coexisrence Varian gen LMPL Berdasarkan uji Fisl1er's Exact, didapat bahwa nilai p > 0,05, berarti tidak ada hubungan bermakna antara delesi 30 pb gen LMPI dengan status patologi KINF.

Background: Epstein-Barr virus (EBV) is a dsDNA virus, member of Herpes (Herpesviridae) family. EBV infection may be associated with several diseases, one of them is nasopharyngeal carcinoma (NPC). NPC patients expressed EBV latent gene, they are EBERS, EBNA1, LMPI, LMPZA, and LMPZB. LMPI, in particular play important roles in epithelial oncogenesis and B lymphocyte transformation. Several epidemiological studies found specific variant of LMPI gene detectable as 30-bp deletion of C-tenninal region of LMP] gene. There is not any report of 30-bp LMP] gene on NPC patients so far and it is still unclear whether the deletion is associated with NPC pathogenesis.
Purpose: (1) To understand the existence of the deletion of 30-bp LMP1 gene in Indonesia NPC patients. (2) To determine the frequency of 30-bp deletion of LMP1 gene and its association with pathological status.
Method: Identification of 30-bp deletion in LMPI gene was done by nested PCR method. The PCR result was investigated by means of electrophoresis in 2% agarose gel. The results were determined as 162 bp of DNA band of LMPI gene (without 30-bp deletion) and 132 bp of DNA band of LMP1 gene (with 30-bp deletion).
Results: Among 100 identified samples, 29 samples found to have 30-bp deletion, 71 samples doesn?t have 30-bp deletion and 21 samples carry coexistence variants.
Conclusion: In Indonesia, especially in Jakarta, EBV variant of 30-bp deletion of LMP1 gene was found in low frequency (21-l»%; 29/ 121) in comparison with variant without deletion (76%; 92/121). There are variant of LMPI gene mixtures (coexistence with and without deletion). Analysis of data using Fisher°s Exact test (p>0,05) showed that there is not significant relationship between 30~bp deletion of LMPI gene and NPC pathological status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32888
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
"Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke empat dari seluruh keganasan pada tubuh manusia setelah tumor ganas serviks, tumor payudara dan tumor kulit.
Kemajuan ilnmu pengetahuan dan teknologi dalam menegakkan diagnosis keganasan pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya adalah dengan pemeriksaan histopatologik atau sitologik. Pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan radio diagnostik seperti Tomografi komputer (CT Scan), Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), pemeriksaan serologi, imunohistokimia dan patologi molekuler.
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang melapisi daerah nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama-tama diperkenalkan oleh Regaud dan Schmineke pada tahun 1921.
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insidens penyakit 1 per 100.000 penduduk. Penyakit ini lebih sating terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insidens antara 10 - 53 kasus per 100.000 penduduk. Di daerah India Timur Laut, insidens pada daerah endemis antara 25 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk.
Penelitian terhadap penyakit karsinoma nasofaring ini mendapat banyak perhatian. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi yang cukup kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetika, virus (Epstein-Barr) dan faktor lingkungan (nitrosamin di dalam ikan asin). Pada tahun 1985 Ho menyatakan sebuah hipotesis bahwa sebagai etiologi dari karsinoma nasofaring adalah infeksi dari virus Epstein-Barr.
Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia. Virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebab dari infeksi mononukieosis. Karsinoma nasofaring adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan bersifat asimptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan virus persisten dimana virus memasuki periode laten di dalam Iimfosit B. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik, yaitu terjadi replikasi DNA EBV, dilanjutkan dengan pembentukan virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik . EBV mempunyai potensi onkogenik untuk mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel gangs seperti KNF, retikulosis polimorfik dan limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr memegang peranan penting dalam terjadinya keganasan, tetapi virus ini bukan satu-satunya penyebab dari timbulnya karsinoma nasofaring. Transmisi dari virus Epstein-Barr membutuhkan kontak yang erat dengan saliva sesenrang yang terinfeksi dengan virus ini. Banyak orang sehat dapat membawa dan menyebarkan virus secara intermiten di dalam kehidupannya, sehingga transmisi virus ini pada sebagian manusia tidak mungkin untuk dicegah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>