Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79992 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andjarwati Noordjanah
Semarang: Masarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass), 2004
305.895 1 AND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini membicarakan tentang permukiman Tionghoa di Surabaya pada masa kolonial. Hal itu berangkat dari asumsi bahwa pada masa lalu dan bahkan sampai sekarang hampir di semua kota di Indonesia memiliki wilayah yang namanya Pecinan
"
PATRA 9(1-2) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kathleen Azali
"ABSTRAK
Tempat ngèbèr sebagai tempat pertemuan laki-laki gay tersebar?meskipun relatif terselubung?di berbagai tempat-tempat publik di seluruh Indonesia. Tempat ngèbèr sebagai salah satu titik utama dalam konstelasi dunia gay berfungsi tidak hanya untuk mencari pasangan hubungan seksual, tapi juga untuk bersosialisasi, membuka diri, dan mendapat penerimaan. Surabaya memiliki banyak tempat ngèbèr yang cukup dikenal di kalangan laki-laki gay, dengan Pataya sebagai satu tempat ngèbèr terbesar. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tampak adanya perubahan-perubahan yang
menyebabkan Pataya tidak lagi sehidup dulu. Melalui metode partisipasi observasi dan wawancara non-formal, kajian ini berupaya untuk memahami bagaimana Pataya menjadi pilihan tempat ngèbèr di Surabaya, perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dan menyebabkan penyusutan kehidupannya. Dari penelitian ini, diharapkan ada penelitian lanjutan
untuk mempelajari adaptasi-adaptasi yang terjadi atau dapat dilakukan di luar situs ngèbèr.
Tempat ngèbèr, or hanging-out places where gay men in Indonesia meet, can be found in various though relatively hidden public places across Indonesia. Tempat ngèbèr as one of the more prominent sites in the constellation of gay serves not only as a space to find sexual partners, but also to socialize, to be open in expressing oneself, and to gain acceptance from ones peers. Surabaya has a number of famous, well-known tempat ngèbèr, with Pataya being one of the largest places. Yet changes within the last few years have diminished its popularity. Through participant observation and non-formal interviews, this research attempts to understand how Pataya became the more prominent tempat ngèbèr
in Surabaya, and what kind of changes have happened that reduced its popularity. Hopefully, this research will bring about future studies that will investigate various adaptations that can be carried out inside or outside the site itself."
Universitas Airlangga. Fakultas Ilmu Budaya, 2012
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tempat ngèbèr sebagai tempat pertemuan laki-laki gay tersebar meskipun relatif terselubung?di berbagai tempat- tempat publik di seluruh Indonesia. Tempat ngèbèr sebagai salah satu titik utama dalam konstelasi dunia gay berfungsi tidak hanya untuk mencari pasangan hubungan seksual, tapi juga untuk bersosialisasi, membuka diri, dan mendapat
penerimaan. Surabaya memiliki banyak tempat
ngèbèr yang cukup dikenal di kalangan laki-laki gay, dengan Pataya
sebagai satu tempat
ngèbèr terbesar. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tampak adanya perubahan-perubahan yang
menyebabkan Pataya tidak lagi sehidup dulu. Melalui metode
partisipasi observasi dan wawancara non-formal, kajian
ini berupaya untuk memahami bagaimana Pataya menjadi pilihan tempat ngèbèr di Surabaya, perubahan-perubahan apa
saja yang terjadi dan menyebabkan penyusutan kehidupannya. Dari penelitian ini, diharapkan ada penelitian lanjutan
untuk mempelajari adaptasi-adaptasi yang terjadi atau dapat dilakukan di luar situs ngèbè.

Abstract
Tempat ngèbèr, or hanging-out places where gay men in Indonesia meet, can be found in various?though relatively
hidden?public places across Indonesia.
Tempat ngèbèr as one of the more prominent sites in the constellation of gay serves not only as a space to find sexual partners, but also to
socialize, to be open in expressing oneself, and to gain
acceptance from one?s peers. Surabaya
has a number of famous, well-known tempat
ngèbèr , with Pataya being one of
the largest places. Yet changes within the
last few years have diminished its popularity. Through participant observation and non-formal interviews, this research attempts to understand how Pataya became the more prominent
tempat ngèbèr in Surabaya, and what kind of changes have happened that reduced its popularity. Hopefully, this research will bring
about future studies that will investigate various adaptations
that can be carried out inside or outside the site itself. "
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga. Fakultas Ilmu Budaya], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"The condition of ecosystem mangrove of tambak wedi has poluted. Molluscs as one of bioindicator of polution. Observation on molluscs on Tmbak Wedi mangrove ecosystem, Madura Strait was conducted on June 2005...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Hubungan Tiongkok dan Nusantara banyak tercatat pada naskah kuno Tiongkok. Warga Tionghoa beremigrasi ke Indonesia terutama karena alasan ekonomi disamping situasi domestik Tiongkok yang kacau. Mereka menumpang perahu niaga junk yang rutin berlayar antara pesisir Tiongkok Selatan dan Batavia. Ketika VOC membangun Batavia untuk pinjaman awal di Pulau Jawa, para pendatang Tionghoa diperlukan kemampuannya membangun dan menghidupkan Batavia untuk menggerakan roda perekonomian..."
JSIO 11:26 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fremelia Muli
"Berangkat pengalaman riil perempuan Tionghoa tentang adanya ketidakadilan gender dalam perkawinan beda etnis, maka penelitian ini membahas tentang posisi dan peran perempuan Tionghoa dalam perkawinan beda etnis dengan laki-laki Jawa secara spesifik di Gresik, Sidoarjo, dan Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berperspektif feminis dan memilih secara purposif empat perempuan Tionghoa sebagai subjek penelitian. Teori interseksionalitas dari Kimberle Crenshaw digunakan sebagai kerangka analisis terkait posisi dan peran gender, relasi gender, ketidakadilan gender, dan etnisitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas perempuan Tionghoa dapat menentukan posisi mereka dalam relasi gender pada perkawinan beda etnis dengan laki-laki Jawa melalui pertemuan (interseksionalitas) dari beragam identitas yang menghasilkan kondisi tertentu dalam struktur perkawinan, representasi nilai di mata keluarga, serta peraturan dan kebijakan terkait perkawinan. Dengan identitas yang cair, situasional, dan beragam, interseksionalitas identitas menghasilkan pengalaman ketidakadilan gender pada perempuan Tionghoa baik sebagai kelompok minoritas juga sebagai kelompok superior. Pengalaman ketertindasan nyatanya juga dialami oleh laki-laki Jawa sebagai suami mereka berupa pemberian stereotip dan subordinasi. Dalam situasi tertentu, interseksionalitas identitas perempuan Tionghoa secara bersamaan dapat menjadi strategi memperjuangkan keadilan. Berdasarkan hasil tersebut, disarankan perlunya pemberdayaan diri pada perempuan, pengembangan perspektif adil gender pada pasangan, keluarga, dan institusi terkait, serta pengembangan teoritis dan metodologis pada penelitian lanjutan.

Based on the prejudice and real experiences of Chinese women about the existence of gender injustice in inter-ethnic marriages, this study discusses the position and roles of Chinese women in inter-ethnic marriages with Javanese men specifically in Gresik, Sidoarjo, and Surabaya. This study used a qualitative method with a feminist perspective and purposively selected four Chinese women as research subjects. Kimberle Crenshaw's theory of intersectionality is used as a framework for analysis related to gender roles and roles, gender inequality, and ethnicity. The results show that the identity of Chinese women can determine their position in gender relations in ethnic marriages with Javanese men through a meeting of various identities that produce certain conditions in the structure of the marriage, representation of values in the eyes of the family, and regulations and policies related to marriage. With a fluid, situational, and diverse identity, identity intersectionality results in experiences of gender injustice in Chinese women both as a minority group as well as a superior group. The experience of oppression in fact also followed by Javanese men as their husbands in the form of stereotyping and subordination. In certain situations, the simultaneous intersectionality of Chinese women's identities can be a strategy for fighting for justice. Based on these results, which are based on the need for self-empowerment in women, the development of a gender perspective in partners, as well as theoretical and methodological development in further research."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Made Arya Suta Wirawan
"ABSTRAK
Di saat banyak orang Tionghoa yang sudah kokoh dengan identitas keagamaannya
sebagai seorang Nasrani, Islam, dan Buddha, serta diakuinya Kong Hu Cu sebagai
agama yang paling erat dengan identitas etnik orang Tionghoa di Indonesia, namun
kenyataanya terdapat sebuah komunitas Tionghoa yang memilih untuk memeluk
agama Hindu yang dianggap sebagai agama minoritas. Bagi sebagian besar orang, hal
ini tentu menjadi pertanyaan. Selama ini publik terjerembab pada sebuah bentuk
stereotipe tentang orang Tionghoa yang dianggap oportunis yakni berlindung di bawah pengaruh penguasa atau struktur dominan. Di sisi yang lain, masyarakat menilai
bahwa Hindu bukan agama mayoritas sehingga sedikit banyak mempengaruhi
peluang-peluang positif yang akan di raih oleh orang Tionghoa itu sendiri.
Penelitian yang bersetting di Jakarta ini ingin menjelaskan tentang alasan orang
Tionghoa memilih Hindu sebagai identitas keagamaan mereka serta usaha mereka
dalam mempertahankan identitas mereka ini. Selain memaparkan tentang dinamika
sejarah komunitas mereka, penelitian ini juga mau menjelaskan tentang mengapa
integrasi antara Tionghoa dan Hindu menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan
(paling tidak untuk saat ini).

Abstract
While many Chinese people who have strong religious identity as a Christian, Islam,
and Buddhism, as well as recognition of Confucianism as a religion that most closely
with the ethnic identity of the Chinese in Indonesia, but in reality there is a Chinese
community that chose to convert to Hinduism which is considered as a minority
religion. For most people, this is certainly a question. During the public this fall on a
form stereotypes about people who are considered opportunistic Tionghoa which was
under the influence of the ruling or dominant structure. On the other hand, the
community considered that the majority Hindu religion is not so much affect slightly
positive opportunities that will be achieved by the Tionghoa itself.
This Research that takes place in Jakarta is to explain about the reason the Chinese
chose their religious identity of Hindus as well as their efforts in maintaining their
identity is. In addition to describing the dynamics of the history of their community,
this study would also explain why the integration between the Tionghoa and the Hindu
to be something difficult to do (at least for now)."
2012
T30988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>