Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147635 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irena Ujianti
"Belum banyak studi mempelajari keterkaitan antara defisiensi vitamin B12 dan toksisitas homosistein. Hiperhomosisteinemia dikaitkan dengan penyakit selular terkait NAFLD. Toksisitas homosistein dapat berupa steatosis atau inflamasi sel hati. H. sabdariffa. dan konstituen aktifnya memiliki efek pencegahan terhadap cedera seluler. Ekstrak H. sabdariffa. diuji pada tikus Sprague-Dawley (SD) dalam penelitian ini.Penelitian ini untuk melihat efek H.sabdariffa terhadap peningkatan homosistein pada hati tikus SD yang diberikan diet resriksi vitamin B12.
Penelitian ini merupakan penelitian in vivo yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebanyak 30 ekor tikus SD dibagi menjadi enam kelompok sesuai waktu perlakuan di 8 dan 16 minggu sebagai berikut: Kelompok kontrol diberikan diet standar AIN-93M, kelompok restriksi vitamin B12 diberi diet AIN-93M dengan modifikasi pengurangan komponen vitamin B12 dan kelompok restriksi vitamin B12 diberi AIN-93M dengan modifikasi pengurangan komponen vitamin B12 ditambah ekstrak etanol H.sabdariffa (HSE). Setelah 8 dan 16 minggu, kadar vitamin B12 dan homosistein diukur. Peningkatan aktivitas toksisitas homosistein dilihat dari ekspresi protein GRP78, SREBP1c dan NF-kB. Aktivitas hepatoprotektif HSE dinilai menggunakan AST, ALT, GGT, dan NAFLD Activity Score (NAS).
Kadar vitamin B12 pada 8 minggu (233 ± 10.8 vs 176 ± 5.4 pg/L; p < 0.001) dan 16 minggu (226 ± 13 vs 190 6 pg/L; p < 0,001), lebih tinggi secara bermakna pada kelompok restriksi vitamin B12 dengan diet HSE dibandingkan kelompok diet restriksi vitamin B12 tanpa HSE. Kadar plasma homosistein plasma lebih rendah secara bermakna pada kelompok restriksi vitamin B12 dengan HSE dibandingkan kelompok restriksi vitamin B12 tanpa HSE di usia perlakuan 8 minggu (2,25 ± 0,07 vs 2,63 ± 0,1 mol/L; p < 0,001) dan 16 minggu (2,18 ± 0,07 vs 2,64 ± 0,09 mol/L; p < 0,001). Aktivitas GGT plasma di usia 16 minggu perlakuan menurun secara bermakna pada kelompok restriksi vitamin B12 dengan HSE dibandingkan kelompok restriksi vitamin B12 tanpa HSE (14,5 ± 1,1 vs 22,9 ± 2,4 IU; p < 0,05). Ekspresi protein GRP78, SREBP1c, dan NfKB diukur menggunakan protein GADPH sebagai kontrol internal. Pada minggu ke-8 dan 16, ekspresi protein NF-kB lebih rendah pada kelompok restriksi vitamin B12 dengan HSE dibandingkan dengan grup restriksi vitamin B12 tanpa HSE (0,78 ± 0,08 vs 1,08 ± 0,06; p < 0,05). Ekspresi protein SREBP1c lebih rendah pada kelompok restriksi vitamin B12 dengan HSE dibandingkan dengan grup restriksi vitamin B12 tanpa HSE pada usia perlakuan 16 minggu (0,55 ± 0,03 vs 1,00 ± 0,02; p < 0,05). Kelompok restriksi vitamin B12 dengan HSE memiliki gambaran histopatologis steatosis, inflamasi, dan fibrosis lebih baik dibandingkan kelompok yang restriksi vitamin B12 tanpa HSE setelah 16 minggu perlakuan.
Disimpulkan peningkatan homosistein akibat diet restriksi vitamin B12 pada tikus SD menyebabkan steatosis hati, inflamasi, dan fibrosis. Ekstrak etanol H.Sabdariffa memiliki efek pencegahan terhadap kondisi steatosis, inflamasi dan fibrosis akibat peningkatan homosistein pada tikus SD yang diberi diet restriksi vitamin B12.

There haven't been many studies on the link between vitamin B12 deficiency and homocysteine toxicity. Homocysteine is linked to NAFLD-related cellular disease, and toxicity can manifest as steatosis or inflammation of the liver cells. H. sabdariffa. and its active constituents have a preventive effect against cellular injury. H. sabdariffa extract was tested on Sprague-Dawley (SD) rats with NAFLD in this study. This study aimed to examine the effect of H. sabdariffa on increasing homocysteine ​​in the liver of SD rats fed a vitamin B12 restriction diet.
This research is an in vivo study conducted at the Faculty of Medicine, University of Indonesia. 30 SD rats were divided into six groups based on treatment time at 8 and 16 weeks, with the following treatments: the control group received the standard AIN-93M diet, the vitamin B12 restriction group received the AIN-93M diet with a modified reduction of the vitamin B12 component, and the vitamin B12 restriction + HSE group received the AIN-93M diet with a modified reduction of the vitamin B12 component and an ethanol extract of H. sabdariffa (HSE). After 8 and 16 weeks, vitamin B12 and homocysteine ​​levels were measured. The increase in homocysteine ​​toxicity activity was seen from the expression of GRP78, SREBP1c, and NF-kB proteins. The hepatoprotective activity of HSE was assessed using the AST, ALT, GGT, and NAFLD Activity Score (NAS).
Vitamin B12 levels at 8 weeks (233 ± 10.8 vs 176 ± 5.4 pg/L; p < 0.001) and 16 weeks (226 ± 13 vs 190 6 pg/l; p < 0.001), significantly higher in the HSE group with a vitamin restriction diet. B12. Plasma homocysteine ​​levels were significantly lower in the vitamin B12 restriction group with HSE than in the vitamin B12 restriction group without extract at 8 weeks of age (2.25 ± 0.07 vs. 2.63 ± 0.1 mol/L; p < 0.001 ) and 16 weeks (2.18 ± 0.07 vs. 2.64 ± 0.09 mol/L; p < 0.001). Plasma GGT activity at 16 weeks of treatment decreased significantly in the vitamin B12-restricted group with HSE compared to the vitamin B12-restricted group without HSE (14.5 ± 1.1 vs. 22.9 ± 2.4 IU; p < 0.05). GRP78, SREBP1c, and NfKB protein expressions were measured using GADPH protein as an internal control. At weeks 8 and 16, NF-kB protein expression was lower in the vitamin B12 restriction group with HSE compared to the vitamin B12 restriction group without HSE (0.78 ± 0.08 vs. 1.08 ± 0.06; p < 0 ,05). SREBP1c protein expression was lower in the vitamin B12 restriction group with HSE compared to the vitamin B12 restriction group without HSE at 16 weeks of treatment (0.55 ± 0.03 vs. 1.00 ± 0.02; p < 0.05). The vitamin B12 restriction group with HSE had better histopathological features of steatosis, inflammation, and fibrosis than the vitamin B12 restriction group without HSE after 16 weeks of treatment.
It was concluded that the increase in homocysteine ​​due to dietary restriction of vitamin B12 in SD rats caused liver steatosis, inflammation, and fibrosis. The ethanolic extract of H. Sabdariffa had a preventive effect on steatosis, inflammation, and fibrosis due to increased homocysteine ​​in SD rats fed a vitamin B12 restriction diet.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patwa Amani
"ABSTRAK
Defisiensi vitamin B12 merupakan masalah kesehatan di negara maju dan berkembang. Penelitian ini menganalisis hubungan restriksi vitamin B12 dengan perubahan struktur dan fungsi ginjal. Tikus Sprague-Dawley 18 ekor dibagi menjadi tiga kelompok: 1 kontrol yang diberi pakan standar hewan coba AIN-93M selama 12 minggu; 2 perlakuan-1 P-1 diberi pakan AIN-93M modifikasi tanpa vitamin B12 selama 4 minggu; dan 3 perlakuan-2 P-2 selama 12 minggu. Vitamin B12 plasma total turun dari 529.17 166.51 pg/ml menjadi 426.33 60.59 pg/ml pada P-1 dan 708.70 124.35 pg/ml menjadi 519.16 84.96 pg/ml pada P-2, pada kelompok kontrol meningkat dari 567.79 102.52 pg/ml menjadi 650.26 193.12 pg/ml. Homosistein plasma meningkat pada kelompok perlakuan setelah 4 minggu kontrol vs P-1 = 351.05 110.69 pmol/ml vs 597.09 308.02 pmol/ml dan 12 minggu kontrol vs P-2 = 414.473 224.13 pmol/ml vs 1055.12 651.68 pmol/ml, p

ABSTRACT
Vitamin B12 deficiency is still a health problem in both developed and developing countries. This study was conducted to explore possible relationship between vitamin B12 dietary restriction with kidney rsquo;s histological and physiological changes. Eighteen male Sprague Dawley rats were divided into three groups: 1 control group were fed with standard AIN-93M for 12 weeks; 2 1st treatment group P-1 were fed with cobalamin restricted AIN-93M for 4 weeks; and 3 2nd treatment group P-2 were fed with cobalamin restricted AIN-93M for 12 weeks. Vitamin B12 level decreased from 529.17 166.51 pg/ml to 426.33 60.59 pg/ml in P-1 group and from 708.70 124.35 pg/ml to 519.16 84.96 pg/ml in P-2 group, while it increased from 567.79 102.52 pg/ml to 650.26 193.12 pg/ml in control group after 12 weeks. Plasma Hcy increased in treatment group after 4 weeks control vs P-1 = 351.05 110.69 pmol/ml vs 597.09 308.02 pmol/ml and 12 weeks control vs P-2 = 414.473 224.13 pmol/ml vs 1055.12 651.68 pmol/ml; p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghafur Rasyid Arifin
"ABSTRACT
Latar Belakang: Defisiensi vitamin B12 belum diketahui secara jelas insidensi dan prevalensinya di seluruh dunia dan hanya terdapat penelitian di daerah-daerah tertentu. Terdapat indikasi defisiensi asam folat dan vitamin B12 menjadi masalah kesehatan masyarakat dalam beberapa negara. Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa kadar vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan terjadinya perlemakan hati. Kondisi perlemakan hati memiliki spektrum yang luas, dari perlemakan hati sederhana, steatohepatitis, fibrosis, hingga sirosis hati. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gambaran histopatologi perlemakan hati pada tikus dengan diet restriksi vitamin B12 dalam durasi waktu tertentu. Metode: Penelitian dilakukan dengan 18 ekor tikus Sprague-Dawley yang terbagi dalam 3 kelompok: (1) kelompok kontrol dengan diet normal selama 16 minggu; (2) kelompok perlakuan dengan diet restriksi vitamin B12 selama 8 minggu; dan (3) kelompok perlakuan dengan diet restriksi vitamin B12 selama 16 minggu. Setelah masa perlakuan selesai, hewan coba didekapitasi dan diambil jaringan hati dan dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin untuk diamati perlemakan hati yang terjadi.Hasil: Ditemukan steatosis mikrovesikular pada ketiga kelompok. Hanya sedikit ditemukan steatosis markovesikular, inflamasi lobular, dan pembengkakan hepatiosit pada kelompok perlakuan. Pemberian diet restriksi vitamin B12 menunjukkan perbedaan yang bermakna ketika dilihat melalui persentase pelemakan hati yang terjadi (p=0,001). Analisis post-hoc dilakukan dan didapatkan hasil yaitu terdapat perbedaan perlemakan hati yang bermakna pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan 8 minggu dan pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan 16 minggu. Kesimpulan: Diet restriksi vitamin B12 menunjukkan adanya perbedaan gambaran perlemakan hati yang bermakna yang terlihat pada gambaran histologi jaringan hati setelah perlakuan 8 dan 16 minggu.

ABSTRACT
Introduction: Vitamin B12 deficiencys incidence and prevalence throughout the world are still unknown  and studies only found in certain areas. There is an indication that folate and vitamin B12 deficiency will be global health problem in some countries. In some research, it was found that low level of serum vitamin B12 was associated with non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). NAFLD has a broad spectrum, from simple steatosis, steatohepatitis, fibrosis, until cirrhosis. Objective: This research aimed to investigate the histopathological changes of steatosis in rats induced with vitamin B12 restriction diet within observation period. Method: This experimental study was conducted with 18 Sprague-Dawley rats that were divided equally in 3 groups: (1) control group with normal diet for 16 weeks; (2) treatment group with vitamin B12 restriction diet for 8 weeks; and (3) treatment group with vitamin B12 restriction diet for 16 weeks. After observation period was finished, decapitation was performed to obtain rats liver tissue. Liver tissue then stained with Hematoxylin-Eosin to observe the steatosis percentage. Result: Microvesicular steatosis was observed in all groups. There were a little macrovesicular steatosis, lobular inflammation, and hepatic ballooning in treatment group. Steatosis percentage showed significant result when all groups were compared (p=0,001). Post-hoc analysis then performed; there was significant difference of steatosis percentage of control group compared with 8 weeks treatment group and control group compared with 16 weeks treatment group. Conclusion: Vitamin B12 restriction diet showed significant difference of steatosis showed in liver tissue after 8 and 16 weeks of treatment."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Surjadjaja
"Tujuan: Mengetahui pengaruh suplementasi vitamin B12 400 µg/hari selama enam minggu terhadap kadar vitamin B12 dan homosistein serum pada adventis vegan dewasa.
Tempat: Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Jakarta Barat.
Metadologi: Penelitian pro dan pasca perlakuan pada 27 orang subjek, berusia 20-60 tahun. Setiap subjek mengkonsumsi suplemen vitamin B12 400 µg/hari dosis tunggal selama 42 hari. Data yang dikumpulkan meliputi data demografi, antropometri pra dan pasca perlakuan, asupan nutrisi (energi, karbohidrat, protein, dan lemak) dengan metode recall 1 x 24 jam dua kali seminggu pra, pertengahan dan pasca perlakuan. Data asupan vitamin B6, B12 dan asam folat dengan FFQ semi kuantitatif serta data laboratorium meliputi kadar vitamin B12, asam folat, dan homosistein serum pra dan pasta perlakuan.
Hasil: Data demografi menunjukkan sebagian besar (81,5%) subjek berpendidikan tinggi dan semua subjek berpenghasilan di atas garis kemiskinan. Data antropometri pada pra dan pasca perlakuan menunjukkan seluruh subjek mempunyai IMT dalam batas normal. Asupan nutrisi selama perlakuan yang meliputi asupan energi, karbohidrat, lemak dan protein tidak mengalami perubahan. Bila dibandingkan dengan AKG tahun 1988 asupan energi, sebagian besar subjek termasuk cukup, asupan karbohidrat, dan protein termasuk kurang; asupan lemak termasuk lebih, Asupan vitamin B6 pada akhir perlakuan tidak menunjukkan penurunan secara signifikan (p=0,6874), sebaliknya dengan asupan vitamin B12 yang menunjukkan peningkatan signifikan (p = 0,021) dan asam folat yang menunjukkan penurunan signifikan (p = 0,0001). Hasil pemeriksaan laboratoriurn pada akhir perlakuan menunjukkan peningkatan signifikan pada kadar vitamin B12 (p = 0,0000) sebesar 202,6%, dari median 127 (58,0-193,0) pg/mL menjadi 376 (183,0-1168,0) pg/mL dan penurunan kadar homosistein yang signifikan (p = 0,0000) sebesar 39% dari median 14,50 (11,1-34,2) } µmol/L menjadi 9,50 (5,6-24,8) µmol/L. Kadar asam folat tidak mengalami penurunan bermakna (p = 0,2960).
Kesimpulan: Suplementasi vitamin B12 sebanyak 400 µg/hari selama 42 hari pada vegan terbukti meningkatkan kadar vitamin B12 dan menununkan kadar homosistein.

The Effect Of Vitamin B12 Supplementation On Homocysteine Level Of Adult VegansObjective: To investigate the effect of 400 µg /day vitamin B12 supplementation for 42 days on serum vitamin B12, and homocysteine levels of 27 adult vegan subjects.
Location: Seventh Day Adventists Church, West Jakarta.
Method: A pre and post test design study was carried out on 27 subjects, aged 20-60 years, who fulfilled the criteria of the selection. Subjects were given 400 µg/day vitamin B12 single dose supplementation for 42 consecutive days. Data collected were demographic, anthropometric, nutritional, and laboratory. The data of energy, carbohydrate, protein, and fat intake were collected using 1 x 24 recall method twice a week at the beginning, within, and the end of the study; whilst vitamin B6, B12 and folk acid intake were obtained with FF0 semi-quantitative method at the beginning and the end of the study. Laboratory data were collected before and after study including serum vitamin B12, folk acid and homocysteine
Results: Demographic data showed that most of the subjects had high formal education level (81.5%) and all subjects had income above the poverty line. Anthropometric data showed that BMI at the beginning and in the end of the study were in normal range. Dietary intake estimation including energy, carbohydrate, protein, and fat, were not significantly changed. Compared to Indonesian RDA 1998, intake of energy was considered adequate, carbohydrate and protein were low, and fat was high. Vitamin B6 intake did not decrease significantly (p = 0.6874) However vitamin B12 intake increased (p = 0.021) and folic acid intake decreased significantly (p = 0.0001). Median value of serum vitamin B12 after supplementation increased significantly (p = 0,0000) by 202.6% from 127 (58.0-193.0) pg/mL to 376 (183.0-1168.0) pg/mL. There was no significant difference in the serum level of folic acid (p = 0.2960). Median value of homocysteine after supplementation decreased significantly (p = 0.0000) by 39% from 14.50 (3.8-34.2) man, to 9.50 (5.6-24.8) µmol/L.
Conclusion: Supplementation of single dose 400 µg vitamin B12 for 42 consecutive days on adult vegan subjects was proven to elevate the level of serum vitamin B12 and decrease the level of homocysteine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T13675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Husin
"Tujuan : Untuk mengetahui gambaran status vitamin B-12, asam folat, nutrisi dan profit lipid serum pada lanjut usia, agar dapat dimanfaatkan untuk pertimbangan pencegahan dan terapi penyakit jantung ; coroner (PJK) dan aterosklerosis.
Tempat : Sepuluh puskesmas kecamatan di Jakarta Selatan,
Cara : Studi cross-sectional pada lanjut usia z 60 tahun, subjek dipilih secara acak pada tingkat puskesmas. Data yang dikumpulkan meliputi sosio-demografi; pola makan; asupan energi, karbohidrat, lemak, protein, kolesterol, vitamin B-12, asam folat; kadar vitamin B-12; asam folat dan lipid serum, indeks massa tubuh (A.fl) dan rasio LPe-LPa.
Hasil : Prevalensi kekurangan vitamin B-12 serum 34,6% dan kekurangan asam folat serum 34,0%. Konsentrasi vitamin B-12 serum dan asam folat serum pada pria lebih rendah dari wanita. Pada pria dan wanita vitamin B-12 serum kelompok umur z 70 tahun lebih rendah dibanding kelompok umur 60-69 tahun. Prevalensi hiperkolesterolemia dan kolesterol LDL serum yang tinggi (z 160 mg/dL) adalah, 42,6% dan 24,1%. Pada pria dan wanita kolesterol total serum pada kelompok umur z 70 tahun lebih rendah dibanding kelompok umur 60-69 tahun. Di lain pihak kolesteroI HDL serum pada pria dan wanita kelompok umur Z 70 tahun lebih tinggi dibanding kelompok umur 60-69 tahun. Rata-rata IMl' untuk pria 23,9 dan wanita 24,1 dan rata-rata rasio LPe-LPa untuk pria 0,93 dan wanita 0,85. Pada lanjut usia dengan konsentrasi vitamin B-I2 serum < 350 pg/mL berkorelasi positif dengan kolesterol HDL serum (r = 0,29; P = 0,03), tetapi tidak berkorelasi dengan kolesterol total serum, kolesterol LDL serum, rasio kolesterol total/ kolesterol HDL dan rasio kolesterol LDLlkolesterol HDL. Di lain pihak lanjut usia dengan konsentrasi vitamin B-I2 serum Z 350 mg/mL tidak berkorelasi dengan lipid serum.
Kesimpulan : Melalui pendekalan faktor resiko PiK, prevalensi kekurangan vitamin B-12 dan kekurangan asam folat di Indonesia relatif tinggi dan sesuai dengan penelitan-penelitian yang telah dilakukan di negara-negara maju. Interaksi antara vitamin B-12 serum dan lipid serum belum dapat ditentukan sebagai interaksi yang linier tanpa adanya informasi mengenai homosistein serum. Kecukupan vitamin B-12 serum untuk lanjut usia sangatlah esensial untuk memperkecil terjadinya dislipidemia sebagai salah satu faktor resiko PJK.

Objective : To determine vitamin B-l2, folic acid, anthropometric and serum lipid profiles of the Indonesian elderly which are considered to be important in the prevention and treatment of coronary atherosclerosis.
Place : Ten PHC in the district of South Jakarta.
Methods : A cross-sectional study on the elderly (z 60 year) was carried out in 10 PHCs, Subjects were drawn randomly at the PHC levels. Data collected were sosio-demography; food habits; intakes of energy, carbohydrate, fat, protein, cholesterol, vitamin B-12, and folic acid; serum vitamin B-12, serum folic acid, serum lipids; anthropometry [body mass index (BMI) and waist-hip ratio].
Results : The prevalence of biochemical vitamin B-12 and folic acid deficiencies were 34.6% and 34.0% respectively. Serum vitamin B-12 and folic acid concentrations of the elderly men were lower than those of the elderly women. Serum vitamin B-12 of both elderly men and women aged Z 70 years was lower than their younger counterparts aged 60-69 years. The prevalence of hypercholesterolemia and high serum LDL cholesterol (z 160 mg/di.) was 42.6% and 24.1% respectively. Mean serum total cholesterol of both elderly men and women aged z 70 years was lower than those aged 60-69 years old. On the other hand, serum HOL cholesterol of both elderly men and women aged z 70 years was higher than their younger counterparts aged 60-69 years. Mean BMI values were 23.9 kglm2 for the elderly men and 24,1 kglrn2 for the elderly women. Mean waist-hip ratios for the elderly men and women were 0.93 and 0.85 respectively, In the elderly subjects with low serum vitamin B-12 (< 350 pg/mL), positive correlations were found between serum vitamin B-12 and serum HDL cholesterol (r 0.29; P = 0.03), but not with any of serum total cholesterol, serum LDL cholesterol, total cholesterol/HDL cholesterol ratio, and LDLIHDL ratio. On the other hand, in the elderly subjects with normal and high serum vitamin B-12 (z 350 pglmL), there were no correlations between serum vitamin B-I2 and serum lipids.
Conclusions: Using the CHD-risk approach, the prevalence of biochemical vitamin B-12 and folic acid deficiencies of the Indonesian elderly was relatively high and comparable with existing studies in developed countries. Without information on serum homocysteine concentration, the interactions between serum vitamin B-12 and lipids were not linear. Clearly, adequacy of serum vitamin B-12 for the elderly is essential to minimize disorder of lipid metabolism as one amongst other CHD risk factors.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Ujianti
"Nama : Irena UjiantiProgram Studi : Program Magister Ilmu BiomedikJudul Tesis :Dampak Restriksi Vitamin B12 Terhadap Kadar Homosistein, Resistensi Insulin Dan Gambaran NAFLDPembimbing : dr. Imelda Rosalyn Sianipar, M.Biomed, Ph.D dan Dr. dr. Dewi Irawati Soeria Santoso, MS Latar Belakang: Perlemakan hati merupakan penyakit hati kronik terbesar di dunia. Kondisi yang mendasari terjadinya perlemakan hati dimulai dari kondisi resistensi insulin. Salah satu patogenesis terjadinya resistensi insulin adalah gangguan pada pensinyalan insulin oleh zat toksik tertentu yang akan berinteraksi dengan protein yang menyusun jalur pensinyalan insulin. Peningkatan homosistein dikaitkan dengan resistensi insulin. Homosistein akan meningkat sejalan dengan terganggunya jalur metilasi dari siklus metionin. Pemberian diet restriksi vitamin B12 akan memicu terjadinya resistensi insulin lewat jalur stres oksidatif yang ditimbulkan oleh homosistein.Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan metode eksperimental terhadap 24 tikus Sprague Dawley jantan Rattus norvegicus, 300-350 gram, usia 35-40 minggu , terbagi ke dalam 4 kelompok yaitu kontrol K , Kelompok perlakuan 4 minggu P-1 , Kelompok Perlakuan 8 minggu P-2 dan kelompok perlakuan 12 minggu P-3 . Pada Kelompok kontrol, diberikan diet standar AIN-93M sedangkan kelompok perlakuan diberikan pakan modifikasi restriksi vitamin B12 AIN-93 sesuai usia perlakuan.Hasil: Kelompok perlakuan 8 minggu paling baik dalam menggambarkan kondisi perlemakan hati dibandingkan kelompok kontrol dan perlakuan 4 minggu, sedangkan kelompok perlakuan 12 minggu telah mempresentasikan kondisi NASH Non Alcoholic Steatohepatitis . Hasil ini sejalan dengan kondisi peningkatan homosistein plasma pada kelompok kontrol dan masing-masing usia perlakuan.Kesimpulan: Peningkatan homosistein akibat diet restriksi vitamin B12 mengakibatkan kondisi steatosis dan steatohepatitits pada hati, sebagai akibat dari kondisi resistensi insulin dan kerusakan sebagian dari sel beta pankreas. Kata kunci: Homosistein, Restriksi vitamin B12, NAFLD, Resistensi Insulin
ABSTRACT Name Irena UjiantiStudy Program Master Program of Biomedical SciencesThesis Title Impact of Vitamin B12 Restriction on Homocysteine Levels, Insulin Resistance and NAFLDCounselor dr. Imelda Rosalyn Sianipar, M.Biomed, Ph.D. dr. Dewi Irawati Soeria Santoso, MS Background The fatty liver is the biggest chronic liver disease in the world. The underlying condition of fatty liver starts from the condition of insulin resistance. One of the pathomechanisms of insulin resistance is the disturbance in insulin signaling by certain toxic substances that will interact with one of the proteins that make up the insulin signaling pathway. Increased homosisteine is associated with insulin resistance. Homosisteine will increase in line with the disruption of the methionin metionin pathway. Dietary vitamin B12 deficiency will trigger insulin resistance through the path of oxidative stress generated by homocysteine.Materials and Methods This study used an experimental method of 24 male Sprague Dawley rats Rattus norvegicus, 300 400 gram, age 7 8 months , divided into 4 groups kontrol K , 4 weeks treatment group P 1 , 8 weeks treatment group P 2 and 12 week treatment group P 3 . In the kontrol group, a standard AIN 93 diet was administered while the feeding group was administered vitamin A deficiency deficiency AIN 93M according to treatment age.Results The best 8 weeks treatment group described the conditions of fatty liver compared to the 4 week kontrol and treatment group, while the 12 week treatment group presented the NASH condition. These results are consistent with the elevated plasma homocysteine conditions in the kontrol group and each treatment age.Conclusion Increased homocysteine due to dietary vitamin B12 deficiency is able to induce the condition of steatosis and steatohepatitits in the liver, as a result of the condition of insulin resistance and beta cell pancrease damage as the underlying patomechanism. Keywords Homocysteine, vitamin B12 Deficiency, NAFLD, Insulin Resistance "
2018
T55512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Serra Avilia Nawangwulan
"ABSTRAK
Latar belakang : Sebanyak 70% dari anemia pada anak merupakan anemia
mikrositik hipokrom, dan yang terbanyak adalah anemia defisiensi besi (ADB).
Anemia defisiensi besi pada anak sekolah berkaitan dengan penurunan prestasi
belajar. Anak dengan masalah nutrisi berisiko mengalami defisiensi besi. Asupan
zat besi, pemacu dan penghambat absorpsi besi memengaruhi kadar besi. Sekolah
dasar (SD) Pegangsaan 01 Jakarta Pusat merupakan sekolah negeri dengan
mayoritas siswa berasal dari sosial ekonomi rendah.
Tujuan : Mengetahui status besi pada anak usia 6-12 tahun serta hubungannya
dengan status gizi dan asupan diet.
Metode : Studi potong lintang dilakukan di SD Negeri Pegangsaan 01, Jakarta
Pusat antara bulan Maret-April 2016. Asupan pemacu absorpsi zat besi (vitamin
C) dan penghambat (fitat, teh, kopi, susu) dinilai dengan food record selama tiga
hari, diolah dengan NutriSurvey®. Darah tepi lengkap, feritin, besi serum, total
iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, dan high sensitivity C-reactive
protein (hs-CRP) diperiksakan di laboratorium.
Hasil : Terdapat 115 subyek berpartisipasi dalam penelitian. Prevalens deplesi
besi sebesar 4,3%, defisiensi besi tanpa anemia sebesar 14,8%, ADB sebesar
1,7%. Tidak terbukti ada hubungan antara status gizi kurang dengan status besi
[p=0,094; OR=2,29(0,86-6,10)], gizi lebih dan obesitas dengan status besi
[p=0,050; OR=0,30(0,09-1,00)], asupan besi total dengan status besi (p=0,260),
vitamin C dengan status besi (p=0,740), fitat dengan status besi (p=0,901), teh
dengan status besi (p=0,931), kopi dengan status besi (p=0,624), dan susu dengan
status besi (p=0,277).
Simpulan : Prevalens deplesi besi, defisiensi besi tanpa anemia, dan ADB pada
anak usia 6-12 tahun berturut-turut adalah 4,3%, 14,8%, dan 1,7%. Tidak terbukti
ada hubungan antara status gizi, asupan zat besi, vitamin C, fitat, teh, kopi, dan susu dengan status besi pada anak usia 6-12 tahun.

ABSTRACT
Background : Prevalence of anemia in Indonesian school-age children is high.
Approximately 70% cases are microcytic hypochromic anemia which iron
deficiency anemia (IDA) are the most frequent. Iron deficiency anemia associated
with decreased learning achievement. Children with nutritional problems at risk
for iron deficiency. Intake of enhancer and inhibitor of iron absorption affects iron
body level. Pegangsaan 01 Public School is primary school in Central Jakarta,
which most of the students come from low socioeconomic family.
Objective: To measure iron status in children aged 6-12 years and its relationship
with nutritional status and dietary intake.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Pegangsaan 01 Primary
School, Central Jakarta, on March-April 2016. Dietary iron enhancer (vitamin C)
and inhibitor (phytate, tea, coffee, milk) were obtained using a 3-days food record
and analyzed with NutriSurvey®. Complete blood count, ferritin, serum iron, total
iron binding capacity, transferrin saturation and high sensitivity C-reactive protein
were examined.
Results: A total of 115 children were studied. Prevalence of iron depletion, iron
deficiency without anemia, and iron deficiency anemia were 4,3%, 14,8%, and
1,7% respectively. No evidence of relationship between undernourished and iron
status (p=0,094), overweight-obesity and iron status (p=0,050), iron intake and
iron status (p=0,260), vitamin C and iron status (p=0,740), phytate and iron status
(p=0,901), tea and iron status (p=0,931), coffee and iron status (p=0,624), milk
and iron status (p=0,277).
Conclusion: Prevalence of iron depletion, iron deficiency without anemia and
iron deficiency anemia in children aged 6-12 years were 4,3%, 14,8%, and 1,7%
respectively. No evidence of relationship between nutritional status, dietary intake and iron status"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Fauzi Shibly
"Sejak lebih dari 25 tahun yang lalu muncul bukti-bukti yang menunjang hipotesis bahwa meningkatnya homosistein plasma merupakan faktor risiko aterosklerosis, Berbagai studi kasus kontrol retrospektif, prospektif maupun intervensi telah dilakukan dan membuktikan bahwa hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko independen PJK. Pada satu meta-analisis dari 15 studi, rasio odds untuk PJK pada subjek dengan hiperhomosisteinemia adalah 1,7. Salah satu risiko penting terjadinya hiperhomosisteinemia adalah rendahnya asupan vitamin yang berperan pada metabolisme homosistein yaitu asam folat, vitamin B12 dan vitamin B6. Telah dilakukan penelitian deskriptif analisis terhadap 70 subyek PJK sebagai kasus dan 36 subyek sebagai kontrol di RS Jantung Harapan Kita dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kadar homosistein plasma pada penderita PJK dan kontrol serta hubungannya dengan asam folat dan vitamin B12 yang diketahui berperan mempengaruhi kadar homosistein plasma. Hasil pemeriksaan homosistein plasma, didapatkan rerata kadar homosistein plasma pada kelompok kasus maupun kontrol diatas normal (12,2 6,9 dan 13,1 + 3,6 Umol/L) dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok ini. Frekuensi defisiensi vitamin B12 masing-masing didapatkan 30% pada kelompok PJK dan kelompok tanpa PJK. Hal yang sangat menyolok didapatkan pada penelitian ini adalah defisiensi asam folat yang mencapai 82% pada kasus dan 83% pada kelompok kontrol. Korelasi antara homosistein plasma dengan vitamin B12 dan asam folat, didapatkan adanya korelasi negatif lemah yakni masing-masing r=-0,3 (p= 0,0004) dan r= -0,25 (p= 0,0095). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan.
1. Pada subyek PJK 61% kadar homosistein plasmanya diatas normal dan 80% pada subyek tanpa PJK.
2. Terdapat korelasi negatif lemah antara homosistein plasma dengan vitamin B12 serum dan asam folat.
3. Hal yang menyolok dari hasil penelitian ini adalah tingginya angka defisiensi asam folat pada kelompok PJK (82%) dan 83% pada kelompok tanpa PJK. 4. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam kadar homosistein antara kasus dengan kelompok kontrol."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Ligina Amalia
"Wasting sebagai bentuk dari malnutrisi akut dapat meningkatkan risiko penyakit dan kematian pada anak. Tujuan umum penelitian ini adalah diketahuinya suplementasi vitamin A sebagai faktor dominan kejadian wasting pada anak usia 6-23 bulan di Jakarta Barat tahun 2017. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan metode multistage random sampling, sehingga diperoleh sampel berjumlah 207 anak usia 6-23 bulan pada posyandu terpilih di Jakarta Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran antropometri, yaitu berat badan dan panjang badan, serta wawancara kuesioner dengan responden ibu/pengasuh dari sampel penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan sebesar 7.2 anak mengalami wasting. Analisis bivariat dengan CI 90 menunjukkan suplementasi vitamin A memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan kejadian wasting. Analisis multivariat menunjukkan suplementasi vitamin A sebagai faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian wasting pada anak usia 6-23 bulan di Jakarta Barat tahun 2017 dengan nilai OR CI 90 8.526.
Peneliti menyarankan pemerintah, puskesmas, dan posyandu untuk menyediakan alat pengukuran antropometri secara lengkap di posyandu, dan mengadakan pelatihan pengukuran antropometri secara rutin, mengadakan penyuluhan mengenai praktik pemberian makan pada anak, praktik pemberian ASI pada usia 0-6 bulan, suplementasi vitamin A, dan imunisasi guna meningkatkan status gizi anak.

Wasting or acute malnutrition increase risk of infection and death in children. The first objective of this study was to determine vitamin A supplementation as a dominant factor of wasting among children aged 6 23 months in West Jakarta in 2017. This study was a cross sectional study. Multistage random sampling was used as sampling method. There were 207 samples of children aged 6 23 months from posyandu the integrated service posts in 6 chosen villages in West Jakarta. Data were collected by anthropometric measurement weight and length measurement and questionnaire.
This study found 7.2 of those children are wasting. Analysis with CI 90 in this study showed a significant association between vitamin A supplementation with wasting and vitamin A supplementation as a dominant factor associated with wasting among children aged 6 23 months OR 8.526.
Researcher suggest government, puskesmas public health center, and posyandu to provide a proper and complete equipment of anthropometric measurement in posyandu, periodically conduct anthropometric measurement training, and educate parents of children aged below 5 years old about complementary feeding practices, breastmilk feeding practices of children aged 0 6 months, vitamin A supplementation, and immunization to improve nutritional status of children.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S67043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwita Wijaya Laksmi
"Pendahuluan: Pada usia lanjut (usila) terjadi perubahan dalam berjalan dan keseimbangan, penurunan kekuatan otot rangka, dan perlambatan integrasi sensorik dan motorik oleh sistem saraf pusat. Di sisi lain, usila rentan terhadap defisiensi vitamin D yang diketahui berkaitan dengan sistem muskuloskeletal dalam koridor fungsi mobilitas seseorang untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Belem. ada penelitian mengenai konsentrasi vitamin D dan korelasinya dengan mobilitas fungsional perempuan usila.
Tujuan: Menentukan konsentrasi vitamin D serum, hasil nilai uji the timed up and go (TUG), dan korelasi antara konsentrasi vitamin D serum dan nilai uji TUG perempuan usi la
Metode: Penelitian di tiga panti werdha di DK1 Jakarta dan satu panti werdha di Bekasi ini dilakukan dengan desain korelatif secara potong lintang yang dilakukan pada bulan Januari 2005 terhadap perempuan berusia 60 tahun atau lebih. Uji TUG digunakan untuk menilai mobilitas fungsional dasar dengan mengukur berapa detik waktu yang diperlukan subyek untuk melakukan aktivitas berturut-turut: bangkit dari kursi bertinggi duduk 46 cm dengan sandaran lengan dan punggung, berjalan sejauh tiga meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Konsentrasi vitamin D serum diukur dengan metode ELBA. Sebagai variabel perancu adalah usia, indeks massa tubuh, dan konsentrasi ion kalsium serum yang diukur dengan metode NOVA.
Hasil: Dari 42 perempuan usila-yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, 30 orang yang ditentukan secara random propotsional diikutsertakan dalam penelitian. Rerata (SB) konsentrasi vitamin D adalah 68,0 (SB 21,1) nmol/L, dengan konsentrasi <50 nmol/L sebesar 23,3%, nilai uji TUG 10,7 (SB 2,1) detik, IMT 22,3 (SB 3,7) kglm2, dan usia 70,2 (SB 6,4) tahun, sedangkaiu median (minimal-maksimal) konsentrasi ion kalsium serum adalah 1,095 (1,030-1,230) mmol/L. Konsentrasi vitamin D serum belum menunjukkan korelasi yang bermakna dengan TUG (r = -0,008; p = 0,968). Antara variabel perancu dan TUG juga belum menunjukkan korelasi yang bermalma. Hasil korelasi dengan TUG untuk indeks massa tubuh r = 0,014; p = 0,942, konsentrasi ion kalsium serum p = 0,287;p = 0,124, dan usia r = 0,315;p = 0,09.
Simpulan: Rerata konsentrasi vitamin D serum perempuan usila dalam penelitian ini adalah 68,0 (SB 21,1) nmollL, 23,3% mengalami defisiensi vitamin D sedangkan sisanya memiliki konsentrasi vitamin D serum normal. Rerata basil nilai uji TUG perempuan usila yang diteliti adalah 10,7 (SB 2,1) detik, sebagian besar (60%) memiliki basil nilai uji TUG 10-<20 detik yang menunjukkan kemandirian _untuk berbagai . aktivitas. Konsentrasi vitamin D serum belum menunjukkan korelasi yang bermakna dengan mobilitas fungsional dasar perempuan usila, semakin tinggi konsentrasi vitamin D serum tidak diikuti dengan semakin sedikit waktu yang diperlukan untuk melakukan.uji TUG; proporsi subyek dengan nilai uji TUG <10 detik (mobilitas fungsional dengan kemandirian penuh), lebih sedikit pads responden yang mengalami defisiensi vitamin D.

Background: In elderly there are changes both in gait and balance, muscle strength decline, and slowing of sensory and motoric integration by central nervous system. On the other hand, elderly are susceptible to vitamin D deficiency which is known associated with musculosceletal system in the light of functional mobility in order to perform daily Iiving activities independently. Study on vitamin D and its correlation with basic functional mobility in elderly women has not been conducted yet.
Objective: to determine vitamin D serum concentration, the timed up and go (TUG) test score, and the correlation between vitamin D serum concentration and TUG test score of elderly women.
Method: a correlative cross sectional study of institutionalized elderly women age 60 years old or greater was conducted in three nursing homes in DKI Jakarta and one nursing home in Bekasi in January 2005. TUG test was.performed to evaluate basic functional mobility by measuring the time in seconds to stand from 46 cm height armchair, walk three meters, turn around, and return to full sitting in chair. Vitamin D serum concentration was measured by ELISA method. Calcium ion serum concentration that was measured by NOVA method, age and body mass index (BMI) were confounding variables.
Result: Of forty-two elderly women who met the inclusion and exclusion criteria, thirty subjects which proportional randomly assigned were participated in this study. Mean (SD) vitamin D serum concentration was 68.0 (SD 21.1) nmoUL, with concentration S50 nmolIL was 23.3%, TUG score was 10.7 (SD 2.1) seconds, BMI was 223 (3.7) kglm2, age was 70.2 (SD 6.4) years, and median (minimal-maximal) ionized calcium serum concentration was 1.095 (1.030-1.230) mmolfL. Vitamin D serum concentration had not shown significant correlation yet with TUG (r = -0.008; p = 0.968). There were also no significant correlation among the confounding variables and TUG. The correlation with TUG for BMI r = 0.014; p = 0.942, ionized calcium serum concentration p = 0.287; p = 0.124, and age r=0.315;p=0.09.
Conclusion: The mean vitamin D serum concentration of elderly women in this study was 68.0 (SD 21.1) nmolIL, 23.3% had vitamin D deficiency, while the rest of other subjects still had normal vitamin D serum concentration. The mean TUG score of elderly women in this study was 10.7 (SD 2.1) seconds, more than half (60%) had TUG score 10-<20 seconds which means they were mostly independent to perform daily living activities. Vitamin D serum concentration had not shown significant correlation yet with basic functional mobility of elderly women, the higher vitamin D serum concentration was not followed by lesser time to perform TUG test; the proportion of subjects with TUG score <10 seconds (freely mobile in functional mobility) were lesser in vitamin D deficiency respondents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>