Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103867 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Suhandojo
"Sejak orde baru, kebijakan tentang industrialisasi, sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan, tertuang dalam Rencana Pembangunan Lima Tabun (REPELITA) yang secara bertahap dilakukan peningkatan. Diawali Pelita I (1969 - 1974) yang memberikan tekanan pada sektor industri dengan membangun industri pendukung sektor pertanian. Dilanjutkan pada Pelita II (1974 - 1979) yang di arahkan untuk memperkuat pengusaha pribumi, industri kecil, pembangunan daerah serta perluasan kesempatan kerja. Pada Pelita M (1979 - 1984), adanya perkiraan peningkatan penerimaan minyak bumi, telah mendorong diversifikasi industri dan integrasi ke belakang (backward integration), yaitu tumbuhnya industri hulu.
Pada Pelita IV (1984 - 1989) lebih ditekankan pada unsur keterkaitan, yaitu pembangunan industri dasar yang menghasilkan bahan baku industri, industri barang konsumsi, dan barang-barang modal akan memperkuat keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Masa Pelita IV ini kebijaksanaan pembangunan diarahkan pada berbagai industri barang modal yang lebih besar, terutama industri mesin dan peralatan. Kemudian sebagai tahun akhir Pembangunan Jangka Panjang (PP) I, Pelita V (1989 - 1994) diarahkan pada kebijakan perubahan struktur ekonomi Indonesia secara fundamental, yaitu adanya keseimbangan antara sektor industri yang canggih dengan sektor pertanian yang efisien, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuas kesempatan kerja.
Memasuki awal PP II, kebijaksanaan industri pada Pelita VI (1994 - 1999) adalah pengembangan industri-industri berdaya saing kuat melalui pemanfaatan keunggulan komparatif yang dimiliki dan sekaligus secara bertahap menciptakan keunggulan kompetitif yang dinamis. Pasar domestik yang sangat potensial dikembangkan agar makin kompetitif dan dimanfaatkan sebagai basis bagi penciptaan berbagai industri yang mampu bersaing di pasar internasional. Prioritas pengembangan jenis industri dalam Pelita VI adalah agroindustri dan agribisnis yang produktif termasuk jasa; industri pengolah sumberdaya mineral; industri permesinan, barang modal dan elektronika termasuk industri yang menghasilkan komponen dan sub-perakitan serta industri penunjang lainnya, terutama industri bernilai tambah tinggi dan berjangkauan strategis; dan industri berorientasi ekspor yang makin padat ketrampilan dan keanekaragaman, termasuk tekstil dan produk tekstil.
Sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan yang memberikan tekanan pada sektor industri, maka peranan sektor industri pengolahan, termasuk industri rnigas, makin meningkat dalam struktur perekonomian Indonesia. Ini tercermin pada komposisi Produk Domestik Bruto (PDB), dimana pada Pelita 1 bare sekitar 9,6 persen meningkat menjadi 21,0 persen pada tahun 1992, atau selama PIP I mengalami pertumbuhan sebesar 12,0 persen per tahun. Pada mesa PIP II kontribusi industri pengolahan terhadap PDB meningkat cukup tajam, di tahun 1994 23,35 persen dan tahun 1996 25,16 persen.
Peningkatan peranan sektor industri pengolahan diikuti oleh penurunan peranan sektor pertanian. Dalam dekade 1975-1985 peranan sektor pertanian menurun dari 26,46 persen menjadi 22,68 persen. Bahkan di tahun 1991, untuk pertama kalinya peranan sektor industri pengolahan melampaui sektor pertanian, masing-masing sebesar 19,9 persen dan 18,5 persen. Dari tiga tahun awal PIP II peranan sektor pertanian dalam PDB terus menurun, yaitu 17,29 persen, 17,16 persen, dan 16,30 persen. Perubahan mendasar inilah yang menandai berubahnya struktur ekonomi dari agraris ke industri.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Widyawati
"Kebijakan pembangunan yang bias ke sektor manufaktur harus didukung oleh kinerja yang lebih baik dari sektor tersebut. Karenanya perlu dilihat kualitas input dan parameter-parameter produksi di tiap sektor. Skripsi ini bertujuan melihat kondisi input, output dan parameter produksi di sembilas sektor perekonomian Indonesia dan menentukan alokasi faktor produksi dalam kurun waktu 1976-1990. Model fungsi produksi-meta yang bersifat translog digunakan sebagai pendekatan karena dapat memperhitungkan perbedaan kondisi antar sektor dan mengindentifikasikan skala produksi dan kemajuan teknologi. Sebagai variabel input digunakan stok modal, tenaga kerja dan mutu modal manusia. Untuk menghasilkan dugaan yang tidak bias dan efisien digunakan teknik Seemingly Unrelated Regression dalam proses pendugaan. Studi ini menunjukkan terjadinya penurunan kualitas input, produktivitas total dan skala produksi terutama di hampir semua sektor. Umumnya kemajuan teknologi yang terjadi bersifat hemat modal atau intensif tenaga kerja. Di sektor-sektor yang padat modal mengalami skala produksi yang meningkat, sedangkan di sektor-sektor yang padat karya umumnya mengalami skala produksi yang menurun. Sektor manufaktur masih memiliki keunggulan dibandingkan sektor lain karena kualitas sumber daya manusianya meningkat dan laju pertumbuhan produktivitas total positif. Skala produksi di sektor manufaktur relatif tinggi dibandingkan sektor padat karya lainnya. Sektor pertanian mengalami penurunan dalam kualitas mutu modal manusia dan produktivitas tatalnya memburuk. Sedangkan di sektor jasa terjadi penurunan kualitas modal dan mutu modal manusianya. Walaupun produktivitas total masih menurun tetapi penurunannya kian mengecil. Alokasi investasi menunjukkan modal lebih menguntungkan jika dialokasikan ke sektor manufaktur dan mutu modal manusia ke sektor jasa. Kondisi input dan parameter produksi menuntujukkan membaiknya kinerja sektor industri tidak diikuti sektor lainnya sehingga terjadi keseimbangan sektoral dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk itu kebijakan yang sebaiknya ditempuh adalah meningkatkan produktivitas di sektor pertanian dan jasa dengan meningkatkan mutu modal manusia di kedua sektor tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
S19046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bayu Krisna Setyadi
"Sektor industri manufaktur merupakan komponen utama penggerak perekonomian nasional dan memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional. Sejak tahun 1991, sektor industri manufaktur menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia. Era globalisasi yang terus berkembang pesat belakangan ini menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor penentu daya saing industri suatu negara tidak terkecuali industri manufaktur di Indonesia. Kondisi ini mendorong penulis untuk mengetahui perkembangan dan peranan kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan sektor industri manufaktur di Indonesia. Hasil studi ini menemukan bahwa sektor industri manufaktur di Indonesia telah mengalami perkembangan kemajuan teknologi yang positif meskipun tarafnya masih relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain. Peranan perkembangan kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan output di sektor ini juga mengalami peningkatan. Studi ini juga memperoleh bahwa selama periode penelitian, kebijakan liberalisasi investasi yang dilakukan pemerintah tidak mampu mendorong terjadinya proses alih teknologi. Dimana kebijakan ini tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan kemajuan teknologi pada sektor industri manufaktur Indonesia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mintargo
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengestimasi model pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Pulau Sumatra dengan memperhatikan masalah perbedaan efisiensi dalam produksi, kualitas output ataupun input, sumber daya alam dan infrastruktnr, (ii) mengestimasi elastisitas output terhadap perubahan input dan angka kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Pulau Sumatra.
Model fungsi produksi meta yang bersifat translog digunakan sebagai pendekatan karena dapat memperhitungkan perbedaan kondisi antar propinsi (propinsi berpendapatan tinggi dan propinsi - berpendapatan rendah) dan kemajuan teknologi. Sebagai variabel input digunakan stok barang modal dan tenaga kerja. Untuk menghasilkan dugaan yang tidak bias dan efisien digunakan teknik See mingly Unrelated Regression dalam proses pendugaan.
Studi ini menunjukkan terjadinya penurunan dan peningkatan kualitas input pada tahun-tahun tertentu, sedangkan produktivitas total faktor (PTT) mengalami kemajuan pada semua propinsi. Pada golongan propinsi berpendapatan tinggi produktivitas total faktornya lebih tinggi dari golongan propinsi berpendapatan rendah, hal ini berkaitan erat dengan migas yang dihasilkannya. Alokasi investasi mennnjukkan bahwa barang modal lebih menguntungkan secara relatif jika dialokasikan ke golongan propinsi berpendapatan tinggi dari pada ke golongan propinsi berpendapatan rendah.
Kondisi input dan parameter produksi menunjukkan membaiknya kinerja antar propinsi dalam pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatra. Untuk itu kebijakan yang sebaiknya ditempuh adalah meningkatkan produktivitas di propinsi berpendapatan rendah dengan meningkatkan mutu modal manusia melalui pendidikan, ketrampilan dan latihan. Sehingga dalam jangka panjang diharapkan bahwa produktivitas total faktor yang ada di propinsi berpendapatan rendah bisa menyamai atau paling tidak dapat mendekati produktivitas total faktor propinsi berpendapatan tinggi, sehingga secara nasional dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapia
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan menganalisa perkembangan produktivitas, efisiensi, dan kemajuan teknologi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada industri alat angkutan (ISIC 384). Adapun model yang digunakan adalah mengunakan fungsi produksi meta. Dalam studi ini, industri alat angkutan dinnci menurut wilayah, yang mana terdiri dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dari hasil studi ini, ternyata hipotesa, fungsi produksi bersifat non homotetik, tidak bersifat constant return to scale, dan kemajuan teknologi tidak bersifat natal secara nyata terbukti. Hipotesa produktivitas tenaga kerja, efisiensi pada tahun dasar dan laju pertumbuhan efisiensi input dan output industri alat angkutan di DKI Jakarta terbaik, di tolak.
Laju pertumbuhan efisiensi modal antar wilayah bervariasi namun sama-sama mengalami penurunan kualitas input kapital. Di sisi lain untuk input tenaga kerja ada kecenderungan peningkatan efisiensinya, dengan laju yang cukup berbeda.
Sementara itu, tingkat efisiensi dan laju efisiensi outputnya antar wilayah sama dengan wilayah base, yaitu sebesar satu kecuali Jawa Barat, di mana tingkat efisiensi output pada tahun dasar terlalu tinggi. Adapun laju pertumbuhan efisiensi output sebesar 1,099 untuk semua wilayah, kecuali Jawa barat (-1,98). Hal ini kemungkinan dikarenakan tidak dapat diterapakan secara penuh model fungsi produksi meta pada studi ini.
Hasil estimasi menunjukan bahwa, elastisitas modal dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kualitas barang modal, peningkatan teknologi serta tenaga kerja dan penambahan modal justru akan menurunkan elastisitas modal. Kecuali untuk. industri di Jawa Barat, ternyata teknologi berpengaruh negatif terhadap peningkatan elastisitas modal. Positifnya peranan teknologi terhadap elastisitas output terhadap modal, kecuali Jawa Barat berarti bahwa hipotesa teknologi berperan positif terhadap elastisitas output terhadap modal, terbukti. Namun hipotesa yang sama tidak berlaku pada elastisitas output terhadap tenaga kerja industri alat angkutan di semua wilayah studi. Di mana kemajuan teknologi berpengaruh negatif terhadap peningkatan elastisitas tenaga kerja di semua wilayah studi.
Nilai skala usaha secara umum berbeda antar daerah dan ada kecenderungan membaik. Pada industri alat angkutan yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur tampak gejala increasing return to scale, kecuali untuk industri alat angkutan di Jawa Barat sejak tahun 1989-1992 mengalami kemunduran.
Produktivitas marjinal modal industri alat angkutan bervariasi namun secara umum rendah bahkan negatif, kecuali Jawa Tengah mendekati satu. Kemajuan teknologi berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas marjinal modal dan berpengaruh negatif terhadap produktivitas marjinal tenaga kerja. Negatifnya peranan teknologi tergadap produktivitas marjinal tenaga kerja berarti menolak hipotesa yang mengutakan bahwa teknologi berperan positif terhadap produktivitas marjinal tenaga kerja. Sebaliknya hipotesa tersebut terbukti pada produktivitas marjinal modal, kecuati industri yang sama di Jawa Barat. Di mana teknologi berpengaruh negatif terhadap produktivitas marjinal modalnya.
Bila pasar indutri alat angkutan diasumsikan persaingan sempurna, maka produktivitas marjinal tenaga kerja mencerminkan balas jasa yang harus diterima oleh tenaga kerja. Dari hasil estimasi yang berdasarkan harga konstan 1983, ternyata tingkat upah yang diterima tenaga kerja meskipun mengalami kenaikan tidak sebanding dengan sumbangan mereka terhadap nilai tambah outputnya.
Efisiensi secara keseluruhan industri alat angkutan di semua wilayah studi dapat dilihat dari kemajuan teknologinya (laju pertumbuhan total faktor produktivitasnya). Hasil empiris dari studi ini menunjukan bahwa industri alat angkutan di DKI Jakarta ada kecenderungan makin menurunnya laju kemajuan teknologi, begitu pula di Jawa Barat, bahkan cenderung negatif. Hal ini kemungkinan mencerminkan adanya peningkatan inefisiensi pada industri alat angkutan di kedua wilayah tersebut. Namun di Jawa Tengah dan Jawa Timer, meskipun pada awalnya kemajuan teknologinya negatif, namun ada kecenderungan meningkat dengan arah positif. Hipotesa yang mengatakan kemajuan teknologi industri alat angkutan semakin membaik dengan berjalannya waktu hanya terbukti untuk industri yang sama di Jawa Tengah dan Jawa Timut.
Dari basil estimasi fungsi produksi meta pada studi ini, ternyata industri alat angkutan di semua wilayah studi bersifat hemat modal (capital saving) dengan kata lain lebih baik bersifat padat karya.
Berdasarkan temuan yang diperoleh selama periode studi, maka dapat disarankan beberapa langkah kebijakan yang harus dilakukan pada industri alat angkutan. Agar sumberdaya yang ada dapat digunakan secara optimal, penempatan sumber daya tersebut harus dipilih pada industri alat angkutan yang paling besar manfaat sosialnya. Dari sisi produksi, manfaat tersebut dapat dilihat dari nilai produktivitas marjinal inputnya. Untuk industri alat angkutan di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur akan lebih baik meningkatkan kualitas input modal, efisiensi, kualitas tenaga kerja ketimbang memperbesar atau menambah barang modalnya. Sementara itu untuk industri yang sama di Jawa Tengah masih dapat menambah barang modal yang tentunya harus sesuai dengan kebutuhan serta lingkungannya.
Namun secara umum, industri alat angkutan di semua wilayah studi harus meningkatkan kemampuan serta ketrampilan sumberdaya manusianya agar seirama dengan derap kemajuan teknologi pada sub-sektor tersebut. Dengan demikian jelas bahwa tingkat pendidikan dan keahlian merupakan faktor penting. Tanpa persedian teknisi terlatih, insinyur, dan ilmuwan murni, maka sulit bagi industri alat angkutan kita mengoptimalkan pengunaan teknologi moderen.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perbaikan manejemen serta peningkatan dana R&D agar proses alih teknologi dapat berjalan dengan baik. Di samping itu, industri alat angkutan Indonesia harus berorientasi ekspor agar dapat mengotimalkan pengunaan teknologi yang ada dalam upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erniati Husni
"ABSTRACT
This Study proves that the validity of Cobb-Douglas production function with constant return to scale and Hicks neutral technological change at manufacturing industry in Indonesia during 1985-1990, especially for two-digit ISIC 31, 32, 33. The author found that the output elasticities of capital is much more than its labor in each sub-manufacturing industries. Therefore, industries in Indonesia have been developed with capital intensive and labor saving biases in technological progress. In addition, the empirical results indicated that the Cobb-Douglas production function is decreasing return to scale.
On the other hand, the substitution elasticities for ISIC 31 is inelastic, but others are elastic. This results indirectly linked to the government policy. In the economy as a whole, the capital induce become more expensive with the government policy. Consequently, the ISIC 32, 33 will tend to labor intensive, except for ISIC 31. However, actual rate of return on capital is much more greater than its marginal product, reflecting the higher cost of expansion and development of sub-manufacturing industries in Indonesia from social welfare point of view.
Beside that, actual return to labor is lower than value of its marginal product every year during the observed period. Essentially, for the period observed, the sub-manufacturing industries in Indonesia has not benefited the labor cost comparative advantage which should be enjoyed in the labor market with excess supply of labor. Therefore, the prospect of output of the sub-manufacturing industries do not achieve a satisfactory from the Hecksher-Ohlin theory point of view. However, Indonesia should increase the output of industry in order to lower the fixed cost of production per unit through optimality the utilized capacity. "
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Senyawa-senyawa perklorat merupakan oksidator kuat yang dapat berperan sebagai bahan penyedia oksigen dalam proses pembakaran. Senyawa-senyawa perklorat tersebut banyak macamnya, tetapi yang banyak digunakan dalam dunia komersil di antaranya adalah kalium perklorat, magnesium perklorat, sodium perklorat, litium perklorat dan amonium perklorat. Senyawa-senyawa perklorat tersebut digunakan sebagai komponen dari “fireworksâ€, piroteknik, “flareâ€, bahan peledak, dan sebagai bahan propelan roket. Ketertarikan dunia akan perklorat dimulai pada akhir 1890-an atau pada awal 1900-an di Eropa dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1950-an, mulai ditemukan bahwa senyawa amonium perklorat memiliki standar energi yang lebih tinggi (untuk propelan dan rudal) dibanding dengan senyawa perklorat yang lain. Hal ini menyebabkan produksi senyawa perklorat dunia lebih banyak terkonsentrasi pada produksi 1 (satu) senyawa yaitu amonium perklorat, produksinya mencapai 36 juta pound (16 juta Kg). Sejak tahun 1994, data-data produksi amonium perklorat dunia mulai dirahasiakan, karena amonium perklorat dianggap sebagai senyawa strategis bidang rudal dan roket"
621 DIRGA 9 (1-4) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>