Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196563 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
A. Kunto Hirsilo
"Dalam konteks perekonomian, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat dikatakan sebagai penyediaan barang dan jasa sosial (barang publik). Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut tidak mungkin disediakan melalui mekanisme pasar, karena sifat konsumsinya non-rivalry dan non excludable. Di Indonesia, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Departemen Kehutanan khususnya Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS). Semua kegiatan Ditjen RLPS tersebut membutuhkan pembiayaan melalui suatu penganggaran, terlebih lagi Ditjen RLPS harus mengalokasikan anggaran dimaksud kepada Unit Pelaksana Teknis-nya (UPT) yaitu 31 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) yang tersebar di seluruh provinsi.
Pengalokasian anggaran tersebut diharapkan berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut mencerminkan efisiensi dan efektivitas. Dalam penentuan alokasi anggaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di tiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen RLPS oleh pusat, belum diketahui efisiensinya (balk efisiensi secara finansial maupun ekonomi).
Dengan dilatarbelakangi hal-hal tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan :
1) Mengetahui berapa tingkat anggaran yang efisien untuk tiap BPDAS berdasarkan multi output dan inputnya.
2) Untuk mengetahui kemajuan kinerja kegiatan penganggaran pada 31 Balai Pengelolaan DAS pada kurun waktu tahun 2002 - 2004. Apakah terjadi perbaikan efisiensi seteiah diterapkan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) mulai tahun 2003 atau tidak.
Sedang hipotesis yang akan diuji :
1) Alokasi anggaran pada 31 Balai Pengelolaan DAS belum efisien
2) Efisiensi Alokasi anggaran kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada Balai Pengelolaan DAS dalam kurun waktu dari tahun 2002 s/d 2004 terus meningkat
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif, meliputi :
1. Analisis efisiensi alokasi anggaran berdasarkan metode Data Envelopment Analysis (DEA).
2. Analisis statistika parametrik Uji Beda Rata - Rata efisiensi alokasi anggaran antara tahun 2002 - 2004.
3. Analisis finansial melalui kriteria NPV, B/C ratio dan IRR.
Melalui perhitungan dengan metode pengalokasian anggaran dengan mempertimbangkan Multi-Input / Output menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA), didapatkan alokasi anggaran yang efisien pada tiap BPDAS. Dengan menggunakan Model DEA-I (Satu Input : Anggaran dan Multi Output) didapatkan bahwa rata-rata alokasi anggaran untuk tiap BPDAS belum efisien, dimana rata-rata efisiensi adalah : tahun 2002 (58,85%), tahun 2003 (63,26%) dan tahun 2004 (66,39%). Sedang dengan menggunakan Model DEA-II (Dua Input : Anggaran dan Jumlah Pegawai, Multi Output) terlihat juga bahwa rata-rata alokasi anggaran untuk tiap BPDAS belum efisien, dimana rata-rata efisiensi (rasio alokasi anggaran yang diberikan dengan alokasi anggaran yang efisien) adalah : tahun 2002 (60,94%), tahun 2003 (65,01%) dan tahun 2004 (67,75%).
Berdasarkan uji beda rata-rata baik pada model DEA-I maupun DEA-II, menunjukkan bahwa efisiensi alokasi anggaran untuk tiap BPDAS dari tahun 2002 ke 2003 tidak berbeda nyata (belum meningkat). Begitu juga jika dibandingkan antara tahun 2004 dengan 2002. Hal ini juga dapat dijadikan indikasi bahwa penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) pada tahun 2003 masih bersifat masa transisi (masa pembelajaran sistem barn) sehingga hasilnya belum terlihat merubah efisiensi. Namun demikian secara absolut terlihat bahwa nilai rata-rata efisiensi alokasi anggaran tetap meningkat dari tahun 2002 ke tahun 2003 dan tahun 2004.
Untuk mengalokasikan anggaran lebih efisien kepada 31 Balai Pengelolaan DAS dengan metode DEA, seharusnya cukup dengan memperhitungan output-output atau kegiatan yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan oleh seluruh Balai Pengelolaan DAS. Dengan adanya jenis output / kegiatan tambahan yang bisa jadi bukan prioritas program (usulan kegiatan yang hanya bersifat untuk mendapatkan anggaran sebesar-besarnya) menyebabkan efisiensi alokasi anggaran menjadi lebih kecil.
Berdasarkan pengalokasian anggaran melalui Metode DEA dengan hanya mempertimbangkan output / kegiatan prioritas, ternyata adanya ketidakefisienan dalam anggaran yang diberikan selama ini. Sebenarnya dapat dihemat anggaran sebagai berikut : tahun 2002 sebesar Rp 15,314,261.35 (24,80 1), tahun 2003 sebesar Rp 8,710,401.81 (13,57 %) dan tahun 2004 sebesar Rp 9,089,498.00 (11,58 Io).
Mengingat ukuran efisiensi alokasi anggaran yang didapatkan melalui metode DEA lebih bersifat relatif bukan absolut (hal ini yang menunjukkan dari kelemahan metode DEA), untuk itu perlu juga dinilai secara finansial bagaimana pemanfaatan input sumber daya (anggaran) yang dialokasikan. Ternyata suatu Balai Pengelolaan DAS dengan nilai efisiensi alokasi anggaran yang lebih tinggi, belum tentu pasti mempunyai efisiensi secara ekonomi juga lebih besar dibanding dengan Balai Pengelolaan DAS dengan nilai efisiensi alokasi anggaran yang lebih kecil."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T19406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Yahya Rasyid
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
TA3624
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Myrna Asnawati Safitri
"Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dianggap bertanggungjawab pada munculnya dampak ekologis, ekonomis dan sosial pada kehidupan masyarakat lokal. Kajian-kajian yang membahas kebijakan umumnya hanya menganalisis substansi kebijakan, tetapi tidak mempertanyakan mengapa substansi semacam itu muncul. Kajian semacam ini dikatakan sebagai kajian isi kebijakan, sedangkan kajian yang membahas mengenai bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan diterapkan disebut sebagai kajian proses kebijakan. Dalam kajian proses kebijakan ada dua pendekatan yang biasa digunakan yaitu pendekatan struktural dan kultural. Dalam konteks Indonesia kedua pendekatan itu lebih banyak digunakan untuk membahas kebijakan nasional daripada kebijakan daerah. Kajian ini menjelaskan hubungan antara substansi kebijakan yang ada di daerah dengan kebudayaan birokrasi dan lingkungan dimana birokrasi itu berada. Substansi kebijakan dipengaruhi oleh hasil interaksi antara kebudayaan birokrasi dan lingkungannya. Kebudayaan birokrasi adalah cara birokrasi mempersepsikan hutan, bentuk pengelolaan dan kepada siapa pengelolaan itu diberikan sedangkan lingkungan mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial dan politik.
Lampung dan Kalimantan Timur dipilih untuk menunjukkan bahwa di dua daerah yang berbeda lingkungannya menghasilkan kebudayaan birokrasi yang sama dengan beberapa perbedaan nuansa dalam substansi kebijakan. Dalam konteks eksploitasi, birokrasi mempersepsikan hutan sebagai harta kekayaan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam waktu secepatnya. Dalam hal perlindungan dan pelestarian hutan birokrasi menganggap bahwa hutan harus segera dilindungi dari segala bentuk kegiatan eksploitasi dan untuk itu birokrasilah yang menjadi aktor tunggal yang berperan dalam perlindungan dan pelestarian hutan karena masyarakat tidak dapat dipercaya mampu menjalankan peran itu. Persepsi yang muncul dalam konteks perlindungan dan pelestarian hutan adalah reaksi dari kegagalan kebijakan eksploitasi. Persepsi itu mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan, namun dalam beberapa kasus terjadi perubahan tekanan dan jenis kebijakan dari kebijakan eksploitasi menjadi kebijakan perlindungan dan pelestarian tetapi kebudayaan birokrasi masih menganggap bahwa hutan masih perlu dieksploitasi secepatnya. Kesamaan kebudayaan birokrasi ini disebabkan kuatnya pengaruh pemerintah pusat dalam menentukan gagasan dan tindakan birokrasi di daerah. Perbedaan nuansa kebijakan disebabkan berbedanya lingkungan fisik, ekonomi dan sosial. Karena perbedaan itulah maka Lampung lebih mengutamakan eksploitasi dan perlindungan pada lahan sedangkan Kalimantan Timur memilih kayu, gaharu dan sarang burung."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laily Nurizza Adelia
"Kebakaran hutan dan lahan merupakan peristiwa akibat proses alam dan manusia. Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat merupakan salah satu kabupaten yang sering dilanda kebakaran hutan dan lahan. Umumnya, kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkatkan kepadatan penduduk dan pembukaan lahan dengan membakar lahan. Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekonomi sehingga diperlukan adanya identifikasi wilayah bahaya untuk membangun sistem manajemen yang efektif guna mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan dan mengetahui hubungan antara wilayah bahaya kebakaran hutan dan wilayah konsesi di Kabupaten Kubu Raya. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk mendapatkan bobot tiap variabel yang digunakan. Terdapat tiga kriteria yang mempengaruhi wilayah bahaya kebakaran hutan yaitu topografi, meteorologi, dan aktivitas manusia yang teridiri atas delapan variabel yaitu ketinggian, lereng, aspect, suhu, curah hujan, kecepatan angin, kepadatan penduduk, dan jarak dari permukiman. Berdasarkan hasil perhitungan AHP, didapatkan bobot kriteria topografi 0,11; meteorologi 0,28; dan aktivitas manusia 0,62. Wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Setelah dilakukan analisis weighted overlay berdasarkan bobot akhir, didapatkan bahwa Kabupaten Kubu Raya didominasi oleh wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan sedang yaitu seluas 433.654,34 hektar atau 50,7% dari total wilayah kabupaten. Wilayah bahaya kebakaran terluas kedua adalah pada tingkat tinggi dengan luas 244.282,41 hektar atau 28,6% dari total luas wilayah. Wilayah bahaya kebakaran rendah memiliki 177.624,25 hektar atau 20,8% dari total luas wilayah. Sedangkan untuk bahaya sangat rendah dan sangat tinggi tidak ada di kabupaten ini. Hasil wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan divalidasi dengan titik panas tahun 2021 menggunakan kurva AUC/ROC dan didapatkan area di bawah nilai kurva ROC 0,76 yang menandakan skor model ini dalam kategori baik. Hasil uji chi-square wilayah bahaya dengan wilayah konsesi menghasilkan nilai signifikan kurang dari 0,05 dengan koefisien kontingensi 0,312 maka dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara wilayah bahaya kebakaran hutan dengan wilayah konsesi.

Forest and land fires are events that are caused by natural and human processes. Kubu Raya Regency, West Kalimantan is one of the districts that often experience forest and land fires. Generally, forest and land fires in this district are caused by human activities that resulted in increased population density and land clearing through burning land. Forest and land fires in Kubu Raya Regency have caused environmental and economic damage, therefore it is necessary to identify the hazard areas for an effective management system to control and prevent forest and land fires. This research aims to identify fire and land fire hazard areas and determine the relationship between the hazard areas and concession areas in Kubu Raya Regency. The Analytical Hierarchy Process (AHP) method is used to obtain the weight of each variable used. There are three criteria that affect the forest and land fire hazard area: topography, meteorology, and human activities, which consist of eight variables: altitude, slope, aspect, temperature, rainfall, wind speed, population density, and distance from the settlements. Based on the AHP calculation, the final weight of the topographic criteria is 0.11; meteorology 0.28; and human activity 0.62. The forest and land fire hazard areas in this district are divided into three classes, which are low, medium, and high. The weighted overlay result found that Kubu Raya Regency is dominated by moderate forest and land fire areas, covering an area of 433.654,34 hectares or 50.7% of the total regency area. The second-largest forest and land fire hazard area are at a high level with an area of 244.282,41 hectares or 28.6% of the total area. The low forest and land fire hazard area have 177.624,25 hectares or 28.6% of the total area. The results of forest and land fire hazards area were validated by hotspot data 2021 using the AUC/ROC curve and obtained an area under the ROC curve value of 0.76, which indicates the score of this model is in a moderate category. The results of the statistic test of the hazard area with the concession area yielded a significant value of less than 0.05 with a contingency coefficient of 0.470, which means that there is a moderate relationship between the forest hazard area and the concession area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazla Iasha Fitri
"Pertumbuhan penduduk mengarah pada ketersediaan lahan permukiman. Tekanan populasi ini menyebabkan ketidakseimbangan dengan kemampuan lahan permukiman di Kota Samarinda. Prediksi pemodelan spasial diperlukan sebagai langkah untuk mencegah perubahan tutupan lahan yang berlebihan di masa depan. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi daya dukung permukiman dan pemodelan spasial tutupan lahan yang terjadi di Kota Samarinda pada tahun 2006, 2014, dan 2020. Metode Pengolahan data menggunakan Cellular Automata Markov Chain (CAMC) dan Indeks Daya Dukung Lahan Permukiman. Selanjutnya Indeks Daya Dukung Lahan Permukiman digunakan untuk memprediksi kemampuan lahan permukiman. Hasil CAMC menunjukkan adanya ekspansi tutupan lahan permukiman yang dipengaruhi oleh driving factor diantaranya jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari point of Interest (fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan), lereng, dan wilayah ketinggian. Hasil daya dukung lahan permukiman dipengaruhi oleh jumlah penduduk, standar luas kebutuhan ruang, dan luas lahan permukiman di Kota Samarinda. Perhitungan daya dukung lahan permukiman tahun 2034 di Kota Samarinda mendapatkan hasil nilai indeks daya dukung lahan permukiman sebesar 4,6 m²/kapita. Arti dari 4,6 m²/kapita bahwa daya dukung lahan permukiman masih mampu menampung penduduk untuk bermukim 4 kali dari jumlah penduduk yang ada pada tahun 2034 karena memiliki luas yang lebih untuk menampung penduduk yang ada.

Population growth leads to the availability of residential areas, this population pressure causes an imbalance with the ability of residential areas in Samarinda City. Spatial modeling predictions are needed as a prevention step to prevent excessive land cover changes in the future. This research aims to predict residential area carrying capacity and spatial modeling of land cover that occurred in Samarinda City in 2006, 2014, and 2020. The data processing method uses the Cellular Automata Markov Chain (CAMC) and the Capability Index of the residential area. Then the residential area Capacity Index is used to predict the ability of a residential area. The Cellular Automata Markov Chain (CAMC)  results show that there is an expansion of residential area land cover which affected by driving factors that consist of distance from the nearby road, distance from the river, distance from the point of interest (health facility and education facility), slope, and elevation. The residential area land carrying capacity results affected by population density, standard needed land area, and residential area extent in Samarinda City. The calculation of residential area land carrying capacity in 2034 Samarinda City results in the index value of the carrying capacity residential area 4.6 m²/capita. The meaning of 4.6 m²/capita is that the carrying capacity of residential area is still able to accommodate residents to live 4 times the total population in 2034 because it has more area to accommodate the existing population."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arif Qulvan Rindes
"Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, khususnya di Provinsi Jambi hampir
terjadi setiap tahun tetapi dengan intensitas dan luasan yang tidak selalu sama.
Melalui interpretasi citra NOAA tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dengan
menggunakan parameter hotspot, penelitian ini bertujuan membahas perubahan
pola sebaran hotspot dan karakteristik wilayah kebakaran hutan dan lahan di
Provinsi Jambi. Hasil analisis spasial dengan teknik overlay diperoleh bahwa
secara umum kebakaran di Provinsi Jambi memiliki pola yang mengelompok dan
lokasinya hampir selalu tetap setiap tahun. Wilayah yang terjadi kebakaran lebih
banyak terjadi di musim kering dan berada dekat dengan pemukiman penduduk,
dimana lokasi tersebut merupakan wilayah dengan vegetasi yang kurang rapat dan
dengan jenis tanah hasil pelapukan bahan-bahan organik."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S34141
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>