Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205717 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahwan
"Penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi adalah salah satu substansi penting dari perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Diskursus tersebut mengerucut pada persoalan dasar teoritis dan urgensi. Metode penelitian socio legal yang digunakan kemudian menunjukan bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dapat didasarkan pada sunrise principle dan sunset principle serta the shield function dan the sword function maupun prinsip realistic prospect of conviction yang dalam implementasinya memiliki dua filter yaitu evidential ficiency dan public interest. Dari perspektif teori, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat ditelusuri dari teori integratif yaitu teori yang digambarkan sebagai dasar yang memberikan keseimbangan dalam hukum acara pidana dan bersumber dari hukum adat kebiasaan dan pandangan hidup (way of life) keselarasan, keserasian dan keseimbangan masyarakat Indonesia. Dari segi urgensi, kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan ini memberikan tambahan alternatif bagi KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi terutama dalam mewujudkan kepastian hukum dan prinsip speedy trial dalam hukum acara pidana. Negara-negara seperti Hong Kong dan Belanda juga mengenal mekanisme ini. Secara normatif Indonesia dan Belanda mengaturnya dalam beberapa pasal, sedangkan Hongkong, meskipun tidak mengaturnya secara expressis verbis dalam Undang-Undang, mekanisme ini dikenal dalam praktik penegakan hukumnya sebagaimana terlihat dalam skema penanganan perkara yang dipublikasikan oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC). Pengaturan tentang penghentian penyidikan dalam tindak pidana korupsi harus tetap dipertahankan sebagai suatu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan terjadi kesalahan prosedur penegakan hukum atau karena alasan teknis lainnya.

Discontinuation of the investigation and prosecution of corruption crimes is one of the important substances of the amendment to Law No. 19 of 2019 concerning the Corruption Eradication Commission which then led to debates both among academicians and legal practitioners. The discourse focuses on basic theoretical issues and urgency. The socio-legal research method used then shows that the discontinuation of the investigation and prosecution of criminal acts of corruption can be based on the sunrise principle and sunset principle as well as the shield function and the sword function as well as the realistic prospect of conviction principle which in its implementation has two filters, namely evidential sufficiency and public interest. From a theoretical perspective, the discontinuation of investigations and prosecutions can be traced from the integrative theory, namely the theory that is described as the basis that provides balance in criminal procedural law and is sourced from customary law and the way of life of harmony, harmony and balance of Indonesian society. In terms of urgency, this authority to stop investigations and prosecutions provides additional alternatives for the KPK in handling corruption crimes, especially in realizing legal certainty and the principle of speedy trial in criminal procedural law. Countries such as Hong Kong and the Netherlands are also familiar with this mechanism. Normatively, Indonesia and the Netherlands regulate it in several articles, while Hong Kong, although it does not regulate it expressis verbis in the law, this mechanism is known in its law enforcement practice as seen in the case handling scheme published by the Independent Commission Against Corruption (ICAC). Regulations regarding the discontinuation of investigations in corruption crimes must be maintained as a control mechanism against possible errors in law enforcement procedures or for other technical reasons."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Novel
"Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang adil (due process of law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum pada sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) terakumulasi pada sub-sistem peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP, tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem peradilan pidana.

In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations. One effort to ensure the protection of human rights of a suspect or defendant in the criminal justice process through the institution of law is establishing the institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation subsystem of criminal justice System that are aimed as a control force to the efforts of law enforcement has been given by law. With the policy directions that are based i n the framework of criminal law to the fair process (due process of law), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts made in the law enforcement. At the stage of investigation and prosecution, the investigator and the general prosecutor have the authority to make termination of investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is hopefully expected to minim ize the occurrance of violations of human rights in the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial Commissioner indirectly supervise the implementation of the force action which is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the supervision of police and prosecutors in the case of termination of investigation and termination of the prosecution. So that it can be said that the Judicial Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25929
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farkhan Askari
"Hukum acara pidana ruengatur proses penyidikan dan penuntutan.Penyidik dan penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atau penuntutan dengan syarat-syarat yang telah digariskan dalam KUHAP. Untuk menguji sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dilakukan secara sah maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadapnya. KUHAP memberi hak kepada penyidik, penuntut umum serta pihak ketiga yang berkepentingan untuk melakukan pengawasan dan koreksi melalui lembaga praperadilan.Menjadi perdebatan adalah siapa pihak ketiga yang berkepentingan tersebut. Banyak pihak menafsirkannya sebagai saksi korban yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana serta pelapor. Dalam tindak pidana korupsi maka masyarakat adalah korban. Korupsi telah melanggar hak sosial ekonomi masyarakat serta menghambat pembangunan yang hasilnya seharusnya dapat dirasakan dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sementara undang-undang tidak secara tegas dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk mengambil langkah hukum apabila terusik rasa keadilannya dengan dilakukannya penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Penegak hukum, termasuk juga hakim yang mestinya dapat menemukan hukum yang lebih berpihak pada masyarakat dan lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat justru sering bersikap tidak menerima apabila masyarakat hendak melibatkan diri dalam proses peradilan pidana sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Mereka lebih banyak berpikiran positivistik, legisme, yang hanya melihat pada undang-undang saja. Apabila tidak diatur dalam undang-undang bererti tidaka ada hak masyarakat melibatkan diri dalam proses peradilan pidana.Untuk itu tesis ini meneliti dan menganalisa tentang 1)siapa pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, 2) apakah yang menjadi alas hak pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak tindak pidana korupsi, dan 3) hambatan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, bagaimana hukum acara pidana yang akan datang mengakomodirnya.

Code of criminal procedure regulates investigation and prosecution process. Investigator and prosecutor have authority to ceasing investigation or prosecution by requirement as provided in code of criminal procedure. Then, to test whether or not the ceasing of investigation or prosecution validly, it have opportunity to opened case to supervised and correct. Code of criminal procedure had entitled to investigator, prosecutor and third party concerned to supervised and correct with "pretrial" process. It had been debated on which third party concerned is? Mostly parties interpreted as victim who had been harmed from crime and the reporter. Actually, in corruption, the society is the victim. Corruption had broke social-economics right of community and blocked the development which the results should be enjoyed and contributed to society's welfare essentially. Meanwhile, the laws had not given right firmly and clearly to society to have law procedure when their sense of justice had been distract, by ceasing investigation or prosecution of corruption. In the other side, law enforcer including judge who ought to find law that more prone to society and comply with sense of justice of them indeed, they had not received society who will involve their selves in criminal justice process as such third party concerned. Most of them had more thought of positivistic legalism, solely, they laid case on legislation, so that, if it had not been provided with legislation, then, society having not right to involve their selves in criminal justice process. However, this thesis researches and analyze regarding . 1) which third party concerned that may apply "pre-trial" to terminate investigation or prosecution of corruption criminal act is?; 2) what kind of arguments of such third party concerned to apply "pre-trial" in terminating investigation or prosecution of corruption?; and 3) the obstacles founded in "pre-trial" practiced by such third party concerned in ceasing investigation or prosecution of corruption, finally, how code of criminal procedure may accommodate it in the future."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Sori S
"Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketahui keberadaanya sejak proses penyidikan, berdasarkan fakta empiris dapat dipastikan akan dilakukan dengan persidangan in absentia. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang diperbolehkannya melakukan pemeriksaan persidangan serta memutus perkara tanpa kehadiran diri terdakwa. Namun, ketentuan ini dipahami oleh penyidik dan penuntut umum sebagai ketentuan yang juga memperbolehkan dilakukannya penyidikan dan penuntutan tanpa harus menemukan tersangka yang telah melarikan diri serta memeriksanya. Ketentuan ini pun dipandang berbeda oleh hakim yang memeriksa perkara, di mana ada hakim yang setuju untuk memeriksa dan memutus perkara yang tersangkanya tidak diperiksa selama tahap penyidikan, dan ada juga hakim yang menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode normatif yang menggunakan sumber data sekunder dan didukung oleh data primer berupa wawancara dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi yang tersangkanya tidak pernah diperiksa selama penyidikan tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan.

Based on empirical fact, the settlement of corruption act, in which the defendant has fled and his existence has been unknown since the investigation process is conducted, can certainly be done in the trial in absentia. Provision of Law No. 31 of 1999 replaced by law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption Act regulates the permissibility in conducting hearings and decides the case in absentia. However, the provision is also understood by the investigators and prosecutors as the provision that allows an investigation and prosecution without having to find a suspect who has fled, and investigate him. This provision is viewed differently by judges who examine cases in which there are judges who agree to examine and decide the case where the suspects are not checked during the investigation stage, and there are also the judges who refuse to examine the case. The result of research conducted by the normative method that used secondary data sources and supported by primary data in the form of interviews could be concluded that corruption crimes in which the suspect was never examined during the investigation could not be proceeded to the prosecution stage and the stage of investigation in court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tomi Aryanto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai penuntutan tindak pidana pencucian uang oleh
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam Undang-Undang Nomor : 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 6 huruf
c disebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi”, tidak menyebutkan tentang tindak pidana pencucian uang. Namun
dalam Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 74 dan 75 menyatakan
bahwa penyidikan tindak pidana pencucian dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, yang merupakan
tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang, apabila
menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian
uang, dalam penyidikannya maka penyidikannya digabung, antara tindak pidana
korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Demikian juga dengan penuntutannya
digabung antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. Hal
ini sudah terbukti dengan dilakukanya penyidikan dan penuntutan terhadap
perkara atas nama terdakwa Wa Ode Nurhayati, S. Sos (anggota DPR RI) oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta telah diputus terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

ABSTRACT
This thesis discusses money laundering lawsuit by prosecutors with the
Corruption Eradication Comission. Based on Law number 30 of 2002 on
Corruption Eradication Comission Article 6’s letter c, money laundering is not
explicitly stipulated as the chapter says: “Corruption Eradication Comission has
the duty to preliminarily investigate, fully investigate, and file a lawsuit on a case
of corruption”. Nevertheless, Law number 8 of 2010 on Prevention and
Eradication of Money Laundering Articles 74 and 75 states that the duty of
investigating a money laundering case fully is in the hand of the predicate
prosecutor, that is, one with the Corruption Eradication Comission who is in
charge of investigating fully a corruption law case which is a predicate crime
from money laundering provided that he finds a preliminary evidence of money
laundering. Thus, both the full investigation of a corruption case and that of a
money laundering case shall be combined; so shall the prosecution of both cases.
Such has applied in the case of parliament member Wa Ode Nurhayati, S. Sos in
which she was found guilty by the Council of Judges with the Anti-Corruption
Court of committing both corruption and money laundering as charged by the
Corruption Eradication Comission."
2013
T35913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trypu Vevianto
"Tindak pidana pada awalnya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara. dalam perkembangannya kondisi yang diciptakan akibat tindak pidana korupsi adalah membahayakan keamanan negara, dan akhirnya tindak pidana korupsi menimbulkan bahaya keamanan asimetrik atau non-tradisional yaitu bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena dampak negatifnya telah menambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan dan fingsi fungsi pelayanan sosial lainnya.

Criminal acts were initially acts that were detrimental to state finances. in its development the conditions created due to criminal acts of corruption are endangering the security of the state, and ultimately corruption acts pose asymmetric or non-traditional security hazards, namely the danger to the security of mankind, because the negative effects have added to the world of education, health, food and religious clothing, religious and function of other social service functions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.

Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salahuddin Luthfie
"Tesis ini membahas tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negaranegara lain, dan mekanisme penanganan perkara korupsi di kejaksaan. Tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi harus dilihat dari aspek historis, sosiologis, lingkungan strategis, dan yuridis; peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada empat kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu: jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan; mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakter birokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando.

This thesis discusses the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption, tasks and powers of the prosecution services in other countries, and mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service. This type of research is the juridical-normative. The results of research reveal that the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption should be viewed from the aspect of historical, sociological, strategic environment, and juridical; the role of the prosecutor relating to the investigation, there are four groups adopted by various countries: the prosecutor have the authority to criminal investigations, the prosecutor have the authority of certain criminal investigations, the prosecutor do not have the authority of investigations but given the authority supervising the investigations, the prosecutor do not have the authority to investigations and supervise the investigations; mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service consists of four stages, stage of inquiry, investigation, prosecution, legal remedy and execution, and the implementation is done by the intelligence and special crime division, the organizational structure characterized by bureaucratic, centralized, hierarchical accountability and command system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Donahue Zega
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai makna unsur menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya setelah lahirnya Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan menggunakan doktrin otonomi hukum pidana materiil sebagai salah satu pisau analisis, aparat penegak hukum khususnya hakim dalam memaknai unsur menyalahgunakan kewenangan dapat melakukan penemuan hukum tanpa terikat dengan pengertian atau konsep yang diatur dalam cabang imu hukum lain dalam hal ini antara unsur menyalahgunakan kewenangan dengan konsep penyalahgunaan wewenang. Skripsi ini juga membahas mengenai dampak Pasal 20 ayat 1 dan Pasal 21 ayat 1 Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap penegakkan Pasal 3 Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dengan meninjaunya dari preseden hukum yang ada, politik hukum dan analisis ekonomi terhadap hukum pidana.

ABSTRACT
This thesis analyzes the meaning of abuse of power as element of crime in Article 3 Law Number 30 Year 1999 On Eradication of Criminality Acts of Corruption and it rsquo s alteration after the enaction of Law Number 30 Year 2014 On Government Administration. Using the doctrine of autonomous substantive criminal law as one of the tool of analysis, law enforcement officers particularly judges in interpreting the abuse power as element of crime could interpret or construct it without bounded by the meaning or concept that is regulated in the other branches of law, in the context between the abuse of power in the criminal law and abuse of power in the administrative law. This thesis also analyzes the impact of Article 20 verse 1 and Article 21 verse 1 of Law Number 30 Year 2014 On Government Administration to the enforcement of Article 3 Law Number 30 Year 1999 On Eradication of Criminality Acts of Corruption and it rsquo s alteration by reviewing it using the legal precedents, politics of law and the economic analysis of the criminal law."
2017
S68024
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Novel
"ABSTRAK
Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari
kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin
perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai
fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah
ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari
penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal
penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan
dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang
adil (due process o f law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya
dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum
pada sistem peradilan pidana {Criminal Justice System) terakumulasi pada subsistem
peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan
penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki
kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian
Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP,
tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak
hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan
penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim
Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap
minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam
sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur
yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak
langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan
oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka
penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi
yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan
antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan
Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris
adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal
yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem
peradilan pidana.

ABSTRACT
In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the
possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations.
One effort to ensure the protection of human rights o f a suspect or defendant in
the criminal justice process through the institution o f law is establishing the
institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation
subsystem o f criminal justice system that are aimed as a control force to the
efforts o f law enforcement has been given by law. With the policy directions that
are based in the framework o f criminal law to the fair process (due process o f
lav/), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts
made in the law enforcement. At the stage o f investigation and prosecution, the
investigator and the general prosecutor have the authority to make termination o f
investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the
criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry
authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is
hopefully expected to minimize the occurrance o f violations o f human rights in
the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the
procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial
Commissioner indirectly supervise the implementation o f the force action which
is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in
the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the
supervision o f police and prosecutors in the case o f termination of investigation
and termination o f the prosecution. So that it can be said that the Judicial
Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice
system."
2009
T37376
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>