Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177581 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lia Savitri Eka Nur
"Filariasis yang disebarkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.7 Pemberantasan filariasis dengan menggunakan insektisida sintetis menyebabkan resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap insektisida tersebut.44 Tujuan penelitian ini untuk menganalisis toksisitas senyawa camphor terhadap larva Cx. quinquefasciatus yang terfokus pada enzim detoksifikasi dan kelainan histopatologi midgut. Larva Cx. quinquefasciatus yang digunakan merupakan larva wild strain yang diperoleh dari lapangan. Bioassay larva mengikuti protokol WHO. Larva akan dipaparkan camphor dengan konsentrasi 0,5, 1,5, 10,5, 25,5, dan 50 ppm selama 24, 48, dan 72 jam dengan 5 kali pengulangan yang memperlihatkan mortalitas yang berbeda bermakna (p<0.05). Pada 50 ppm terjadi 100% mortalitas larva Cx. quinquefasciatus selama 48 jam. Nilai LC50 2,32 ppm dan LC90 sebesar 12,40 ppm Histopatologi midgut dengan pewarnaan hematoksilin eosin terjadi kerusakan masif. Enzim detoksifikasi yang diperiksa dengan metode CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menunjukan AChE dan oksidase ialah enzim target dari camphor.

Filariasis spread by Culex quinquefasciatus mosquitoes is still a public health problem in Indonesia.7 Eradication of filariasis by using synthetic insecticides causes resistance to Cx. quinquefasciatus.44 The purpose of this study was to analyze the toxicity of camphor compounds on Cx. quinquefasciatus focused on detoxifying enzymes and midgut histopathological abnormalities. The larvae of Cx. quinquefasciatus are wild-strain larvae obtained from the field. Larval bioassays followed WHO protocol. Larvae will be exposed to camphor with concentrations of 0.5, 1.5, 10.5, 25.5, and 50 ppm for 24, 48, and 72 hours with 5 repetitions showing significantly different mortality (p<0.05). At 50 ppm, there was 100% mortality of larvae of Cx. quinquefasciatus for 48 hours. The LC50 value was 2.32 ppm and the LC90 was 12.40 ppm. Midgut histopathology with hematoxylin-eosin staining showed massive damage. The detoxification enzymes examined by the CDC (Centers for Disease Control and Prevention) method showed that AChE and oxidase were the target enzymes of camphor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Dhea Suciana Hamka
"Filariasis masih merupakan masalah Kesehatan masyarakat di Indonesia dan pemberantasan penyakit tersebut difokuskan pada pengendalian nyamuk Culex quinquefasciatus. Senyawa dari tanaman terbukti dapat membunuh nyamuk betina Cx. quinquefasciatus melalui mekanisme metabolisme dan perilaku nyamuk tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh ekstrak rimpang kunyit (Curcuma longa) dan camphor terhadap nyamuk betina Cx. quinquefasciatus melalui mekanisme metabolit enzim detoksifikasi dan perilaku makan darah dan waktu kenyang. Nyamuk betina Cx. quinquefasciatus dipaparkan dengan kertas filter yang mengandung ekstrak rimpang kunyit atau camphor dengan konsentrasi 10, 25, dan 50 ppm. Bioassay nyamuk dewasa mengikuti metode WHO selama 24 jam dengan ulangan 3 kali. Aktivitas asetilkolinesterase (AChE), glutation s-tranferase (GST), dan oksidase diperiksa dengan metode biokimia. Perilaku makan darah dan waktu kenyang dilakukan dengan modifikasi metode Xue et al(2007). Ekstrak rimpang kunyit dan camphor pada konsentrasi 50 ppm mengakibatkan angka mortalitas sebesar 100% pada nyamuk betina Cx. quinquefasciatus selama 24 jam dengan nilai LC50 pada kedua zat berturut turut sebesar 5,386 ppm dan 14,121 ppm. Terdapat peningkatan aktivitas AChE dan penghambatan aktivitas GST dan oksidase yang signifikan (p<0,05). Terjadi perubahan perilaku nyamuk betina Cx. quinquefasciatus, yaitu makan darah dan waktu kenyang yang singkat. Ekstrak rimpang kunyit dan camphor pada konsentrasi 50 ppm memiliki potensi sebagai insektisida alternatif untuk mengendalikan populasi nyamuk Cx. quiquefasciatus.

Filariasis is still a public health problem in Indonesia, and the eradication of the disease is focused on the control of the Culex quinquefasciatus mosquito. Compounds from plants have been shown to kill female mosquitoes Cx. quinquefasciatus through the metabolic mechanisms and behavior of these mosquitoes. This study aims to evaluate the effect of turmeric rhizome extract (Curcuma longa) and camphor on female mosquitoes, Cx. quinquefasciatus, through the mechanism of detoxification enzyme metabolites, blood feeding rate, and engorgement time. The female mosquito, Cx. quinquefasciatus, was exposed to filter paper containing extracts of turmeric rhizome or camphor with concentrations of 10, 25, and 50 ppm. Adult mosquito bioassays follow the WHO method for 24 hours with a repeat of 3 times. The activities of acetylcholinesterase (AChE), glutathione s-transferase (GST), and oxidase were examined by biochemical methods. The modified method of Xue et al. (2007) was used to measure the blood feeding rate and the engorgement time. Extracts of turmeric rhizomes and camphor at 50 ppm caused 100% mortality in female mosquitoes Cx. quinquefasciatus after 24 hours, with LC50 values of 5.386 ppm and 14.121 ppm, respectively. There was a significant increase in AChE activity and inhibition of GST and oxidase activity (p 0.05). There is a change in the behavior of the female mosquito, Cx. quinquefasciatus, in the form of a decrease in blood feeding rate and a short engorgement time. Turmeric rhizome extract and camphor at a concentration of 50 ppm have the potential as alternative insecticides to control the mosquito population of Cx. quiquefasciatus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafaella Shiene Wijaya
"Rimpang jeringau / dringo (Acorus calamus L.) dengan kandungan senyawa fitokimia aktif β- asaron diketahui memiliki aktivitas neuroproteksi dan antioksidan sehingga banyak digunakan sebagai obat tradisional. Selain itu, kandungan fitokimia dalam ekstrak tanaman juga berpotensi dimanfaatkan sebagai larvisida alternatif untuk pemberantasan Ae. aegypti sebagai vektor penyakit DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas larvisidal dari β-asaron dan ekstrak rimpang jeringau terhadap larva Ae. aegypti dengan mekanisme perubahan aktivitas enzim detoksifikasi dan histopatologi midgut. Larva Ae. aegypti instar III-IV dipajankan dengan β-asaron dan ekstrak rimpang jeringau dengan konsentrasi 0,25; 1,25; 6,25; dan 24,25 ppm. Pengamatan mortalitas dilakukan sesuai panduan WHO pada jam ke-24, 48, dan 72. Aktivitas asetilkolinesterase (AChE), glutation-S-transferase (GST), dan oksidase dianalisis dengan metode biokimia sesuai protokol CDC. Histopatologi midgut dievaluasi dengan metode pemeriksaan rutin menggunakan pewarnaan H&E. Penelitian ini membuktikan β-asaron dan ekstrak rimpang jeringau bersifat toksik dan mampu membunuh >50% larva Ae. aegypti pada konsentrasi rendah sekalipun (24,25 ppm). β-asaron memperlihatkan aktivitas larvisida yang lebih tinggi dibanding ekstrak rimpang jeringau dengan mekanisme menghambat enzim AChE dan oksidase serta mengakibatkan kerusakan masif pada midgut larva Ae. aegypti.

Sweet flag or jeringau rhizome, with β-asarone as its main phytochemical content, is known to have neuroprotective and antioxidant properties in traditional medication. In addition, phytochemical agents from plant extract are also known to have larvicidal potential. This study evaluates larvicidal activity of β-asarone and sweet flag rhizome extract against Ae. aegypti larvae with its mechanism in alternating detoxification enzymes activities and midgut histopathology. Ae. aegypti larvae instar III-IV were exposed to two different treatments, β- asarone and sweet flag rhizome extract, with concentrations of 0.25, 1.25, 6.25, and 24.25 ppm. Larval mortality was observed 24 h, 48 h, and 72 h post-treatment using WHO guideline. Acetylcholinesterase (AChE), glutathione-S-transferase (GST), dan oxidase enzyme activities were analyzed with biochemistry method using CDC guideline. Midgut histopathological changes were evaluated using H&E staining and light microscope. This study proved that both β-asarone and sweet flag rhizome extract were toxic towards Ae. aegypti larvae and were able to cause >50% larval mortality even with low concentration (24.25 ppm). β-asarone exhibited higher toxicity than sweet flag rhizome extract with mechanism of inhibiting AChE & oxidase enzymes along with causing massive injuries on larval midgut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Riana Julida
"Penyakit Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di Asia Tenggara karena penyebab utama perawatan di rumah sakit dan kematian anak. Di Indonesia, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena angka insidens DBD cenderung meningkat. Dan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah endemis DBD, angka insidens tahun 2002 berada di alas target nasional yaitu 20,57 per 100.000 penduduk sementara target nasional sampai tahun 2010 angka insidens DBD 5 per 100.000 penduduk untuk daerah endemis DBD.
Program pemberantasan vektor intensif yang meliputi fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektif masih dilaksanakan sampai tahun 2002 di Kabupaten Muara Enim. Sementara Depkes RI sejak tahun 1998 telah menganjurkan untuk menangguhkan fogging massal sebelum musim penularan serta mengalihkan kegiatan fogging massal sebelum musim penularan menjadi bulan bakti gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur) sebelum musim penularan. Dan tahun 2002 ditegaskan bahwa fogging massal sebelum musim penularan tidak lagi menjadi kebijaksanaan nasional dalam program pemberantasan penyakit DBD.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi korelasi tentang pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif (fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektit) dan ketersediaan sumber daya (pendidikan petugas, lama kerja petugas, yang pernah diikuti petugas, pelatihan peralatan, bahan insektisida dan dana) terhadap angka insidens DBD selama 3 tahun (1999-2001). Unit analisis adalah kelurahan endemis DBD yang berjumlah 14 kelurahan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara simple regression linier analysis dan multiple regression linier analysis dengan software Stata 6.0 dengan melihat nilai p (p-value).
Dari analisis diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif terhadap angka insidens DBD, dimana pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif yang tidak sesuai petunjuk meningkatkan angka insidens DBD sebesar 10,25 per 100.000 penduduk (p=0,036) untuk tahun 1999 dan untuk tahun 2001 meningkatkan angka insidens DBD sebesar 4,89 per 100.000 penduduk (p=0,047).
Petugas yang sudah dilatih akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 18,32 per 100.000 penduduk (p=0,048) untuk tahun 1999. Tabun 2000, ketersediaan bahan insektisida malathion yang tidak mencukupi kebutuhan akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 1,34 per 100.000 penduduk (p=0,024). Sedangkan petugas yang sudah lama bekerja akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 2,74 per 100.000 penduduk (p=0,022) di tahun 2000. Ketersediaan Jana yang tidak mencukupi kebutuhan tahun 2001 akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 23,51 per 100.000 penduduk (p=0,025).
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa sebaiknya kegiatan fogging massal sebelum musim penularan tidak dilaksanakan lagi kecuali bila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), karena membutuhkan biaya yang besar untuk operasional dan tidak efektif lagi untuk menurunkan angka insidens DBD. Terbukti bahwa angka insidens DBD terus meningkat setiap 3 tahun, sehingga sejak tahun 2002 dianjurkan untuk diganti menjadi kegiatan bulan bakti gerakan 3M selama sebulan penuh pada saat sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala 4 kali setahun dan abatisasi selektif sebanyak 4 kali setahun.

Effect of intensive vector eradication program implementation against incidence rate of Dengue Haemorrhagic Fever in Muara EnimDengue Hemorrhagic Fever (DHF) still constitutes an important public health problem in South East Asia due to the principle cause of treatment in hospital and infant mortality. In Indonesia, DHF is also a public health problem because DHF incidence rate has the tendency to go up. Muara Enim District as a DHF endemic region, the annual incidence rate for 2002 stands above the national target at 20.57 per 100,000 inhabitants, while the national target up to 2010 for DI-IF incidence rate is 5 per 100,000 inhabitants for DHF endemic region.
The intensive eradication program covering mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation is still being implemented 'up to year 2002 in Muara Enim District. Meanwhile, Ministry of Public Health since 1998 has already suggested to postpone mass fogging prior to contamination season and to transfer mass fogging activities prior to contamination season to become "activites of 3M monthly action" (to clean by draining, to cover and to bury) before contamination season. Furthermore, in 2002 it was confirmed that the mass fogging prior to contamination season is no longer a national policy in DHF eradication program.
The study employs a correlation study plan concerning intensive vector eradication program implementation (mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation) as well as the availability of resources (education of officers, work duration of officers, type of training followed by officers, insecticide material and funds) vis-a-vis DHF incidence rate during a period of '3 years (1999-2001). The analyzed unit is a DID endemic village consisting of 14 counties. The collected data are analyzed by simple regression linear analysis and multiple regression linear analysis using Stata 6.0 software by considering the p-value.
Results obtained from the analysis revealed that there is an impact of intensive vector eradication program implementation vis-a-vis DHF incidence rate, where the intensive vector eradication program implementation is no longer compatible with the guidelines to enhance DHF incidence rate of 10.25 per 100,000 inhabitants (p--0.036) for year 1999 and for year 2001 to raise the DEF incidence rate to 4.89 per 100,000 inhabitants (p= 0.047).
Officers that have undergone training will lower DI-IF incidence rate by 18.32 per 100,000 inhabitants (p=0.048) for year 1999. In year 2000, where the supplies of malathion insecticides are not sufficient to meet the needs will raise DHF incidence rate by 23.51 per I00,000 inhabitants (p=0.025).
The conclusion that can be drawn from the study results is that it would be better if mass fogging activities prior to contamination season be discontinued except in outbreak or a case of emergency, cause it requires large expenses to operate while it is no longer effective to lower DHF incidence rate. Evidence show that DHF incidence rate continou to increase every 3 years, thus for year 2002 it is recommended to replace this to become activities of 3M monthly actions during one full month at a time before eradication season, periodic larva inspection 4 times a year and selective abatitation 4 times a year.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barlian
"ABSTRAK
Pelabuhan laut dan bandar udara merupakan pintu gerbang lalu lintas orang dan barang, baik antar pulau maupun antar negara. Dengan meningkatnya teknologi, arus pariwisata, perdagangan, haji dan transmigrasi, maka kemungkinan terjadinya penularan penyakit melalui alat angkut semakin besar, apalagi alat angkut jaman sekarang dapat mencapai jarak jauh dalam waktu yang singkat, sehingga kemungkinan seorang yang sudah ketularan penyakit menular, masih dalam masa inkubasi, masuk salah satu pelabuhan di Indonesia.
Salah satu aspek penularan penyakit di pelabuhan adalah melalui serangga penular penyakit (vektor), baik yang terbawa oleh alat angkut maupun yang sudah ada di pelabuhan laut atau bandar udara. Sebagai salah satu contoh adalah meningkatnya kasus malaria di Eropa dari 6.400 orang pada tahun 1985 menjadi 7.300 orang pada tahun 1987. Penderita tersebut tidak pernah mengunjungi daerah endemis malaria, karenanya vektor malaria infektiflah yang dianggap ikut dengan alat angkut.
Di pelabuhan laut atau di bandar udara salah satu vektor yang wajib dikontrol adalah nyamuk Aedes aegypti, karena naamuk Aedes aegypti selain sebagai vektor penyakit demam berdarah, juga sebagai vektor penyakit Yellow Fever (demam kuning) yang penyakitnya belum ada di Indonesia. Salah satu cara pengendalian vektor Aedes aegypti ini adalah dengan fogging.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara kelompok rumah yang difogging dengan kelompok rumah yang tidak difogging dan hubungan antara fogging dengan penurunan indeks vektor Aedes aegypti di daerah pelabuhan Pangkalpinang, dengan menggunakan desain Quasi Eksperimental. Pengambilan lokasi sebagai daerah perlakuan dan daerah pembanding diambil secara purposif dalam daerah buffer pelabuhan Pangkalpinang, sedangkan sampel rumah diambil secara acak sederhana dengan jumlah masing-masing 100 rumah.
Hasil pengukuran indeks-indeks vektor setiap minggu selama 12 minggu di daerah perlakuan dan daerah pembanding, terlihat adanya tren penurunan dari indeks-indeks vektor pada daerah perlakuan.
Dengan menggunakan uji stitistik (kai kuadrat dan t.test) didapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang berrnakna antara daerah perlakuan dengan daerah pembanding setelah perlakuan selama 12 minggu, dan ada hubungan antara fogging dengan penurunan House Index vector Aedes aegypti setelah minggu keempat.
Penelitian ini menyimpulkan fogging efektif untuk menurunkan indeks vektor Aedes aegypti di daerah pelabuhan Pangkalpinang disarankan program fogging merupakan pilihan terakhir, karena dikhawatirkan adanya dampak negatif terhadap lingkungan.

ABSTRACT
The Effectivity of Fogging With Malathion Through The Descent Of The Index Of Vector Aedes Aegypti At The Port PangkalpinangPort and airport is the gate of the traffic and good, not only inter-island but inter-country. By the increasing of technology, tourism rate, commerce, hajj and transmigration, thus the possibility of the contagion of disease by the means of transportation is bigger, even the means of transportation today can reach far distance in a short time, so that the possibility of someone who has had a contagious disease, still in the incubation period, get into the one of the port in Indonesia.
One of the aspect of the contagion of disease is through the disease infector insect (vector), not only taken by the means of transportation but also that has been at the port or airport. As an example is the increasing of malaria case in Europe from 6.400 people in 1985 to 7.300 people in 1987. The victims had never come to malaria endemic zone, therefore the vector of the infective malaria that is considered taken by the means of transportation.
At the port and airport, one vector that has to be controlled is mosquito Aedes aegypti, because of mosquito Aedes aegypti not only as a vector Dengue Haemoragic Fever, but also as a vector of the disease Yellow Fever that disease has note been in Indonesia yet. One of the way to control the vector Aedes aegypti is by fogging.
This research has an objective to know the differences between fogging home group and not fogging home group and the relation between fogging by descent of the index of vector Aedes aegypti at the port Pangkalpinang, by using experimental Quasy Design. Taking the position as an experiment zone and control zone taken purposively in a buffer area of port Pangkalpinang, but home sample is taken simple randomly by the number of each 100 homes.
The measurement result of the indexes on vector every week during 12 weeks at the experiment zone and control zone, seen that there is a dissent trend of the index of vector at the experiment zone.
By using statistics test (chi quadrat and t.test) had result that there is a meaningful differences between experiment zone and control zone after the experiment during 12 weeks, and there is a relation between fogging and the descent House Index Vector of Aedes aegypti after week four.
This research concludes that fogging is effective to lower the index of vector Aedes aegypti at the region of port Pangkalpinang. It is suggested fogging program is the last choice, because it is worried that there is a negative phenomena through the environment.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savana Jacqueline Dooley
"Di Indonesia, filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang vektor utamanya adalah nyamuk Culex quinquefasciatus. Pengendalian vektor nyamuk menggunakan insektisida sintetis dapat menimbulkan resistensi nyamuk betina Cx. quinquefasciatus. Oleh karena itu, diperlukan insektisida alternatif dari bahan alami (curcumin (C21H20O6) dan hexahydrothymol (C10H20O)). Penelitian ini difokuskan pada aktivitas curcumin dan hexahydrothimol dalam membunuh nyamuk betina Cx. quinquefasciatus, mekanismenya yang meliputi perubahan aktivitas enzim detoksifikasi, dan pengaruhnya terhadap perilaku nyamuk betina dalam mengisap darah. Bioassay nyamuk mengikuti protokol WHO, nyamuk dipaparkan dengan kertas filter yang mengandung curcumin dan hexahydrothymol dengan konsentrasi 10, 25, 50 ppm. Bioassay dilakukan dengan ulangan 3 kali. Pemeriksaan enzim asetilkolinesterease (AChE), glutation s-transferase (GST), dan oksidase dengan menggunakan metode biokimia yaitu homogenisasi yang diikuti dengan pembacaan menggunakan ELISA reader. Pengujian perilaku makan darah dan engorgement time menggunakan modifikasi Xue et al. Curcumin dan hexahydrothymol konsentrasi 50 ppm menyebabkan angka mortalitas 100% pada nyamuk betina Cx. quinquefasciatus. Curcumin memperlihatkan nilai LC50 = 0,455 ppm dan LC90 =1,360 ppm serta hexahydrothymol sebesar LC50 = 0,455 ppm dan LC90 =1,360 ppm. Aktivitas AChE dan GST meningkat (p<0,05), sedangkan oksidase mengalami inhibisi (p<0,05). Hexahydrothymol mengakibatkan perubahan perilaku waktu kenyang yang lebih singkat dan persentase makan darah yang lebih kecil dibandingkan dengan curcumin.

In Indonesia, filariasis is a public health problem whose main vector is the Culex quinquefasciatus mosquito. Mosquito vector control using synthetic insecticides can cause resistance to female mosquitoes Cx. quinquefasciatus. Therefore, alternative insecticides are needed from natural ingredients (curcumin (C21H20O6) and hexahydrothymol (C10H20O)). This study focused on the adulticidal activity of curcumin and hexahydrothymol, its mechanism (changes in the activity of detoxification enzymes, and its effect on the blood sucking behavior of female mosquitoes). The mosquito bioassay followed the WHO protocol, where mosquitoes were exposed to filter paper containing curcumin and hexahydrothymol at concentrations of 10, 25, 50 ppm with 3 repetitions. Examination of the enzymes acetylcholinesterease (AChE), glutathione s-transferase (GST), and oxidase uses biochemical method, homogenization followed by reading using ELISA. The testing of blood-sucking behavior and engorgement time uses the modification of Xue et al method. Curcumin and hexahydrothymol at a concentration of 50 ppm caused a 100% mortality rate in female Cx. quinquefasciatus mosquitoes. Curcumin showed LC50= 0.455 ppm and LC90= 1.360 ppm and hexahydrothymol LC50 = 0.455 ppm and LC90= 1.360 ppm. AChE and GST activities increased (p<0.05), while oxidase was inhibited (p<0.05). Hexahydrothymol resulted in shorter engorgement time and smaller blood-sucking percentage compared to curcumin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Putri Aulia
"Latar belakang: Filariasis bancrofti merupakan vector-borne disease yang terutama ditularkan melalui gigitan nyamuk Culex quinquefasciatus dan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penggunaan insektisida yang sering dan dalam jangka waktu yang lama menyebabkan resistensi pada Cx. quinquefasciatus dan mekanisme resistensi tersebut dapat dievaluasi melalui aktivitas enzim detoksifikasi. Namun, belum ada penelitian tentang aktivitas enzim detoksifikasi pada nyamuk Cx.quinquefasciatus yang dipaparkan oleh λ-sihalotrin di Jakarta.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas larvasida λ-sihalotrin terhadap larva Cx. quinquefasciatus dan mendeskripsikan mekanisme larvasida melalui aktivitas enzim detoksifikasi.
Metode: Uji bioassay dilakukan dengan memaparkan larva Cx. quinquefasciatus terhadap lima konsentrasi λ-sihalotrin (0,002; 0,015; 0,05; 0,2; 0,7 ppm). Angka mortalitas diukur setelah paparan selama 24 jam. Aktivitas enzim detoksifikasi meliputi asetilkolinesterase (AChE), glutation s-transferase (GST), dan cytochrome c-oxidase (COX) dianalisis menggunakan metode Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
Hasil: Setelah paparan λ-sihalotrin selama 24 jam, angka mortalitas larva Cx. quinquefasciatus mulai dari 28,8% - 100%. Angka mortalitas 100% (125/125) ditemukan pada λ-sihalotrin dengan konsentrasi 0,7 ppm. Nilai LC50 sebesar 0,054 ppm (95% CI 0,038 – 0,068) dan LC90 sebesar 0,148 ppm (95% CI 0,117 – 0,208). Λ-sihalotrin menyebabkan peningkatan enzim AChE yang tidak signifikan, peningkatan enzim GST yang signifikan, dan penurunan enzim COX yang tidak signifikan.
Kesimpulan: Λ-sihalotrin dengan konsentrasi 0,7 ppm memiliki aktivitas larvasida yang tinggi dengan mekanisme memengaruhi enzim detoksifikasi.

Introduction: Bancrofti filariasis is a vector-borne disease transmitted by the Culex quinquefasciatus mosquito and is still a major health problem in Indonesia. Heavy and long-term use of insecticides causes the development of insecticide resistance in Cx. quinquefasciatus and the resistance mechanisms can be evaluated through detoxification enzymes. However, there has been no research on detoxifying enzymes activity in Cx. quinquefasciatus mosquitoes exposed to λ-cyhalothrin in Jakarta.
Objective: This study aimed to evaluate the larvicidal activity of λ-cyhalothrin against Cx. quinquefasciatus larvae and describe the larvicidal mechanism through detoxification enzymes activity.
Method: Bioassay tests were performed by exposing Cx. quinquefasciatus larvae to five concentrations of λ-cyhalothrin (0.002; 0.015; 0.05; 0.2; 0.7 ppm). The mortality rate was measured after exposure for 24 hours. The detoxification enzymes activity, including acetylcholinesterase (AChE), glutathione s-transferase (GST), and cytochrome c-oxidase (COX), were analyzed using the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) method.
Result: After exposure to λ-cyhalothrin for 24 hours, the mortality rate of Cx. quinquefasciatus ranges from 28.8% - 100%. A mortality rate of 100% (125/125) was found in λ-cyhalothrin with 0,7 ppm concentration. The LC50 value was 0.054 ppm (95% CI 0.038 – 0.068) and the LC90 was 0.148 ppm (95% CI 0.117 – 0.208). Λ-cyhalothrin caused a non-significant increase in the AChE enzyme, a significant increase in the GST enzyme, and a non-significant decrease in the COX enzyme.
Conclusion: Λ-cyhalothrin with a concentration of 0.7 ppm has high larvicidal activity by influencing detoxification enzymes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Akbar Cindani Gardian
"Latar belakang: Temefos dan Sipermetrin sebagai insektisida memiliki zat aktif yang dapat membunuh larva Culex quinquefasciatus melalui kerusakan organ digestif dan penurunan neurotransmitter( Octopamin dan Tiramin).
Tujuan: Mengevaluasi aktivitas larvasida , mekanisme kerusakan histopatologi, dan penurunan neurotransmitter tiramin dan oktopamin.
Metode: Bioassay larva Cx. quinquefasciatus instar III dan IV sesuai dengan protokol WHO , pemeriksaan rutin histopatologi menggunakan pewarnaan HE, dan deteksi Oktopamin dan Tiramin dengan antibodi menggunakan metode imunohistokimia.
Hasil: Temefos dan Sipermetrin memperlihatkan aktivitas larvasida terhadap larva Cx. quinquefasciatus.Sipermetrin memiliki aktivitas larvasida lebih tinggi dengan LC50 dan LC90 masing-masing sebesar 0,013 ppm dan 0,184 ppm dibandingkan dengan Temefos yang memiliki LC50 dan LC90 masing-masing sebesar 0,009 ppm dan 0,016 ppm. Kedua insektisida menyebabkan kelainan histologi pada bagian midgut( food bolus, membran peritropik, mikrovili, lapisan epitelium, dan sel epitel). Sipermetrin menyebabkan kerusakan histologi midgut lebih parah dibandingkan Temefos. Setelah perlakuan kedua insektisida, Oktopamin dan Tiramin masih bisa terdeteksi. Namun, imunoreaktivitas keduanya berkurang.
Simpulan: Temefos dan Sipermetrin dapat direkomendasikan untuk digunakan dalam pemberantasan nyamuk Cx.quinquefasciatus.

Background: Temephos and Cypermethrin as insecticides have active substances that can kill Cx. quinquefasciatus larvae through damage to digestive organs and decrease in neurotransmitters (Octopamine and Tyramine).
Objective: valuating larvacidal activity, histopathological damage mechanisms, and decreased neurotransmitters tyramine and octopamine.
Method: Bioassay of Cx. quinquefasciatus instar III and IV according to WHO protocol, routine histopathological examination using HE staining, and detection of Octopamine and Tyramine with polyclonal antibodies using immunohistochemical methods.
Results: Temephos and Cypermethrin showed larvicidal activity against larvae of Cx. quinquefasciatus. Cypermethrin has higher larvicidal activity with LC50 and LC90 of 0.013 ppm and 0.184 ppm respectively compared to Temephos which has LC50 and LC90 of 0.009 ppm and 0.016 ppm respectively. Both insecticides cause histological abnormalities in the midgut (food bolus, peritropic membrane, microvilli, epithelium layer, and epithelial cells). Cypermethrin causes more severe midgut histological damage than Temephos. After the second treatment of insecticides, Octopamine and Tyramine can still be detected but the immunoreactivity of both is reduced.
Conclusion: Temephos and Cypermetrin can still be recommended for use in the eradication of Cx.quinquefasciatus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Slamet Mulyati
Depok: Universitas Indonesia, 2010
S26490
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sakinah Rahma Sari
"Latar belakang: Nyamuk Culex sp. merupakan nyamuk yang berperan dalam penyebaran berbagai penyakit, seperti filariasis, Japanese encephalitis, St. Louis encephalitis, dan West Nile Fever. Indonesia sebagai salah satu negara endemis filariasis memiliki program eliminasi filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor filariasis menggunakan insektisida. Seiring dengan semakin seringnya digunakan insektisida untuk mengendalikan vektor nyamuk lainnya, dikhawatirkan terjadi resistensi pada Cx. quenquefasciatus terutama terhadap insektisida yang sering digunakan. Resistensi metabolik dan modifikasi situs target dapat diamati dengan adanya peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase karena enzim asetilkolinesterase merupakan target kerja dari insektisida golongan organofosfat, seperti malation.7 Di Jakarta, belum dilakukan penelitian mengenai tingkat resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap malation dan deltametrin beserta aktivitas enzim asetilkolinesterase.
Tujuan: Menganalisis efektivitas malation dan deltametrin pada larva Cx. quinquefasciatus.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Sampel penelitian merupakan larva tahap III-IV Cx. quinquefasciatus yang diambil menggunakan teknik random sampling. Sampel akan dipaparkan dengan insektisida deltametrin dan malation dengan lima konsentrasi yang berbeda selama 24 jam. Kelompok larva mati dan hidup selanjutnya akan digunakan untuk uji biokimia enzim asetilkolinesterase menggunakan spektofotometri.
Hasil: Mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,25 ppm) kelompok perlakuan deltametrin adalah 96,8%. Sedangkan mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,5 ppm) kelompok perlakuan malation adalah 100%. LC50 dan LC90 pada deltametrin terhadap larva Cx. quinquefasciatus secara berurutan adalah 0,015 ppm dan 0,106 ppm. Sedangkan LC50 dan LC90 malation secara berurutan adalah 0,052 ppm dan 0,173 ppm. Absorbansi pada uji aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi deltametrin secara berurutan adalah 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. Sedangkan absorbansi pada uji biokimia aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi malation secara berurutan adalah 0,405 ± 0,009 dan 0,237 ± 0,003.
Kesimpulan: Deltametrin dan malation memperlihatkan aktivitas larvisida terhadap larva Cx.quinquefasciatus. Berdasarkan nilai LC50 dan LC90 menyimpulkan deltametrin lebih efektif dibandingkan dengan malation. Malation menghambat aktivitas asetilkolinesterase pada larva Cx. quinquefasciatus, sedangkan deltametrin tidak menghambat aktivitas asetilkolinesterase tersebut.

Background: Culex sp. plays an important role as a vector in spreading various diseases such as filariasis, Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, and West Nile Fever. Indonesia as one of the countries endemic in filariasis, has a program in eliminating filariasis, with one of the program done by controlling vector using insecticide. Insecticides used in eliminating vector of filariasis, Cx. quinquefasciatus, are used concurrently in order to eliminate another vector such as Anopheles sp. and Aedes sp. The escalation of insecticide utilization leads to the concern of Cx. quinquefasciatus being resistance against insecticides, especially insecticides that are often used. Metabolic resistance and target site modification in Cx. quinquefasciatus as the proposed mechanisms in insecticide resistance can be seen by observing the activity of acetylcholinesterase due to its role as a target site for organophosphat such as malathion. Currently in Jakarta, there’s no research established regarding Cx. quinquefasciatus resistance against malathion and deltamethrin along with their acetylcholinesterase activity.
Objective: Analyzing effectivity of malathion and delamethrin in Cx. quinquefasciatus.
Method: The design study used in this research was experimental. Larva Instar stage III-IV Cx. quinquefasciatus was used as samples and chosen with random sampling technique. Samples was exposed to deltamethrin and malathion with 5 different concentrations for 24 hours. Both samples, alive and dead, after the exposure, were assessed for their acetylcholinesterase activity using spectophotometry.
Result: Mortality from the highest concentration in deltametrhin-induced group was 96,8%. Meanwhile, mortality from the highest concentration in malathioninduced group was 100%. LC50 and LC90 of deltamethrin was 0,015 ppm and 0,106 ppm while LC50 and LC90 of malathion was higher (0,052 ppm and 0,173 ppm). Absorbance in acetylcholine esterase activity assay in the group of alive and dead larva induced by deltametrhin was 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. While the absorbance in malathion-induced group was lower with the result of 0,405 ± 0,009 in the group of alive larva and 0,237 ± 0,003 in the group of dead larva.
Conclusion: Deltamethrin dan malathion both showed larvacidal activity in Cx. quinquefasciatus. According to LC50 and LC90 we can conclude that deltamethrine was more effective than malathion.From the acetylcholinesterase activity assay, we can see that there was inhibition from malathion against acetylcholinesterase while we see no effect against acetylcholinesterase activity from deltamethrin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>