Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179596 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitanggang, Saut Raja Hamonangan
Jakarta : Pusat Bahasa, 2004
899.221 SIT r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntowijoyo, 1943-2005
Yogyakarta: Divapress, Mata Angin, 2017
899.221 KUN k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Memen Durachman
"Novel Khotbah di Alas Bukit karya Kuntowijoyo merupakan 'teks tasawuf puitik' dalam terminologi Braginsky. Novel ini pada mulanya--ketika terbit sebagai cerita bersambung pada Kompas tahun 1970-an-mengundang kontroversi pro dan kontra. Kontroversi itu terjadi tidak hanya pada pembaca awam, tetapi juga pada para kritikus.
Novel ini memang harus dipandang sebagai allegori dari gagasan tasawuf. Peristiwa demi peristiwa bukan hanya merupakan `realitas fiktif, tetapi sebagai penanda dari gagasan tasawuf. Bahkan keseluruhan novel ini merupakan simbol-simbol dari ajaran tasawuf. Tidak mengherrankan kalau novel ini dipandang sebagai karya allegoris.
Sebagai sebuah 'teks tasawuf puitik' novel ini menyajikan gagasan tasawuf secara sublim. Artinya, deskripsi gagasan tasawuf di dalamnya diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut berada pada tataran gagasan, peristiwa, tokoh dan latar.
Di dalam tesis ini ditelusuri bagaimana gagasan tasawuf itu dieskpresikan dalam bentuk struktur novel. Dari penelitian diperoleh simpulan ternyata struktur novel ini sangat mendukung penyampaian gagasan tasawuf tersebut. Selain itu, tesis ini juga berusaha mendeskripsikan gagasan-gagasan tasawuf yang terdapat di dalamnya.
Penelitian ini menitikbera tkan pada analisis aspek sintaksis dan analisis aspek semantik novel ini Analisis aspek sintaksis mendeskripsikan alur dan pengalurannya. Sedangkan deskripsi tokoh dan latar diperoleh melalui analisis aspek semantik. Untuk mendeskripsikan gagasan novel ini diperoleh melalui analisis hubungan intertekstual dengan teks tasawuf dan teks mistisisme Tao.

The novel of Khotbah di Atas Bukit by Kuntowijoyo is a 'poetic tasawuf text' in Sraginsky's terms. At the beginning-when published as a serial in Kompas in 1970s--this novel aroused controversy, pro's and con's. The controversy took place not only among the lay readers, but also among the literary critics.
This novel should actually be viewed as an allegory of tasawuf ideas. Each event is not only a 'fictitious reality', but also the signifier of tasawtrf ideas. Even the whole novel is symbols of the teaching of tasawuf. It's no wonder if this novel is viewed as an allegorical work
As a 'poetic tasawuf text', this novel presents tasawuf ideas sublimely. It means that in this novel the description of tasarwuf ideas is presented in the form of symbols. Those symbols are on the level of ideas, events, characters, and backgrounds.
In this thesis, it is explored how the tasawuf ideas are expressed in the form of novel structure. From this study, it was found that the structure of this novel greatly contributes the conveyance of the tasawuf ideas. In addition, this thesis also describes the tasawuf ideas existing in the novel
This study emphasizes on the analysis of syntactic and semantic aspects of this novel. The analysis of syntactic aspect describes the plot and how it is arranged. Whereas the description of characters and backgrounds is achieved through the analysis of semantic aspect The description of ideas of this novel is acquired through the analysis of the intertextuality with the tasawuf text and Tao mysticism text."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T1605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cipto Wardoyo
"Khotbah Jumat adalah rangkaian dari ibadah salat Jumat yang dilakukan oleh setiap muslim setiap pekan. Aspek kebahasaan dalam penyampaian khotbah Jumat sangat menarik untuk diteliti dan diulas lebih dalam dari sisi linguistik terutama dengan pendekatan pragmatik. Penelitian ini mencoba menganalisis penggunaan tindak tutur direktif yang terealisasi dalam khotbah Jumat di kota Bandung dan Sukabumi. Sumber data diambil dari rekaman dan observasi khotbah Jumat yang ada di beberapa masjid yang dipilih secara acak di kota Bandung dan Sukabumi. Hasil analisis data menunjukan bahwa tindak tutur tutur khotbah dengan menggunakan bentuk ajakan terlihat lebih dominan dengan menggunakan kata “ayo, kita, ayo kita, mari”. Tuturan memerintah dengan beberapa pola: verba yang diikuti partikel “lah”, verba yang diberi sufiks “kan”, dan verba yang diikuti oleh sufiks “i”. Selanjutnya, tuturan melarang yang disampaikan oleh khotib secara lugas dengan kata “tak usah, tak perlu, jangan, jangan sekali-kali. Tuturan direktif tak langsung juga disampaikan sang khotib dilakukan dengan menggunakan kalimat berita dengan memberikan gambaran manfaat, keuntungan atau sesuatu yang akan diperoleh jikalau melakukan atau tidak melakukan sesuatu."
ambon: Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019
400 JIKKT 7:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Lelono
"Latar alam pedesaan dengan kehidupan masyarakat lapis bawah yang menjadi kekuatan utama cerita-cerita Ahmad Tohari telah mendorong para peneliti dan peminat sastra untuk membicarakan karya-karyanya. Akan tetapi penelitian yang telah dilakukan lebih banyak diarahkan pada trilogi novel "Ronggeng Dukuh Paruk". Sedangkan terhadap novel pertamanya, "Di Kaki Bukit Cibalak", sementara ini belum pernah ada yang membicarakan novel tersebut dari segi sosiologis. Pembicaraan terhadap novel "Di Kaki Bukit Cibalak" merupakan sesuatu hal yang perlu dilakukan, terutama untuk mengetahui potensi Ahmad Tohari sebagai pengarang.
Adapun masalah yang diangkat dapatlah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: bagaimanakah situasi dan proses perubahan sosial yang digambarkan dalam novel "Di Kaki Bukit Cibalak", dan bagaimanakah sikap generasi muda dalam novel tersebut terhadap proses perubahan sosial yang sedang terjadi. Untuk mendukung analisis akan digunakan pendekatan sosiologis. Namun demikian, teks sastra tetap menjadi acuan utama.

The rural conditions as the background with the second grade society that became the main power of Ahmad Tohari's story has encourage the scientist and literary comunity place this story as the main topic. But most of them were explore his trilogy "Ronggeng Dukuh Paruk". Until now, His first novel, "Di Kaki Bukit Cibalak", hasn't been explored yet, especially from sociological approach. Hence, the study about "Di Kaki Bukit Cibalak" needs to be done in order to observe Ahmad Tohari potention as a writer.
The problem that shown could be explain as this question, how about the situation and the social change process that found in "Di Kaki Bukit Cibalak", and how about the people's react against that social change condition. Sociological approach would be used to guide the analysis, but literary text still became the prime reference.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T4092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
"Keaspekan merupakan salah satu makna kewaktuan yang bersifat semesta. Baik bahasa beraspek maupun bahasa takberaspek mampu mengungkapkan makna keaspekan tersebut. Keterkaitan antara keaspekan dan makna kewaktuan lain, yaitu keaksionalan dan kekaiaan, menyebabkan banyak ahli bahasa merumuskan ketiga konsep tersebut secara tumpang tindih. Di satu kelompok mereka merasa tidak perlu memisahkan keaspekan dan keaksionalan (lihat Verkuyl 1993), sementara kelompok lain berpendapat bahwa keaspekan, keaksionalan, dan kekaiaan harus diperlakukan sebagai konsep yang terpisah (lihat Bache 1997).
Penelitian ini bertujuan meneliti kesemestaan konsep keaspekan, khususnya keimperfektifan, dengan berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa keaspekan harus dipisahkan dari keaksionalan dan kekalaan meskipun ketiganya berhubungan sangat erat. Ancangan tersebut acapkali disebut sebagai ancangan komposisional.
Dengan menggunakan ancangan tersebut, kita dapat menentukan makna dasar keaspekan dan makna yang dihasilkan dari interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan. Sifat kesemestaan tersebut diuji dengan menggunakan metode analisis kontrastif, yaitu membandingkan dua bahasa yang sistem pengungkapan keimperfektifannya berbeda. Kedua bahasa itu ialah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris adalah contoh bahasa beraspek. Dalam mengungkapkan keimperfektifan, bahasa tersebut mempunyai peranti gramatikal yang berupa bentuk progresif, yaitu be-ing yang melekat pada predikat verba. Sementara itu, bahasa Indonesia adalah contoh bahasa takberaspek. Untuk mengungkapkan keimperfektifan, penutur bahasa Indonesia menggunakan pemarkah leksikal tertentu.
Penggunaan novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai data didasari oleh kesistematisan pengungkapan keimperfektifan dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Indonesia, pemarkahan keimperfektifan yang sistematis, setahu saya, belum dirumuskan. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan menemukan pemarkah pemarkah yang berpotensi mengungkapkan keimperfektifan dalam bahasa Indonesia, serta merumuskan persamaan dan perbedaan sistem pengungkapan keimperfektifan tersebut.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara konseptual, bahasa Indonesia mampu mengungkapkan makna dasar keimperfektifan serta maka hasil interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan yang terdapat dalam metabahasa dan dalam bahasa Inggris. Perbedaan sistem pengungkapan yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan fungsi pragmatis antara dua bahasa tersebut. Di dalam bahasa Inggris, persesuaian antara bentuk progresif dan pemunculan elemen-elemen tertentu menentukan kegramatikalan suatu kalimat atau klausa. Sebaliknya, jika elemen-elemen yang mengimplikasikan keimperfektifan muncul dalam kalimat/klausa bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan tidak harus diungkapkan secara eksplisit. Kesan bahwa penutur bahasa Indonesia merasa tidak perlu menggunakan alat keaspekan dalam berkomunikasi disebabkan oleh keleluasaan penutur dalam mengungkapkan situasi secara netral. Dalam bahasa Inggris, penutur jarang mengungkapkan situasi secara netral karena penggunaan bentuk verba simpleks atau progresif menghasilkan tafsiran pemfokusan situasi tertentu atau menghasilkan tafsiran penggambaran situasi yang legap. Oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala kini menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. kehabitualan, sedangkan oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala lampau menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. keperfektifan.
Perbedaan lain disebabkan oleh sifat pertelingkahan antara pemarkah keimperfektifan dengan elemen-elemen lain yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris, kata still atau always dapat berkombinasi dengan predikat verbal berbentuk progresif, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata masih atau selalu harus berkombinasi dengan bentuk predikat simpleks. Sebaliknya, di dalam bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan dapat berkombinasi dengan predikat nonverbal, sedangkan di dalam bahasa Inggris, tipe kombinasi itu hampir tidak ditemukan.

Aspectuality is one of the universal temporal-meanings found both in an aspect language and in a nonaspect language. The other temporal meanings are actionality and temporality. They are realized grammatically or lexically. The three meanings interact closely to express a situation perceived by the lectionary agent in a sentence or a clause. The close relationship has caused some grammarians conceive aspect and tense as the same concept (Comrne 1976:1). Other grammarians such as Lyons (1977), Alive (1992), and Verkuyl (1993) have also conceived the concept of aspectuality and actionality as one concept with different realizations.
Beside the two groups, there are other grammarians such as Brinton (1988), Smith (1991), and Bache (1997) that have treated actionality and aspectuality as different concepts, Their argument was aimed to solve the problem of the confusing definitions of aspect and Aktionsart. Bache (1997:12) even said that aspect, action, and tense should be kept distinct as separate categories.
This research aimed at proving that the features of the universal concept of aspectuality, especially imperfectivity can be expressed in a non-aspect language. This research is based on the notional approach that differenciates aspectuality from actionality and temporality in a sentence. The three meanings interact thightly. By using that approach, we could establish the basic meaning of aspectuality and meanings derived from the interaction among aspectuality, actionality, and temporality of object languages.
To analize the universal meanings, I contrasted two object languages, English and Indonesian, which have different systems of expressing imperfectivity. English is an example of an aspect language. It has a grammatical form to express imperfective meaning. That form is be-ing embedded in a verbal predicate. In contrast, Indonesian is one of the nonaspect languages. It expresses the imperfective meaning by using certain lexical markers.
The data contrasted consist of some English sentences and their translations in Indonesian, I chose the type of the data because I assumed that imperfectivity is expressed systematically in English, whereas, as far as I know, the system of expressing imperfectivity in Indonesian has not been established systematically. Based on the fact above, the aim of this research is also to find out the potential imperfective marker of Indonesian. By finding out the markers, we could describe the similarities and the differences of the two systems. The result could be used as a test frame to prove whether Indonesian sentences or clauses theoretically containing the imperfective markers are always translated into English by using progressive form.
One of he findings of the research showed that Indonesian could express both the basic imperfective meaning and their interactional meaning as English does. The different system of expressing imperceptivity is as a result of the different feature of grammaticality and pragmatically function between the two languages. In English, the concord relation between the progressive form and the occurrence of the other Imperfectives, Meaning, English Language, Indonesian Language, Aspectuality, Novel, Translations, 1999.
LINGUISTICS
sentential elements concerns the grammatical acceptability of a sentence. On the contrary, the imperfective markers in Indonesian could be expressed explicitly or implicitly whenever there are other elements that imply the imperfective meaning.
An opinion that Indonesian speakers do not need aspectual markers in an act of communication is due to the fact that generally they express a situation without focusing on a particular situation. In English, it is difficult to get examples of expressing a situation without giving a certain focus.
The other difference concerns the different incompatibility of the imperfective markers and other sentence elements between English and Bahasa Indonesia. In English, we could combine adverbs still or always with the progressive verb. In bahasa Indonesia, the words masih and selalu are usually incompatible with an imperfective marker such as sedang. In Indonesian, we could combine the imperfective markers such as sedang, masih, and lagi with a nonverbal predicate, whereas we have hardly ever found the combination in English."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Tohari
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya , 1995
899.232 AHM k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Tohari
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012
899.221 AHM k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Randy Ludwig Pea
"Visi "kota di atas bukit" merupakan visi yang dicetuskan oleh John Winthrop - seorang pemimpin rombongan "migrasi besar" kaum Puritan Inggris - untuk menjadi fondasi pembentukan sebuah koloni di benua Amerika Utara pada tahun 1630 yang dinamakan Massachusetts Bay Colony. Pada awalnya, visi "kota di atas bukit" berkaitan dengan upaya eksperimen yang coba dilakukan oleh para pemimpin Massachusetts Bay Colony untuk mewujudkan sebuah persemakmuran Protestan di benua Amerika, yang diharapkan akan menjadi contoh teladan bagi kaum Puritan lainnya yang sedang berupaya memperjuangkan reformasi kehidupan gereja di Inggris pada masa itu.
Salah satu upaya para pemimpin Calvinis New England di dalam melakukan institusionalisasi terhadap visi "kota di atas bukit" ini sehingga menjadi nilai-nilai normatif yang rasional bagi penduduk Amerika di zaman kolonial adalah dengan membangun 3 perguruan tinggi bernama Harvard, Yale dan Princeton, yang di dalam teori Max Weber disebut sebagai proses rasionalitas substansif. Upaya institusionalisasi terhadap visi "kota di atas bukit" melalui proses pendidikan dan kurikulum di Harvard, Yale dan Princeton pada zaman kolonial dapat disimpulkan cukup efektif dan berhasil. Hal ini dapat dilihat melalui bukti-bukti dari peranan para alumni dari ketiga perguruan tinggi tersebut yang secara efektif turut melestarikan bahkan mengembangkan visi ini selama zaman kolonial, yakni dari visi yang awalnya bersifat spiritual menjadi visi yang sifatnya sekuler, khususnya menjelang masa revolusi kemerdekaan Amerika.
Kongkritnya, visi agama ini berkembang menjadi sebuah idealisme bangsa yang didasari oleh interpretasi warga kolonial Amerika di dalam memahami eksistensi dirinya di tengah aruh sejarah dunia, yakni sebagai bangsa khusus yang diberikan peran dan misi khusus oleh Tuhan untuk kepentingan peradaban manusia di dunia. Dari visi "kota di atas bukit" awalnya murni hanya untuk misi pengembangan agama semata, menjadi sebuah idealisme bangsa yang bukan hanya mencakup misi agama saja, tetapi juga misi di dalam mewujudkan prinsip-prinsip pemerintahan republik dan demokratis yang harus disebarkan luaskan ke seluruh bangsa di dunia.
Keberhasilan di dalam melakukan re-interpretasi, pengembangan dan pelestarian visi "kota di atas bukit" selama zaman kolonial cukup banyak berkat peranan yang dimainkan oleh para alumnus maupun tokoh-tokoh yang berkaitan dengan Harvard, Yale dan Princeton melalui beberapa kegiatan utama yang mereka pelopori, yang kemudian memberikan dampak terhadap proses re-pengembangan dan pelestarian visi tersebut. Peran dari konsep pendidikan dan kurikulum yang diterapkan oleh ketiga perguruan tinggi tersebut pada zaman kolonial, banyak mempengaruhi efektivitas dari tindakan yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh yang berasal dari tiga perguruan tinggi tersebut di dalam proses pengembangan dan pelestarian visi "kota di atas bukit"."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T11615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>