Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 848 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steele, Ken
Bandung: Qanita, 2004
813 STE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Idris
Jakarta: Hikmah, 2007
297.8 MUH m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anggraeni
Yokyakarta: Bentang, 2010
305.895 DEW m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Djenar Maesa Ayu
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
899.221 3 Ayu m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djenar Maesa Ayu
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004
I 899.232 A 521 m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Riyadi
"Perilaku-perilaku tak wajar seorang tokoh tertentu di dalam sebuah karya sastra atau film terkadang menimbulkan pertanyaan apakah perilaku-perilaku tersebut dapat dipercaya atau tidak. Terkadang memang tidak mudah untuk memahami alasan yang membuat tokoh tersebut berperilaku sebagaimana digambarkan dalam cerita di karya sastra atau film tersebut. Di sinilah pendekatan psikoanalisis bisa menjadi alat yang sesuai untuk memahami hal tersebut.
Kajian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip psikoanalisis dapat digunakan untuk lebih memahami sebuah film yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, terutama tokoh utamanya, yaitu Adjeng. Secara lebih spesifik, tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk menemukan bagaimana (1) unsur-unsur naratif dan sinematografis film ini mencerminkan prinsip-prinsip psikoanalisis Freud, dan (2) bagaimana gejala-gejalan neurosis tokoh utama di dalam film ini ditunjukkan di dalam film, dan bagaimana gejala-gejala tersebut terkait dengan masa lalunya.
Dari hasil analisis unsur-unsur naratif film (tema, alur, penokohan, simbol, metafor, ironi, dan alegori) ditemukan bahwa semua unsur naratif tersebut sangat terkait dengan prinsip-prinsip psikoanalisis Freud. Keterkaitan yang sama juga ditemukan pada unsur-unsur sinematografisnya (gambar, gerakan, dan suara). Keterkaitan unsurunsur sinematografis ini mungkin tidak sejelas keterkaitan dengan unsur-unsur naratif. Meski begitu, unsur-unsur sinematografis tetap mempertegas keterkaitan antara struktur film ini dengan prinsip-prinsip psikoanalisis.
Sementara itu, analisis gejala-gejala neurosis pada tokoh utama film ini, Adjeng, menemukan adanya dua macam gejala neurosis yang diderita Adjeng, yaitu ketakutan akan keintiman dan ketakutan akan ditinggalkan (ditelantarkan). Gejala-gejala tersebut ditunjukkan oleh sekuen-sekuen yang menunjukkan hubungannya dengan orang-orang terdekatnya, seperti ibunya, kekasih-kekasihnya, dan teman-teman dekatnya. Gejala-gejala neurosis tersebut terkait erat dengan kejadian-kejadian traumatis yang dialami Adjeng ketika masih kecil dulu, khususnya saat ia mengalami kompleks Oedipus.

Uncommon behaviors of a certain character in a literary work or movie sometimes raise a question if such behaviors are really believable or not. In fact, it is sometimes difficult to understand why such character does the things s/he does in the story told by the literary work or movie. In this case, a psychoanalysis approach can be a very effective tool to understand such thing.
This study aims at showing how psychoanalysis principles can be used to get a better understanding of a movie entitled Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Say, I am a Monkey!), in general, and its character(s), in particular. To be more specific, the objective of this qualitative research is to find out (1) how the narrative and cinematographic elements of this movie reflect Freud's Psychoanalysis principles and (2) how the neurosis symptoms of the main character in this movie, Adjeng, which are related to her childhood memories, are shown in the movie.
The analysis of its narrative elements (theme, plot, characterization, symbolism, metaphor, irony, and allegory) shows that all the elements are closely related to Freud's Psychoanalysis principles. The same finding also goes to the analysis of its cinematographic elements (picture, motion, dan sounds). Such relation might not be as vivid as the one found in its narrative elements, but cinematographic elements certainly give strong emphasis on such principles.
As for the neurotic symptoms of the main character, Adjeng, it is found that there are basically 2 kinds of neurotic symptoms that she suffers from; fear of intimacy and fear of abandonment. Such symptoms are shown by the sequences that show her relationship with the people she is close to, including her mother, her lovers, and her close friends. These neurotic symptoms are deeply rooted to her traumatic experiences in her childhood when Oedipus Complex took place.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41375
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Widyas Sukma Ningrum
"Perkembangan teknologi yang masif dapat membuat kewaspadaan manusia mengendur. Oleh sebab itu, teknologi yang semakin canggih dapat menjadi kondisi yang menyeramkan bagi manusia apabila tidak dipahami secara kritis. Penelitian ini mengkaji teknoutopianisme yang terdapat dalam novel Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku (2019) karya Ruwi Meita. Novel ini menarik karena memiliki dua alur penceritaan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan konsep naratologi dan dehumanisasi sebagai landasan teori utama. Hasil penelitian menemukan bahwa teknoutopianisme adalah keyakinan yang menjerumuskan manusia pada kondisi dehumanisasi sebab adanya kepercayaan berlebih kepada produk teknologi. Dehumanisasi tidak hanya menimpa kelompok marjinal tetapi juga kelompok dominan. Ekses teknologi yang mendehumanisasi kelompok marjinal meliputi hilangnya kepercayaan diri; krisis identitas; dan terdiskriminasi. Sementara itu, ekses teknologi yang mendehumanisasi kelompok dominan meliputi alienasi dengan diri sendiri maupun orang lain. Kondisi dehumanisasi tersebut dipicu oleh beberapa faktor, yakni fungsi tubuh dan kepercayaan antar sesama manusia terdegradasi karena tergantikan oleh mesin yang canggih. Sementara itu, peneliti menemukan ideologi teks yang condong pada nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan dengan teknologi sebagai upaya untuk memperoleh kehidupan yang harmonis. Ideologi tersebut disesuaikan dengan keadaan Indonesia yang dikenal dengan keberagaman sehingga keharmonisan hubungan antarmasyarakat diperlukan untuk menjalani kehidupan.

Massive technological developments can lessen human awareness towards its consequences. Therefore, this rapid development of technology could be terrifying for human if it is not understood wisely. This research examines the technoutopianism contained in the novel Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku (2019) by Ruwi Meita. This novel is interesting because it has two storylines. The method used in the research is a qualitative approach with the concepts of narratology and dehumanization as the main theoretical basis. The results found that technoutopianism is a belief that plunges humans into a state of dehumanization due to excessive trust in technological products. Dehumanization not only affects marginalized groups but also dominant groups. Technological excesses that dehumanize marginalized groups include loss of confidence; identity crisis; and discrimination. Meanwhile, technological excesses that dehumanize dominant groups include alienation from oneself and others. The dehumanization condition is triggered by several factors, namely the function of the body and trust between fellow humans is degraded because it is replaced by sophisticated machines. Meanwhile, researchers found the ideology of the text that leans towards human values compared to technology as an effort to obtain a harmonious life. The ideology is adjusted to Indonesian people, who are known for their diversity so the harmonious relations between people are necessary to live their life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jamison, Kay Redfield
"Dr. Kay Redfield Jamison, penulis buku ini adalah seorang profesor ahli psikiatri di Fakultas Kedokteran John Hopkins University. Dia juga seorang psikiater, dan telah banyak menangani dan merawat pasien penderita penyakit mania-depresi. Selama menempuh kariernya, dia juga mengalami depresi parah seperti yang diderita pasiennya. Itulah yang dituliskannya dalam buku ini.
Sebelum baca buku ini, saya sempat berasumsi bahwa mungkin si penulis menjadi ‘gila’ karena keseringan mengurusi orang ‘gila’….he..he…
Ternyata, bukan. Mania depresi yang diderita Kay sebenarnya berakar dari persoalan keluarga dan beban pekerjaan. Nggak ada pengaruh dari pasien yang dirawatnya.
Yang menarik adalah, Kay tidak melulu cerita tentang penyakit mania-depresi, tapi juga tentang kisah hidupnya, keluarga dan kehidupan cintanya. Membaca buku ini memberi banyak wawasan tentang kelainan-kelainan jiwa dalam tingkatan tertentu, termasuk obat-obatan yang berkaitan dengan penyakit tersebut, seperti lithium.
Akan lebih lengkap jika sebelumnya Anda juga membaca “Mereka Bilang Aku Gila” sehingga lengkaplah pengetahuan kita mengenai berbagai kegilaan…he..he…
Buku ‘Mereka Bilang Aku Gila’ ini ditulis oleh penderitanya sendiri, Ken Steele. Ken, dihampiri penyakit mental seperti skizofrenia sejak umur 14 tahun, yang membuatnya selalu dalam ketakutan. Ketiadaan dukungan keluarga membuatnya benar-benar gila dan harus terus berurusan dengan rumah sakit dan obat-obatan. Kisah Ken lebih parah dari Kay. Bukan hanya karena dorongan untuk bunuh diri yang sering menyergapnya, tapi juga ‘tudingan’ setiap kali ada musibah atau kematian di sekelilingnya. Selalu Ken lah yang dituding sebagai penyebabnya. Sapa yang menuding? Gak ada. Hanya suara-suara yang terus menganggunya dari masa ke masa.
Walaupun berbeda kasus, ada benang merah yang dapat ditarik dari kedua buku ini.
Pertama, rata-rata penyebab gangguan jiwa adalah kerapuhan mental seseorang dalam menghadapi persoalan di keluarga atau di lingkungannya. Cilakanya, seringkali mental seseorang justru menjadi rapuh karena berbagai persoalan tersebut. Penyakit pun biasanya akan makin parah jika tidak ada penerimaan atau dukungan dari lingkungan.
Kedua, kesembuhan hanya akan diperoleh jika penderita sendiri sungguh-sungguh ingin sembuh. Ada kekuatan yang tak terkalahkan jika seorang penderita penyakit apapun meneguhkan sikap bahwa dia ingin sembuh. Tentu saja harus dibarengi dengan kedisiplinan dalam segala hal, termasuk disiplin memanage emosi.
Ketiga, cinta merupakan obat paling mujarab untuk penyakit apapun, apalagi penyakit ‘kegilaan’...:)
-----------------------------------
Risensi oleh: Kalarensi Naibaho
"
Bandung : Q-Press, 2006,
616.891 Jam a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
S4942
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggun Prameswari
Jakarta: Noura, 2018
899.221 ANG h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>