Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133159 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Raja Sawery Gading Dzetaj Notonegoro
"Sejak pertengahan 1990-an, semakin banyak negara berkembang yang menempuh Integrasi Ekonomi Regional (REI) dengan negara maju melalui Perjanjian Perdagangan Regional (RTA). Negara anggota perjanjian tersebut memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan terhadap satu sama lain daripada terhadap mitra dagang lainnya yang bukan negara anggota. Perlakuan diskriminatif ini jelas tidak konsisten dengan kewajiban perlakuan Most Favoured Nation (MFN) WTO. Meskipun kewajiban perlakuan MFN merupakan prinsip dasar, namun WTO memperkenankan anggotanya untuk mengesampingkan prinsip tersebut dan menempuh REI berdasarkan Pasal XXIV GATT 1994 untuk RTA, Pasal V GATS untuk Perjanjian Integrasi Ekonomi (EIA) dan Klausul Enabling. Penelitian ini menganalisa mengapa WTO memberikan pengecualian tersebut. Selain itu, penelitian ini mengeksplorasi kecenderungan di kalangan negara berkembang menempuh REI dengan negara maju serta meneliti bagaimana negara berkembang dapat mengambil keuntungan tanpa mengucilkan sistem perdagangan multilateral WTO.
Berdasarkan analisis hukum, REI sangat bermanfaat bagi negara berkembang WTO. Penelitian ini mendesak KTT APEC ke-21 dan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali untuk digunakan sebagai kesempatan untuk menunjukkan peran aktif dari masing-masing negara berkembang terutama tuan rumah, Indonesia, dalam mempromosikan liberalisasi perdagangan dan investasi secara regional dan global. Penelitian ini menyimpulkan bahwa REI diperlukan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mewujudkan tujuan WTO untuk menciptakan perdagangan yang bebas dan adil. Selain itu, negara berkembang disarankan untuk menggunakan REI sebagai pilihan kebijakan terbaik kedua dan terus menempatkan prioritas tertinggi pada WTO dengan berkomitmen terhadap modus operandi WTO.

Since mid-1990s, developing countries are increasingly pursuing Regional Economic Integration (REI) with developed countries through Regional Trade Agreements (RTA). In this case, the parties to such agreements offer each other more favourable treatment than they offer to other trading partners that are nonparties. Clearly, such discriminatory treatment is inconsistent with the Most Favoured Nation (MFN) treatment obligation of the WTO. Although MFN treatment obligation is a fundamental principle, the WTO does allow WTO members to set aside the principle and pursue REI under Article XXIV of the GATT 1994 for RTA, Article V of the GATS for Economic Integration Agreement (EIA) and the Enabling Clause. With that being said, this research analyses why does the WTO provides such exception. In addition, it explores the tendency among developing countries to pursue REI with developed countries and and examines how can those developing countries benefit from their pursuit without undermining the multilateral trading system of the WTO.
Based on a legal analysis, this research argues that REI will be highly beneficial for developing countries of the WTO. Furthermore, the research urges the 21st APEC Summit and the 9th Ministerial Conference of the WTO in Bali to be used as an opportunity to demonstrate an active role of each developing economy especially the host, Indonesia, in promoting regional and global trade and investment liberalisation. This research concludes that REI is necessary to take further steps towards realising the goal of the WTO to have a fair and freer trade. Moreover, developing countries are recommended to consider REI as the second best policy option and continue to place the highest priority on the WTO by committing to modus operandi of the WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Athaya Ramadhian
"Penelitian ini akan mengenalisis penerapan prinsip foreseeability of harm dalam perjanjian internasional dan sengketa lingkungan internasional. Berangkat dari konsep necessity, prinsip foreseeability of harm memerlukan keseimbangan antara memprediksi kemungkinan kerugian dan mengambil langkah-langkah yang wajar untuk mencegahnya, memastikan bahwa negara bertindak secara bertanggung jawab tanpa terbebani secara tidak adil oleh konsekuensi yang tidak dapat diperkirakan. Namun, dalam perkembangannya sering kali ditemukan tantangan dan hambatan dalam penerapannya yang berkeadilan, bahkan menjadi perdebatan antara hakim-hakim yang meutus suatu perkara. Ditulis menggunakan metode penelitian doktrinal dan peninjauan pustaka, tujuan utama dari penelitian ini adalah melihat perbedaan terhadap penerapan prinsip ini dari setiap perjanjian internasional dan dalam setiap sengketa berkaitan dengan lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga melihat secara spesifik metode yang digunakan oleh setiap perjanjian internasional dan penyelesaian kasus oleh pengadilan internasional, seperti kewajiban melakukan pengkajian dampak lingkungan sebelum melakukan suatu proyek, dan lain-lain. Akhir dari penelitian ini akan memberikan kesimpulan terhadap setiap pertanyaan yang diajukan dan saran untuk penerapannya di kemudian hari.

This research will identify the application of the principle of foreseeability of harm in international agreements and international environmental disputes. Departing from the concept of necessity, the principle of foreseeability of harm requires a balance between predicting possible harm and taking reasonable steps to prevent it, ensuring that states act responsibly without being unfairly burdened by unforeseen consequences. However, in its development, challenges and obstacles are often found in its fair implementation, and it even becomes a debate between the judges who decide on a case. Written using doctrinal research methods and conducting a literature review, the main aim of this research is to see the differences in the application of this principle in every international agreement and in every dispute related to the environment. Apart from that, this research also looks specifically at the methods used by each international agreement and the resolution of cases by international courts, such as the obligation to carry out environmental impact assessments before carrying out a project, and so on. The end of this research will provide conclusions on each question asked and suggestions for future implementation. This research will identify the application of the principle of foreseeability of harm in international agreements and international environmental disputes. Departing from the concept of necessity, the principle of foreseeability of harm requires a balance between predicting possible harm and taking reasonable steps to prevent it, ensuring that states act responsibly without being unfairly burdened by unforeseen consequences. However, in its development, challenges and obstacles are often found in its fair implementation, and it even becomes a debate between the judges who decide on a case. Written using doctrinal research methods and conducting a literature review, the main aim of this research is to see the differences in the application of this principle in every international agreement and in every dispute related to the environment. Apart from that, this research also looks specifically at the methods used by each international agreement and the resolution of cases by international courts, such as the obligation to carry out environmental impact assessments before carrying out a project, and so on. The end of this research will provide conclusions on each question asked and suggestions for future implementation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raja Sawery Gading Dzetaj Notonegoro
"ABSTRAK
Sejak 31 Desember 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah secara formal didirikan. Melalui MEA, negara anggota ASEAN berkomitmen untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang berlandaskan aturan hukum. Sebagai integrasi ekonomi regional, MEA didirikan dengan dukungan dari berbagai instrumen hukum yang telah disepakati oleh para negara anggota, khususnya ATIGA, AFAS dan ACIA. Mengingat keanggotaan negara anggota ASEAN dalam WTO, mereka juga memiliki komitmen pada sistem perdagangan multilateral WTO untuk memastikan relevansi dan kompatibilitas instrumen-instrumen hukum tersebut dengan aturan dalam WTO. Satu-satunya instrumen hukum pendukung MEA yang telah dinotifikasi kepada WTO adalah ATIGA, berdasarkan Enabling Clause. Penelitian ini meragukan relevansi dari notifikasi ATIGA berdasarkan Enabling Clause sekarang ini, karena terdapat beberapa negara anggota ASEAN yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai negara berkembang. Berdasarkan analisis kompatibilitas, aturan dalam ATIGA dan AFAS cukup sesuai dengan aturan dalam Pasal XXIV GATT 1994 dan Pasal V GATS. Untuk itu penelitian ini mendesak ASEAN untuk menggunakan kewenangannya untuk mengajukan notifikasi kepada WTO atas ATIGA berdasarkan Pasal XXIV GATT 1994, dan atas AFAS berdasarkan Pasal V GATS. Diharapkan dengan diajukannya notifikasi tersebut, negara anggota ASEAN dapat mengambil manfaat dari MEA tanpa mengesampingkan komitmennya pada WTO, dan MEA dapat terealisasikan sebagai pelengkap dalam pencapaian tujuan sistem perdagangan multilateral WTO. Selain itu penelitian ini merekomendasikan ASEAN untuk menjadikan pendekatan yang berlandaskan aturan hukum sebagai karakteristik utama ASEAN dalam merealisasikan MEA. Bila ASEAN terus bergantung pada keinginan politik dari setiap negara anggota atau organ institusional, maka ASEAN akan kehilangan kredibilitasnya sebagai organisasi yang berlandaskan aturan hukum.

ABSTRACT
Since 31 December 2015, the ASEAN Economic Community (AEC) has been formally established. Through AEC, the ASEAN member states (AMS) are committed to turn ASEAN into a rules-based single market and production base. As a regional economic integration, AEC is based on legal instruments agreed by the AMS, especially ATIGA, AFAS and ACIA. Considering the position of the AMS as members of the WTO, they are also committed to the multilateral trading system of the WTO to ensure the relevance and compatibility of those legal instruments with the WTO rules. The only legal instrument related to the AEC that has been notified to the WTO is ATIGA, based on the Enabling Clause. The research argues that the relevance of the notification for ATIGA based on the Enabling Clause is questionable, due to the fact that some ASEAN member states no longer fall within the category of developing countries. Based on a compatibility analysis, the provisions in the ATIGA and AFAS are quite compatible with the Article XXIV of the GATT 1994 and Article V of the GATS. With that being said, this research urges ASEAN to utilise its authority to submit notifications to the WTO for ATIGA based on Article XXIV of the GATT 1994, and for AFAS based on Article V of the GATS. The research believes that the submission of the notifications will allow the AMS to gain benefits from the AEC without undermining their commitment to the WTO, and that the AEC will be realised as a complement in achieving the objectives of the multilateral trading system of the WTO. Moreover, ASEAN is recommended to consider the rules-based approach as a primary feature of engagement within ASEAN. If ASEAN keeps relying on the political will of its member states or institutional organs, ASEAN will lose the credibility as a rules-based organisation.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Refandi Budi Deswanto
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengungkapan lingkungan dengan kinerja keuangan, kinerja lingkungan, dan nilai pasar perusahaan, baik berupa hubungan langsung, maupun hubungan tidak langsung. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan tercatat di BEI, termasuk dalam sektor Pertanian, Pertambangan, Industri Dasar dan Kimia, Aneka Industri, dan Barang Konsumsi, mengikuti PROPER atau Penghargaan Industri Hijau tahun 2012-2014.
Penelitian ini menemukan bahwa kinerja keuangan tidak mempengaruhi pengungkapan lingkungan, sedangkan kinerja lingkungan tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap pengungkapan lingkungan tahun berjalan, pengungkapan lingkungan tidak mempengaruhi nilai pasar perusahaan, dan pengungkapan lingkungan tidak dapat memediasi pengaruh kinerja keuangan dan kinerja lingkungan terhadap nilai pasar perusahaan.

This study aims to investigate the relationship of environmental disclosures with financial performance, environmental performance, and firm market value, either in the form of direct and indirect relationship. This study uses sample of companies listed in IDX, included in Agriculture, Mining, Basic Industry and Chemistry, Miscellaneous Industry and Consumer Goods sectors, participating in "PROPER" or "Green Industry Award" in 2012-2014.
This study finds that the financial performance does not affect the environmental disclosures, while the lagged environmental performance has positive effect on the current environmental disclosures, environmental disclosures do not affect firm market value and environmental disclosures do not mediate the effect of the financial performance and environmental performance on firm market value.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
S62909
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Bcmyak negara terutama negara maju menyam-
but dengan antusias berdirinya WTO. Alasannya,
enforcement mechanism Iebih efektif dan banyak
hal masuk ke dalam disiplin WTO termasuk
diantaranya jasa, baramg-barang hasil pertanian,
tekstil, investasi serta kekayaan intelektual. Akan tetapi antusias ini tidak diikuti oleh beberapa kalangan terutama
non-pemerintahan. Pecinta
Iingkungan tidak puas karena WTO rernyata ti-
dak berwawasan lingkungan. Menurut mereka,
akan banyak kebijakan Iingkungan terganjal ofeh
ketentuan WTO. Benarkah demikian? Tulisan
ini mencoba memberikan satu kemungkinan ju-
waban.
"
Hukum dan Pembangunan Vol. 29 No. 1 Februari 1999 : 41-53, 1999
HUPE-29-1-Feb1999-41
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Yoana Kartika
"Penelitian ini menganalisis hubungan kinerja lingkungan hidup, pengungkapan lingkungan hidup, dan sistem manajemen lingkungan dan kinerja lingkungan ekonomi terhadap 55 perusahaan yang terdaftar di BEI yang merupakan industri ekstraktif dan industri dasar dan kimia yang mengikuti PROPER 2009-2010 serta menerbitkan laporan tahunan atau laporan keberlanjutan pada tahun tersebut. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi logistik biner dan regresi linear berganda terhadap model leadlag.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara kinerja lingkungan hidup pada masa lampau dengan kinerja ekonomi perusahaan tahun dasar, tidak terdapat hubungan antara kinerja keuangan pada masa lampau dengan kinerja keuangan tahun dasar, antara kinerja lingkungan hidup dan sistem manajemen lingkungan hidup berdasarkan sertifikasi ISO 14001 dengan pengungkapan lingkungan hidup.

This study analyzes the relationship of environmental performance, environmental disclosure, environmental management systems and economi performance of 55 companies listed on the Indonesian Stock Exchange in extractive industry and industry base and chemical, rated by PROPER 2009-2010 and publish annual reports or sustainability reports for the year of study. Testing was conducted using binary logistic regression analysis and multiple linear regression of the lead-lag models.
The results of this study indicate that there is a significant positive relationship between environmental performance in the past with the economic performance of companies in the base year, there is no relationship between financial performance in the past with the financial performance in the base year, environmental performance and environmental management system with environmental disclosure.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"The multilateral trading system as it now applies is o rule-
bated system comprising a complex set of rules as articulated
in various WTO agreements. The .system is the ultimate choice
for nations if they were to establish trade relations among
nations in a good order and to more enhance the stability and
predictability and to better suit the interests of least developed
and developing countries. Nevertheless, the substantive rules
that have been "mutually agreed" have deficiencies and
imbalances especially looking from the interest of developing
countries. The implementations of those rules have been more
advantageous to developed countries. while the developing
countries do not have the capability to implement those rules.
The concessions that have been given away do not meet with
the expected benefit out of their participation in this
multilateral regime. Such situation greatly effects developing
countries in the implementation and the effectiveness of WTO
rules. The current round of trade negotiations needs to make
correction to this legitimacy gap to ensure affair a fair gain from the
multilateral trading system.
"
Jurnal Hukum Internasional: Indonesian Journal of International Law, Vol. 1 No. 2 Januari 2004 : 229-244, 2004
JHII-1-2-Jan2004-229
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Binsar Johanes M.
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui pola perdagangan Australia dan apakah Australia memang memiliki hubungan dagang yang "spesial" dengan ASEAN, Hubungan dagang "spesial" yang dimaksud difokuskan pada sejarah perdagangan antara kedua belah pihak dan bagaimana keterlibatan Australia dalam mengakses pasar tunggal ASEAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisa hubungan perdagangan antara Australia dan mitra dagangnya tenutama dengan delapan negara ASEAN yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Myanmar dan Vietnam. Dalam penelitian ini digunakan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi hubungan perdagangan tersebut, yaitu ukuran ekonomi, tingkat kemiripan ekonomi, kepemilikan faktor produksi, dan dua variabel dummy yaitu ASEAN dan agreemen. Kesimpulan yang didapat menunjukkan bahwa memang ada hubungan dagang yang "spesial" antara Australia dan ASEAN. Intensitas perdagangan diantara kedua belah pihak akan lebih mendorong pertumbuhan ekspor-impor Australia dibandingkan intensitas perdagangan Australia dengan kawasan-kawasan ekonomi lainnya di dunia
This research is aimed to find out Australia trade pattern and already has a"special' trade relation with the ASEAN. The "special" trade relation focuses on trade history between the two parties and how can access into the ASEAN single market. The scope of this research is to analyze the trade relation between Aust d its trading partner especially with eight of ASEAN countries, that is In Singapura,Malaysia, Thailand, Filpina, Brunei Darussalam, Myanmar. Variables that empirically have influence on trade flow and us arch are size of economy, similiarity of economic, relative factor endo and two dummy variables, ASEAN and agreement. Conclusion shows that Australia has a "spesial" trade relat Trade intensity between the two parties would increase growth export and import compared to the trade intensity between Australia and other world economic communities."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>