Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116977 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Irenrera Putri
"Peranan dan kedudukan karyawan Notaris cukup besar untuk membantu kinerja Notaris dalam melayani jasa pembuatan akta, seorang karyawan Notaris selain harus mampu membantu kinerja Notaris dalam menjalankan jabatannya secara optimal, juga harus mampu menjadi saksi instrumentair dalam pembuatan dan peresmian akta notaris sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan Pasal 40 Undang - Undang Jabatan Notaris yaitu saksi paling sedikit berusia 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf, dan tidak memiliki hubungan perkawainan dengan notaris atau para pihak. Karena karyawan notaris yang berperan sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta, sudah masuk dalam lalu lintas hukum yang memiliki akibat hukum, sehingga apabila suatu akta notaris dikemudian hari terjadi masalah atau kasus maka karyawan notaris dengan sendirinya ikut terlibat dalam masalah atau kasus tersebut.
Sebagaimana saksi dalam kasus lain, maka karyawan notaris sebagai saksi dalam kasus akta notaris juga harus mendapat perlindungan hukum dan harus dijamin keselamatannya dalam hal terjadi kasus atau gugatan di Pengadilan terhadap suatu akta dimana karyawan tersebut menjadi saksi. Walaupun tindakan karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta notaris sudah termasuk dalam bidang kenotariatan, akan tetapi Undang - Undang Jabatan Notaris tidak memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam peresmian akta, terutama terhadap karyawan notaris. Hal tersebut karena di dalam UUJN yang mendapat perlindungan hukum hanya Notaris, sehingga perlindungan hukum terhadap karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta notaris tidak ditemukan dalam undang - undang tersebut.
Dengan tidak adanya pengaturan dalam Undang - Undang Jabatan Notaris tentang perlindungan bagi karyawan notaris yang menjadi saksi instrumentair dalam peresmian akta, maka perlindungan hukum terhadap karyawan notaris yang berperan sebagai saksi tersebut baru dapat ditemui dalam ketentuan diluar peraturan jabatan notaris, yakni Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Walaupun dalam Undang - Undang tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai saksi dalam peresmian akta notaris, akan tetapi ketentuan - ketentuan dalam undang - undang tersebut dapat diaplikasikan terhadap kedudukan karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta yaitu dalam hal saksi tersebut dipanggil dalam suatu proses perkara.

The role and position of notary`s employees is large enough to help the Notary Deeds performance in serving the service making the notary deed, an employee other than Public Notary must be able to assist in running performance in an optimal position, should also be able to being instrumentair witness in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds, as long as eligible that stipulated on Article 40 Undang-Undang Jabatan Notaris, that is the minimum of age for being witness should be 18 or already married, capable of legal actions, understand the language used in the notary deed, may affix a signature and initials, and do not have marital relationships with notaries or parties.
Because the role and position of notary`s employees that act in being the instrumentair witness in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds, has already in the traffic of law that has legal effect, if Notary`s deed in the future has problems or another cases, so notary`s employee also involved in the issue or case. As witnesses in other cases, so that notary`s employees that act as witness in the case of notary deed should also get legal protection and should be guaranteed his safety in case or claim in court against actions about notary deed where the employee act as witnesses. Although the action of notary`s employee as witnesses in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds have already included in the field of Notary, but then Undang-Undang Jabatan Notaris cannot giving the legal protection to witnesses in the field of dedication the notary deeds, especially for notary`s employees. It is because in the Undang - Undang Jabatan Notaris, the legal protection just given to Notary, so that the legal protection for notary`s employees did not stipulated yet on that regulation.
In the absence of regulation in Undang - Undang Jabatan Notaris about legal protection for notary`s employees that act as instrumentair witnesses in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds, so that we can find the regulation about legal protection for notary`s employees in the outside of that regulations, it is in the Undang - Undang Nomor 13/2006 concerning about Legal Protection for witnesses and Victims. Although in that Undang - Undang did not specified stipulated about witnesses in the field of dedication of Notary deeds, but then stipulation in that Regulation can be applied to the role of notary`s employees that act as instrumentair witnesses in the field of inauguration the notary deed in the case of such a witness called in a process of case."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27313
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, 2007
347.066 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Noptra
"Perlindungan terhadap saksi dan korban merupakan sesuatu yang harus diberikan karena keberadaan saksi dan korban yang sangat krusial dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana, terutama terhadap kasus pidana yang melibatkan pihak-pihak yang berkuasa dan/atau mempunyai kedudukan di dalam sistem pemerintahan negara. Sadar akan pentingnya perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut, maka pada tanggal 18 Juli 2006, Pemerintah meresmikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan diresmikannya undang-undang tersebut maka perlindungan terhadap saksi dan korban tidak lagi ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, karena akan ditangani sepenuhnya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada dasarnya, perlindungan saksi dan korban di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan seperti dari segi kualifikasi saksi dan korban yang berhak atas perlindungan, lembaga yang memberikan perlindungan, penjaminan pelaksanaan hak saksi dan korban, serta dari segi bentuk dan tata cara perlindungan. Beberapa kelemahan ini bisa diatasi dengan melakukan perbaikan terhadap rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta penting bagi LPSK dan lembaga lainnya berkoordinasi dengan baik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran aktif dari masyarakat dalam menjamin suksesnya pemberian bantuan perlindungan terhadap saksi dan korban.

Protection for witness and victims of crime is something that needs to be given because their existence is crucial in the process of criminal act, especially in criminal cases that involve predominate parties and/or has position in the country’s governmental system. Realizing the importance of the protection for witness and victims of crime, on July 18th 2006 the Government established Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victims of Crime. By the establishment of such Law then the protection of witness and crime victims are no longer handled by the police and public prosecutors’ office, but will be fully handled by the Institution of Protection of Witness and Victims of Crime (LPSK). Basically, the protection of witness and victims of crime in Indonesia still has numerous weaknesses such as the qualification of witness and victims of crime that needs protection, the institutions that gives protection, the guarantee of execution of the protection of witness and victims of crime, and the form and procedures of protection. Some of this weakness could be overcomes by doing repair on the formulation that contained in the Law for the protection of witness and victims of crime, and it is important by LPSK and other institutions to coordinate with each other. Other thing that is also important is the active participation of the community in guarantying the success of the protection of witness and victims of crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22383
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rizki
"Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban membawa perubahan baru dalam pemulihan hak-hak korban, khususnya mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat, terutama Pasal 7 ayat (3) UU No.13 Tahun 2006 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No.44 Tahun 2008. Pengaturan mengenai kompensasi ini sebelumnya telah diatur pula oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terutama Pasal 35 UU No.26 Tahun 2000 serta diatur lebih lanjut dalam PP No.3 Tahun 2002. Proses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat selama ini dilakukan dengan menggunakan UU No.26 Tahun 2000 dan UU No.8 Tahun 1981.
Skripsi ini mengkaji bagaimanakah mekanisme pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat menurut UU No.26 Tahun 2000 dan PP No.3 Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksananya serta menurut UU No.13 Tahun 2006 dan PP No.44 Tahun 2008 sebagai peraturan yang terbaru. Skripsi ini juga akan mengkaji bagaimanakah pelaksanaan pemberian kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat yang telah berkekuatan hukum tetap.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan ditambah dengan wawancara dengan narasumber. Dengan adanya ketentuan pemberian kompensasi yang dilakukan secara bertahap, maka akan menghambat pemulihan hak-hak korban terhadap kapan pelaksanaan putusan kompensasi ini akan dijalankan. Berdasarkan uraian dalam skripsi ini ternyata banyak persoalan yuridis yang membuat proses pemberian kompensasi tidak dapat diterapkan secara cepat, tepat dan layak demi perlindungan hak-hak korban.
Problem-problem tersebut muncul karena tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi serta tidak adanya itikad baik dari negara untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban dalam kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura ternyata tidak satupun yang memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, walaupun berbagai upaya hukum telah ditempuh hingga sampai pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22408
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Turmudhi
"Tesis ini membahas perlindungan hukum terhadap whistleblower kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Penelitian tesis ini adalah penelitian ualitatif dengan metode pendekatan yuridis normative dengan disain deskriptif analisis. Penelitian dilatarbelakangi banyaknya whistleblower kasus korupsi yang dikriminalisasi dengan pidana yang melibatkan dirinya terutama pencemaran nama baik, selain itu banyak kasus whistleblower yang mendapat ancaman secara fisik oleh pihak-pihak yang dilaporkan atau diungkapkan ke publik. Kriminalisasi dan intimidasi terhadap whistleblower disebabkan karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak memberikan landasan hukum yang kuat dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi pengungkap fakta (whistleblower) terutama yang terlibat dalam tindak pidana. Perlindungan terhadap whistleblower secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 pada Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2), yang dinilai bertentangan dengan semangat whistleblower, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran utama dalam upaya perlindungan hukum dalam proses penegakkan hukum pidana adalah hanya terhadap saksi dan korban, sehingga whistleblower (peniup peluit) yang berhak mendapat perlindungan hukum harus memenuhi kualifikasi sebagai saksi, yaitu apa yang diungkapkan ke publik adalah suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Sedangkan yang hanya memenuhi kualifikasi sebagai pelapor, maka perlindungan yang diberikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

This thesis discusses the legal protection of the whistleblower cases of corruption based on Law No. 13 of 2006 on Protection of Witnesses and Victims. This thesis research is qualitative research methods with normative juridical approach to the design of descriptive analysis. Research background of many whistleblower cases of corruption are criminalized by the criminal himself chiefly involving defamation. In addition, there are many cases of whistleblowers who receive physical threats by those who report or disclose to the public.Criminalization, and intimidation against whistleblowers is because Act No. 13 of 2006 on Protection of Witnesses Victims do not provide a strong legal basis in an effort to provide legal protection for expressing facts (whistleblower) mainly involved in the crime. Protection against whistleblowers is explicitly regulated in Law Number 13 Year 2006 on Article 10 Paragraph (1) and Paragraph (2), which is considered contrary to the spirit of the whistleblower, as this article does not satisfy the principle of protection against a whistleblower, which is concerned remains to be convicted criminal when engaged in crime. While that is only qualified as a reporter, then the protection afforded by the Law Number 31 Year 1999 on Eradication of Corruption."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28724
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Zephaniah Ben Evan
"Perlindungan hukum bagi 'justice collaborator' secara spesifik berbeda dengan perlindungan tehadap saksi, karena seorang 'justice collaborator' merupakan orang yang melakukan tindak pidana korupsi tetapi menjadi saksi untuk memberikan kesaksian dalam membantu mengungkap tindak pidana. Namun masih terdapat perbedaan penafsiran dan aturan yang dipedomani aparat penegak hukum dalam menetapkan status 'justice collaborator. 'Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif serta analisis beberapa kasus 'justice collaborator' di Indonesia, analisis kasus ini menjadi perlu, guna mengetahui penerapan 'status justice collaborator' oleh aparat penegak hukum dan analisis tersebut tentu dapat menjadi bahan masukan dalam politik hukum pidana Indonesia.

Legal protection for justice collaborators is specifically different from protection for witnesses, because a justice collaborator is a person who commits a criminal act of corruption but is a witness to give testimony in helping to uncover criminal acts. However, there are still differences in interpretation and rules that are followed by law enforcement officials in determining the status of justice collaborator. This study uses normative juridical analysis and analysis of several cases of justice collaborator in Indonesia, this case analysis becomes necessary, in order to determine the application of the status of justice collaborator by law enforcement officials and the analysis can certainly be input as recommendation in Indonesian criminal law policy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.S. Gunadi Sjarif
"Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban.

Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thifal Khanza Nabilla Puspita Wijayanti
"Skripsi ini membahas mengenai kondisi keberfungsian sosial korban terorisme terlindung LPSK setelah mengikuti kegiatan di LPSK, juga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberfungsian sosial dari korban terorisme terlindung LPSK. Kegiatan di LPSK yang dimaksud adalah adanya kegiatan rehabilitasi psikososial untuk para korban terorisme. Penelitian ini dilakukan dari bulan April hingga Desember 2021. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam secara daring dengan 8 orang informan (5 merupakan korban terorisme terlindung LPSK, 1 orang merupakan anggota keluarga dari informan inti, 1 orang merupakan pengurus LPSK, dan 1 orang adalah pelaksana kegiatan pelatihan kewirausahaan YIIM). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif-deskriptif, dengan melakukan studi literatur dan juga menggunakan teknik triangulasi data demi meningkatkan kualitas penelitian. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa pasca pelatihan ditemukan bahwa keberfungsian sosial para informan mengalami perubahan ke arah yang baik. Dalam artian, informan dalam penelitian setelah mengikuti kegiatan di LPSK telah mampu untuk memenuhi peran sosialnya dengan baik, sebagaimana dari indikator terpenuhi nya keberfungsian sosial individu. Penelitian ini melihat pemenuhan peran dari masing-masing informan di lingkup keluarga dan lingkup pekerjaan dalam periode sebelum informan mengikuti kegiatan di LPSK atau pasca peristiwa terorisme, dan di periode setelah informan mengikuti kegiatan LPSK. Dalam penelitian ini diketahui pula terdapat berbagai macam faktor yang mempengaruhi keberfungsian sosial dari para informan. Faktor-faktor tersebut adalah (1) adanya dukungan dan bantuan dari LPSK/pemerintah, (2) dukungan orang terdekat, (3) ilmu dan keterampilan yang didapat dari pelatihan kewirausahaan, serta (4) adanya faktor dorongan internal masing-masing individu. Faktor-faktor yang demikian merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap keberfungsian sosial dari informan. Namun demikian diketahui pula bahwa terdapat faktor yang membawa pengaruh negatif terhadap keberfungsian sosial informan, yakni kondisi pandemi COVID-19 yang saat ini sedang melanda. Diketahui bahwa memang pandemi COVID19 sangat mempengaruhi kondisi perekonomian para informan dan juga berpengaruh terhadap bagaimana informan memenuhi peran fungsi sosialnya sehari-hari. Dengan demikian, saran yang dapat peneliti berikan dalam penelitian ini adalah, diperlukan adanya keterlibatan penuh dalam proses rehabilitasi psikososial korban, tidak hanya dari LPSK, namun juga diperlukan adanya andil dari pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk memperhatikan kondisi hidup dan pemenuhan keberfungsian sosial dari para korban, terlebih dalam kondisi pandemi saat ini. Diharapkan dengan adanya keterlibatan dan juga bantuan dari pemerintah daerah, dapat membantu meningkatkan resiliensi informan dalam mencapai keberfungsian sosial mereka masing-masing. Peneliti juga melihat perlu adanya keterlibatan lebih jauh dari pihak YIIM dalam memberikan pelatihan kewirausahaan sebagai bagian dari kegiatan rehabilitasi psikososial untuk semakin meningkatkan keterampilan para informan. Upaya tersebut dapat semakin membantu informan dalam mencapai keberfungsian sosial mereka di kemudian hari. Kata Kunci: korban terorisme, keberfungsian sosial, rehabilitasi psikososial, pelatihan kewirausahaan.

This study discusses the condition of the social functioning of victims of terrorism protected by LPSK after participating in activities in LPSK. This study also discusses about the factors that affect the social functioning of victims of terrorism protected by LPSK. The activities at LPSK are meant to include psychosocial rehabilitation activities for victims of terrorism. This research was conducted from April to December 2021. The researcher collected data by conducting online in-depth interviews with 8 informants (5 were victims of terrorism protected by LPSK, 1 person was a family member of the core informant, 1 person was an administrator of LPSK, and 1 person was in charge in YIIM entrepreneurship training activities). This study uses a qualitative-descriptive type of research, by conducting a literature study and also using data triangulation techniques to improve the quality of research. The results of this study showed that after the training it was found that the social functioning of the informants had changed in a good direction. In a sense, the informants in the study after participating in activities in LPSK have been able to fulfill their social roles well, as indicated by the indicators of the fulfillment of individual social functions. This study looks at the fulfillment of the role of each informant in the family and work spheres in the period before the informant participated in activities in LPSK or after the terrorist incident, and in the period after the informant participated in LPSK activities. In this study, it is also known that there are various factors that affect the social functioning of the informants. These factors are (1) support and assistance from the LPSK/government, (2) support of the closest people, (3) knowledge and skills gained from entrepreneurship training, as well as (4) internal encouragement of each individual. Such factors contribute positively on the social functioning of the informants. However, it is also known that there are factors that have a negative influence on the social functioning of informants, namely the current state of the COVID-19 pandemic. It is known that the COVID-19 pandemic really affects the economic conditions of the informants and also affects how they fulfill their daily social function roles. Thus, the suggestion that researchers can give in this study is that full involvement in the psychosocial rehabilitation process of victims is needed, not only from LPSK, but also from the local government and related ministries to pay attention to the living conditions and fulfillment of social functions of the victims, especially in the current pandemic situation. It is hoped that the involvement and assistance of the local government can help improve the resilience of informants in achieving their respective social functions. The researcher also sees the need for further involvement from YIIM in providing entrepreneurship training as part of psychosocial rehabilitation activities to further improve the skills of the informants. These efforts can further assist informants in achieving their social functioning in the future."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>