Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171102 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Achir Yani S. Hamid
"Perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia telah menimbulkan berbagai dampai baik yang positif maupun yang negalif Situasi ini telah mengakibatkan peningkatan angka kekerasan.
Sesuai dengan definisinya, kekerasan merupakan pelecehan dan penyalahgunaan seksual terhadap wanita tanpa memandang usia. Kekerasan adalah situasi yang amat kompleks dan multidimensi yang memerlukan beberapa pendekatan dan intervensi yang spesifik serta terfokus. Hal ini juga berlaku untuk penanganan bagi korban-korban perkosaan atau penyalahgunaan kekerasan seksual.
Para perawat yang bekerja di garis terdepan telah diperhitungkan sebagai sumber-sumber penting yang mampu menyelesaikan masalah ini secara profesional. Mereka juga perlu dilibatkan dalam upaya pencegahan primer, sekunder dan tertier.

Development in various aspects of life in Indonesia has produced not only positive impacts but also negative impacts but also negative impacts of human life which leads to increasing number of violence.
According to its definition, violence refers to sexual abuse to women regardless of their age Violence is a complex and multifacet situation that needs specific approaches and intervention. It applies also in the intervention for victim of rape or sexual abuse.
Nurses who are working in the front line are considered to be important resources to profesionally solve this problem. They also need lo be involved in primary, secondary, and tertiary prevention.
"
1999
JJKI-II-6-Mei1999-203
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wiwin Setyawati
"Tesis ini membahas kecenderungan penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui alasan penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum dan hakim yang menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu apakah pemidanaan berupa pidana penjara tersebut telah mempertimbangkan masa depan pelaku dan korban serta apakah tujuan yang diamanatkan oleh UU PKDRT telah tercapai dengan pemidanaan berupa pidana penjara. Penelitian ini dengan menggunakan metode yuridis normatif yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian bahwa alasan penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah karena alasan ekonomi dari pelaku. Pidana yang dijatuhkan bukan untuk membebani pelaku. Pidana yang dijatuhkan tidak sepenuhnya memperhatikan masa depan pelaku dan korban dalam melanjutkan kelangsungan kehidupan rumah tangga mereka. Meskipun di dalam proses persidangan, pada saat pembuktian khususnya telah dipertemukan secara langsung antara pelaku dan korban, yang mana pada kesempatan tersebut, baik Penuntut Umum maupun Hakim dapat mengetahui apa yang menjadi kehendak dari pelaku dan korban terhadap kelangsungan rumah tangga mereka.
Penegak hukum hanya mempertimbangkan kemampuan perekonomian dari pelaku dan korban itu sendiri sebagai salah satu faktor untuk tidak menjatuhkan pidana denda. Tujuan yang diamanatkan dalam UU PKDRT selaras dengan tujuan pemidanaan, bahwa pemidanaan bukan hanya sebagai sarana balas dendam bagi pelaku dan pencegahan terjadinya tindak pidana dalam masyarakat. Namun hanya tujuan mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga (tujuan preventif) dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga (tujuan represif) dapat dikatakan tercapai melalui pidana penjara.

This thesis discusses the tendency of law enforcement in particular the Public Prosecutor and the judges who impose imprisonment for criminal of domestic violence. The purpose of this paper is to investigate the reasons of law enforcement in particular the Public Prosecutor and the judges who impose imprisonment to perpetrators of domestic violence. Also whether the punishment of imprisonment has been considering the future of the perpetrator and the victim and whether the objectives mandated by the Act (PKDRT) have been met with punishment of imprisonment. This study using a normative juridical method which is then presented as descriptive analysis.
The research that reason in particular law enforcement Prosecutors and judges who impose imprisonment for criminal domestic violence is due to economic reasons of the perpetrator. Imposed criminal not to burden the perpetrator. The penalties imposed are not fully consider the future of the perpetrator and victim in the continued sustainability of their domestic life. Although in the trial process, especially when the proof has been met directly between perpetrator and victim, which, on occasion, both public prosecutor and the judge can find out what the will of the perpetrator and the victim to the continuation of their household.
Law enforcement considers only the economic capability of the perpetrators and the victims themselves as one factor to not impose a fine. Goals mandated by the Act (UU PKDRT) in line with the objectives punishment, that punishment is not only as a means of revenge for the offender and the prevention of crime in society. But the only purpose of preventing all forms of domestic violence (preventive purposes) and prosecution of domestic violence (repressive purposes) can be said to be achieved through imprisonment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30069
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ryzza Dharma
"International Criminal Police Organization or Interpol is an international organization formed to assist the handling of transnational crimes. In handling transnational crimes, Interpol has a global communication system (I-24/7) which is very effective in the exchange of information between Interpol member countries in dealing with transnational crimes. Other than through the I-24/7, Interpol also involves in effective cooperation in handling transnational crimes through various notifications that are given by the Interpol. One of the Interpol notifications which was very important in handling transnational crimes is the red notice. Interpol cooperation system also supports other international legal instruments in the prevention of transnational crimes, which is supporting the implementation of mutual legal assistance and extradition. Effectiveness of the Interpol cooperation patterns can be seen in the handling of M. Nazaruddin case. M. Nazaruddin, which was determined to be a suspect of fraud case and banking crimes by the Corruption Eradication Commission, had returned to Indonesia with the help of Interpol after his escape to several countries.

International Criminal Police Organization atau Interpol adalah suatu organisasi internasional yang dibentuk untuk membantu penanganan kejahatan transnasional. Dalam penanganan kejahatan transnasional Interpol memiliki sisitem komunikasi global (I-24/7) yang sangat efektif dalam pertukaran informasi diantara negara anggota Interpol dalam menangani suatu kejahatan transnasional. Selain melalui I-24/7, Interpol juga melakukan kerja sama yang efektif dalam penanganan kejahatan transnasional melalui berbagai notifikasi yang dimiliki oleh Interpol. Salah satu notifikasi Interpol yang sangat berperan dalam penanganan kejahatan transnasional adalah melalui red notice. Sistem kerja sama Interpol ini juga menunjang instrumen hukum internasional lainnya dalam penanggulangan kejahatan transnasional, yaitu menunjang pelaksanaan mutual legal assistance dan ekstradsi. Efektivitas pola kerja sama Interpol ini dapat terlihat dalam penanganan kasus M. Nazaruddin. M. Nazaruddin yang ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi dan kejahatan perbankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil dikembalikan ke Indonesia atas bantuan Interpol setelah sebelumnya melarikan diri kebeberapa negara."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S43671
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Paramaswara
"Persoalan korupsi di Indonesia ini juga menjadi salah satu jenis kejahatan yang sangat sulit dideteksi karena melibatkan kerjasama dengan pihak lain dan sudah mengakar yang tertuang dalam praktik obstruction of justice. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan peran penyidik Polri dalam melakukan penegakan hukum terhadap obstruction of justice sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Teori yang dipergunakan adalah teori kriminalisasi, teori kesengajaan, teori penegakan hukum, dan teori peran. Metode penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan kulitatif. Data yang dipergunakan adalah data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara, dan data sekunder yang diproleh melalui studi dokumen. Teknik analisis data mempergunakan metode triangulasi data yang
ditindaklanjuti dengan reduksi data, sajian data dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan alasan delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena adanya pertentangan terhadap asas yang fundamental dalam hukum pidana, yang mana berbagai bentuk pertentangan ini berupa segala upaya yang dilakukan dalam bentuk pembangkangan terhadap fungsi instrumentasi asas legalitas karena dianggap menunda, menghalangi, atau mengintervensi aparat penegak hukum yang sedang memproses saksi, tersangka, atau terdakwa dalam suatu perkara dalam proses peradilan yang sering terjadi dalam peradilan tindak pidana korupsi, sehingga keberadaan peraturan obstruction of justice secara jelas tertuang di dalam penjelasan lebih lanjut di dalam pengarutan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Peran penyidik Polri dalam penanganan obstruction of justice pada tindak pidana korupsi selama ini kurang maksimal karena selama ini penyidik cenderung mengesampingkan adanya tindak pidana lain (obstruction of justice) yang menyertai penyidikan kasus korupsi tersebut, penyebabnya adalah karena mereka merasa cukup kelelahan di dalam penyidikan tindak pidana korupsi sehingga mereka dengan tidak sengaja mengesampingkan adanya tindaka obsruction of justice yang ada disekelilingnya.

The problem of corruption in Indonesia has also become a type of crime that is very difficult to detect because it involves cooperation with other parties and is deeply rooted in the practice of obstruction of justice. Therefore, an in-depth analysis is needed on this matter. The purpose of this study is to analyze the offense of obstruction of justice as a crime regulated in the Corruption Act and the role of Polri investigators in enforcing the law against obstruction of justice as referred to in Article 21 of the Corruption Crime Eradication Act.
The theories used are criminalization theory, intentional theory, law enforcement theory, and role theory. This research method was carried out through a qualitative approach. The data used are primary data obtained through observation and interviews, and secondary data obtained through document studies. The data analysis technique used the data triangulation method which was followed up with data reduction, data presentation and data verification.
The results of the study show that the reason for the offense of obstruction of justice to become a crime regulated in the Corruption Crime Act is due to the conflict with the fundamental principles of criminal law, in which various forms of conflict are in the form of all efforts made in the form of defiance of the function of the instrumentation principle. legality because it is considered to delay, obstruct, or intervene in law enforcement officials who are processing witnesses, suspects, or defendants in a case in the judicial process which often occurs in corruption trials, so that the existence of obstruction of justice regulations is clearly contained in a further explanation in drafting the Corruption Crime Act. The role of Polri investigators in handling obstruction of justice in corruption crimes has so far not been optimal because investigators have tended to rule out the existence of other crimes (obstruction of justice) accompanying the investigation of these corruption cases, the reason is because they feel quite exhausted in investigating criminal acts. corruption so that they unintentionally rule out the obstruction of justice that surrounds them.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanita
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui garnbaran umum tentang korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan peran Lembaga Kalyanamitra Jakarta dalam menanganai kasus KDRT serta mengidentifikasi faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi oleh lembaga tersebut dalam penanganan kasus kekerasan. Fenomena ini diambil karena kekerasan dan ketidakberdayaan (powerless) lingkup KDRT kini semakin menonjol, dan menurut data yang ada setiap tahun kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga ini mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas, sementara upaya-upaya dari pihak terkait untuk mengatasi masalah tersebut juga sangat terbatas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode lebih ditekankan pada verstehen, yaitu memberi tekanan interpretatif terhadap pemahaman informan penelitian. Pemilihan informan dilakukan dengan non-probability sampling yang meliputi dewan pimpinan Lembaga Kalyanamitra, Koordinator Divisi Pendampingan, Pendamping lapangan, psikolog dan korban KDRT. Untuk mengumpulkan data dari penelitian ini digunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), observasi partisipan dan studi dokumentasi. Ketiga teknik ini digunakan untuk saling melengkapi, sehingga dapat mengungkap realitas sosial dari berbagai jawaban informan. Adapun teori yang dijadikan rujukan dan kerangka analisis dalam penelitian ini adalah teori proses pekerjaan sosial (social work process) yang dikemukakan oleh Compton & Galaway (1994) yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial, termasuk dalam penanganan kasus korban KDRT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konteks ini, kasus kekerasan suami terhadap istri masih dipandang sebagai aib, bila dibawa ke sektor publik atau diperkarakan secara hukum, tetapi dianggap sebagai kewajaran, yaitu sebagai bentuk pendisiplinan suami terhadap istri. Secara sosiologis, mereka lebih tepat disebut korban-korban tindak kekerasan suami terhadap istri atau KDRT. Pemahaman ini berangkat dari realitas bahwa sebagian besar dari mereka merupakan korban kejahatan dalam rumah tangga yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan psikologis, juga termasuk menerima ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga.
Penelitian ini menemukan bahwa bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban adalah kekerasan ganda dan pada umumnya korban tidak menyangka kalau suami korban akan tega melakukan kekerasan terhadapnya. Dampak kekerasan yang dialami oleh korban adalah menimbulkan trauma fisik dan psikologis yang berlangsung lama (jangka panjang), menimbulkan kerugian moril dan materil, bahkan ada korban yang mengalami depresi berat sehingga membutuhkan pendampingan psikiater dan sampai sekarang kondisi jiwanya labil.
Kendala yang dihadapi lembaga dalam proses penanganan kasus korban tindak kekerasan dalam rumah tangga terkait dengan keterbatasan dana dan tidak dimilikinya tenaga pengacara untuk menangani kasus ligitasi; tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur anti-KDRT, sikap pelaku dan keluarga korban pada umumnya tak peduli terhadap program yang diselenggarakan Lembaga Kalyanamitra, dan sikap korban sendiri yang cenderung mengalah, pasrah dan ketidaktahuan dalam mencari akses bantuan.
Berdasarkan temuan penelitian ini, maka disarankan kepada Lembaga kalyanamitra untuk : menggali dana dari funding lain (fundraising), membentuk network yang solid dengan stakeholder dan pihak terkait di tingkat lokal, nasional maupun internasional sehingga basis sosial Lembaga Kalyanamitra kuat dan isue KDRT diangkat sebagai isue politis, perlu dipersiapkan petugas khusus yang menangani data pendukung (case record), merekrut atau mendidik pendamping yang berpendidikan ilmu pekerjaan sosial, tanggung jawab pendamping sesuai dengan jumlah korban dampingannya hingga proses penanganan selesai dan perlunya membuat kontrak penanganan antara korban dan lembaga."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Hidayati
Yogyakarta : Departemen Sosial RI, 2005
323.34 UMI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gisella Tani Pratiwi
"Keptihatinan peneliti akan kasus anak yang menyaksikan KDRT karena adanya jumlah kasus yang memprihatinkan dan kurangnya perhatian terhadap anak-anak tersebut. Faktor lain yang mendukung kasus tersebut adalah adanya krisis sosial ekonomi yang melanda Indonesia.
Istilah umum yang biasa dipakai mengacu pada kekerasan fisik, penelantaran (neglect), kekerasan seksual, dan kekerasan emosional adalah salah asuh pada anak (child maltreatment) (Mash & Wolfe, 1999). Anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk penelantaran emosional.
Anak-anak yang menyaksikan KDRT seperti T, mengalami distorsi kognitif serta dampak lain yang membuat perkembangannya tidak optimal. Distorsi kognitif rnerupakan fokus masalah bagi Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT merupakan intervensi yang paling banyak memiliki evaluasi empiris dibandingkan intervensi lain yang menangani simptom yang berksjtan dengan trauma pada anak.Hasil penelitian juga menunjukkan adanya bukti yang cukup kuat bahwa intervensi kognitif memiliki peranan dalam memulihkan simptom yang berhubungan dengan peristiwa traumatik akibat pengalaman anak dari bermacam-macam sumber tekanan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka peneliti ingin menerapkan penanganan dengan pendekatan CBT terhadap anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga dengan tiga tahapan, yaitu : Identifikasi distorsi kognitif Mencari fakta-fakta yang melawan distorsi kognitif yang telah teridentifikasi dan membentuk pemikiran yang positif; serta mengajarkan subjek kemampuan kognisi baru.
Hasil penanganan dengan pendekatan CBT terhadap T, anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya pembentukan awal cara pandang altematif pada T mengenai peristiwa tersebut. Hasil tersebut belum mencapai tujuan yang direncanakan. Beberapa hal yang menghambat proses terapi adalah dari faktor metode terapi dan peneliti serta karakteristik T sendiri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Resinta
"Terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa, sehingga harus ditangani dengan cara yang luar biasa juga. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 memberikan peran bagi Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia. Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana dari pasal tentang pelibatan TNI tersebut masih dalam tahap penyusunan. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji peraturan tentang tindak pidana terorisme, TNI, Polri dan BNPT. Pemisahan peran dan wewenang antara TNI, Polri dan BNPT dalam penanganan tindak pidana terorisme harus jelas, begitu juga batasan tentang tindakan yang dapat dilakukan oleh TNI dalam menangani terorisme dan bentuk tindak pidana terorisme yang memerlukan keterlibatan TNI. Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia akan menggunakan konsep pencegahan, penindakan dan pemulihan. Adapun peran TNI sealama ini dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan tugas perbantuan kepada Polri, apabila situasi diluar kapabilitas Polri maka TNI dapat bertindak. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme merupakan leading sector dalam koordinasi antar lembaga penanggulangan terorisme di Indonesia.

Terrorism is an extraordinary crime, so it must be handled in an extraordinary way too. Law Number 5 Year 2018 provides a role for TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia. The Presidential Regulation as the implementing regulation of the article on TNI involvement is still in the drafting stage. The method used is normative legal research by reviewing the regulation on criminal acts of terrorism, TNI, Polri, and BNPT. Separation of roles and authority between TNI, Polri and BNPT in handling terrorism must be clear, as well as restrictions on actions that can be taken by TNI in handling criminal acts of terrorism and forms of criminal acts of terrorism that require TNI  involvement. The involvement of TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia will use the concepts of prevention, repression and recovery. As for the role of the TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia at this time, it’s a duty of assistance to Polri, if the situation is beyond the capability of the Polri, TNI will act. The National Counter Terrorism Agency (BNPT) is the leading sector in coordination between counter-terrorism institutions in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52401
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>