Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156390 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Farida Falaivi
"ABSTRAK
Latar belakang: Salah satu lesi prekursor terjadinya kanker kolorektal KKR adalah polip kolon. Polip hiperplastik PH masuk dalam kategori non neoplastik bersama polip inflamasi dan hamartoma. Sedangkan polip serrated PS dan adenoma konvensional masuk kedalam golongan polip neoplastik. World Health Organization WHO pada tahun 2010 memasukkan PH kedalam subtipe PS bersama dengan Sessile serrated adenoma SSA/P dan Traditional serrated adenoma TSA . Ketiga polip diatas harus dapat dibedakan secara morfologik, karena prognosis, terapi, serta survelain endoskopi yang berbeda. Beberapa penelitian terakhir mengemukakan Annexin A10 ANXA 10 dapat digunakan sebagai penanda SSA/P, untuk membedakannya dengan polip lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan ekspresi ANXA 10 pada PH, SSA/P dan Adenoma. Bahan dan cara kerja: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri dari 16 kasus PH, 16 kasus SSA/P dan 16 kasus adenoma konvensional. Dilakukan pulasan ANXA 10 dan penilaian dilakukan menggunakan H score. Hasil: Titik potong H score pada ekspresi ANXA 10 didapatkan pada 215,05 71,6 dengan sensitivitas 81,3 dan spesifisitas 81,2 . Ekspresi ANXA 10 tinggi didapatkan pada 13 kasus SSA/P dan 3 kasus PH, sedangkan pada 16 kasus adenoma konvensional umumnya memiliki ekspresi ANXA 10 yang rendah p < 0,001 . Kesimpulan: Terdapat perbedaan ekspresi ANXA 10 pada PH, SSA/P dan adenoma konvensional. Pulasan ANXA 10 berpotensi digunakan sebagai penanda untuk membantu mendiagnosis SSA/P.
ABSTRACT Background One of precursor lesion of colorectal cancer CRC is colon polyps. Hyperplastic polyp HP is one of non neoplastic polyps category along with inflammatory polyp and hamartomas. While serrated polyps SP and conventional adenomas categorized as neoplastic polyp. World Health Organization WHO in 2010 divided SP into hyperplastic polyps HP , Sessile Serrated adenomas SSA P and Traditional Serrated adenomas TSA . We must be able to distinguish this polyps, because they have different prognosis, therapy and endoscopic surveillance. Several recent studies have suggested that Annexin A10 ANXA 10 can be used as a marker of SSA P, to distinguish it from other polyps. The aim of this study is to know the difference of expression of ANXA 10 on HP, SSA P and conventional adenoma.Materials and methods This was a cross sectional study with 16 cases of HP, 16 cases of SSA P and 16 cases of Adenoma. All cases stained by ANXA 10 antibody and evaluated using H score. Results The cut off point H score on ANXA 10 expression was obtained at 215.05 71.6 with 81.3 sensitivity and 81.2 specificity. High ANXA 10 expression was obtained in 13 cases of SSA P and 3 cases of PH, while in 16 cases of conventional adenomas were generally have low expression of ANXA 10 p "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar Belakang: Penatalaksanaan polip hidung banyak didasarkan pada tipe histopatologinya. Polip hidung tipe eosinofilik lebih sensitif terhadap pemberian kortikosteroid sedang tipe neutrofilik lebih resisten. Hasil pengobatan dengan kortikosteroid juga dipengaruhi oleh reseptor glukokortikoid (GR). Kadar reseptor glukokortikoid β yang tinggi akan lebih resisten dibanding yang rendah. Rasio kadar reseptor glukokortikoid α dan β lebih berperan karena GR β bekerja menghambat GR α. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar reseptor glukokortikoid α dan β pada polip hidung tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik. Metode: Penelitian observasional analitik dengan desain crosssectional. Hasil: Penelitian ini
melibatkan 20 penderita polip hidung yang dilakukan biopsi atau operasi. Hasil biopsi atau operasi diperiksa jenis histopatologinya dan dihitung kadar reseptor glukokortikoid α dan β dengan pemeriksaan imunohistokimia. Data penelitian dianalisa dengan uji sampel t tidak berpasangan. Kadar reseptor glukokortikoid α pada polip hidung tipe eosinofilik didapatkan sama dengan
tipe neutrofilik. Kadar reseptor glukokortikoid β didapatkan lebih tinggi secara bermakna pada polip hidung tipe neutrofilik dibanding tipe eosinofilik. Rasio kadar GRα/GRβ lebih tinggi pada polip hidung tipe eosinofilik dibanding tipe eosinofilik tetapi perbedaannya tidak bermakna. Kesimpulan: penelitian ini kadar reseptor β lebih tinggi pada polip tipe neutrofilik dengan rasio kadar GRα/GRβ lebih tinggi pada polip hidung tipe eosinofilik. Penelitian lebih lanjut diperlukan menghitung kadar reseptor glukokortikoid α dan β lebih akurat dengan menggunakan teknik ELISA (RT-PCR)."
ORLI 44:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suhardjono
"Pada pasien hemodialisis (HD), banyak penelitian di negara maju membuktikan hubungan yang erat antara inflamasi, komplikasi kardiovaskular, malnutrisi, dan mortalitas yang tinggi. Inflamasi yang ditandai dengan meningkatnya IL-6 dan CRP, serta berkurangnya sitokin anti-inflamasi IL-10, mempunyai peran utama dalam terjadinya berbagai komplikasi pada pasien HD di Indonesia, terdapat perbedaan pelaksanaan HD, yaitu HD yang lebih jarang (2 kali seminggu), banyak menggunakan dialiser selulosal diasetat, proses ulang, low flux, dan tanpa air yang sangat murni, yang kesemuanya menyebabkan risiko respons inflamasi yang tinggi. Pada kenyataannya, prevalensi inflamasi dan nilai rata-rata CRP di Indonesia lebih rendah. Polimorfisme gen IL-6-174G>C dan gen IL-10-1082G>A telah dibuktikan mempengaruhi tingkat produksi IL-6 dan CRP. Perbedaan proporsi alel G, C pada IL-6-174, dan alel G, A pada IL-1082, berbagai bangsa dan ras, mungkin menjadi penyebab perbedaan di atas. Sindrom inflamasi malnutrisi (SIM) pada pasien HD berbeda dengan malnutrisi pada populasi. Pada SIM, faktor inflamasi, uremia dan katabolisme protein lebih berperan. Hal ini memerlukan cara penilaian status malnutrisi yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan frekuensi polimorfisme gen IL-6-174 dan IL-10-1082, mengetahui faktor yang berperan dalam SIM, mengetahui perbedaan prevalensi inflamasi pada pasien dengan malnutrisi dan sebagai validitas penilaian SGA.
Telah dilakukan penelitian pada pasien yang menjalani HD 2 kali seminggu, 5 jam per kali HD, tanpa komplikasi penyakit lainnya, dan semua memakai dialiser selulosa diasetat yang diproses ulang. Dari 64 pasien yang diperiksa, didapatkan gen IL-6-74GG 95,31%, CC 3,13% dan GC 1,56%. Gen IL-1082AA 89,06%, GA 10,94%, dan GG tidak didapatkan. Proporsi alel ini hampir sama seperti yang didapatkan di Korea, Jepang dan Cina, berbeda dengan yang didapat di AS, ras Kaukasia, Amerika-Afrika, Hispanik dan Eropa (Kaukasia). Selain perbedaan pada proporsi gen, kami mendapatkan konsenlrasi CRP (6,23±5,57 mg/L), frekuensi malnutrisi (24,7%), dan skor MIS (6,7) yang lebih rendah dibanding dengan data dari AS dan Eropa. Mengingat sedikitnya alel C pada gen IL-6-174 dan alel G pada gen IL-10-1082, analisis statistik yang dilakukan tidak dapat memperlihatkan pengaruh perbedaan alel terhadap manifestasi klinik. Inflarnasi kronik mempengaruhi terjadinya malnutrisi (PR 3,03; 1K 95% 1,53-6,06; P = 0,012). Penilaian dengan skala SGA berkorelasi balk dengan parameter antropometri (IMT, LLA, LOLA, HGS), dan albumin serum. Albumin serum sebagai parameter inflamasi kronik berkorelasi balk dengan parameter nutrisi yang lain, sedangkan CRP tidak. Didapatkan kesan yang kuat bahwa pada pasien HD, gen IL-174GG bersifat protektif, sedangkan gen IL-1082AA tidak begitu berperan. Selain itu dibuktikan adanya pengaruh inflamasi terhadap malnutrisi dan SGA terbukti merupakan penilaian sindrom malnutrisi inflamasi yang cukup baik.

Many studies on HD patients in developed countries have conferred strong evidence of closed correlation between inflammation, cardiovascular complication and high mortality rates. Inflammation, indicated by high levels of CRP and IL-6, has a major role in initiating and sustaining complications. Adapting to high cost, HD in Indonesia is conducted in a little different ways. Patients are dialyzed twice a week, 5 hours each, using reprocessed cellulose/diacetate membrane dialyzer, and without ultrapure water. All of these contribute to a high risk of inflammation, but in fact the prevalence of inflammation in Indonesia is relatively low. IL-6-174G>C and IL-10-1082G>A polymorphic gene have been proven to influence the production of IL-6 and CRP. The difference in the proportion of allele G, C in IL-6-174, allele G, A in IL-1082 in a variety of people's races might cause the difference in the prevalence and the level of inflammation. Malnutrition inflammation syndrome (MIS) on HD patients is different from malnutrition in general population. In MIS, the inflammatory factors, uremia, and protein catabolism of protein are more dominant. These matters probably require a different assessment method of malnutrition status. The purpose of this study was to obtain the frequency of polymorphic gene IL-6-174 and IL-10-1082 to find out the prominent factors in MIS, and to find out the difference in the inflammation prevalence in patients with malnutrition and to serve as validity of SGA assessment.
A study on patients who were on hemodialysis twice a week, 5 hours each session has been conducted. The subjects had no other co-morbidities and all of them used reprocessed diasetat cellulose dialyzers. Out of 64 patients examined, IL-6-174GG was obtained 95.31%, CC 3.13% and GC 1.56%, IL-1082AA 89.06%, GA 10.94%, but absence of GG genotype. The proportion of these alleles was almost similar to that obtained in Korea, Japan and China, but it was different from that obtained in the US for the Caucasian race, African Americans, Hispanic people, and the Caucasian people in Europe_ Besides the difference in gene proportion, it was obtained that CRP (6.23±5.57 mg/L), malnutrition (24.7%), and malnutrition inflammation score (6.7) were lower compared with the data from Europe and the United States. Considering the scanty amount of allele C in IL-6-174 gene and G allele in IL-10-1082 gene, based on the statistic analysis performed it did not revealed the influence of the difference in allele on the clinical manifestation. It was found that chronic inflammation influenced the occurrence of malnutrition (PR 3.03; CI 95% 1.53-6.06; P = 0,012). The scoring by the..."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D779
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andra Aswar
"ABSTRAK
Pendahuluan:
Modifikasi dari kriteria klinis infeksi menurut International Disease Society of America dan International Working Group on Diabetic Foot (IDSA-IWGDF) diperlukan untuk mengevaluasi infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan. Prokalsitonin (PCT), penanda infeksi yang spesifik untuk infeksi bakteri diketahui bermanfaat dalam menegakkan diagnosis infeksi pada ulkus kaki diabetik. Namun, peranannya dalam menentukan ada tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan belum diketahui, begitu juga nilai tambahnya terhadap penanda klinis infeksi. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan penanda klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi dan PCT dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan.
Metode:
Dilakukan studi potong lintang berbasis riset diagnostik pada penyandang diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang sedang mendapatkan pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada kurun waktu Oktober 2011-April 2012. Pasien yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian dilakukan penilaian infeksi pada ulkus menggunakan kriteria klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi (eritema, edema, nyeri, dan panas) dan pemeriksaan PCT. Kemudian dinilai kemampuannya dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong dengan sensitivitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini yang dibandingkan dengan baku emas berupa pemeriksaan bakteri secara kuantitatif dari kultur jaringan ulkus.
Hasil:
Dari 47 subjek yang diteliti, terdapat 41 subjek dengan ulkus kaki diabetik yang masih terinfeksi berdasarkan pemeriksaan bakteri secara kuantitatif dari kultur jaringan ulkus. Penanda klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi memilki kemampuan prediksi yang baik dalam menentukan masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan dengan AUC: 0,744 (IK 95% 0,576-0,912) dengan titik potong bila ditemukan ≥2 tanda klinis infeksi (Sn: 41,46%; Sp: 100%; NPP: 100%, NPN: 20%). Sedangkan, untuk prokalsitonin didapatkan AUC: 0,642 (IK 95% 0,404-0,880).
Simpulan:
Kriteria klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi memiliki kemampuan yang baik untuk menentukan masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan. Belum didapatkan manfaat prokalsitonin dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Aulia
"Infeksi soil-transmitted helminth (STH) merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di dunia, terutama di negara berkembang. Keberadaan dan aktivitas STH di tubuh inang dapat menyebabkan perubahan pada mukosa usus, termasuk menyebabkan kerusakan sel yang dapat mempengaruhi permeabilitas usus dan menstimulasi respon imun seperti inflamasi. Studi ini dilakukan untuk menentukan status inflamasi dan permeabilitas usus pada berbagai status infeksi parasit cacing usus pada anak usia balita di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Sampel tinja yang diperoleh dari anak berusia 20-59 bulan diperiksa keberadaan telur cacing dengan metode Kato-Katz dan diukur konsentrasi biomarker permeabilitas dan inflamasi usus dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay. Biomarker permeabilitas usus yang digunakan adalah α-1-antitripsin (AAT) fekal sedangkan biomarker inflamasi usus yang digunakan adalah calprotektin fekal (FC). Prevalensi infeksi STH pada penelitian ini adalah 17,12%, dengan spesies dominan A. lumbricoides diikuti oleh T. trichiura. Sebagian besar anak memiliki AAT terdeteksi (64,71%), sedangkan hasil sebaliknya ditemukan untuk FC (35,06%). Status infeksi STH tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status konsentrasi AAT, termasuk ketika dianalisis dengan spesies STH. Hubungan yang signifikan hanya ditemukan antara infeksi T. trichiura dan status konsentrasi FC. Sebagian besar anak mengalami peningkatan permeabilitas usus, tetapi tidak selalu disertai inflamasi usus. Infeksi STH tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan biomarker tinja kecuali antara status infeksi T. trichiura dan biomarker inflamasi usus yang mungkin dapat dijelaskan oleh perilaku spesies ini pada habitatnya dalam tubuh inang.

Soil-transmitted helminth (STH) infection is still a major health problem in low-and middle-income countries (LMIC). The presence and activity of STH can cause changes in the intestinal mucosa, including cell damage that can affect intestinal permeability and stimulate immune responses such as inflammation. This study investigated the inflammatory and permeability status of the intestinal mucosa in various status of STH infection in preschool-age children (PSC) residing in Nangapanda District, Ende Regency, East Nusa Tenggara. Stool samples were obtained from children aged 20-59 months, and were then examined for worm eggs using Kato-Katz method and measured for the concentrations of biomarkers of intestinal permeability and inflammation by Enzyme-linked Immunosorbent assay. Intestinal permeability biomarkers were represented by fecal α-1-antitrypsin (AAT), while intestinal inflammation biomarkers were represented by fecal calprotectin (FC). The prevalence of STH infection in this study was 17.12%, with A. lumbricoides as the predominant species followed by T. trichiura. Most children had detectable AAT (64,71%), while the opposite result was found for FC (35,06%). STH infection status did not have a significant association with AAT concentration status, including when analyzed by STH species. A significant association was only found between T. trichiura infection and FC concentration status. Most children had increased gut permeability, but not necessarily accompanied by gut inflammation. STH infection did not have a significant correlation with fecal biomarkers except between T. trichiura infection status and gut inflammatory biomarker, which might be explained by the feeding habit of this spesies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Arief
"Latar belakang. Kejadian demam pascabedah jantung sering ditemukan akibat tindakan pembedahan maupun penggunaan mesin pintas jantung paru (PJP), demam tersebut sulit dibedakan antara demam akibat infeksi atau inflamasi. Penegakan diagnosa infeksi dengan pemeriksaan kultur membutuhkan waktu lama dan kadang tidak tumbuh bakteri. Prokalsitonin (PCT) diharapkan sebagai penanda infeksi tanpa harus menunggu hasil kultur.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan menilai kadar PCT dapat membedakan demam infeksi dengan demam inflamasi pada pascabedah jantung.
Metode. Penelitian ini dikerjakan di Unit Pelayanan Jantung Terpadu RSCM, dengan subyek pasien dewasa pascabedah jantung terbuka dengan menggunakan mesin PJP diikuti selama lima hari adanya demam dengan suhu ≥ 37,8° C, tanda dan gejala infeksi. Semua subyek diperiksa PCT dan kultur darah sebelum pembedahan, hari pertama, kedua dan kelima pascabedah. Pemeriksaan kultur dikerjakan atas indikasi klinis adanya infeksi.
Hasil. Sebanyak 59 subyek pascabedah jantung menggunakan mesin PJP, terdapat dua subyek dropout (meninggal pada hari pertama dan kedua), 22 (37,28%) tidak demam, 32 (54,24%) demam inflamasi dan 5 (8,48%) demam infeksi. Infeksi ditemukan dari kultur sputum (Klebsiella pneumonie), hasil kultur darah, luka operasi, dan urin tidak ditemukan pertumbuhan bakteri. Didapatkan kadar PCT demam infeksi 13,48 ng/ ml dan demam inflamasi 6,90 ng/ ml.
Simpulan. Kadar PCT demam infeksi (13,48 ng/ ml) lebih tinggi daripada demam inflamasi (6,90 ng/ ml). Tidak ada beda kadar PCT demam infeksi dan demam inflamasi secara statistik dengan p adalah 0,371.

Background. Post cardiac surgery fevers usually caused by surgery itself or cardiopulmonary bypass (CPB). Difficulties to differentiated fever caused infection or inflammation. Bacterial culture to prove infections take a long time and sometimes the result is negative. Procalcitonin is sugested infection marker without wait for culture.
Goal. The aim of this study is to know procalcitonin level can differentiate fever cause infectious or inflammation.
Methods. This study performed at Integrated Cardiovascular Unit in RSCM, on adult patients who had open cardiac surgery with CPB, observed for temperature ≥ 37,8° C, sign and symptoms of infections, for 5 days. PCT levels and blood culture performed before surgery, first, second and 5th day after surgery. Culture from other sites performed as indicated.
Results. There are 59 have cardiac surgery with CPB, There are two subject dropout (died on 1st and 2nd days), 22 had no fever (37,28%), 32 had inflammation fever (54,24%) and 5 had infectious fever (8,48%). Infection confirmed by bronchial wash culture (Klebsiella pneumonie), no surgical wound infection, blood and urine culture were negative. We have PCT levels infectious group 13,48 ng/ ml and inflammation group 6,90 ng/ ml.
Conclussion. PCT levels infectious group (13,48 ng/ ml) higher than inflammation group (6,90 ng/ ml). Non parametric diagnostic Mann Whitney U test there are no significant differences of PCT levels between infectious and inflammation group, p=0,371.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ery Priyono
"ABSTRAK
Telah dibuat Alat Takaran Beras dan Air Untuk Menanak Nasi menggunakan 2
takaran beras dan air. Untuk membuka dan menutup aliran beras dan air
menggunakan motor servo. Penulis juga menggunakan ATMEGA 8535 sebagai IC
mikrocontroller. Penulis juga menggunakan sensor timbangan berupa load cell
yang terdapat strain gauge untuk menimbang beras dan air. Selang pipa untuk
mengalirkan beras dan air dengan cara memberi perintah melalui microcontroller
dengan inputan saklar tekan pilihan beras 3 buah dan 2 saklar tekan tipe pilihan
air.

ABSTRACT
Was made Rice Measuring tool and Water For Menanak Rice utilize 2 rice and
water measuring. To open and closes rice and water flow utilize servo's motor.
Writer also utilize ATMEGA 8535 as IC mikrocontroller . Writer also utilizes load
cell found strain gauge's censor as weight sensor to weigh rice and water. After
pipe to stream rice and water by gives instruction via microcontroller with input
rice switch and 2 waters selection switches."
2010
TA547
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2010
TA559
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>