Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179424 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransisca Theresia
Jakarta: Kreatif Media, 2004
808.831 FRA d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yurika Arianti Permanasari
"Skripsi ini membahas pelaksanaan tradisi perayaan tahun baru Imlek oleh masyarakat etnis Cina di Kota Bogor dewasa ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penulisan deskriptif. Data-data diperoleh melalui dua metode, yaitu kepustakaan dan wawancara. Responden berjumlah 25 orang mewakili wilayah administratif, usia, religi, tingkat ekonomi, dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat etnis Cina di Kota Bogor merayakan tahun baru Imlek; telah terjadi perubahan dalam pemahaman dan pelaksanaan tradisi perayaan tahun baru Imlek bagi etnis Cina di Kota Bogor. Penulis berpendapat bahwa faktor penguasaan bahasa dan pemahaman akan tradisi budaya Cina serta keadaan lingkungan sosial budaya, sebagai penyebab berbagai perubahan yang terjadi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S13910
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M.D. La Ode
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012
324 LAO e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
"Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.
Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya.
Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty.
Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya.
Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka.
Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende.
Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!

Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture.
The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background.
To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other.
Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting.
Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction.
Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese.
A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liria Tjahaja
"Studi/pembahasan mengenai kasus perkawinan antar agama bukanlah merupakan hal yang baru karena sudah sering kita jumpai melalui beberapa artikel/tulisan maupun pertemuan/seminar-seminar yang pernah diadakan. Asmin (1986) membahas status perkawinan antar agama yang ditinjau dari UU Perkawinan no.1/1974. Menurut Asmin, Undang-Undang (UU Perkawinan Nasional tsb belum mengatur soal perkawinan antar agama sehingga untuk kasus tsb kepastian hukumnya belum jelas. Berkenaan dengan hal itu, Asmin mengusulkan agar UU Perkawinan no.1/1974 tsb disempurnakan (khususnya untuk rumusan ps.57). Berbeda dengan Asmin, studi yang kemudian dilakukan oleh Wiludjeng (1991) maupun Noryamin (1995), tidak semata-mata mempelajari kasus perkawinan antar agama dari sudut hokum/perundang-undangan.
Studi/penelitian yang dilakukan Wiludjeng maupun Noryamin dimulai dengan terlebih dulu menemukan dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang bisa muncul sebagai akibat dari kasus perkawinan antar agama yang terjadi. Menurut Wiludjeng, untuk bisa memahami latar belakang terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Gereja Katolik, diperlukan pula pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan janji perkawinan campur yang terjadi di Keuskupan Agung Jakarta. Dengan memahami faktor-faktor tsb, diharapkan bahwa langkah-langkah penanganan terhadap kasus-kasus perkawinan antar agama di Gereja Katolik dapat dilaksanakan secara lebih tepat dan bijaksana. Sementara itu Noryamin dalam penelitiannya mencoba menganalisa kasus perkawinan antar agama yang terjadi di daerah Jogyakarta dari sudut pandangan sosiologis. Dalam studi yang dilakukannya, Noryamin mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mewarnai kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Jogyakarta. Ia melihat pentingnya memahami gejala-gejala tsb dalam keseluruhan konteks kehidupan sosial masyarakat di Jogyakarta, sehingga pada akhirnya penanganan terhadap kasus perkawinan antar agama dapat memperhitungkan segala kondisi masyarakat yang ada.
Fakta menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama banyak dibahas setelah dikeluarkannya UU Perkawinan no.1/1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya (ps.2, ay. 1), dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (ps.2,ay.2). Rumusan dalam UU Perkawinan Nasional tsb telah memunculkan adanya tanggapan pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat. Tanggapan-tanggapan tsb juga didukung oleh situasi masyarakat yang dalam kenyataannya memang tidak bisa menghindar dari terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama. Dalam prakteknya, pelaksanaan pasal 2 UU Perkawinan no.1/1974 tsb memang tidak sepenuhnya bisa terlaksana.
Setelah dikeluarkannya surat edaran Mendagri tg1.17 April 1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan no.1/1974 tsb, kasus perkawinan antar agama kembali hangat dibahas, khususnya pada tahun 1992. Pendapat/tanggapan mengenai kasus tsb-pun banyak bermunculan di media-media cetak. Contohnya: pendapat dari Bismar Siregar (Kompas,18 Januari 1992) ; Sjechul Hadi Permono (Kompas, 15 Januari 1992) ; Zakiah Daradjat (Kompas, 16 Januari 1992) ; Ali Said (Kompas, 21 Januari 1992); V.Kartosiswoyo (Kompas, 20 Januari, 1992); Rudini (Kompas, 30 Januari 1992). Semua tanggapan yang diberikan umumnya didasarkan pada pemikiran hukum tertentu yang oleh para ahli dianggap sebagai hukum yang paling benar. Dalam hal ini, sebagian besar para ahli mencoba mempertanggungjawabkan pendapatnya lewat hukum yang tertulis seperti halnya aturan-aturan negara dan agama.
Kenyataan konkrit saat ini menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama tsb tetap terjadi tanpa bisa dibendung. Bahkan di kelompok umat Cina Katolik paroki Mangga Besar Jakarta, kasus perkawinan antar agama tersebut memiliki jumlah yang cukup tinggi. Perkawinan antar agama yang banyak terjadi di Gereja Katolik Mangga Besar adalah perkawinan di kalangan sesama etnis Cina. Jadi, walaupun secara hukum hal tsb dipersoalkan, dalam kenyataannya kasus-kasus perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar dapat tetap dilangsungkan lewat macam-macam jalur lain.
Fakta sehari-hari telah menunjukkan bahwa persoalan perkawinan antar agama tidak hanya diselesaikan lewat jalur hukum tertentu saja. Maka keberadaan pluralisme hukum dalam kasus-kasus perkawinan antar agama sangatlah relevan untuk dikaji. Pluralisme hukum adalah kenyataan dimana beberapa sistem hukum/sistem normatif berperanan dan berinteraksi dalam arena sosial, sehingga dalam tindakan sosial tertentu sistem-sistem tsb bisa saling mempengaruhi sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berlangsung. Dalam konteks pluralisme hukum, konsep "hukum" tidak semata-mata dimengerti sebagai aturan yang bersifat yuridik saja. Benda-Beckmann (1990) melihat bahwa berbagai bentuk kekompleksan normatif yang ada dalam masyarakat juga bisa dilihat sebagai hukum yang berfungsi mengatur kehidupan masyarakat tsb. Sally F.Moore (1983) berpendapat bahwa yang disebut hukum adalah segala sistem normatif yang dihayati oleh seseorang/kelompok sebagai sesuatu yang mengikat serta memiliki kekuatan yang bisa memaksanya berperilaku tertentu. Jadi. berbicara tentang pluralisme hukum berarti mau terbuka terhadap segala sistem normatif yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk pranata hukum.
Kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar telah memperlihatkan bahwa dalam mengatasi kasus perkawinan antar agama yang dihadapinya, masing-masing pasangan perkawinan campuran ybs tidak semata-mata berperilaku atas dasar hukum tertentu saja (misalnya: hukum negara atau hukum agama). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arena interaksi sosial yang paling banyak mempengaruhi kehidupan pasangan perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar adalah lingkungan hidupnya sebagai orang-orang yang berkebudayaan Cina serta kondisi masyarakat sekitar yang mendesak pasangan yang bersangkutan untuk akhirnya memilih kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dunia sosial sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup pribadinya. Dalam hal ini jenis sistem normatif yang dipilih pasangan perkawinan campuran di paroki Mangga Besar memang banyak dipengaruhi oleh arena/lapangan interaksi sosial tsb di atas.
Akhirnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyaknya kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar terutama sangat didukung oleh pola perkawinan yang dianut oleh umat Cina di Mangga Besar, yaitu perkawinan dengan sesama etnis Cina sendiri. Dengan pola perkawinan seperti ini kasus perkawinan antar agama ternyata tidak banyak membawa konflik. Dalam hal ini pasangan-pasangan perkawinan campuran yang ada tampaknya menyadari betul bahwa walaupun berasal dari agama yang berbeda, mereka masih memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sama sebagai orang Cina."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Budi Ansary
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang peranan budaya bisnis dalam menggerakkan rode perekonomian masyarakat etnis Cina yang senantiasa menjaga kepercayaan (trust) dari masyarakat pelanggan dan rnembangun jaringan-jaringan yang memperkuat kelangsungan bisnis-bisnis mereka.
Penelitian ini sangat penting mengingat paradigma budaya bisnis diperlukan sekali dalam kegiatan dunia usaha. Dalam pelaksanaan dunia usaha dan perdagangan metode budaya bisnis sangat mengedepankan nilai-nilai budaya/moral dari para pelaku bisnis sehingga dapat mengatasi berbagai masalah dalam setiap kinerja perekonomian. Budaya bisnis pada tiap-tiap kelompok memiliki variasi yang berbeda-beda, oleh karena itu diperlukan iktikad yang baik dan kemauan yang kuat sehingga mampu membentuk suatu kekuatan yang dapat menciptakan bentuk-bentuk kepercayaaan (trust) dalam kegiatan untuk mewujudkan efisiensi ekonomi dalam dunia usaha.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang telah menghasilkan data deskriptif dan diperoleh melalui wawancaraa yang mendalam (indepth interview) dengan informan-informan. Sementara pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling, dengan lingkup informan yang mencakup unsur pelaku bisnis kue bika, tokoh masyarakat, aparat pemerintah, dan masyarakat konsumen bika. Dari hasil penelitian ini akan diketahui bahwa peranan budaya bisnis dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat ethnis Cina sangat efektif membantu mereka dalam menciptakan iklim berusaha yang baik pada dunia bisnis.
Budaya bisnis etnis Cina yang berakar dari konfusianisme menegaskan adanya konvensi moral untuk mengabdi pada masyarakat telah membentuk para pengusaha emis Cina menjadi pengusaha-pengusaha yang mampu memiliki budaya/ moral yang baik, sehingga pada akhimya mereka mendapatkan kepercayaan dan masyarakat pelanggan dan selanjutnya mampu untuk melestarikan kepercayaan-kepercayaan dari para pelanggan tersebut.
Berkat budaya bisnis ini telah membuat kegiatan produksi makanan dari pengusaha bika etnis Cina menjadi kegiatan yang semakin besar dalam bisnis makanan yang bermutu dan bernilai gizi tinggi. Kepercayaan yang mereka bentuk itu dimulai dan yang kecil sampai pada terbentuk kepercayaan yang besar. Pengusaha yang jujur dan bermoral baik yang dilakonkan oleh masyarakat ethnis Cina telah membangun kepercayaan para pelanggan bika terhadap pengusaha etnis Cina.
Disamping kepercayaan yang telah mereka dapatkan dari para pelanggannya, masyarakat etnis Cina juga sangat rajin membangun jaringan jaringan bisnis yang dikelola oleh keluarga, keluarga menjadi tempat pertemuan yang sakral sehingga kebanyakan produksi kue bika ini telah menjadi bisnis keluarga. Selain itu para pengusaha juga menjalin hubungan persahabatan dengan para pejabat di Iingkungan Kota Medan. Hubungan ini sangat berguna bagi kelangsungan bisnis-bisnis yang mereka kelola. Para pejabat yang telah bermitra dengan pengusaha etnis Cina memiliki kecenderungan untuk membela kepentingan bisnis mereka, termasuk melindungi perusahaan makanan itu dari gangguan pemuda berandalan yang sering memalak toko-toko bika Ambon.
Tingginya nilai-nilai budaya bisnis etnis Cina lebih disebabkan oleh tuntutan untuk memiliki kemampuan mencari nafkah dan kegiatan-kegiatan sosial dalam masyarakat. Masyarakat etnis Cina memandang kegiatan bisnis Iebih menjanjikan keuntungan untuk menghidupi keluarga dan untuk mendapatkan jaminan hari tua. Oleh karena itu mereka juga merupakan kelompok minoritas yang jarang sekali memilih profesi sebagai aparat negara. Bisnis telah menjadi suatu pilihan bagi masyarakat etnis Cina di Petisah Tengah dalam berkarir. Untuk itu bisnis-bisnis yang mereka tekuni benar-benar dijalankan sesuai dengan ajaran konfusius sebagai jantung dari kebudayaan etnis Cina.
Semakin optimalnya penerapan budaya bisnis etnis Cina telah menjadi suatu metode yang mengantarkan bisnis mereka ke depan pintu kesuksesan yang ditandai dengan semakin banyak jumlah pelanggan/ konsumen kue bika di Kota Medan, baik yang datang dari lokal Kota Medan maupun yang datang dari luar kota. Bisnis kue bika dapat tetap hidup dan bertahan dalam krisis moneter tidak lain dikarenakan mereka memiliki konsumen - konsumen yang setia dan para konsumen tersebut masih sangat mempercayai produk unggulan Kota Medan ini.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha yang baik dan tidak terguncang oleh badai krisis ekonomi, maka diperlukan optimalisasi peran budaya bisnis dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Budaya bisnis yang selalu berorintasi pada upaya menjaga kepercayaan (trust) dari para konsumen /pelanggan serta penegakan nilai-nilai moral dan etika dalam melakukan bisnis akan dapat menjaga kelangsungan hidup usaha-usaha masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Chintya
"Pertunjukkan Pawai Tatung dalam perayaan Cap Go Meh berasal dari Kalimantan
Barat, tepatnya Kota Singkawang. Tradisi Tatung di Kalimantan Barat merupakan tradisi yang dibawa langsung oleh suku Hakka yang berasal dari Cina Selatan. Hal yang menarik dari Pawai Tatung di Kota Singkawang adalah tradisi ini merupakan perpaduan antara tiga budaya yakni budaya Dayak, Melayu serta Cina. Permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk implementasi akulturasi etnis Cina dengan kebudayaan lokal dalam Pawai Tatung di Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primer berupa video dokumentasi penuh Perayaan Cap Go Meh Singkawang 2020 dari halaman Youtube “Pojok Inspirasi”. Hasil penelitian menemukan bahwa bentuk implementasi akulturasi dalam Pawai Tatung tidak hanya terletak dari keikutsertaan masyarakat dari masing-masing ketiga budaya tersebut serta kostum khas dari masing-masing budaya, melainkan keterlibatan dewa-dewi Cina dengan roh lokal setempat ( Datuk & Latuk ). Akulturasi yang terjadi dalam Pawai Tatung menunjukkan tumbuhnya kesetiaan orang Cina terhadap penunggu / roh nenek moyang setempat serta rasa persaudaraan yang terjalin diantara ketiga budaya ini dan berhasil berpengaruh terhadap eksistensi Pawai Tatung yang masih ada hingga saat ini di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.

The Tatung Parade in the Cap Go Meh celebration originally from Singkawang City,
West Kalimantan. The Tatung tradition in West Kalimantan was brought by the Hakka people from South China. The interesting thing about the Tatung Parade in Singkawang City is that this tradition is a collaboration between three cultures ; The Dayak, Malay, and Chinese. The main problem in this research is how the implementation of the acculturation between the Dayak, Chinese and Malay in the Tatung Parade is. The research method is qualitative method. The primary source in this research is a full documentation video of the 2020 Cap Go Meh Singkawang Celebration from Youtube account "Pojok Inspirasi". The result of this research indicates that the form implementation of acculturation in the Tatung Parade did not only lie in the participation of the Dayak, Malay, and Chinese, but it is the involvement of Chinese gods / goddesses with local spirits (Datuk & Latuk). The acculturation that occurs in the Tatung Parade shows the loyalty of the Chinese to the local ancestors of West Kalimantan and the brotherhood between these three cultures. This acculturation has proven influent on the existence of Tatung Parade in Singkawang City until right now.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Baqir Zein
Jakarta: Gema Insani, 2000
305.8 ABD e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Usman
"[ABSTRAK
Studi ini mengkaji keberadaan Kota Ternate. Dikenal sebagai wilayah pada satu
sisi memiliki kekuatan adat tradisi melalui struktur Kesultanan Ternate, dan pada
sisi lain, menjadi kota modern dengan struktur birokrasi pemerintahan. Tautan
dua kekuasaan ini, kadang melahirkan pertentangan dan konfliktual (dualisme),
kadang juga hadir hubungan timbal balik (dualitas), saling menguntungkan.
Analisis atas kota dengan dua kuasa ini, menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan eksplanasi.
Hasil studi lapangan menjelaskan, struktur kekuasaan tradisional melalui Sultan
Ternate memiliki dominasi atas masyarakat adat (balakusu se kano-kano), namun
juga memegang kekuasaan secara politik maupun pemerintahan melalui agen
(Wakil Walikota Ternate, Arifin Djafar). Sementara pada struktur pemerintahan
Kota Ternate, sejak Era Walikota Syamsir Andili mengusung tema kultural
melalui visi-misi, yakni “Ternate Menuju Masyarakat Madani” dan Era Walikota
Burhan Abdurrrahman, hal yang sama juga dilakukan dengan mengusung visi
misi “Bahari Berkesan”. Namun, baik Syamsir Andili maupun Burhan
Abdurrahman, sama-sama tidak dapat mengatur keberadaan ruang kota dengan
baik. Pasar dan terminal justru menjadi ajang kepentingan ekonomi antar SKPD.
Secara sosiologis, studi ini menyimpulkan bahwa pada kekuasaan tradisional
maupun modern, tarikan kepentingan struktural begitu menguat yang
memengaruhi dan mendominasi kultural (struktur mendominasi
kultur/strukturisasi kultur), melalui tindakan sosial aktor dengan praktik-praktik
sosial yang rekursif (berulang-ulang). Sementara peran warga kota melalui
prosesual masih belum mampu menegosiasikan dua kekuatan ini. Karena itu,
pembangunan sosial perkotaan, harus lebih diarahkan untuk kepentingan publik,
dan bukan kepentingan ekonomi politik semata, sehingga integrasi sosial Kota
Ternate di masa mendatang dapat tercipta.[];

ABSTRACT
This study examine the existence of Ternate City that known as the region on the
one hand has the power custom through the structure of the Sultanate of Ternate,
and on the other hand, into a modern city with the structure of government
bureaucracy. The relation of two powers, sometimes spawned opposition and
conflictual (dualism), sometimes also present the mutual relations (duality),
mutually beneficial. The analysis of city with the two powers, by using
qualitative method and explanation approach.
The result of the field study explain, traditional power structure through the
Sultanate of Ternate has dominand over indigenous peoples (balakusu se kanokano),
but also hold political power and government by an agent (Deputy Mayor
of Ternate, Arifin Djafar), while the governance structure of Ternate, since the
era of Mayor Syamsir Andili with his cultural theme or his vision-mission,
namely "Ternate Menuju Masyarakat Madani". The era of Mayor Burhan
Abdurrrahman, the same things also is done by his vision and mission of "Bahari
Berkesan". However, both Syamsir Andili and Burhan Abdurrahman can not set
up the town well. The station and market became the economic area interest
between the SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Sociologically, this study conclude that between traditional and modern power,
there is a pull so strongly in structural interest that influence and dominate the
cultural (structure dominated culture/strukturisasi kultur), through social action
actor with the social practices recursively (perulangan). The role of the towns
people a processual still not able to negotiate this two forces. Therefore, the urban
social development, should be directed to the public interest, and not for the
economic and political interest, so that the social integration of Ternate City in
the future can be created.[], This study examine the existence of Ternate City that known as the region on the
one hand has the power custom through the structure of the Sultanate of Ternate,
and on the other hand, into a modern city with the structure of government
bureaucracy. The relation of two powers, sometimes spawned opposition and
conflictual (dualism), sometimes also present the mutual relations (duality),
mutually beneficial. The analysis of city with the two powers, by using
qualitative method and explanation approach.
The result of the field study explain, traditional power structure through the
Sultanate of Ternate has dominand over indigenous peoples (balakusu se kanokano),
but also hold political power and government by an agent (Deputy Mayor
of Ternate, Arifin Djafar), while the governance structure of Ternate, since the
era of Mayor Syamsir Andili with his cultural theme or his vision-mission,
namely "Ternate Menuju Masyarakat Madani". The era of Mayor Burhan
Abdurrrahman, the same things also is done by his vision and mission of "Bahari
Berkesan". However, both Syamsir Andili and Burhan Abdurrahman can not set
up the town well. The station and market became the economic area interest
between the SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Sociologically, this study conclude that between traditional and modern power,
there is a pull so strongly in structural interest that influence and dominate the
cultural (structure dominated culture/strukturisasi kultur), through social action
actor with the social practices recursively (perulangan). The role of the towns
people a processual still not able to negotiate this two forces. Therefore, the urban
social development, should be directed to the public interest, and not for the
economic and political interest, so that the social integration of Ternate City in
the future can be created.[]]"
2014
D1976
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>