Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43228 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Juhadi
"ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji tentang peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan (repong damar). Permasalahan yang berusaha dijawab adalah, " mengapa keberadaan repong damar di desa-desa di Krui terus berlanjut dari generasi ke generasi ? Berdasarkan pada permasalahan tersebut maka tulisan ini saya beri judul "Repong Damar: sistem pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan, di desa Waysindi, Krui, Lampung Barat."
Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan yang telah saya lakukan di desa Waysindi, Krui, Lampung Barat selama empat bulan. Pengumpulan data saya lakukan dengan cara pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan para informan serta studi dokumentasi dari tulisan-tulisan terdahulu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan repong damar yang terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: (1) adanya institusi pewarisan yang keberadaannya mampu mengatur anggota masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya repong damar. Repong damar sebagai harta kekayaan keluarga hanya dapat diwariskan kepada anak laki-laki tertua (sal tuha bakas), tidak terbagi-bagi pada seluruh anak (sistem pewarisan tunggal). Bagi penerima waris hanya mempunyai hak penguasaan atas harta tersebut dengan konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya. Sedangkan hak kepemilikan tetap berada pada keluarga. Suatu tindakan menjual-belikan atau mengalihfungsikan harta waris repong damar sangat dilarang atau ditabukan oleh masyarakat yang bersangkutan; (2) dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan repong damar (mulai dari pembukaan lahan hingga pengunduhan hasil) dilakukan sedemikian rupa (secara radar) sehingga repong damar tetap dapat terjaga keberlanjutannya. Dalam hal ini, untuk memanfaatkan dan mengelola repong dammar tersebut mereka telah menciptakan dan mengembangkan teknologi tradisional, sehingga repong damar terus dapat bermanfaat baik secara ekonomi maupun ekologis. Sementara itu, teknologi tradisional yang telah dimiliki tersebut terus disosialisasikan kepada setiap anggota keluarga dan masyarakatnya dari generasi ke generasi; (3) adanya migrasi ke luar bagi sebagian anggota masyarakat setempat pada gilirannya mengurangi tekanan (eksploitasi) terhadap repong damar. Di samping itu, mereka yang bermigrasi dan telah mendapatkan sumber penghidupan baru, sebagian penghasilan (uang/barang) dikirim ke desa untuk membantu ekonomi rumah tangga keluarganya di desa; (4) repong damar dibudidayakan dan dikembangkan oleh penduduk setempat secara meluas karena adanya permintaan pasar dan juga didukung oleh adanya fluktuasi harga yang relatif kecil dari waktu ke waktu."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muslihudin Sharbinie
"Sumberdaya alam termasuk didalamnya sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang rentan terhadap konflik mengingat sumberdaya alam terikat dalam suatu lingkungan yang saling terkait. Suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh individu akan berdampak terhadap lingkungan baik lingkungan sendiri atau lingkungan di luar dimana ia berada; sumberdaya alam terikat dalam suatu ruang sosial dimana hubungan yang komplek dan tidak seimbang terjalin yaitu antara berbagai aktor sosial seperti eksportir hasil bumi; petani, etnis minoritas maupun pemerintah; sumberdaya alam yang tersedia cenderung berkurang karena adanya perubahan-perubahan lingkungan yang pesat, permintaan yang cenderung meningkat dan distribusi yang tidak merata ; pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dalam cara-cara yang berbeda dan merupakan suatu simbol tertentu.
Karena faktor-faktor tersebut, konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam merupakan hal yang banyak ditemukan. Keadaan seperti itu terlebih lagi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konflik dalam negara (intra-state conflict) terutama di negara-negara berkembang cenderung meningkat. Berbagai isu konflik muncul ke permukaan termasuk konflik yang berkenaan dengan isu lingkungan seperti konflik pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi konflik di Kabupaten Lampung Barat adalah dengan melakukan kerjasama dengan salah satu INGOs yaitu the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Sejak tahun 2000 ICRAF telah melakukan mediasi dalam upaya mencari pemecahan konflik. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebagai aktor non-state INGOs memiliki peranan yang signifikan. Mediasi sebagai salah satu pendekatan pemecahan konflik memiliki potensi terhadap perubahan pada aktor-aktor yang terlibat konflik maupun pada kebijakan yang berlaku. Pertanyaannya adalah bagaimana peta konflik pengelolaan sumberdaya tersebut, apa dampak mediasi ICRAF terhadap kebijakan yang berlaku dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat di masa yang akan datang.
Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena dampak mediasi ICRAF terhadap aktor-aktor yang terlibat konflik dan kebijakan pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat. Untuk mengkaji fenomena tersebut digunakan perspektif pluralisme. Sebagai sebuah pendekatan pluralisme memandang bahwa gambaran hubungan internasional didasarkan pada empat asumsi pokok yaitu: Pertama, aktor non-negara, merupakan entitas yang penting dalam politik dunia. Organisasi internasional termasuk di dalamnya Non-Governmental Organisations (NGDs) misalnya dalam isu tertentu merupakan aktor yang independen. Mereka bukan hanya merupakan sebuah forum dimana negara-negara berlomba dan bekerjasama satu sama lain dengannya. Dalam organisasi internasional tertentu mereka memiliki kapasitas dalam hal menentukan agenda dan menyediakan informasi yang mampu mempengaruhi bagaimana suatu negara menentukan arah kebijakan tertentu. Kedua, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor uniter. Negara merupakan aktor yang terdiri dari individu, kelompok kepentingan dan birokrat. Dalam pandangan pluralis, sebuah keputusan yang dibuat oleh suatu negara pada dasarnya merupakan sebuah keputusan yang sebenarnya dibuat oleh koalisi pemerintah, birokrat dan bahkan individu. Ketiga, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor rasional. Pandangan ini bertentangan dengan asuinsi realis yang memandang bahwa negara merupakan aktor rasional. Keempat, bagi pluralis agenda politik internasional bersifat luas (ekstensif). Disamping isu keamanan negara isu-isu ekonomi, sosial, ekologi, perdagangan. moneter, energi, kelaparan dan degredasi lingkungan bagi pluralisme merupakan agenda internasional dan memerlukan pemecahan secara global.
Tesis ini membuktikan bahwa, mediasi ICRAF dalam pengelolaan konflik Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat berdampak terhadap aktor dan kebijakan-kebijakan yang berlaku. Terbentuknya kelembagaan yang memiliki kapasitas dalam mengkaji potensi sumberdaya alam dan memiliki wewenang dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan telah memungkinkan aktor terkait sebagai bagian yang turut menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Kepemilikan lahan (land tenure) dalam bentuk ijin HKm. (Hutan Kemasyarakatan) yang diberikan oleh pemerintah kepada petani merupakan salah satu indikator bahwa pemerintah telah menaruh kepercayaan kepada petani dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Adanya jaminan kepemilikan lahan, peningkatan kemampuan dalam pengelolaan konflik dan peningkatan teknologi pengelolaan sumberdaya tersebut akan memungkinkan terbentuknya satu sistem pengelolaan sumberdaya Hutan. Lindung yang sesuai dengan perspektif pandangan aktor-aktor terkait. Dengan demikian visi pembangunan kehutanan Kabupaten Lampung Barat yaitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari akan lebih mudah tercapai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tabrani
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
TA3646
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengelolaan konservasi sumberdaya air di Indonesia pada saat ini menghadapi tantangan yang semakin berat dan kompleks. Dalam rangaka menjaga ketersediaan air diperlukan usaha-usaha pengelolaan konservasi sumberdaya air yang berkesinambungan dan berkelanjutan ( lestari).... "
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Lisidius Animung
"ABSTRAK
Konflik atas sumberdaya komunal dalam tulisan ini kami tanggapi sebagai benturan kepentingan antara dua pihak yang mempunyai akses terhadap sumberdaya alam yang dimanfaatkan bersama. Sedangkan pengelolaan kami tanggapi sebagai prosedur, strategi-strategi dan mekanisrne-mekanisme yang dikembangkan oleh para pihak untuk memenangkan pihaknya maupun untuk memulihkan keserasian hubungan sosial.
Kasus-kasus yang dikemukakan meliputi konflik atas sepuluh jenis sumberdaya alam, yaitu dusun, lahan sasi, padang perburuan, lahan kebun, rawa sagu, rawa tangkapan ikan, sungai, pohon sagu, ternak, dan hewan buruan. Analisis terhadap berbagai kasus yang ditemukan memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara konflik atas suatu jenis sumberdaya alam dengan pola konflik atas jenis sumberdaya alam lainnya. Demikian pula halnya dengan pengelolaannya.
Dari kajian ini ada tiga pola konflik atas sumberdaya komunal. Pola pertama, ialah konflik atas hewan peliharaan dan lahan sasi. Konflik atas sumberdaya ini lebigh bersifat pelanggaran hak pihak lain yang secara komunal memiliki hewan peliharaan atau lahan sasi. Konflik ini hanya berkembnag sampai pada tingkat individu pelanggar melawan kelompok keluarga luas yang dirugikan. Pola kedua, ialah konflik atas padang perburuan, lahan kebun, rawa sagu, rawa tangkapan ikan, pohon sagu, dan hewan buruan. Konflik atas jenis jenis sumberdaya ini hanya terbatas pada konflik intern desa sampai pada tingkat antar marga. Pola ketiga, ialah konflik atas dusun dan sungai. Konflik atas kelompok sumberdaya alam ini dapat berkembang sampai pada tingkat konflik antar desa.
Suatu gejala umum yang tampak dalam kajian ini ialah bahwa sumber konflik atas suatu sumberdaya alam komunal pada pola pertama, pihak individu pelanggar tidak didukung atau dibela oleh orang-orang dalam kerabat maupun hubungan sosial yang lain. Sedangkan sumber konflik atas suatu sumberdaya alam komunal pada pola kedua dan ketiga adalah perbedaan interpretasi atas hale hak pemanfaatan yang mengacu pada interpretasi atas jaringan hubungan-hubungan sosial. Dalam banyak kasus masing masing pihak berusaha mengaktifkan dan/atau memanipulasi keabsahan hubungan-hubungan untuk memperoleh dukungan dan pembenaran aksesnya dan/atau membatasi akses pihak lain.
Sebagai konsekuensi dari pola konflik seperti itu, makapadapola konflik pertama, pengelolaannya menempuh prosedur sederhana, yakni hanya berlangsung secara diadik. Sedangkan poles konflik kedua dan ketiga pengelolaannya melibatkan banyak orang dalam hubungan sosial kedua pihak. Akibatnya suatu konflik yang sederhana yang terjadi antar dua individu, pada akhirnya berkembang menjadi konflik antar kelompok yang lebih luas, bahkan sampai pada konflik antar desa.
Dari perkembangan terakhir tampak bahwa komunitas desa hutan Homlikya telah menggunakan tiga lembaga pengelolaan konflik, yakni pengelolaan dengan menggunakan lembaga tradisional yang mengacu pada pimpinan warga, lembaga peradilan tingkat desa, dan lembaga peradilan tingkat kecamatan. Temuan menarik disini ialah bahwa sampai saat ini belum ada kasus konflik atas sumberdaya alam yang dibawa ke pengadilan negeri.
Kenyataan ini tidak berarti bahwa warga komunitas desa hutan Homlikya belum mengenal fungsi pengadilan negeri. Khusus menyangkut konflik atas dusun, warga komunitas desa hutan Homlikya justru tidak mau membawa persoalan sampai ke camat atau ke pengadilan, utnuk rnenghindari pembagian sumberdaya alam yang disengketakan, yang dapat berdampak pihaknya kehilangan sumberdaya alam (dusun).
Dalam kasus terakhir tersebut maupun kasus-kasus konflik lain. pada umumnya warga komunitas desa hutan Homlikya mempraktekan proses pemilihan lembaga peradilan yang dianggap paling menguntungkan pihaknya. Dalam banyak kasus, bila tidak selesai di tingkat desa, kedua pihak sepakat untuk tidak melanjutkan ke tingkat kecamatan. Untuk selanjutnya persoalan dibiarkan mengendap sendiri. Dalam masa pengendapan konflik ini biasanya tampil tokoh-tokoh atau individu tertentu yang mempercepat proses peredaan ketegangan antara kedua pihak atau mengakhiri pertikaian. Praktek yang terakhir ini berkaitan dengan proses penyelesaian konflik di luar jalur lembaga peradilan.
Perkembangan yang paling akhir terlihat bahwa kasus-kasus yang dibawa ke lembaga peradilan desa dapat diselesaikan dengan aturan-aturan baru sebagai hasil modifikasi terhadap aturan-aturan yang berasal dari lembaga tradisional dan aturan-aturan yang berasal dari lembaga peradilan (negara) tingkat desa. dengan kata lain, belakangan ini terlihat adanya suatu perubahan pada peradilan di tingkat desa, yakni adanya kasus konflik atas dusun dan sejumlah konflik alas sumberdaya komunal lainnya yang diselesaikan melalui lembaga tradisional baru."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>