Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140592 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Muhammad Iqbal
"Salah satu elemen penting dari social capital adalah trust. Elemen ini mendasari semua elemen lainnya seperti jaringan jaringan sosial, seperangkat nilai-nilai atau norma dan sinergisnya struktur kekuasaan dengan civil society. Dikatakan mendasar karena tujuan dari keseluruhan elemen social capital itu adalah terciptanya pertumbuhan masyarakat demokratis yang sehat dalam arti positif bagi terciptanya ruang publik dan terpenuhinya hak-hak dan akses keterlibatan publik (public engagement) dalam kehidupan demokrasi. Meskipun konsep social capital awalnya adalah berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan dalam ekonomi, namun dalam perjalanannya (historical situatedness) tak bisa dilepaskan dari tarik-menarik dan sating mempengaruhi (interplay) diantara agenagen ekonomi-politik. Oleh karenanya, pertumbuhan demokrasi acapkali amat ditentukan pula oleh dinamika politik.
Tesis ini berangkat dari pertanyaan pokok yang intinya mempertanyakan bagaimana tarik-menarik dan saling mempengaruhi (interplay) di antara kepentingan negara (struktur kekuasaan), pasar, civil society dan media dalam proses demokratisasi legislasi RUU kebebasan memperoleh inforrnasi. Penulis melihat adanya pertarungan berbagai macam kepentingan dalam realitas empiris proses legislasi kebijakan RUU kebebasan informasi di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh dinamika interaksi keempat komponen tersebut. Dalam konsolidasi demokrasi, khususnya di era transisi demokrasi sangat dibutuhkan sumber modal sosial (social capital) yang positif dan kuat. Hal ini ditandai dengan adanya trust, sinergisnya jaringan-jaringan kekuatan masyarakat, dan partisipasi aktif publik dalam kehidupan sosial ekonomi politik dan aksesibilitas informasiny. Metode yang digunakan untuk menggambarkan secara rinci dan spesifik ruang lingkup yang dibahas adalah metode kualitatif Sedangkan pendekatan yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam studi ini adalah pendekatan ekonomi-politik kritis.
Pendekatan ini bermaksud untuk menguji relasi-relasi sosial yang mempengaruhi aspek ekonomi, politik, sosial atau kultural yang berhubungan dengan nilai moral secara filosofis (Masco, 1996:28). Selain itu, implikasi bagi kepentingan publik hanya dapat dipahami secara lebih komprehensif jika digunakan pendekatan ekonomi-politik kritis karena era transisi demokrasi ditandai oleh tarik-ulur dan benturan kepentingan antara variabel-variabel ekonomi, sosial dan politik. Proses legislasi RUU Kebebasan memperoleh informasi publik sebagai fokus kajian dalam penelitian ini mengingat setelah "revolusi Mei 1998" urgensinya sudah digaungkan namun hingga kini masih mengalami interplay dan benturan kepentingan. Kenyataan demikian ini jelas menunjukkan adanya masalah-masalah dalam trust, jaringan-jaringan sosial, interaksi negara-pasar-civil society dan media.Kenyataan lain juga menunjukkan adanya modal sosial negatif dan koritra-kondusif terhadap proses demokratisasi.
Pembahasan tentang rancangan undang-undang (RW) Kebebasan memperoleh informasi digunakan untuk melihat lebih tajam bagaimana realitas empiris yang menyangkut kebebasan memperoleh informasi dan hak publik untuk tabu dalam pembuatan kebijakan oleh negara dalam interaksinya yang dinamis antara negara dan pasar di sate pihak dan civil societylpublik di lain pihak dalam konteks reformasi. Sebagai sebuah produk hukum, RUU kebebasan infonnasi ini ternyata masih mengundang dan mengandung kontroversi yang menyisakan saling ketidakpercayaan di antara agen-agen perubahan sosial, ekonomi dan politik karena bersinggungan langsung dengan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14085
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Poltak Partogi, 1963-
"ABSTRAK
Konflik Suriah terus mengalami eskalasi dan memasuki fase baru menuju perang besar pasca-serangan senjata kimia Pemerintah Assad dan serangan penghukuman AS ke pangkalan udara militer Suriah. Ancaman Rusia dan Iran yang akan membalas secara serius serangan militer AS ke Suriah menimbulkan kekhawatiran dunia akan
berakhirnya solusi politik melalui perundingan damai di Jenewa, Swiss, dan dimulainya perang besar berskala global. Sebab, aksi militer saling berbalas bisa terjadi di mana saja, sehingga konflik melebar. Perubahan sikap Presiden Trump dan implikasi serangan rudal AS dikaji dalam tulisan ini dengan mengungkap pemikiran Clausewitz tentang perang. Tulisan ini juga melihat kesulitan Indonesia dalam menyikapi perubahan lingkungan strategis terkait kepentingan nasional"
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2017
340 ISH 9:8 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Afrizal
"Paska amandemen konstitusi Indonesia, DPR periode 1999-2004 memiliki otoritas yang besar dalam proses penyusunan UU. Namun, UU yang dihasilkan DPR masih saja memunculkan kontroversi, ketidakpuasan, menuai protes dan berbagai bentuk resistensi lainnya dari masyarakat, seperti yang diperlihatkan dalam kasus UU Yayasan dan UU Penyiaran. UU Yayasan memunculkan ketidakpuasan di kalangan komunitas yang selama ini aktif dalam pengelolaan berbagai macam kegiatan dengan menggunakan instrumen organisasi berbentuk yayasan, seperti LSM, yayasan-yayasan pendidikan, dan sebagainya. Selain itu UU yang baru saja disahkan tersebut saat ini sedang dalam proses revisi. UU Penyiaran juga menuai ketidakpuasan, terutama dari para pengelola televisi swasta. Saat ini mereka sedang melakukan judicial review atas UU tersebut.
Ketika penyusunan sebuah UU, partisipasi publik merupakan aspek penting dalam proses penyusunan UU. Pembahasan tentang partisipasi publik berkaitan erat dengan relasi masyarakat dengan negara (sate-society relation) dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara untuk mengatur warganya. Ada dua cara pandang untuk menjelaskan tentang partisipasi publik. Pertama, karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada negara, mnka pembentukan kebijakan publik sepenuhnya diserahkan kepada negara. Peran atau partisipasi masyarakat hanya dibutuhkan pada saat memilih orang-orang yang akan menduduki berbagai jabatan di lembaga negara, misalnya melalui pemilihan umum. Kedua, sekalipun telah memberikan mandatnya kepada negara, masyarakat tetap memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara. Peran masyarakat, secara urnum, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, negara menjamin tersedianya ruang-ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, negara bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh proses penyusunan kebijakan.
Dalam konteks penyusunan UU di DPR, ada dua hal yang akan menentukan hasil akhir dari RUU yang sedang dibahas, yaitu artikulasi berbagai kepentingan oleh DPR dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU tersebut. DPR diberikan ruang-ruang untuk mengartikulasikan berbagai kepentingani itu. Bentuknya berupa hak yang diberikan kepada anggota DPR dalam berbagai rapat pembahasan RUU, seperti hak ikut serta, hak berbicara, dan hak dalam pengambilan keputusan. Di luar itu, DPR juga dapat membentuk berbagai ruang artikulasi informal, seperti lobi, yang keberadaannya tergantung pada kreatifitas mereka untuk membentuknya.
Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan UU melalui berbagai ruang partisipasi yang tersedia. Dalam proses formal penyusunan UU, ruang partisipasi yang tersedia adalah Rapat Dengar Pendapat Umum dan sosialisasi RUU. Sementara itu, masyarakat memiliki kesempatan untuk membentuk berbagai ruang partisipasi informal, tergantung pada kemampuan mereka untuk melakukannya.
Mengacu pada pembahasan RUU Yayasan dan RUU Penyiaran, DPR belum optimal menggunakan ruang-ruang artikulasi yang tersedia. Rendahnya tingkat kehadiran dan keaktifan dalam Rapat Paripurna, Rapat Pansus, dan Raker, adalah indikator tidak digunakannya secara optimal ruang-ruang artikulasi yang tersedia. DPR juga tidak memiliki kreatifitas untuk membentuk ruang-ruang artikulasi informal. Dalam tataran informal ini, hanya lobi yang dijadikan sebagai ruang artikulasi andalan. Penggunaan ruang-ruang artikulasi yang tidak optimal ini tidak terlepas dari berbagai persoalan internal maupun eksternal yang dihadapi DPR, seperti jumlah anggota Pansus yang terlalu banyak dan bidang kerjanya yang terlalu luas, ketiadaan sanksi bagi anggota DPR yang tidak hadir dalam berbagai rapat pembahasan RUU, dukungan staf DPR yang tidak memadai, dominasi fraksi dalam setiap rapat pembahasan RUU, dan sebagainya.
Kecuali dalam kasus RUU Penyiaran, masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan ruang-ruang partisipasi yang tersedia. Masyarakat tidak memiliki inisiatif untuk memanfaatkan ruang partispasi yang ada. Dan tidak kreatif untuk menciptakan berbagai bentuk ruang partisipasi informal. Pengetahuan yang tidak memadai tentang mekanisme penyusunan UU di DPR dan dinamika yang mengiringinya, penguasaan yang lemah terhadap substansi RUU dan bentuk-bentuk lobi, sedikitnya dana yang tersedia, selain juga ruang partisipasi di DPR yang sempit, adalah beberapa hal yang sering menghambat masyarakat untuk menggunakan ruang-ruang partisipasi secara optimal.
Sinergi dalam penggunaan ruang-ruang di atas antara DPR dan masyarakat juga tidak terjadi, kecuali dalam kasus RUU Penyiaran. Kesediaan untuk bermitra di antara mereka adalah hambatan paling besar dalam membangun sinergi ini.
Kondisi di atas tentu saja berdampak pada UU yang dihasilkan DPR. Penggunaan ruang artikulasi yang rendah menyebabkan pembahasan UU menjadi tidak matang, terbukti dengan direvisinya UU Yayasan, sekalipun UU tersebut tetap sah secara formal prosedural. Sedangkan tidak optimalnya penggunaan ruang partisipasi berakibat pada lemahnya legitimasi UU yang dihasilkan DPR yang seringkali berujung pada ketidakpuasan atau penolakan masyarakat terhadap UU tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Adhrianti
"ABSTRAK
Teori groupthink memberikan perspektif menarik untuk melihat bagaimana cara berpikir suatu kelompok terikat pada kohesivitas yang tinggi terhadap kelompoknya dan mereka berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai kebulatan suara sehingga mengesampingkan motivasi untuk berpikir untuk menghasilkan alternatif keputusan realistis. Pada perkembangannya, teori groupthink umumnya menjadi komoditas barat dengan studi pada kelompok politik di lingkup eksekutif pemerintahan yang bersifat homogen dan lebih tertutup, sehingga menarik untuk melihat fenomena groupthink dalam konteks komunikasi kelompok politik di lingkup legislatif dalam parlemen di negara transisi demokrasi seperti Indonesia yang anggotanya berlatar heterogen dari multiparpol dan lebih terbuka, namun sering menghasilkan keputusan yang kontroversial. Penelitian ini menyoroti adanya indikasi groupthink pada pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik pada RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Hasil keputusan dianggap gagal dari perspektif masyarakat sipil karena menghasilkan pasal baru 14,15,16 sebagai hasil tawar menawar kepentingan (trade-off) antara eksekutif dan legislatif tentang masuknya BUMN, BUMD, Parpol dan LSM sebagai badan publik. Ditambah lagi dengan faktor pembahasan yang memakan waktu paling lama sementara tuntutan penyelesaian harus cepat, dan dampak dari implementasi pasal tersebut masih belum dapat dikatakan baik karena kasus sengketa badan publik masih tinggi, sanksi hukum tergolong rendah, serta belum tercapai angka persentase 100% badan publik yang memenuhi kewajiban memiliki Pejabat Pembuat Informasi dan Dokumentasi (PPID) dilingkup organisasinya. Sebagai penelitian kualitatif paradigma postpostivis yang menggunakan metode studi kasus instrumental dengan objek penelitian pada kelompok anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KIP Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009, hasil penelitian ini menujukkan bahwa groupthink dapat terjadi di lingkup legislatif DPR RI karena adanya pertarungan kepentingan dengan kelompok eksekutif, tekanan waktu dan kelelahan yang kemudian memaksa kelompok legislatif menjadi kohesif dan menghasilkan keputusan yang tidak dapat dikatakan baik. Terlihat kondisi sebagai upaya meminimalisasi groupthink melalui peran pimpinan yang lebih akomodatif, adanya proses hearing, serta adanya peran devil?s advocate, namun ternyata pada akhirnya upaya tersebut tidak membawa hasil yang signifikan sehingga groupthink tetap terjadi. Secara teoritis, penelitian ini memperkaya perspektif teori groupthink Irving Janis (1972) yang tidak menyebutkan bahwa sebenarnya groupthink juga bisa terjadi pada kelompok yang awalnya heterogen, lebih terbuka, memiliki kekuatan relatif setara namum dikelilingi kepentingan-kepentingan lain diluar kelompok, yang menekan terhadap proses penyelesaian tugas melalui upaya kompromi.

ABSTRACT
Groupthink theory gives us a very interesting perspective to see a thinking process of a highly cohessive small group in a bigger group and how they put the best effort to reach an agreement while ignoring motivation on creating other realistic alternative decision. Groupthink is very common on the west, with studies on political groups in government executives body with homogen type of members and relatively more introvert, so making this even more interesting to be researched in group communication context in the legislatives from a democratic transitional country such as Indonesia. This legislatives consists of heterogen background members came from multi different political party and more extrovert but in reality so often in meaking controversial decisions. This research focused on groupthink indicators in decision making of Public Body definition from constitution draft of Public Information Opennes. From the perspective of civil society the decission taken considered fail because verse number 14,15,16 are bargain result between executives and legislatives on matter of BUMN, BUMD, political party also NGO as public body. More further, this process took a very long time in process where the demand of finishing stage is so short, also the impact of these verses is not as expected seen on numbers of disputes of information petition is so high, the sanctions is so light and there are so many public body has not appointed Information and Documentation Manager Officer (PPID). As a qualitative with pospositivist paradigm this research used case study method instrument with members of Working Committee of constitution draft of Public Information Opennes Law in 1st Commision of House of Representatives of Republic of Indonesia periode 2004-2009 as the research object. The result of this research shows that groupthink could be happen inlegislatives because there are so many conflict of interest with the executives, time pressuress, and fatigue. This condition forces legislatives became so cohesive and starts making bad decisions. These facts shown in order to minimize groupthink through the leader?s role to be come more accommodative, hearing process, and also the role of devil?s advocate, but still in the end these groupthink prevention process didn?t bring any adequate results. Groupthink still took place. Theoritically, this research hoped to enrich perspectives of groupthink theory by Irving Janis (1972). This theory did not mentioned the fact that groupthink also can happen on a heterogen group, more open, posses the same power among the members but yet surrounded by other interests from outer group and push the working process through compromises."
Depok: 2015
D2102
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R. Muhammad Mihradi
Bogor: Ghalia Indonesia, 2011
323.445 MUH k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2007
R 658.306 URA
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
David Welkinson
"Skripsi ini membahas upaya implementasi Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik di Badan Publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran humas Badan Publik dalam upaya implementasi Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Peneliti melakukan penelitian pada Humas Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis data deskriptif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan peran humas DPR-RI dalam upaya mencapai implementasi Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Humas DPR sudah melakukan peran dengan baik, yaitu sebagai Manajer Humas dalam upaya mencapai implementasi Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Hasil penelitian ini menyarankan pentingnya keterlibatan humas dalam upaya mencapai implementasi Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik di Badan Publik.

This thesis discuss about effort implementation of legislation number 14, 2008 about disclosure of public information in Public Institutions. Purpose of this research is to know the role of public relations in an effort implementation of legislation number 14, of 2008 about disclosure of public information in Public Institutions.
Researcher conducted a research in Public Institution of Representatives Public Agency of Indonesia (DPR-RI). This research is qualitative research with descriptive data analysis methods. This method used to describe the role of public relations DPR-RI in an effort implementation of legislation number 14, of 2008 about disclosure of public information.
The result of this research show that public relations in DPR have done a good role as a manager of public relations in an effort implementation of legislation number 14, of 2008 about disclosure of public information.
This research suggest the important of involvement public relations in order to achieve the implementation of legislation number 14, of 2008 about disclosure of public information.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>