Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112837 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Yuli Hastuti
"ABSTRAK
Eceng gondok (!Eichhornia crassipes (Mart.) Solms:) merupakan salah satu gulmasir yang banyak dijum- pai di perairan indonesia. Tumbuhan ini mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, oleh karenanya mempunyai kemampuan menyerap unsur hara, senyawa organik, dan unsur kimia lain dari air limbah dalam jumlah besar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan pemanfaatan eceng gondok sebagai penyerap unsur N, P, dan CD bahan organik dengan mengadakan pengukuran BOD dari efluen kolam sedimentasil di Instalasi Kolam Oksidasi Pulo Gebang, serta mengetahui pengaruh pencemaran efluen kolam sedimentasi terhadap pertumbuhan eceng gondok. Dari hasil yang diperoleh, ternyata karena tingginya kandungan bahan organik, N total, 'dan P total, maka air limbah yang langsung ditanami eceng-gondok^menyebabkan tumbuhan hanya dapat hidup selama 3-6 hari, tetapi tumbuhan
ini dapat hidup dalam efluen kolam sedimentasi yang telah diendapkan selama 7 hari. Eceng gondok yang ditanam dalam bak berisi efluen kolam sedimentasi selama 15 hari inampu menurunkan kadar N total dan BOD, tetapi tidak mampu tc^rh^-,dap kadar P. Dari hasil penanaman eceng gondok dalam '",ak berisi efluen kolam sedimentasi yang kemudian.diaerasi, d-i-peroleh;- bahwa semakin lama waktu perlakuan aerasi, pertumbuhan makin baik, terlihat dari kenaikan berat basah maupun jumlah daun yang mak-in meningkat walaupun masih jauh di bawah kondisi normal (Hoagland 25 %). Sedangkan dalam. efluen kolam sedimentasi yang diencerkan dengan air sungai kemudian diaerasi, dipproleh kenaikan. berat basah dan,jumlah daun yang lebih tihggi daripada dengan perlakuan aerasi saia. Dari hasil penelitian.ini dapat diambil kesimpulan bahwa e-ceng gondok sangat efektip terhadap penurunan kadar N dan BOD dari efluen kolam sedimentasi, sementara eceng gondok tidak efektip terhadap penurunan kadar P. Makin tinggi kadar unsur-unsur hara terkandung dalam-efluen kolam. Sedimentasi yang menyebabkan makin rendahnya kadar oksigen terlarut, tidak memberikan tambahan herat basah dan jumlah daun, tetapi menekan pertumbuhan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tambunan, Usman Sumo Friend
"ABSTRAK
Komposisi utama tumbuhan eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) (Solms) kering adalah. molekul selulosa. sedang komponen lain terdiri dari lignin, lemak, protein, abu dan lain-lain. Kadar selulosa di dalam tumbuhan ini agak tinggi, boleh karenanya mempunyai potensi untuk- digunakan sebagai bahan baku pulp. Tumbuhan eceng gondok yang diambil dari daerah Krawang, waduk Curug dan danau Rawa Pening, dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran—kotoran dan lumpur, kemudian dipotong-potong menjadi 2-4 cm dan selanjutnya dimasukkan kedalam oven pada suhu 1O5 ± 3 derajat C dalam waktu 2 jam Pulp yang diperoXeh ditentukan sifat-sifatnya yaitu : derajat putih, bilangan permanganat, kadar abu dan panjang serat. Rendemen dan sifat-sifat pulp eceng gondok berbeda-beda tergantung pada asal tumbuhan, tinggi eceng gondok, bagian tumbuhan yang dimasak dan cara pemasakan. Ren demen pulp yang paling tinggi dari hasil percobaan adalah 52,8 % dengan sifat sebagai berikut : derajat putih 20,8 GE, bilangan permanganat X2,27, kadar abu 8,78 % dan panjang serat rata-rata X,99 mm. Hasil ini diperoleh dari pemasakan . tangkai eceng gondok dari Curug, yang mempunyai tinggi X0X,5 i 5 cm dengan kadar NaOH X5 % per berat bahan baku kering."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1978
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianita Pratiwi Indah Lestari
"Tujuan dari penelitian adalah untuk menghasilkan selulosa mikrokristal melalui hidrolisis α- selulosa serbuk eceng gondok dan membandingkan karakteristiknya dengan pembanding (Avicel PH 101). α-selulosa eceng gondok disiapkan melalui biodelignifikasi menggunakan kapang pelapuk putih Trametes versicolor. Selulase dari rayap Macrotermes gilvus dimurnikan dengan fraksinasi ammonium sulfat, dialisis, dan kromatografi kolom.
Hasil hidrolisis ditingkatkan dengan mengoptimalkan suhu, pH, dan waktu hidrolisis. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) dan Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), diikuti oleh karakterisasi selulosa mikrokristal menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) dan pola difraksi menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) dibandingkan dengan Avicel PH 101.
Hasil penelitian menunjukkan rendemen α-selulosa dari biodelignifikasi adalah 40% b/b terhadap serbuk eceng gondok. Selulase murni dari Macrotermes gilvus menunjukkan aktivitas tinggi 11,743 U/mL membentuk area zona bening 49 mm dengan indeks selulolitik 7,16. Hidrolisis optimum dengan selulase dicapai pada 50⁰C, pH 6,0, selama 2 jam, dengan yield 90,89% MCC.
Hasil karakterisasi menunjukkan karakteristik selulosa mikrokristal mirip dengan referensi. MCC dari eceng gondok telah menunjukkan karakteristik mirip dengan referensi dan mungkin berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

The purpose of this research is to produce microcrystalline cellulose by hydrolysis of α-cellulose water hyacinth powder and compare its characteristics with a comparison (Avicel PH 101). α-cellulose water hyacinth is prepared through biodelignification using white rot mold Trametes versicolor. Cellulase from termite Macrotermes gilvus was purified by fractionation of ammonium sulfate, dialysis, and column chromatography.
The hydrolysis yield is improved by optimizing temperature, pH, and hydrolysis time. Identification was carried out using Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) and Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), followed by microcrystalline cellulose characterization using Particle Size Analyzer (PSA) and diffraction patterns using Differential Scanning Calorimetry (DSC) compared with Avicel PH 101.
The results showed the yield of α-cellulose from biodelignification was 40% w/w on water hyacinth powder. Pure cellulase from Macrotermes gilvus showed high activity of 11.743 U/mL forming a 49 mm clear zone area with a cellulolytic index of 7.16. Optimum hydrolysis with cellulase was achieved at 50⁰C, pH 6.0, for 2 hours, with a yield of 90.89% MCC.
The characterization results showed that microcrystalline cellulose characteristics were similar to references. MCC from water hyacinth has shown characteristics similar to references and may be potential for further development.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T54821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Ratnasari
"Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tumbuhan air tawar yang berpotensi dijadikan biofilter padatan tersuspensi dalam air. Eceng gondok termasuk tanaman hiperakumulator karena kemampuannya dalam mengakumulasi logam terlarut dalam perairan. Kemampuan tersebut memungkinkan eceng gondok dijadikan sebagai tanaman fitoremediasi. Penelitian terdiri dari tiga kelompok, yaitu eceng gondok sebagai biofilter padatan tersuspensi, penentuan titik jenuh pengikatan padatan tersuspensi oleh akar eceng gondok dan fitoremediasi logam Cu, Cd, Pb, dan Zn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eceng gondok dapat digunakan sebagai biofilter padatan tersuspensi dan agen fitoremediasi Cu, Cd, Pb dan Zn dalam waktu lebih dari 7 hari.

Water hyacinth (Eichhornia crassipes) is a freshwater plant that has potential as bio-filter of suspended solid in the water. Water hyacinth is one of the hyper-accumulator plants because of its ability to accumulate metals dissolved in water. Such capability can be used as phytoremediation plant. The study consisted of three groups, namely water hyacinth as a bio-filter of suspended solid, determining point of saturation binding suspended solid by its roots and phytoremediation of Cu, Cd, Pb, and Zn. The results showed that water hyacinth can be used as a bio-filter of suspended solid and phytoremediation agent of Cu, Cd, Pb and Zn in more than 7 days."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62974
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samhani Mahendra Wijaya
"Eceng gondok merupakan gulma perairan, namun memiliki kadar selulosa cukup tinggi. Selulosa eceng gondok merupakan sumber potensial bahan baku alternatif pembuatan carboxymethyl cellulose (CMC) pengganti kayu. Selulosa eceng gondok dicampurkan dalam campuran pelarut isopropanol-etanol. Kemudian dilanjutkan dengan mereaksikan selulosa eceng gondok dengan NaOH dan ClCH2COONa. Proses netralisasi dilakukan dengan menggunakan asam asetat dan etanol 96 % serta pengeringan dalam oven. Karakterisasi CMC optimum yang dihasilkan memiliki derajat substitusi (DS) 1,65 dan tingkat kemurnian 93,16 % pada kondisi konsentrasi NaOH 10 %, dengan komposisi media reaksi Isopropanol-Etanol 80 ml:20 ml.

Water hyacinth is an aquatic weed, but has a high cellulose content. Water hyacinth cellulose is a potential source for alternative materials of carboxymethyl cellulose (CMC) as wood substitutes. Water hyacinth cellulose mixed in a solvent mixture of isopropanol-ethanol. Then reacting cellulose with NaOH and ClCH2COONa. Neutralization process using acetic acid and 96% ethanol and drying in the oven. Optimum characterization of the resulting CMC has a degree of substitution (DS) of 1.65 and a purity level of 93.16% on condition 10% NaOH concentration and the composition of the reaction media is Ethanol Isopropanol 20 ml: 80 ml."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S52756
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie Hapsari
"Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan salah satu tanaman yang dianggap sebagai gulma yang dapat merusak ekosistem. Untuk mengurangi efek negatif dan meningkatkan nilai tambah dari eceng gondok, tanaman ini digunakan sebagai salah satu sumber alternatif dalam pembuatan Carboxymethyl Cellulose (CMC) karena memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi. Proses pembuatan CMC meliputi beberapa tahapan yang dilakukan secara berurutan, yaitu alkalisasi, karboksimetilasi, netralisasi, purifikasi dan pengeringan. Dua tahap pertama dilakukan dengan mereaksikan serat selulosa eceng gondok yang telah diisolasi sebelumnya dengan NaOH dan ClCH2COOH dalam suatu media reaksi.
Pada penelitian ini digunakan campuran pelarut isobutil-isopropil alkohol. Kemudian, proses netralisasi dilakukan dengan menggunakan asam asetat, purifikasi dengan ethanol 96%, dan pengeringan dilakukan dengan memanaskan dalam oven pada suhu 60°C. Variasi variabel yang dilakukan pada penelitian ini, diantaranya konsentrasi NaOH sebesar 5%, 10%, 20%, 30% dan 35%, serta perbandingan komposisi media reaksi isobutil-isopropil alkohol sebesar 20 ml:80 ml, 50 ml:50 ml, dan 80 ml:20 ml.
Suhu reaksi karboksimetilasi yang ditetapkan ialah sebesar 55°C. CMC yang dihasilkan dikarakterisasi dengan pengukuran nilai Derajat Subtitusi (DS), kemurnian serta analisis gugus fungsional dengan menggunakan FTIR. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan CMC dengan nilai DS tertinggi sebesar 2,33 ada pada kondisi komposisi campuran isobutil-isopropil alkohol 20 ml:80 ml dan konsentrasi NaOH 10% serta rendemen 138,37%, dan kemurnian 94,02%.

Water hyacinth (Eichhornia crassipes) is a plant that is considered as a weed that can damage ecosystems. In order to reduce the negative effects and to increase the added value of water hyacinth, this plant is used as one of the alternative sources in producing carboxymethyl cellulose (CMC) as it has fairly high cellulose content. CMC producing process includes several stages that are performed sequentially, i.e. alkalization, carboxymethylation, neutralization, purification and drying. The first two stages performed by reacting cellulose fibers that has been previously isolated by NaOH and sodium monochloroacetate (ClCH2COONa) in a solvent medium.
This research uses a mixture of isobutyl-isopropyl alcohol as solvent. Then, the neutralization process is done by using acetic acid, purified with 96% ethanol, and drying stage is done by heating in an oven at a temperature of 60°C. Variations variables in this research, including NaOH concentration of 5%, 10%, 20%, 30% and 35%, and the ratio of composition-isobutyl isopropyl alcohol solvent at 20 ml:80 ml, 50 ml:50 ml, and 80 ml:20 ml.
Carboxymethylation reaction temperature is set at 55°C. CMC produced are characterized by measuring the value of (Degree of Substituion) DS, purity and functional group analysis using FTIR. Based on the results, the CMC with the highest DS value of 2.33 is at the condition of mixed composition isobutylisopropyl alcohol 20 ml: 80 ml and the concentration of NaOH 10%, yield of 138.37%, and purity of 94,02%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47657
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ericco Janitra
"Penelitian mengenai plastik biodegradable sebagai pengganti plastik konvensional telah banyak dilakukan. Pada penelitian ini pati singkong digunakan sebagai matriks plastik dan dikombinasikan dengan hibrid filler yang terdiri dari CMC eceng gondok dan Polivinil Alkohol (PVA). CMC eceng gondok terlebih dahulu disintesis melalui tahap isolasi selulosa eceng gondok dan tahap reaksi sintesisnya. Kedua filler tersebut ditambahkan untuk meningkatkan properti mekanik dari plastik biodegradable. Pertama, gliserol sebagai plasticizer bersama dengan CMC eceng gondok dan PVA akan didispersikan dalam air demineralisasi dengan bantuan ultrasonic processor. Kemudian, pati singkong dimasukkan kedalam campuran lalu dipanaskan sampai kondisi gelatinasinya tercapai. Campuran tersebut dicetak dan dikeringkan menggunakan oven.
Hasil penelitian menunjukkan persentase optimum filler yang digunakan agar menghasilkan kekuatan mekanik yang tinggi adalah 30% dari massa pati dilihat dari nilai kuat tarik dan modulus young sampel 1,5 PVA. Komposisi hibrid filler yang menghasilkan bioplastik paling kuat adalah 50% PVA dan 50% CMC eceng gondok dilihat dari hasil uji mekanik sampel 5PVA : 5CMC, dengan kuat tarik 16,19 MPa dan modulus young 197,97 MPa. Hasil soil burial test selama 6 hari, menunjukkan PVA menurunkan laju degradasi dari plastik berbasis pati singkong sebesar 8,3%, sementara CMC eceng gondok meningkatkan laju degradasi plastik berbasis pati singkong sebesar 5,66%.

Research about the biodegradable plastic as a subtutite of the conventional plastic have been be conducted since a few years ago. In this research, cassava starch are used as the matrix of the plastic and are combined with the hibrid filler that consist of CMC water hyacinth and PVA. CMC water hyacinth first synthesized through a phase of water hyacinth cellulose insulation and synthesis reaction stage. Both of the filler are added to improve mechanical properties of the biodegradable plastic. First, gliserol as a plasticizer together with CMC water hyacinth and PVA are dispersed in demineralized water use ultrasonic processor. Then, cassava starch are poured into the mixture then it is heated until the gelatination condition is reached. That mixture is casted and dried use oven.
The result showed the optimum percentage of filler that is used to produce a high mechanical strength is 30% of the massa of starch views of the value of tensile strength and Young?s modulus of 1,5PVA sample. The composition of hybrid filler that produces the most powerful bioplastic is 50% PVA and 50% CMC water hyacinth seen from the results of mechanical tests of samples 5PVA : 5CMC, with a tensile strength of 16,19 MPa and 197,97 MPa Young?s modulus. results of Soil Burial Test for 6 days, showed PVA reduce the rate of degradation of cassava starch ?based plastics by 8,3%, while CMC water hyacinth increase the degradation rate of cassava starch ? based plastics by 5,66%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64709
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mitayani Wahyu Murti
"Selulosa mikrokristal merupakan turunan selulosa yang umum digunakan sebagai eksipien dalam sediaan tablet cetak langsung. Potensi kandungan selulosa yang cukup tinggi pada eceng gondok sekitar 60 memungkinkan untuk digunakan dalam pembuatan selulosa mikrokristal. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh isolat kapang selulolitik, memperoleh kondisi optimum hidrolisis enzimatis meliputi optimasi pH, suhu, waktu, dan konsentrasi enzim, dan membandingkan karakteristik selulosa mikrokristal yang didapatkan dari eceng gondok dengan selulosa mikrokristal standar, Avicel pH101.
Penelitian ini diawali dengan isolasi kapang selulolitik, kemudian enzim selulase yang diekstraksi dari kapang selulolitik digunakan untuk hidrolisis enzimatis selulosa pada ?-selulosa hasil delignifikasi dari serbuk eceng gondok untuk memperoleh selulosa mikrokristal. Selulosa mikrokristal hasil hidrolisis enzimatis dikarakterisasi dengan XRD X-Ray Diffraction dibandingkan dengan Avicel 101.
Hasil penelitian didapatkan isolat kapang selulolitik yang optimal yaitu isolat hijau tanah dan diperoleh kondisi hidrolisis yang optimal yakni pada suhu 30 C, pH 5, dan durasi 1 jam dengan volume enzim 5 mL. Berdasarkan pola difraktogram terlihat adanya kemiripan sifat kristalin antara selulosa mikrokristal hasil hidrolisis enzimatis dengan standar selulosa mikrokristal Avicel pH101.

Microcrystalline cellulose is a cellulose derivate which usually used as a pharmaceutical excipient in the manufacturing of direct compression tablet. High potency of cellulose in water hyacinth about 60 might be used in manufacturing of microcrystalline cellulose. The research aimed to obtain the best cellulolytic fungi, to obtain the optimal conditions of enzymatic hydrolysis including optimization of pH, temperature, duration and enzyme concentration, and comparing microcrystalline cellulose characteristics obtained from water hyacinth with microcrystalline cellulose standard, Avicel pH101.
This research began with isolation of cellulolytic fungus, then cellulase enzymes extracted from cellulolytic fungi was used for enzymatic hydrolysis of cellulose in cellulose resulting from delignification of the water hyacinth powder to obtain microcrystalline cellulose. Microcrystalline cellulose produced by enzymatic hydrolysis was characterized by XRD X Ray Diffraction compared with Avicel 101.
The results showed optimal cellulolitic isolat of isolate hijau tanah and obtained optimal hydrolysis conditions at 30 C, pH 5, and 1 hours in 5 mL enzyme volume. Based on the pattern of diffraction there was a similarity between microcrystalline cellulose of enzymatic hydrolysis result compared with Avicel pH101.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S67874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>