Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84053 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amelia Rizyan Nyssa
"Rumah Panggung lahan basah umumnya memiliki dua jenis rumah panggung yaitu Rumah Bantaran Sungai dan Rumah Tepi Sungai. Rumah Bantaran Sungai (RBS) merupakan rumah panggung yang pondasinya berada di area aliran sungai sedangkan Rumah Tepi Sungai (RTS) merupakan rumah yang pondasinya berada di area rawa tenang berair. Pada pengamatan awal terlihat bahwa kualitas fisik dari RBS kurang baik jika dibandingkan dengan RTS. Penelitian ini kemudian bertujuan untuk mencari tahu bagaimana ketahanan dari segi struktur, material serta kemudahan dalam teknik konstruksi dan perawatan yang digunakan masyarakat setempat pada dua jenis rumah panggung ini dalam menghadapi kondisi lahan basah. Penelitian ini merupakan penelitian empiris kuantitatif dengan menggunakan metode analisis pengujian laboratorium pada bagian sambungan kayu dan simulasi keandalan bangunan secara digital pada bagian keseluruhan konstruksi. Pada hasil penelitian ini ditemukan RBS dan RTS memiliki perbedaan pada bagian konstruksi pondasi dan jenis sambungan yang digunakan. RBS menggunakan pondasi cerucuk Kayu Galam dengan sambungan Pen-Lobang sedangkan RTS menggunakan pondasi tiang menerus Kayu Galam yang disambung dengan Kayu Ulin menggunakan sambungan Kayu Lidah. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa konstruksi pada RBS ternyata memiliki daya tahan yang lebih baik dari RTS. Hal ini disebabkan kondisi alam RTS yang berada diatas arus sungai menuntut masyarakat menggunakan konstruksi yang lebih memudahkan saat proses konstruksi. Secara keseluruhan ketahanan pada rumah panggung masih bisa dikatakan baik dikarenakan material kayu yang digunakan sangat cocok dengan kondisi Lahan Basah.

Wetland stilt houses generally have two types of stilt houses, namely the Riverbank House and the Riverside House. The Riverside House (RBS) is a stilt house whose foundation is in a watershed area, while the Riverside House (RTS) is a stilt house whose foundation is in a non-tidal swamp area. At the initial observation, it was seen that the physical quality of the RBS was not as good as RTS. This study then aims to find out how the durability in terms of structure, material, and ease of construction and maintenance techniques used by the local community in these two types of stilt houses in dealing with wetland conditions. This research is quantitative empirical research using laboratory test analysis methods on the wood joints section and digital simulation of building reliability in the overall construction section. In the results of this study, it was found that RBS and RTS had differences in the foundation construction section and the type of connection used. RBS uses the Galam Wood cerucuk foundation with a pin-hole wood joint while the RTS uses a continuous pile foundation of Galam wood which is connected to Ulin Wood using a joint called Kayu Lidah. From the test results, it was found that the construction on RBS turned out to have better durability than RTS. This is due to the natural condition of the RTS which is above the river flow, which requires the community to use construction that makes it easier during the construction process. Overall, the durability of the stilt house is categorized in good condition because the wood material used is very suitable for Wetland conditions."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvira Novitasari
"ABSTRAK
Indonesia dengan 17.504 pulaunya merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Berbagai pulau tentunya menyimpan potensi sumber daya yang besar dan kaya. Pada periode modern saat ini, konsep tersebut sudah jauh ditinggalkan, industrialisasi material bangunan dan penyeragaman teknik konstruksi telah merubah cara masyarakat pulau dalam membangun. Material modern langsung diimpor dari pulau utama terdekat sehingga potensi lokal tidak dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola siklus kehidupan (life-cycle) bangunan kontemporer masyarakat Pulau Koja Doi apakah pola yang ada saat ini terkategori keberlanjutan atau tidak. Terdapat dua metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk mengetahui material apa saja yang digunakan pada rumah panggung di Pulau Koja Doi. Sedangkan wawancara dilakukan pada tokoh masyarakat Pulau Koja Doi untuk mencaritau sumber material bangunan, metode konstruksi bangunan, pola demolisi bangunan serta penanganan limbah sesudah demolisi. Tahap penelitian ini akan menentukan apakah pembangunan di Pulau Koja Doi jauh atau dekat dengan konsep konstruksi yang berkelanjutan. Pulau Koja Doi merupakan pulau kecil yang berada disebelah utara Pulau Flores dan berdekatan dengan Pulan Koja Gete dengan mayoritas warga berprofesi nelayan. Pada situasi dahulu masyarakat Pulau Koja Doi memanfaatkan hasil alam dari pulau terdekat yaitu Pulau Koja Gete untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan material bangunan rumah panggung. Sedangkan situasi saat ini beberapa rumah panggung telah diganti dengan material modern yang didatangkan dari Pulau Flores. Siklus material yang terjadi tidak hanya semata-mata berasal dari gugusan Pulau Koja Doi saja, melainkan berasal dari pulau sebrang yaitu Pulau Flores. Dalam hal penggunaan material bangunan pada rumah panggung di Koja Doi, situasi dahulu lebih mendekati karakteristik penggunaan material yang berkelanjutan pada pulau kecil. Penggunaan material bangunan pada situasi saat ini masih belum bisa dikatakan serupa karena penggunaan material modern pada rumah panggung belum memiliki scenario lebih lanjut jika material telah usai digunakan.

ABSTRACT
Indonesia with 17,504 islands is one of the largest archipelagic countries in the world. Various islands certainly save a large and rich potential of resources. In the current modern period, the concept is far from being abandoned, industrialization of building materials and uniformity of construction techniques have changed the way that island communities develop. Modern materials are directly imported from the nearest main island so that local potential is not maximally utilized. For this reason, this study aims to identify the pattern of the lifecycle contemporary buildings of the Koja Doi Island community, whether the current pattern is categorized as sustainability or not. There are two research methods used in this study, namely observation and interviews. Observations were made to find out what materials were used on stilt houses on Koja Doi Island. While interviews were conducted with community leaders in Koja Doi Island to look for building material sources, building construction methods, building demolition patterns and post-demolition waste treatment. This research phase will determine whether the development on Koja Doi Island is far or close to the concept of sustainable construction. Koja Doi Island is a small island located in the north of Flores Island and adjacent to Pulan Koja Gete with the majority of residents living as fishermen. In the past situation the people of Koja Doi Island made use of the natural products from the nearby island of Koja Gete Island to meet their daily needs including the material needs for building houses on stilts. Whereas the current situation of several stilt houses has been replaced with modern materials imported from Flores Island. The material cycle that occurs does not merely originate from the Koja Doi Island cluster, but originates from the other island, Flores Island. In terms of the use of building materials on stilts in Koja Doi, the situation was closer to the characteristics of sustainable use of materials on small islands. The use of building materials in the current situation still cannot be said to be similar because the use of modern materials in a house on stilts does not yet have a further scenario if the material has been used. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Tresno Sejati
"Membangun Di Lahan Basah Merupakan Salah Satu Alternatif Yang Dapat Digunakan Sebagai Pemenuhan Permintaan Akan Kebutuhan Tempat. Tapi Dalam Membangun Di Lahan Basah Tidak Dapat Dilakukan Begitu Saja. Kita Harus Memperhatikan Berbagai Hal Dari Keadaan Tanah Di Site Yang Berdaya Dukung Rendah, Sistem Perbaikan Tanah Yang Dipilih, Teknologi Pondasi Yang Dipergunakan, Cara Mengatasi Kelembaban Sampai Kepada Keadaan Lingkungan Yang Harus Dijaga.
Penulisan Skripsi Ini Berusahan Untuk Memberikan Masukan Bagaimana Sebainya Yang Harus Dilakukan Saat Membangun Di Lahan Basah Yang Sesuai Dengan Karakteristik Lahan Yang Selalu Basah. Hasil Penulisan Skripsi Ini Menunjukkan Bahwa Hanya Ada Beberapa Pondasi Tertentu Yang Sesuai Dengan Lahan Basah, Yaitu Pondasi Tiang, Pondasi Cakar Ayam, Pondasi Rakit Dan Pondasi Sarang Laba-Laba. Selain Pondasi Tiang Yang Dapat Menyangga Bangunan Tinggi, Pondasi Lain Dapat Menyangga Bangunan Dengan Tingkat Ketinggian Bangunan Menengah.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
S48504
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habib Subagio
"Lahan basah adalah bagian penting yang terintegrasi dengan ekosistem global yang memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan seperti mencegah atau mengurangi dampak banjir, menampung air permukaan dan serta menyediakan habitat unik baik flora maupun fauna. Lahan basah perkotaan memberikan jasa ekosistem langsung bagi masyarakat sekaligus mendorong kelangsungan funsi ekologi kota. Upaya pengendalian ruang wilayah kota memerlukan instrumen yang mampu mengintegrasikan variabel lingkungan kompleks yang terdiri dari aspek biofisik, aspek sosial-kultur, dan aspek ekonomi. Perkembangan pemodelan dinamika spasial saat ini masih terkonsentrasi pada penggunaan driving factor biofisik, sementara kompeksitas dinamika alih fungsi lahan perkotaan tentu dipengaruhi oleh faktor pendorong selain biofisik.
Riset ini bertujuan; 1) menganalisis peran dari setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan basah perkotaan berdasarkan hasil pemanfaatan penggalian data (data mining), 2) mengkontruksikan pemanfaatan penggalian data spasial untuk pemodelan dinamika spasial, dan 3) membangun model dinamika spasial untuk memproyeksikan komposisi spasial penggunaan lahan sebagai masukan dalam evaluasi keberlanjutan lahan basah perkotaan.
Metode yang dipakai adalah pemodelan dinamika spasial dengan mengintegrasikan model markov, model cellular automata, dan model driving factor yang dihasilkan dari analisis spasial multitemporal dan pemanfaatan penggalian data spasial. Riset menggunakan 17 data driving factor yang dikategorikan dalam 3 varibel yaitu biofisik, sosio kultur dan ekonomi. Riset mengadopsi 8 driving factor biofisik yang digunakan dalam riset-riset sebelumnya, semnetara itu hasil kontruksi penggalian data spasial menambahkan 9 driving factor yang mewakili variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi. Peran dari variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi secara mayoritas lebih besar dalam mempengaruhi dinamika spasial alih fungsi lahan basah perkotaan.
Hasil riset menunjukkan bahwa keberlangsungan lahan basah perkotaan wilayah riset masih dapat terus terjaga pada seluruh skenario model dengan tren luas lahan basah yang terus menurun. Skenario optimal merupakan pilihan terbaik dengan komposisi spasial yang rasional dan menunjukkan indikator penilaian lingkungan yang memiliki resiko paling rendah untuk indikator nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,458 lebih rendah dibandingkan skenario BAU dengan nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,462. Skenario optimal ini memiliki konsekuensi terjadinya fragementasi lahan basah yang lebih tinggi pada lahan basah yang terdapat pada alokasi lahan untuk permukiman dan lahan jasa perdagangan. Number of Patch (NP) pada skenario optimal pada tahun 2016 sebesar 105 meningkat menjadi 198 pada tahun 2034, lebih tinggi dibandingkan dengan skenario BAU yang menunjukkan NP sebesar 33 pada tahun 2016 dan NP sebesar 78 pada tahun 2034.

Wetlands are an important part that is integrated with global ecosystems that have important functions in maintaining environmental balance such as preventing or reducing the effects of flooding, storing surface water and as well as providing unique habitats for both flora and fauna. Urban wetlands provide ecosystem services directly to the community while promoting the sustainability of the city's ecological functions. Efforts to control spatial planning require instruments capable of integrating complex environmental variables consisting of biophysical aspects, socio-cultural aspects, and economic aspects. The development of spatial dynamics modeling is currently still concentrated on the use of biophysical driving factors, while the complexity of urban land use change is certainly influenced by driving factors other than biophysical aspects.
This research aims; 1) analyzing the role of each factor that influences the conversion of urban wetlands based on the results of the utilization of data mining, 2) constructing the utilization of spatial data mining for spatial dynamics modeling, and 3) building spatial dynamics models to project the spatial composition of land use as input in evaluating the sustainability of urban wetlands.
The method used is spatial dynamics modeling by integrating the Markov model, cellular automata model, and driving factor models resulting from multitemporal spatial analysis and the use of spatial data mining. The research uses 17 driving factor data which are categorized into 3 variables namely biophysical, socio-cultural and economic. The research adopted 8 biophysical driving factors used in previous research, while the results of the construction of spatial data mining added 9 driving factors representing sociocultural and economic variables. The role of socio-cultural variables and economic variables is predominantly higher in influencing spatial dynamics over the function of urban wetlands.
The results of the research show that the sustainability of urban wetlands in the research area can still be maintained in all model scenarios with a trend of decreasing area of wetlands. The optimal scenario is the best choice with a rational spatial composition and shows the environmental assessment indicators that have the lowest risk for the average runoff coefficient value of 0.458 lower than the BAU scenario with an average runoff coefficient of 0.462. This optimal scenario has the consequence of higher fragmentation of wetlands in the wetland area contained in the allocation of land for settlements and commercial areas. The number of patches (NP) in the optimal scenario in 2016 was 105 increased to 198 in 2034, higher than the BAU scenario which showed a NP of 33 in 2016 and a NP of 78 in 2034.
"
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
D2673
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2002
S25682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Studi ini menampilkan pengaruh iklim dalam pembentukan panas bangunan pada rumah panggung di kawasan iklim tropis lembab. Rumah panggung di kota Palembang merupakan salah satu tipe hunian masyarakat yang hingga kini masih didiami dan keberadaannya telah membentuk wajah kota. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kinerja termal pada rumah panggung di kota Palembang. Objek penelitian menggunakan dua buah rumah panggung yang berada pada kawasan pemukiman di tengah kota. Metode penelitian merupakan merupakan gabungan observasi dan simulasi. Program archipak digunakan dalam melakukan simulasi. Kinerja termal kedua bangunan rumah panggung dibandingkan untuk mendapatkan hasil. Kinerja termal pada rumah panggung RP-11 lebih baik daripada rumah panggung RP-12 berdasarkan pada nilai total beban panas yang lebih rendah. Orientasi, bentuk bangunan, dan material merupakan faktor desain yang paling berpengaruh dalam pembentukan panas bangunan pada rumah panggung. Lantai panggung berkontribusi dalam mengurangi beban panas bangunan sepanjang hari. Ventilasi sangat efektif dalam mengurangi beban panas bangunan. Hasil penelitian akan digunakan untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang rumah panggung modern"
JDTEK 4:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Rudianto
"Studi ini menampilkan pengaruh iklim dalam pembentukan panas bangunan pada rumah panggung di kawasan iklim tropis lembab. Rumah panggung di Kota Palembang merupakan salah satu tipe hunian masyarakat yang hingga kini masih didiami dan keberadaannya telah membentuk wajah kota. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kinerja termal pada rumah panggung di Kota Palembang . Obyek penelitian menggunakan dua buah rumah panggung yang berada pada kawasan pemukiman tengah kota. Metode penelitian merupakan gabungan observasi dan simulasi. Program Archipak digunakan dalam melakukan simulasi. Kinerja termal kedua bangunan rumah panggung dibandingkan untuk mendapatkan hasil. Kinerja termal pada rumah panggung RP-11 lebih baik daripada rumah panggung RP-1 berdasarkan pada nilai total beban panas yang lebih rendah. Orientasi, bentuk bangunan, dan material merupakan faktor desain yang paling berpengaruh dalam pembentukan panas bangunan pada rumah panggung. Lantai panggung berkontribusi dalam mengurangi beban panas bangunana sepanjang hari. Ventilasi sangat efektif dalam mengurangi beban panas bangunan. Hasil penelitian akan digunakan untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang rumah panggung modern."
Palembang: Fakultas teknik Universitas tridinanti palembang, 2016
600 JDTEK 4:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Rosantika
"Perubahan penggunaan tanah khususnya tanah pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Bekasi dari tahun 2003-2011 telah mencapai 7.575 Ha. Selain berada dalam pemanfaatan ruang pertanian, penggunaan tanah pertanian juga berada pada pemanfaatan ruang industri, pariwisata, permukiman dan kawasan lindung. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas tanah pertanian yang berada di luar pemanfaatan ruang pertanian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penilaian efektivitas tanah pertanian dilakukan dengan metode pengkelasan dan skoring. Variabel yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian ini meliputi kesesuaian tanah pertanian, parameter fisik, biologis, sosial kependudukan dan alokasi pemanfaatan ruang pertanian dalam RTRW.
Hasil penilaian efektivitas tanah pertanian yang dipertahankan adalah seluas 19.311 Ha yang terbagi dalam tiga kelas yaitu (1) efektivitas tinggi (S1) dengan luas sebesar 65% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan terluas adalah Babelan, (2) efektivitas sedang (S2) dengan luas sebesar 20% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan terluas adalah Cikarang Timur dan (3) efektivitas rendah (S3) dengan luas sebesar 15% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan yang terluas adalah Tambun Utara. Dalam keterkaitannya dengan penyusunan tata ruang daerah Kabupaten Bekasi maka efektivitas tinggi tanah pertanian untuk dipertahankan (S1) pada pemanfaatan ruang industri berada di Kecamatan Tarumajaya, sedang pada pemanfaatan ruang pariwisata adalah Kecamatan Muaragembong, pada pemanfaatan ruang permukiman juga berada di Kecamatan Muaragembong dan pada pemanfaatan ruang kawasan lindung adalah di Kecamatan Cikarang Pusat.

The transition in land use, especially the transition from agricultural to nonagricultural land in Bekasi Regency from 2003 to 2011 had reached 7,575 hectares. Agricultural land use exists not only in agricultural area utilization, but also in the utilization of industrial, tourism, residential and protected areas. This research aims to assess the effectiveness of agricultural lands located outside the agricultural area utilization in the Regional Spatial Plan (Rencana Tata Ruang Wilayah-RTRW). The assessment of the effectiveness of agricultural lands is carried out by classification and scoring methods. Variables selected according to the purpose of this study include the suitability of agricultural land, physical, biological, social, demographic parameters and the allocation of agricultural area utilization in the Regional Spatial Plan.
The assessment results of the effectiveness of agricultural lands maintained is an area of 19,311 hectares which is divided into three classes: (1) high effectiveness (S1) which is 65% of the total area of effective agricultural lands with Babelan as the largest district; (2) medium effectiveness (S2), 20% of the total area of effective agricultural lands with Cikarang Timur as the largest district; and (3) low effectiveness (S3), 15% of total area of effective agricultural lands with Tambun Utara as the largest district. In association with Bekasi Regency`s spatial planning, the high effectiveness of agricultural land maintained (S1) in industrial area utilization is located in Tarumajaya District; in tourism area utilization it is located in Muaragembong District; in residential area utilization it is also located in Muaragembong District; and in protected area utilization it is located in Cikarang Pusat District.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T30055
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Ardhy Noegroho
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang karakteristik bentang lahan rawa dalam kaitannya dengan pengembangan persawahan di sekitar sungai Kumbe, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Pola spasial sebaran bentang lahan rawa ditelusuri melalui analisis data citra Landsat 7 tahun 2005, 2007, 2010, 2012, dan foto udara tahun 2015. Klasifikasi lahan rawa di daerah studi ditetapkan melalui observasi pasang surut sungai Kumbe dan timpang susun dengan peta ketinggian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa lahan rawa di muara Sungai Kumbe merupakan lahan rawa air tawar yang tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Kondisi lahan rawa pada tahun 2015 dapat di kategorikan sebagai rawa lebak dalam. Wilayah ini tersebar di bagian tengah daerah studi. Lahan rawa lebak dalam tidak dapat dikembangkan sebagai lahan persawahan namun dapat difungsikan sebagai tampungan air storage untuk kebutuhan air irigasi persawahan.

ABSTRACT
Indonesia is an agricultural country with many of natural resources land that can be used as farming. The growing population lead to high land use as both a settlement and economic activity center for urban and industrial development. The late condition can disrupt food security. Rice is a staple food for Indonesian people. Corn was staple food of the islands of Java and Madura islands are becoming obsolete. Likewise with Sago which slowly abandoned by the people of Papua. The potential landscape for rice fiel is Kumbe river in Distric Semangga, Merauke, Papua. The method to do this research is a quantitative descriptive design. The results of this study concluded that the wetlands in the Kumbe river, District Semangga fit for use as agricultural land as well as the continuation of agricultural land continued, wetlands can also be used as a raing storage or as a source of irrigation because of the nature puddle changing. "
2017
T49554
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor: Ditjen. Perlindungan Hutan dan Konservasli Alam (PHKA), Dephut - Wetlands International-Indonesia Programme, 2002,
630 WKLB
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>