Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193772 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ken Swari Maharani
"CITES 1973 merupakan konvensi lingkungan internasional yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa dari perdagangan internasional yang berlebihan. Konvensi ini menggerakkan upaya global untuk melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu satwa yang terancam bahaya kepunahan adalah harimau Sumatera. CITES 1973 memasukkannya ke dalam kategori Appendiks 1 yang berarti tidak boleh ada perdagangan komersial terhadap satwa tersebut. Indonesia, sebagai negara habitat harimau Sumatera, telah meratifikasi CITES 1973 dan mengesahkan peraturan-peraturan hukum untuk melindungi tumbuhan dan satwa, termasuk harimau Sumatera. Selain itu, Indonesia juga terlibat kerja sama regional dan global dengan negara-negara habitat harimau lainnya. Namun, populasi harimau Sumatera terus menurun, tidak hanya karena perdagangan, tetapi juga karena kerusakan habitat, perburuan liar, dan konflik dengan manusia. CITES 1973 belum diimplementasikan dengan baik di Indonesia terlihat dari lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan populasi harimau Sumatera terus terancam. Penanganan kasus-kasus kriminal terkait harimau Sumatera tidak dilakukan secara tuntas dan sanksi-sanksi yang diberikan tidak memberi efek jera. Perdagangan liar bersifat terbuka dan terorganisir, baik di dalam maupun di luar negeri. Hutan di Pulau Sumatera mengalami degradasi karena banyaknya konversi fungsi hutan untuk kebutuhan komersial. Masyarakat belum dilibatkan dalam perlindungan harimau dan habitatnya; sementara peran NGOs sering terhambat oleh respon yang lambat dari pemerintah. Komitmen Indonesia terhadap CITES 1973 harus diperkuat agar harimau Sumatera tidak lagi terancam kepunahan dan ekosistem di sekitarnya juga turut dilestarikan.

CITES 1973 is an international environmental convention aiming to protect flora and fauna from excessive international trade. This convention drives a global effort to conserve biodiversity. One of the animals that are in danger of extinction is Sumatran tigers. CITES 1973 has categorized the species in the Appendix 1, which means there should be no commercial trade against the species. Indonesia, as the habitat for Sumatran tigers, has ratified CITES 1973 and passed the legal regulations to protect plants and animals, including Sumatran tigers. In addition, Indonesia is involved in regional and global cooperation with the other tiger range countries. Nevertheless, the population of Sumatran tiger continues to decline, not only because of trade, but also due to habitat destruction, illegal poaching, and conflict with humans. CITES 1973 has not been implemented properly in Indonesia as seen from the lack of law enforcement causing the population of Sumatran tigers continues to be threatened. Criminal cases towards Sumatran tigers have not been solved completely and sanctions given have less deterrent effect. Illegal trade has become increasingly open and organized, both domestically and globally. Forests in Sumatra have degraded because of the conversion of forest lands to fulfill commercial needs. Local communities have not been involved in the protection of tigers and their habitat; while the role of NGOs is often hampered by the slow response from the government. Indonesia's commitment to CITES in 1973 should be strengthened so that Sumatran tigers are no longer in danger of extinction and the ecosystem around them is also conserved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, Damar Gerung
"Skripsi ini menganalisis implementasi dari Otoritas Manajemen di Indonesia berdasarkan ketentuan hukum dari Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) . Thesis ini akan membahas implementasi penegakan hukum akan perdagangan hewan langka dari segi international, regional, yang pada akhirnya mengerucut ke implementasinya di tingkat nasional di Indonesia. Penulis menemukan bahwa adanya ketentuan yang memberikan dua instansi negara menyebabkan susahnya isu perdagangan ilegal hewan langka ditegakkan. Penulis percaya bahwa dengan adanya kerjasama regional dan penggunaan sumberdaya dari ASEAN Wildlife Enforcement Network, perdagangan hewan liar dapat dikontrol hingga dapat menjadi pendapatan stabil untuk negara.

This research shall analyze the implementation of the Management Authority in Indonesia as based on the legal instructions of the Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). It shall discuss the implementation wildlife trade enforcement stage-by-stage from an international platform, a regional co-operation platform and finally leading into its implementation at a national level in Indonesia. Through the writing process, the writer has found that from a legal perspective, other then Indonesias lack of capacity to address this problem, endangered wildlife trade enforcement has been unable to reach its optimal level due to the overlaying laws which give authority to more than one state institution to excercise this right. Though such distribution of power is allowed by the CITES, Indonesia still needs to develop an optimal effort to address illegal endangered wildlife trade. The writer believes that this can be done by Indonesia through utilizing the resources of the regional wildlife enforcement, ASEAN Wildlife Enforcement Network, thus making endangered wildlife species trade a viable asset for the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61713
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Leigh, John
Canberra : National Park and Wildlife Service, 1979
582.1 LEI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Syahrial Jaslim
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S8169
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Della Rizky Marsa Velesnika
"Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species 1973 (CITES), tetapi Indonesia belum mengimplementasikan aturan-aturan CITES secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya penyelundupan satwa di Indonesia, salah satunya adalah kasus dengan Putusan Nomor: 496 /Pid.Sus/2014/PN.Dps. yang akan dibahas dalam tesis ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan sering terjadinya kasus penyelundupan satwa di Indonesia, mengkaji langkah-langkah yang sebaiknya diambil Indonesia dalam mencegah terjadinya kembali kasus penyelundupan satwa yang dilindungi oleh CITES, dan menganalisis tindakan suatu negara ketika satwa hasil penyelundupan masuk ke negaranya. Faktor yang menyebabkan terjadinya penyelundupan satwa secara besar dikarenakan oleh faktor ekonomi dan ketidaktahuan masyarakat mengenai satwa yang dilindungi. Salah satu langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya penyelundupan satwa adalah mengadakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan satwa yang ada di Indonesia serta dampak yang ditimbulkan.

Indonesia is known as one of many countries which has the highest biodiversity in the world. Although Indonesia has ratified the Convention on International Trade in Endangered Species in 1973 (CITES), but Indonesia does not implement CITES rules optimally. This is evidenced by wildlife smuggling in Indonesia, one of many cases is the case with Decision No. 496 /Pid.Sus/2014/PN.Dps. which will be discussed in this thesis. The aims of this study are to analyze the factors that cause frequent occurrence of smuggling cases of wildlife in Indonesia, review the steps that should be taken by Indonesia to prevent the recurrence of smuggling cases of protected species by CITES, and analyze the actions of countries when those animals entry to country. Factors that cause wildlife smuggling is an economic factor and the ignorance of the public regarding the protected animals. One of the appropriate measures to prevent the wildlife smuggling is the socialization and education to the public about the importance of wildlife protection in Indonesia and its impact.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Robbani Hanif
"Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dikenal sebagai ldquo;hotspot rdquo; perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar karena perannya sebagai peyuplai terbesar di kawasan Asia. Di saat yang sama, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan laju penurunan keanekaragaman hayati yang tinggi. Penurunan ini salah satunya disebabkan oleh maraknya perdagangan ilegal jenis tumbuhan dan satwa liar. Selama ini, upaya penegakan hukum atas kejahatan tersebut hanya berfokus pada jenis yang dilindungi saja. Hal ini dikarenakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 sebagai induk kebijakan konservasi di Indonesia tidak memberikan ketentuan sanksi yang memadai terhadap kegiatan perdagangan ilegal jenis tumbuhan dan satwa liar, khususnya bagi jenis yang tidak dilindungi. Padahal, terdapat banyak jenis, yang tidak termasuk jenis yang dilindungi, namun berada dalam kondisi populasi yang terancam dan masih diperdagangkan secara bebas. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tujuan untuk mencari alternatif instrumen penegakan hukum yang dapat menjerat para pelaku perdagangan ilegal jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang. Dengan mengambil sudut pandang yang lebih luas terhadap aktifitas perdagangan, tidak terbatas pada aktifitas jual beli saja, maka terdapat beberapa undang-undang yang dapat dijadikan alternatif instrumen penegakan hukum terhadap kejahatan ini, yaitu ; undang-undang tindak tindak pidana korupsi, undang-undang kepabeanan, undang-undang karantina ikan, hewan, dan tumbuhan, undang-undang kehutanan, serta undang-undang perikanan. Keberadaan undang-undang ini dapat menjadi solusi untuk mengisi kekosongan hukum, namun, hal ini tidak mengurangin urgensi untuk mengevaluasi kebijakan dalam undang-undang konservasi sumber daya alam hayati yang selama ini berlaku di Indonesia.

Indonesia, as one of the countries that has very high rates of biodiversity, is well known as the ldquo hotspot rdquo of international wildlife trade because of its role as the biggest supplier in Asia. However, Indonesia is also well known as the country that experienced massive biodiversity degradation, which is mostly caused by the high number of illegal trading of plant, animal, and other wildlife form. Until this very day, the law enforcement on illegal wildlife trade is only focused on protected species because Undang Undang No. 5 tahun 1990, as the prime reference of conservation rsquo s policy in Indonesia, does not provide adequate instrument of sanction on illegal trade of unprotected species, whereas there are lots of species in Indonesia that are threatened in the wild and are still being traded illegally. This research is using juridical normative approach, with the purpose to provide an alternative instrument of law enforcement on illegal trading of unprotected species from another act aside of Undang Undang No. 5 tahun 1990. If we consider the trade of wildlife as more than a process of selling and buying, then there are some acts that can be used as an alternative of law enforcement instrument, such as an anti corruption act, anti money laundering act, custom act, quarantine act, forestry act, and fisheries act. Those acts are used only as an alternative, and it does not lessen the urgency to evaluate the current conservation policy in Indonesia itself.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68489
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Priscilla
"Perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia menunjukkan
peningkatan yang semakin marak beberapa tahun belakangan, baik secara langsung
maupun melalui dunia maya. Kenyataan bahwa banyak dari praktik perdagangan
tersebut yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan penegakan hukum dalam perdagangan
satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia. Perdagangan satwa liar yang tidak
dilindungi di Indonesia harus diatur dengan jelas dan rinci dalam peraturan
perundang-undangan sehingga dapat mendorong penegakan hukum yang tepat dan
sesuai. Oleh karena itu, penulis memandang perlu meninjau kembali pengaturan,
penerapan dan penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar yang tidak
dilindungi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif
melalui studi kepustakaan dan wawancara kepada beberapa narasumber. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan dan penegakan hukum dalam
perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia sampai saat ini tidak
berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada akhir penelitian,
penulis memberi saran kepada pemerintah untuk meningkatkan pengawasan
terhadap perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia serta
mempertimbangkan insentif, disinsentif, maupun sanksi administratif dan pidana
sebagai bentuk- bentuk pilihan penegakan hukum dalam pengaturan perdagangan
satwa liar yang tidak dilindungi di Indonesia.

The unprotected wildlife trade in Indonesia has shown an increasing trend in recent
years, both directly and through cyberspace. The fact that many of these trading
practices are not in accordance with the prevailing laws and regulations shows that
there is a lack of clarity in the law enforcement of the unprotected wildlife trade in
Indonesia. The unprotected wildlife trade in Indonesia must be regulated clearly
and in detail in the laws and regulations so as to stimulate accurate and appropriate
law enforcement. Therefore, the author consider it is necessary to review the
regulation, implementation, and the law enforcement of the unprotected wildlife
trade in Indonesia. This research was conducted using legal-normative method
through literature study and interviews with several experts. The result of this study
indicate that the implementation and the law enforcement in the unprotected
wildlife trade in Indonesia has not been conducted according to the prevailing laws
and regulations. At the end of the thesis, the author recommend the government to
increase the supervision of the unprotected wildlife trade in Indonesia and to
consider incentive, disincentive, as well as administrative and criminal sanctions
as the forms of law enforcement options in the unprotected wildlife trade regulation
in Indonesia
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yati Sudiharti
"Pemberlakuan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonom telah mengawali asas desentraslisasi. Sebagai konsekuensi dari diimpiementasikannya kebijakan desentralisasi I otonomi daerah tersebut sejak tahun 2000, secara umum telah terjadi perubahan ditandai dengan pemberian sejumlah kewenangan yang dulunya ditangani oleh pemerintah pusat menjadi berkurang dan berpindah kepada pemerintah daerah. Berdasarkan peraturan perundang - undangan tersebut sejak bulan Juni tahun 2002 Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan pelayanan perijinan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi. Walaupun sudah berjalan selama dua tahun, namun penyelenggaraan pelayanan tersebut belum berjalan optimal. Berangkat dari keingintahuan " kenapa belum berjalan optimal ", maka dilakukan penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara langsung kepada pejabat terkait, studi literatur serta data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan pada implementasi kewenangan pelayanan perijinan tumbuhan dan satwa liar ini adalah masih terdapatnya ketidak jelasan kewenangan yang diberikan, adanya tumpang tindih kewenangan dalam penanganan pelayanan perijinan tumbuhan dan satwa liar baik secara vertikal antar level pemerintah (Dinas dengan Balai Konservasi Sumber Dalam Alam) maupun secara horizontal antara Dinas dengan Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan provindi DKI Jakarta itu sendiri, sehingga memungkinkan adanya interpretasi ganda antara provinsi dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi DKI Jakarta. Faktor struktur organisasi belum mampu mendukung kinerja organisasi secara optimal. Faktor kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah, tidak mencukupi untuk mengelola kapasitas kerja yang bertanggung jawab dalam memberikan jasa pelayanan kepada para pengusaha tumbuhan dan satwa liar, baik di kantor maupun untuk di lapangan.
Beberapa implikasi dari hasil penelitian ini antara lain perlu adanya konfirmasi dari pemerintah pusat untuk kejelasan pembagian kewenangan dalam PP 25 tahun 2000 dan pembuatan standar pelayanan yang jelas dan rinci; segera melakukan klarifikasi kepada Menteri Kehutanan, berkenan dengan terbitnya Keputusan Menteri (Kepmen) No. 447 tahun 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar yang tidak dilindungi. Menteri Kehutanan atau Departemen Kehutanan harus memberikan penjelasan kepada provindi karena keputusan menteri (Kepmen) tersebut seolah mencabut PP 25 tahun 2000; Pemerintah Daerah harus segera menyusun Peraturan Daerah (PERDA) pengelolaan tumbuhan dan satwa liar. Struktur organsiasi Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta sebaiknya di evaluasi kembali I dibenahi kembali secara matang melalui aktivitas peningkatan mekanisme kerja yang ada sehingga unit-unit organisasi mampu berfungsi secara optimal sesuai dengan tugas pokoknya, terutama mengenai Polisi Hutan (Polhut) dan penyuluh yang berada di kantor maupun di lapangan.

Determining of Regulation No. 22 year 1999 about Local Regulation and Government Regulation No. 25 year 2000 about Government Authority and Province as Autonomy Region have early ground of decentralization. As consequence of its implementation of regional decentralization 1 autonomy policy since year 2000, in generally there is alteration marked by a number of authority which is before handled by Central Government will become decrease and change to Local Government. Base to that Role and regulation then since June 2002, the Agriculture and Forestry Agency of Province DKI Jakarta carry out licensing service of plants and wild animal, which do not protect. Although it run for two year, but management service is not optimal. In Accordance to recognize "why is not yet an optimal", then it's conducted by research. This research is use qualitative research method with data collecting technique by direct interview to related officer, study literature and also secondary data.
The Result of research indicate that problems at implementation authority of licensing service of plants and wild animal is still overlapping and unclear in determining of authority, there is overlapping in handling of authority licensing service of plants and wild animal in accordance to vertical between governmental level (Agency and Bureau of Natural Resource Conservation) and also with horizontal between Agency and SubAgency of Agriculture and Forestry of DKI Jakarta province itself, so that enable to occurring of double interpretation between Province and Bureau of Natural Resource Conservation of DKI Jakarta Province. Organizational Structure factor not yet to support organizational performance as optimally. Abilities factors of Human Resource (HR) is still lower, less to support and manage of job capacities in charge to give services to all entrepreneurs of plants and wild animal, either in office or the in the field.
Some implication from result of this research is needing the existence of confirmation of Central Government for clarify of the division authority in Government Regulation No. 25 year 2000 and setup standard service as by clear and detail, and immediately, its clarify to Ministry of Forestry, in accordance to the publication of the Ministerial Decree (Kepmen) No. 447 year 2003 about Arranging Effort in take or catch and circulation of Plants and Wild Animals which do not protect. Ministry of Forestry or Department Forestry have to give clarification to province because ministerial decree (Kepmen) likely cancel to Government Regulation No. 25 year 2000; Local Government have to immediately compile by Regional Law (PERDA) about management of plants and wild animal. Organization Structure on the Agency of Agriculture and Forestry of DKI Jakarta Province, its better to evaluate 1 re corrected by maturely through activity in increasing of existing job mechanism so that organizational units to function by optimal in according to duty essence, especially regarding to Forestry Police (Polhut) and Forestry Trainer in the office and also in the field.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>