Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118211 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christian Rendy Chandra
"Latar Belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik dan ganguan koagulasi yang memperberat disfungsi endotel dan destablisasi plak intrakoroner yang berhubungan dengan beban trombus tinggi sehingga menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pasien dengan COVID-19 dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) yang memiliki beban trombus tinggi dihubungkan dengan mortalitas jangka pendek yang lebih besar namun pengaruhnya terhadap mortalitas dengan waktu yang lebih lama masih belum jelas.
Tujuan: Mengetahui hubungan COVID-19 dengan mortalitas 6 bulan pada pasien IMAEST dengan beban trombus tinggi (BTT) intrakoroner yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKPP).
Metode: Terdapat 124 pasien dengan IMAEST yang memiliki BTT intrakoroner yang menjalani IKPP pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. BTT intrakoroner berdasarkan kriteria TIMI. Status COVID-19 positif atau negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan variabel lainnya dilihat hubungannya terhadap mortalitas 6 bulan dengan analisis kesintasan dan cox regresi.
Hasil: Terdapat mortalitas tinggi pada pasien COVID-19 positif (31%) dibanding pasien COVID-19 negatif (4,2%) sampai dengan 6 bulan sejak admisi rumah sakit. Pasien dengan COVID-19 cenderung meninggal lebih besar dalam 6 bulan dibanding pasien tanpa COVID-19 (HR 8.45 IK95% 2.6- 27.5). Pada model akhir multivariat analisis, status COVID-19 positif merupakan prediktor independen terhadap kematian 6 bulan sejak admisi (HR 12,89 ; IK95%:3,34 – 49,76 ; p ≤ 0,001). Status COVID-19 positif pada pasien IMAEST dengan BTT intrakoroner yang menjalani IKPP ini juga mempengaruhi level kesintasan (survival rate) yang lebih rendah dalam 6 bulan.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara COVID-19 dengan mortalitas 6 bulan pada pasien dengan IMAEST dengan BTT intrakoroner yang menjalani IKPP.

Background: COVID-19 causes systemic inflammatory response and disturbance in coagulation function which might give detrimental effect on endothelial dysfunction and instability of coronary plaque leading to high thrombus burden and affecting morbidity and mortality. Patients with COVID-19 with ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) that have Intracoronary High Thrombus Burden (IHTB) is reported to have higher intrahospital mortality but its impact on long-term mortality is still not known.
Objective: To determine whether COVID-19 is affecting 6 months mortality in STEMI patients with IHTB who undererwent Primary Percutanoeus Coronary Intervention (PPCI).
Methods: There were 124 patients with STEMI with IHTB who underwent PPCI form April 2020 to November 2021 from retrospective analysis. IHTB were classified according TIMI thrombus grade. COVID-19 status (positive or negative) were obtained according to laboratory results and other variables were analysed with cox regression analysis and survival analysis.
Results: Higher 6 months mortality rate from admission was found among COVID 19 patients compared to COVID-19 negative patients (31% vs 4,2%). The risk of death within 6 months from admission was higher in COVID-19 positive patients compared to COVID-19 negative patients ( HR 8.45 CI95% 2.6 -27.5, p < 0.001). In multivariate analysis, COVID-19 positive was independent predictor for 6 months mortality from admission ( HR 12.89 CI95% 3.34- 49.7 , p ≤ 0,001). Patients with COVID-19 positive were also had lower survival rate within 6 months from admission.
Conclusion: COVID-19 is associated with 6 months mortality from admission in patients with STEMI with IHTB who underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
"Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin.

Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown.
Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction.
Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function.
Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048).
Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Nadia
"Studi mengenai pemberian klopidogrel sebelum angiografi koroner (pretreatment) pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang akan menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) terbatas, namun dapat disimpulkan bahwa aman dan dapat penurunan angka major adverse cardiovascular events (MACE). Pada studi yang dilakukan beberapa tahun terakhir, manfaat pemberian klopidogrel pretreatment dipertanyakan. Studi yang telah ada dilakukan di negara lain berbeda dengan kondisi di Indonesia; terdapat perbedaan karakteristik seperti waktu onset nyeri dada hingga pasien sampai ke fasilitas kesehatan primer, loading antiplatelet, serta dilakukan tindakan IKPP yang lebih panjang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian klopidogrel pretreatment  dengan TIMI-flow pasien IMA EST yang menjalani IKPP. Studi potong lintang retrospektif terhadap 220 pasien IMA EST dilakukan di rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sejak tanggal 1 Januari - 30 Oktober 2018 dengan membagi subjek dalam kelompok klopidogrel pretreatment (600 mg klopidogrel diberikan > 120 menit sebelum angiografi koroner) dan kelompok yang diberikan < 120 menit.
Analisis multivariat menunjukkan bahwa klopidogrel pretreatment merupakan prediktor utama yang mempengaruhi TIMI flow sebelum tindakan IKPP (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Pemberian klopidogrel pretreatment berhubungan dengan TIMI flow sebelum tindakan IKPP, namun tidak berpengaruh terhadap TIMI setelah dilakukan tindakan IKPP. 

Immediate antiplatelet administration is the standard therapy used in acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing primary percutaneous coronary intervention. Studi on clopidogrel pretreatment are limited, but it can be concluded that was safe, also reduced the number of major adverse cardiovascular events (MACE). Recently, pretreatment with P2Y12 are questioned. There are differences in the background and the conditions between the studies that have been conducted and the condition in Indonesia; such as duration of angina onset until arrive at primary health care, time of loading antiplatelet and longer ischemic time.
This study sought to evaluate the association between clopidogrel pretreatment and TIMI flow of patients with acute STEMI undergoing primary PCI. Single-center retrospective cross sectional study of 220 patients with acute STEMI were conducted in National Centre of Cardiovascular Harapan Kita, Indonesia from 1 January-30 October 2018. Subjects are devided into two groups: clopidogrel pretreatment (≥ 120 minute from coronary angiography conducted) and non pretreatment group (<120 minute). Multivariate analysis revealed that clopidogrel pretreatment is the main predictor of preprocedural TIMI grade flow (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Clopidogrel pretreatement was associated with TIMI flow grade pre intervention, but not with TIMI flow grade post intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Aditya Agita
"Latar Belakang : Pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST IMAEST yang mengalami revaskularisasi dengan intervensi koroner perkutan primer IKPP dapat terjadi cedera reperfusi yang mempengaruhi prognosis. Penelitianpada model hewan menunjukkan ticagrelor melindungi jantung dari cederareperfusi, namun demikian belum ada penelitian pada manusia yang menguji halini.
Tujuan : Membandingkan pengaruh antara ticagrelor dengan clopidogrelterhadap cedera reperfusi yang diukur melalui kadar puncak high sensitivetroponin T hs-cTnT pada pasien IMA-EST yang mengalami revaskularisasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental acak tersamar gandayang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita padabulan Agustus 2016 sampai November 2016. Pasien IMA-EST yang akanmenjalani IKPP dirandomisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yangmendapatkan loading ticagrelor 180 mg dilanjutkan dosis rumatan 2x90 mg danyang mendapatkan loading clopidogrel 600 mg dilanjutkan dosis rumatan 1x75mg sebelum IKPP. Dilakukan pemeriksaan hs-cTnT 8 jam pasca dilatasi balonkateter pertama.
Hasil Penelitian : Terdapat total 60 subyek, 30 subyek kelompok ticagrelor dan30 subyek kelompok clopidogrel. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antaraticagrelor dengan clopidogrel terhadap kadar puncak hs-cTnT 9026 5026 ng/Lvs 9329 4664 ng/L, nilai p 0,809.
Kesimpulan : Ticagrelor tidak menyebabkan kadar puncak high sensitivetroponin T yang lebih rendah bila dibandingkan dengan clopidogrel pada pasienIMA-EST yang mengalami revaskularisasi.

Background : Reperfusion injury influence prognosis in ST elevation myocardialinfarction STEMI patients after primary percutaneous coronary intervention PPCI . Previous study on animal models showed that ticagrelor may haveprotective effect on the heart by reducing reperfusion injury. However, no studyon humans has ever been done to confirm this.
Aim : To compare the effect of ticagrelor with clopidogrel on reperfusion injurycalculated by peak high sensitive troponin T hs cTnT in STEMI patients whounderwent revascularization.
Methods : This was a randomized controlled trial done in NationalCardiovascular Center Harapan Kita from August 2016 to November 2016.STEMI patients who underwent PPCI was randomized to either ticagrelor loadingdose 180 mg with maintenance of 2x90 mg or clopidogrel loading dose 600 mgwith maintenance of 1x75mg group. Peak hs Troponin T was measured 8 hoursafter first balloon dilatation.
Results : Sixty subjects was included in the study, 30 subjects in the ticagrelorgroup and 30 subjects in the clopidogrel group. There were no difference betweenticagrelor vs clopidogrel on peak hs cTnT levels 9026 5026 ng L vs 9329 4664 ng L, p value 0,809.
Conclusion : Ticagrelor does not cause a lower peak high sensitive troponin Tlevel compared to clopidogrel in STEMI patients who underwentrevascularization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55633
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Putri Dewita
"Latar belakang : Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) memiliki angka mortalitas yang tinggi. Penatalaksanaan IMA-EST adalah intervensi koroner perkutan primer (IKPP) yang dapat membatasi ukuran infark dan menjaga fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK). FEVK merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas utama setelah infark miokard akut. Disfungsi ventrikel kiri pasca IMA-EST dipengaruhi oleh remodeling ventrikel kiri dan perbaikannya dipengaruhi oleh kemampuan reverse remodeling miokard. Terdapat perbedaan pada kemampuan remodeling pada populasi dewasa muda dan usia tua. Belum ada data mengenai perbaikan FEVK pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP pada usia dewasa muda. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perbaikan nilai FEVK pasien IMA-EST setelah IKPP antara kelompok usia dewasa muda dengan usia tua. Metode : Sebuah penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian kasus IMA-EST yang menjalani prosedur IKPP selama periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2020 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Hasil : Dari 411 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, terdapat 259 pasien dengan FEVK dasar <50% yang selanjutnya dibandingkan perbaikan FEVK berdasarkan kelompok usia ≤55 tahun dan >55 tahun. Selisih perbaikan FEVK antara kedua kelompok usia tidak berbeda bermakna (p = 0.787). Dari 140 pasien yang mengalami perbaikan nilai FEVK proporsi pasien yang berusia ≤55 tahun adalah 53,6%. Pada analisa multivariat regresi logistik ditemukan variable independen yang berhubungan dengan perbaikan FEVK adalah nilai FEVK dasar yang rendah (OR 0,925:95% IK 0,890-0,962;p<0,0001).

Background : ST-elevation myocardial infarction (STEMI) is known to have high mortality rate with primary percutaneous coronary intervention (PPCI) is the treatment of choice that may limit the area of infarct and preserve left ventricular ejection fraction (LVEF). LVEF is the main predictor for morbidity and mortality in patients with STEMI. Left ventricular (LV) dysfunction in patients with STEMI occur due to LV remodelling and the myocardium reverse remodelling ability may improve LV function. It is believed there is a difference in the myocardium remodelling ability by age, yet there has been limited data regarding improvement of LVEF in young adults. Objective : This study aimed to identify the difference of LVEF recovery in STEMI patients following primary PCI between young adults and adults. Methods : This is a retrospective cohort study. Population of study were STEMI patients who underwent primary PCI during the period of June 2015 to July 2020 in National Cardiovascular Centre Harapan Kita Hospital. Results : 411 patients were included in the study, 259 of them had baseline LVEF <50%, which were divided into two groups of age, ≤55 years old and >55 years old. The difference of LVEF improvement between two groups is not significant (p = 0.787). 75 out of 140 (53.6%) patients with improved LVEF were from the ≤55 years old group. From multivariate logistic regression, the independent predictor of LVEF recovery was lower LVEF baseline (OR 0,925:95% CI 0,890-0,962; p<0,0001). Conclusion : There was no significant difference of LVEF improvement between young adults and adults following STEMI and PPCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Athikah Khairunnisa
"Latar belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik yang dapat disertai dengan pembentukan trombus koroner dan berhubungan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan beban trombus intrakorener yang tinggi berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Tujuan: Mengetahui hubungan antara COVID-19 dengan beban trombus intrakoroner pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Terdapat 181 pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. Beban trombus intrakoroner menurut TIMI saat IKPP dibagi menjadi beban trombus tinggi (BTT) dan beban trombus rendah (BTR). COVID-19 dibagi menjadi positif dan negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kemudian dinilai hubungannya dengan BTT. Hasil: Beban trombus intrakoroner tinggi berdasarkan TIMI didapatkan pada 70,2% pasien. Subjek COVID-19 positif cenderung mempunyai resiko 3,03 kali (95% IK: 1,11 – 8,31; p=0,025) untuk mengalami BTT. Namun, dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan antara status positif COVID-19 dengan BTT. Pada model akhir analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian beban trombus tinggi adalah nilai CRP > 5 mg/L dengan odds ratio 3,29 (95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) dan merokok (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027). Kesimpulan: Status COVID-19 positif tidak berhubungan dengan kondisi beban trombus intrakoroner tinggi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Kata Kunci: IKP primer; IMA-EST; COVID-19; C-reactive protein; trombus; beban trombus

Introduction: COVID-19 infection causes a systemic inflammatory response that increases the activation of coagulation system prone to hypercoagulable conditions that can trigger thrombus formation. Erosion of susceptible atherosclerotic plaques can lead to intracoronary thrombus which is the main cause of ST segment elevation acute myocardial infarction (STEMI). STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) with a high intracoronary thrombus burden were associated with a worse clinical outcome. Objective: Aimed to determine association between COVID-19 positivity and other factors related to intracoronary thrombus burden in STEMI. Methode: A total of 181 patients with STEMI who underwent PPCI between April 2020 and November 2021 were retrospectively analized. Intracoronary thrombus burden based on TIMI criteria was reclassified into high thrombus burden (HTB) and low thrombus burden (LTB). HTB was analyzed with COVID-19 which divided into positive and negative based on laboratory results. Results: HTB was found in 70,2% patients. Positive COVID-19 patients tend to showed HTB during PPCI (OR 3,03; 95% IK: 1,11–8,31; p=0,025). From multivariate analysis, there is no association between COVID-19 positivity and HTB. In the last model of multivariate analysis, CRP > 5 mg/L (OR 3,29; 95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) and smoking status (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027) were associated with HTB. Conclusion: There is no association between COVID-19 positivity and HTB in STEMI patients underwent PPCI. Keywords: Primary PCI; STEMI; COVID-19; intracoronary thrombus; thrombus burden."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Defina
"Latar belakang: Polimorfisme genetik dari reseptor P2Y12 dikatakan dapat
mempengaruhi aktivasi reseptor P2Y12 atau menghambat aktivasi trombosit. Beberapa
polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen P2Y12 ditemukan dapat menyebabkan
variabilitas antarindividu dalam agregasi platelet. Telah diidentifikasi lima
polimorfisme dari gen P2Y12 yaitu T744C, C34T, G52T, ins801A, dan C139T. Salah
satunya, polimorfisme C34T adalah salah satu dari polimorfisme yang dikatakan ada
kaitannya dengan peningkatan agregasi platelet yang dapat menunjukkan kemungkinan
untuk terjadinya modifikasi respon terapi clopidogrel. Namun hingga saat ini belum
ada penelitian yang menilai hubungan langsung antara polimorfisme reseptor P2Y12
dengan TIMI-flow beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk fungsi
penghambatan platelet pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme
nukleotida tunggal pada reseptor P2Y12 dengan TIMI flow beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, termasuk penghambatan fungsi platelet.
Metode: Studi potong lintang pada 167 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
dilakukan pemeriksaan polimorfisme C34T reseptor P2Y12 dengan metode Taqman
dan pemeriksaan fungsi penghambatan platelet yang diukur dengan VerifyNow P2Y12.
Hasil: Dari 167 subjek penelitian, studi polimorfisme mengungkapkan proporsi pasien
dengan heterozygous mutan sebanyak 34.1%, dan 1.8% pasien merupakan homozygous
mutan. Sisanya adalah homozygous wildtype ditemukan sebanyak 64.1%. 25.7% pasien
tergolong non-responder terhadap clopidogrel. Secara keseluruhan tidak terdapat
hubungan secara langsung antara polimorfisme C34T dengan TIMI flow < 3, namun
terdapat hubungan antara polimorfisme C34T dengan penurunan fungsi penghambatan
platelet (OR 2.17, p = 0.046).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan secara langsung antara polimorfisme C34T
dengan TIMI flow, namun pasien dengan polimorfisme C34T pada reseptor P2Y12
memiliki risiko untuk mengalami penurunan penghambatan fungsi platelet.

Background: Genetic polymorphism of P2Y12 receptors is said to have affect of
P2Y12 receptor activation or inhibit platelet activation. Several single nucleotide
polymorphisms in the P2Y12 gene were found to cause variability between individuals
in platelet aggregation. Five polymorphisms have been identified from the P2Y12 gene,
namely T744C, C34T, G52T, ins801A, and C139T. One of them, C34T is one of the
polymorphisms that is said to be related to increased platelet aggregation which can
indicate the possibility for modification of the response of clopidogrel therapy. But until
now there has been no research that assesses the direct relationship between P2Y12
receptor polymorphisms and TIMI-flow along with the factors that influence it,
including the function of platelet inhibition in STEMI patients undergoing PPCI
Objective: This study aims to determine the relationship between single nucleotide
polymorphisms at P2Y12 receptors with TIMI flow along with the faktors that
influenced it, including inhibition of platelet function.
Methods: A cross-sectional study of 167 STEMI patients who underwent PPCI. C34T
polymorphism of P2Y12 receptor was evaluated by the Taqman method and the
inhibition of platelet function was measured by VerifyNow P2Y12.
Results: Among 167 subjects, the heterozygous mutants group were 34.1%, and 1.8%
of patients were homozygous mutants. The rest 64.1% was homozygous wildtype.
25.7% of patients were classified as non-responders to clopidogrel. Overall there was
no direct relationship between C34T polymorphisms and TIMI flow <3, but there was
a relationship between C34T polymorphisms and decreased platelet inhibitory function
(OR 2.17, p = 0.046).
Conclusion: There is no direct relationship between C34T polymorphisms and TIMI
flow, but patients with C34T polymorphisms of P2Y12 receptors have a risk of
decreasing platelet function inhibition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kabul Priyantoro
"Latar Belakang:Banyak penelitian telah membuktikan pengaruh faktor inflamasi terhadap sindroma koroner akut.Tingginya jumlah leukosit pasca intervensi koroner perkutan primer (IKPP) menggambarkan respon inflamasi pada patofisiologi infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA – EST)dan respon terhadap kerusakan dinding arteri.Hal ini dihubungkan dengan luaran klinis yang buruk.Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh jumlah leukosit pasca IKPP terhadap perbaikan fungsi jantung kiri menggunakan indeks gerakan otot jantung segmental (RWMI) pada area terkait infark.
Metode:Sebanyak 62 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP secara konsekutif dipilih dan diikuti selama 30 hari, sejak 1 Januari–30 April 2013. Jumlah hitung leukosit diukur pada saat masuk dan 48 jam pasca IKPP, derajat sebukan miokard (MBG), aliran TIMI dan RWMI diukur segera setelah IKPP. RWMI dievaluasi menggunakan ekokardiografi setelah 30 hari pasca infark, dengan menilai kesepahaman intra dan inter observer. Perhitungan statistik dinilai dengan software stata versi 12.
Hasil: Pasien dengan jumlah leukosit 48 jam pasca IKPP > 12,020/uL memiliki OR: 4,4 (95% CI: 0,98 – 19,85; p = 0,05) untuk mengalami irreversibilitas gerakan otot jantung segmental terkait infark pada 30 hari, analisa multivariat menunjukan leukosit pasca IKPP secara konsisten memprediksi irreversibilitas RWMI dengan OR 5,6 (95% CI: 1,08 – 28,6; p = 0,039).
Kesimpulan: Jumlah leukosit pasca IKPP diatas quartile ke-3 dengan lebih dari 12,020/uL pada jam ke-48 dapat meningkatkan risiko irreversibilitas gerakan otot jantung segmental ventrikel kiri, pada area terkait infark pasien IMA-EST.

Background: Many researches has proven inflammation response in the pathophysiology of acute coronary syndrome (ACS) with ST segment elevation (STEMI). High leukocyte count post primary percutaneous intervention (PPCI) describes the magnitude of inflammatory state in ACS and inflammatory respond to arterial injury, and associated with poor prognosis. The aim of this study was to see the correlation between leucocytes post PPCI with improvement of left ventricle function measure by regional wall motion index (RWMI).
Method: 62 STEMI subjectswhom underwent PPCI were selected consecutively between 1st Jan – 30th Apr 2013, and followed up for 30 days. Total leukocyte count was measure during admission and 48 hours post PPCI. TIMI flow and myocardial blush grade were measure immediately post procedural. RWMI was measure soon after PPCI and at 30 days, intra and inter observer variability were analyzed. Logistic regression was used to correlate variable independent and dependent, using software Stata version 12.
Result: Patients with 48 hours leukocyte count >12,020/uL post PPCI, has OR 4,4 (95% CI: 0,98 – 19,85; p = 0,05), to predict irreversibility in regional systolic wall motion related to infarct teritory,measure at 30 days.Multivariate analysis consistently shown leukocyte post PPCI as strong predictor of RWMI irreversibility, with OR 5,6 (95% CI: 1,08 – 28,6; p = 0,039).
Conclusion: High total leukocyte count post PPCI above 3rd quartile, > 12,020/uL taken at 48 hours,increase the risk of regional wall motion irreversibility in infarct related area.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Iryuza
"ABSTRAK
Latar Belakang. IMA-EST merupakan salah satu manifestasi SKA yang fatal.Terapi reperfusi diindikasikan terhadap pasien dengan IMA-EST dengan awitankurang dari 12 jam. Perdarahan merupakan faktor resiko independen mortalitaspasca IKPP. Perdarahan mayor memperburuk prognosis, meningkatkan lamanyawaktu rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Saat ini, penggunaan aksestrans-radial saat IKPP lebih diutamakan dan penghambat Gp2b3a tidak rutindigunakan. Walaupun demikian, kejadian perdarahan pada IMA-EST tetap sajameningkatkan tiga kali lipat resiko kematian. Sampai saat ini belum ada sistempenilaian khusus yang menilai resiko perdarahan pasca IKPP trans-radial.Metode. Penelitian kohort retrospektif dilaksanakan di Rumah Sakit PusatJantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita. Data yang diambilmerupakan kasus IKPP trans-radial pada IMA-EST periode Januari 2011 ndash;Agustus 2016. Definisi perdarahan menggunakan definisi Bleeding AcademicResearch Consortium BARC . Pengolahan data dilakukan dengan analisisbivariat untuk menguji hubungan variabel-variabel independen dengan kejadianperdarahan, lalu dilakukan analisis multivariat. Pemilihan model akhir dilakukandengan metode backward selection dan dilakukan pembobotan untuk membentuksuatu sistem penilaian. Dilakukan validasi internal terhadap sistem penilaian inimenggunakan metode bootsrapping.Hasil. Sejumlah 1035 sampel dikumpulkan, 49 4.7 kasus di antaranyamengalami perdarahan. Didapatkan 6 faktor yang dapat dijadikan prediktorindependen terhadap kejadian perdarahan pasca IKPP trans-radial, yaitu : IMT 2, usia ge; 62 tahun, hitung leukosit ge; 12.000 10/ L,nilai hemoglobin Hb < 13 g/dL, dan nilai kreatinin ge; 1.5 mg/dL. Uji kalibrasidan validasi internal terhadap studi menunjukkan hasil yang baik.Kesimpulan. Sistem penilaian resiko perdarahan pasca IKPP trans-radial inimemiliki hasil uji kalibrasi, uji diskriminasi, dan validasi internal yang cukupbaik. Sistem penilaian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu strategipencegahan perdarahan pasca IKPP trans-radial pada kasus IMA-EST.

ABSTRACT
Background STEMI is a fatal manifestation of acute coronary syndrome.Reperfusion therapy is indicated for acute STEMI patient within less than 12hours rsquo onset of chest pain. Bleeding is an independent mortality risk as acomplication of primary PCI. Major bleeding worsens the prognosis, prolonglength of hospital stay, and increase the cost of care. Nowadays, trans radialaccess during primary PCI is a priority and the use of Gp2b3a inhibitor is nolonger used routinely. However, post primary PCI bleeding event nonethelesstripled the risk of death. Until now, there has been no system of assessments thatmeasure the risk of post primary PCI bleeding in specific trans radial accesspopulation.Method Data from 1035 post trans radial primary PCI STEMI patients enrolledfrom a cohort retrospective study performed in National Cardiovascular CenterHarapan Kita between January 2011 and August 2016. BARC bleeding definitionwas utilized to standardized the identification of bleeding events. Statisticalanalysis done by performing bivariate analysis to identify the relationship of eachvariables to the bleeding event, then multivariate analysis was done using logisticregression before the scoring system developed. Internal validation was performedby bootstrapping tecnique.Results 4.7 from 1035 sample experienced bleeding event. 6 factors related tobleeding event post trans radial primary PCI were identified BMI 18.5 kg m2,KILLIP class 2, age ge 62, WBC ge 12.000 10 3 L, hemoglobin 13 g dL, andcreatinine ge 1.5 mg dL. Calibration test and internal validation of this studyshowing good result.Conclusion This trans radial Primary PCI bleeding risk score has a good resultof calibration test, discrimination test, and internal validation. This scoring systemis expected to be applied as one of bleeding avoidance strategies in trans radialprimary PCI in STEMI patients."
2016
T55655
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwisetyo Gusti Arilaksono
"

Obesitas selama ini dikenal sebagai faktor risiko tradisional untuk penyakit kardiovaskular. Pada banyak studi tingginya indeks massa tubuh (IMT) justru memiliki efek protektif terhadap luaran klinis pasien dengan penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner, khususnya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP). Namun, beberapa studi belum bisa membuktikan adanya fenomena obesitas paradoks ini pada semua populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan luaran klinis jangka panjang pada pasien IMA-EST yang menjalani IKP. Studi observasional kohort retrospektif pada 400 pasien IMA-EST yang dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) yang diambil dari registri RSPJPDHK. Dilakukan pencatatan tinggi badan dan berat badan dari telaah rekam medis dan registri. Evaluasi luaran klinis setelah 2 tahun paska IKP dilakukan dengan menghubungi pasien dan keluarga serta penelusuran rekam medis. Analisa statistik dilakukan untuk membandingkan luaran klinis pada kelompok BB kurang-normal dengan BB lebih-obesitas. Dari 400 subyek penelitian, didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan di kedua grup. Terdapat perbedaan bermakna rerata klirens kreatinin (65.99 vs 82.28; p <0.0001) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (43.82 vs 46.59; p 0.02) pada kelompok BB kurang-normal dan BB lebih-obesitas. Diameter stent dan usia pasien tidak ditemukan perbedaan bermakna di kedua kelompok. BB lebih-obesitas juga secara bermakna memiliki efek protektif pada MACE (OR 0.477 [95% IK 0.311-0.733]; p 0.001), kejadian infark berulang (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001) serta kematian kardiovaskular (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049). Analisis multivariat menunjukkan BB lebih-obesitas sebagai prediktor independen terhadap luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan luaran klinis jangka panjang pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP. BB lebih-obesitas memiliki kecenderungan luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang setelah 2 tahun yang lebih baik dibandingkan BB kurang-normal

 


Obesity has been known as a traditional risk factor for cardiovascular disease. In many studies the high body mass index (BMI) actually has a protective effect on the clinical outcomes of patients with cardiovascular disease, including coronary heart disease, especially acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) underwent percutaneous coronary intervention (PCI). However, several studies have not been able to prove the existence of this paradoxical obesity phenomenon in all populations. This study aims to determine the association between BMI and long-term clinical outcomes in STEMI patients underwent PCI. A retrospective cohort observational study of 400 STEMI patients undergoing percutaneous coronary intervention (PCI) was taken from the RSPJPDHK registry. Height and weight were recorded from a review of medical records and the registry. Evaluation of clinical outcomes 2 years after PCI is done by contacting patients and families and tracking medical records. Statistical analysis was performed to compare clinical outcomes in the underweight-normal group with the overweight-obese. In 400 research subjects, there were more men than women in both groups. There were significant differences in creatinine clearance (65.99 vs 82.28; p <0.0001) and left ventricular ejection fraction (43.82 vs 46.59; p 0.02) in the underweight-normal group with the overweight-obese. No significant differences was found in stent diameter and age of the patients between the two groups. Overweight and obesity also has a significant protective effect on MACE (OR 0.477 [95% CI 0.311-0.733]; p 0.001), recurrent infarction events (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001 ) as well as cardiovascular death (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049) Multivariate analysis shows overweight-obesity as an independent predictor of clinical outcome of MACE and the incidence of recurrent infarction. In conclusion, there is an association between BMI and long-term clinical outcomes of STEMI patients undergoing PPCI. Overweight and obese group showed better outcome in MACE and reinfarction within 2 years compared to Underweight-Normal group.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>