Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187400 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alya Akmal,author
"Speak up merupakan suatu fenomena sosial dimana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Penulisan ini bertujuan untuk melihat dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa, reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga dapat menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan, reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas, menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, serta membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal.

Speak up is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to see the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda‘s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Pragiwaksana
"[Sel punca mesenkim (MSC) dan sel punca pluripoten terinduksi (iPSC) telah dilaporkan mampu berdiferensiasi menjadi hepatosit secara in vitro dengan berbagai tingkat maturasi hepatosit. Sebuah metode sederhana untuk proses deselulerisasi perancah hati telah dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi diferensiasi hepatosit dari iPSC dibandingkan dengan MSC dalam perancah hati yang dideselularisasi. Langkah pada penelitian ini adalah mengkultur iPSC dan MSC, mendeselularisasi hati kelinci, menyemai kultur sel ke dalam perancah, dan mendiferensiasikan menjadi hepatosit selama 21 hari dengan protokol Blackford yang dimodifikasi. Pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), imunohistokimia (IHK) albumin dan cytochrome 3A4 (CYP3A4). Ekspresi gen albumin, cytochrome P450 (CYP450), dan cytokeratin-19 (CK-19) dianalisis menggunakan qRT-PCR. Pemeriksaan scanning electron microscope (SEM) dan immunofluorescence (IF) marker hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) dan CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) dilakukan. Diferensiasi hepatosit dari iPSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi menunjukkan pembentukan sel tunggal dan kapasitas adhesi pada perancah yang lebih sedikit, dan penurunan tren ekspresi albumin dan CYP450 yang lebih rendah. Jumlah penyemaian sel awal yang lebih rendah menyebabkan hanya beberapa iPSC menempel pada bagian-bagian tertentu dari perancah hati yang dideselularisasi. Injeksi jarum suntik manual untuk reselulerisasi yang tidak merata menciptakan pola pembentukan sel tunggal oleh hepatosit dari diferensiasi iPSC di perancah hati yang dideselulerisasi. Hepatosit dari diferensiasi MSC memiliki kapasitas adhesi lebih tinggi ke perancah hati yang dideselulerisasi yang mengarah pada peningkatan tren ekspresi albumin dan CYP450. Penurunan ekspresi gen CK-19 lebih banyak terjadi pada diferensiasi hepatosit dari iPSC. Hasil tersebut dikonfirmasi oleh adanya sinyal positif protein HNF4-α dan CEBPA dengan pemeriksaan IF yang menunjukkan hepatosit yang dewasa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah diferensiasi hepatosit dari iPSC pada perancah hati yang dideselularisasi lebih dewasa dengan adhesi sel-matriks ekstraseluler lebih rendah, distribusi sel spasial saling berjauhan, dan ekspresi albumin dan CYP450 lebih rendah dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC pada perancah hati yang dideselularisasi.

Mesenchymal stem cells (MSC) and induced pluripotent stem cells (iPSC) have been reported able to differentiate to hepatocyte in vitro with varying degree of hepatocyte maturation. A simple method to decellularized liver scaffold has been established by Faculty of medicine Universitas Indonesia. This study aims to evaluate hepatocyte differentiation from iPSCs compared to MSCs in decellularized liver scaffold. iPSCs and MSCs were cultured, rabbit liver were decellularized, cell cultures were seeded into the scaffold, and differentiated into hepatocytes for 21 days with modified Blackford protocol. Haematoxylin-Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), immunohistochemistry (IHC) albumin and CYP3A4 was performed. Expression of albumin, cytochrome P450 (CYP450) and cytokeratin-19 (CK-19) genes were analyzed using qRT-PCR. Scanning electron microscope (SEM) and immunofluorescence (IF) examination of hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) and CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) marker was performed. Hepatocyte differentiated iPSCs compared with hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold single–cell–formation and lower adhesion capacity in scaffold, and decrease trends of albumin and CYP450 expression. Lower initial seeding cell number causes only a few iPSCs to attach to certain parts of decellularized liver scaffold. Manual syringe injection for recellularization abruptly and unevenly create pattern of single–cell–formation by hepatocyte differentiated iPSCs in the decellularized liver scaffold. Hepatocyte differentiated MSCs have higher adhesion capacity to decellularized liver scaffold that lead to increase trends of albumin and CYP450 expression. CK-19 expression gene diminished more prominent in hepatocyte differentiated iPSCs. These results were confirmed by the presence of HNF4-α and CEBPA positive signal protein with IF examination, showing mature hepatocyte.The conclusion of this study is hepatocyte differentiated iPSCs in decellularized liver scaffold differentiation is more mature with lower cell-extracelullar matrix adhesion, spatial cell distribution far from each other, and lower albumin and CYP450 expression than hepatocyte differentiatedMSCs in decellularized liver scaffold.;

“Speak up” merupakan suatu fenomena sosial di mana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas (victim blaming), menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi mendukung hampir semua diberikan oleh perempuan, sebaliknya, reaksi tidak mendukug hampir semua diberikan oleh laki-laki. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal.

 


“Speak up” is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to explain the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda’s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The supportive reactions are mostly given by women, on the contrary, the unsupportive reactions are mostly given by men. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society.

 

;

“Speak up” merupakan suatu fenomena sosial di mana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas (victim blaming), menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi mendukung hampir semua diberikan oleh perempuan, sebaliknya, reaksi tidak mendukug hampir semua diberikan oleh laki-laki. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal.

 


“Speak up” is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to explain the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda’s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The supportive reactions are mostly given by women, on the contrary, the unsupportive reactions are mostly given by men. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society.

 

,

“Speak up” merupakan suatu fenomena sosial di mana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas (victim blaming), menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi mendukung hampir semua diberikan oleh perempuan, sebaliknya, reaksi tidak mendukug hampir semua diberikan oleh laki-laki. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal.

 


“Speak up” is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to explain the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda’s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The supportive reactions are mostly given by women, on the contrary, the unsupportive reactions are mostly given by men. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society.

 

]
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, [2021;;, ]
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadek Ayu Widya Lestari
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran polisi wanita dalam penanganan kasus inses dengan korban anak dari perspektif gender; Untuk menganalisis kendala dalam penanganan kasus kekerasan seksual inses pada anak perempuan yang dilakukan oleh Ayah kandungnya; Serta untuk menganalisis model koordinasi yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Utara dalam melaksanakan upaya preventif secara multi-stakeholder terhadap tindak pidana kekerasan seksual inses terhadap anak. Dalam penelitian tesis ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi Teknik Analisis Data menggunakan Validitas Data, reduksi data dan penarikan kesimpulan.
Polisi Wanita Unit PPA telah menunjukkan peran yang penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak inses oleh ayah kandungnya. Meskipun langkah-langkah mereka sesuai dengan fungsi manajemen, ditemukan kekurangan dalam perencanaan kegiatan yang memerlukan pembuatan rencana yang lebih terstruktur. Namun, mereka berhasil dalam pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, menunjukkan rasa empati yang lebih besar terhadap korban anak-anak, membedakan mereka dari polisi laki-laki. Penanganan kasus kekerasan seksual inses oleh ayah kandungnya menghadapi kendala kompleks dari berbagai faktor, termasuk minimnya pemahaman dalam penegakan hukum, multitafsir hukum, dan stigma sosial. Untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum, diperlukan peningkatan pelatihan, reformasi sistem penempatan personel, inisiasi pembentukan pedoman, serta perubahan budaya dan norma masyarakat. Koordinasi yang inklusif antarinstansi merupakan kunci kesuksesan dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Meskipun telah ada upaya terpadu, masih ditemukan ruang untuk peningkatan, terutama dalam implementasi upaya pencegahan sekunder dan perbaikan dalam koordinasi antarinstansi. Dengan langkah-langkah perbaikan yang disarankan, diharapkan upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dapat menjadi lebih efektif melalui kerjasama lintas sektor yang terkoordinasi dengan baik.

This research aims to analyze the role of policewomen in handling incest cases involving child victims from a gender perspective; to analyze the obstacles in handling cases of incestuous sexual violence against girls perpetrated by their biological fathers; and to analyze the coordination model employed by the North Jakarta Metro Police in implementing multi-stakeholder preventive measures against the crime of incestuous sexual violence against children. This thesis research utilizes a qualitative research approach. Data analysis in this study uses the triangulation method with data validity, data reduction, and conclusion drawing techniques.
The Policewomen of the PPA Unit have demonstrated a significant role in handling cases of incestuous sexual violence against children by their biological fathers. Although their actions align with management functions, deficiencies were found in the activity planning that requires a more structured plan. However, they have been successful in organizing, mobilizing, and supervising, showing greater empathy towards child victims, distinguishing them from male police officers. Handling cases of incestuous sexual violence by biological fathers faces complex obstacles from various factors, including a lack of understanding in law enforcement, legal ambiguities, and social stigma. To enhance the effectiveness of law enforcement, it is necessary to improve training, reform the personnel placement system, initiate the creation of guidelines, and change societal culture and norms. Inclusive inter-agency coordination is key to success in preventing sexual violence against children. Although integrated efforts have been made, there is still room for improvement, especially in the implementation of secondary prevention efforts and improvement in inter-agency coordination. With the suggested improvement measures, it is expected that efforts to prevent sexual violence against children can become more effective through well-coordinated cross-sector collaboration.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Ezrandra Akilah
"Peningkatan kasus kekerasan seksual berdampak pada semakin tingginya beban aparat penegak hukum dalam menangani kasus tersebut. Terdapat hambatan dalam upaya penegakan hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, salah satunya adalah perubahan keterangan yang disampaikan oleh pelapor sepanjang investigasi berlangsung. Keterangan pelapor menjadi penilaian apakah keterangan sesuai pada pengalaman yang benar-benar terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsistensi keterangan pelapor kasus kekerasan seksual terhadap persepsi kredibilitas individu yang terlibat pada penanganan kasus kekerasan seksual. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa yang sudah lulus mata kuliah Acara Pidana (N = 116). Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kuantitatif kuasi-eksperimen. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah keterangan pelapor yang divariasikan sebagai keterangan yang konsisten dan atau tidak konsisten. Teknik analisis yang digunakan adalah uji Independent Sample T-test. Hasil penelitian ini adalah terdapat pengaruh laporan dengan keterangan yang konsisten secara signifikan terhadap persepsi kredibilitas mahasiswa dalam menilai kasus kekerasan seksual.

The increase in cases of sexual violence has an impact on the increasing burden on law enforcement officials in handling these cases. There are obstacles in law enforcement efforts in handling cases of sexual violence, one of which is the change in information submitted by the complainant during the investigation. The reporter's statement becomes an assessment of whether the information is appropriate to the experience that actually happened. This study aims to determine the effect of the consistency of the statements of sexual violence case reporters on the perception of the credibility of the individuals involved in handling sexual violence cases. The sampling technique used in this study was convenience sampling. The participants in this study were students who had passed the Criminal Procedure course (N = 116). The method used in this research is quasi-experimental quantitative. The independent variable in this study is the report's statement which is varied as consistent and/or inconsistent information. The analysis technique used is the Independent Sample T-test. The results of this study are that there is a significant effect of reports with consistent information on the credibility perceptions in assessing cases of sexual violence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Muthia Hasna
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada kehidupan wanita karir di Korea Selatan yang sering menjadi korban kekerasan seksual. Penulis berargumen bahwa fenomena itu disebabkan oleh dominasi laki-laki dalam dunia kerja, meskipun perempuan Korea Selatan sudah banyak yang berpartisipasi dalam dunia kerja profesional. Selain itu, kebanyakan perempuan Korea Selatan cenderung tidak melakukan perlawanan terhadap kekerasan seksual yang dialaminya. Argumen tersebut berbeda dengan studi-studi terdahulu yang menyatakan bahwa kekerasan seksual di tempat kerja disebabkan oleh budaya patriarkal, kerja lembur, dan budaya hoesik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap wanita karir di perusahaan Korea Selatan. Penelitian ini menggunakan drama Ibeon Saengeun Cheoeumira sebagai sumber data primer, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber tulis, berupa buku, jurnal, dan berita dari media daring terkait penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan asumsi penulis, kekerasan seksual disebabkan oleh dominasi laki-laki dalam dunia kerja dan tidak adanya perlawanan dari korban kekerasan seksual. Wanita karir tidak berani melawan karena takut kehilangan pekerjaan dan pelabelan oleh rekan kerja lainnya.

ABSTRACT
This research focus on the life of career women in South Korea who are often victims of sexual violence. The author argues that the phenomenon is caused by male domination in the work society, although many of South Korean women have participated in professional work field. Furthermore, most of South Korean women tend not to fight back the sexual violence they had experienced. Those arguments are different from the previous studies stated that sexual violence in workplace is caused by patriarchy culture, work overtime, and hoesik culture. This research aims to know the forms of sexual violence against career women in South Korean company. This reseach used drama Ibeon Saengeun Cheoeumira as the primary data source and used related online and offline books, journals, and news as the secondary data sources. This research shows that in accordance with the argument of the author, sexual violence is caused by male domination in the work society and there is no fighting back from the victims. Career women do not dare to fight back because they are afraid of losing their jobs and labeling from working partners."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Tasya Prathisthita Tanaya
"Tulisan ini mengkaji lima kasus eksploitasi dan kekerasan seksual anak melalui live streaming di Indonesia sebagai bentuk kejahatan, dengan menyorot relasi kuasa, kerentanan anak, dan viktimisasi yang ada. Metode penulisan yang digunakan adalah analisis data sekunder, yang berasal dari artikel-artikel berita online Indonesia, tentang eksploitasi dan kekerasan seksual anak melalui live streaming di Indonesia. Analisis dalam tulisan ini menggunakan power relations theory oleh Foucault dan social ecological model. Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya relasi kuasa yang tidak setara antara orang dewasa dan anak serta adanya kerentanan anak yang disebabkan oleh faktor dari berbagai lapisan, menyebabkan anak menjadi korban eksploitasi dan kekerasan seksual anak melalui live streaming. Anak-anak yang menjadi korban juga ditemukan mengalami viktimisasi kekerasan seksual, viktimisasi online, dan viktimisasi kekerasan ekonomi. Viktimisasi-viktimisasi tersebut terjadi sebanyak lebih dari satu kali. Ini menyebabkan para korban mengalami multiple victimization dan revictimization. Lalu, konten seksual live streaming para korban disebarkan ke internet oleh para pelaku, mengakibatkan para korban mengalami revictimization kronis.

This paper examines five cases of child sexual exploitation and abuse through live streaming as a form of crime, highlighting the power relations, child vulnerabilities, and victimization within the phenomenon. The writing method in this paper is secondary data analysis, derived from Indonesian news articles, about the phenomenon of child sexual exploitation and abuse through live streaming. The analysis in this paper uses power relations theory by Foucault and social ecological model. The result of the analysis shows that the unequal power relations between adults and children along with child vulnerabilities that is caused by factors from various layers, resulting in children as the victims of child sexual exploitation and abuse through live streaming. This paper also shows that the children who become victims are experiencing sexual abuse victimization, online victimization, and economical abuse victimization. These victimizations happen for more than once, resulting in children to experience multiple victimization and revictimization. In addition, the children’s live streaming sexual content are shared to the internet by the perpetrators, causing chronic child revictimization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Graciella Annette
"Penelitian ini menganalisis pengaturan penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual yang akan/telah melakukan aborsi saat ini dan bagaimana praktik hukum merefleksikan hal itu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sosio-legal. Penanganan, pelindungan, dan pemulihan merupakan hak-hak korban kekerasan seksual yang pemenuhannya dijamin oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, pemenuhan hak-hak tersebut kerap kurang optimal bagi korban yang mengalami kehamilan dan melakukan aborsi. Meski pengaturan telah bergeser ke arah yang lebih baik, perumusannya masih belum menerapkan perspektif gender dan perspektif korban. Dalam praktik persidangan pun, intimidasi dan bias gender dari Aparat Penegak Hukum (APH) mencerminkan tidak adanya perspektif yang memadai. Sementara itu, tidak dipertimbangkan dan diprioritaskannya pengalaman perempuan membuat akses terhadap hak korban dihalangi oleh hambatan secara substantif, struktural, dan kultural. Berbagai faktor ini menyebabkan pemenuhan hak-hak korban menjadi jauh dari ideal.

This research analyzes the current regulations for the treatment, protection, and recovery of victims of sexual violence who will or already had an abortion and how legal practice reflects that. This research uses the socio-legal studies research method. Treatment, protection, and recovery are the rights of victims of sexual violence in which the fulfillment is guaranteed by Law Number 12 of 2022 on the Sexual Violence Crimes. However, the fulfillment of these rights is often less than optimal for victims who experience pregnancy and have abortions. Although the regulations have changed for the better, the formulation still did not apply gender perspective and victim’s perspective. Even in judicial practice, the intimidations and gender bias of Justice Sector Officials (JSO) reflects the lack of adequate perspective. Meanwhile, the lack of consideration and prioritization of women's experiences makes access to victims' rights hindered by substantive, structural, and cultural barriers. These various factors cause the fulfillment of victims' rights to be far from ideal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Netty Saraswati
"Children are our national succeeding struggle and ideal generations, thus those children with substantial potential must completely be supported by government or community, in order they remain in qualified human resources position. Therefore, they must obtain a good and Wright education in their growth period in avoiding problems that they are not naughty. There are various children delinquency, and even have tendency to criminal act. One of the most serious children delinquencies is sexual violence. There is much sexual violence committed by children in Jakarta City; so that it is necessary to know what make these children committed them.
The research methodology used in this study is a qualitative approach by case study technique. This research's informant is a child as sexual violence actor. Its data collecting method is carried out by a depth interview with informant, collection of information data, and observation in informant's environment.
From conducted research, it is obtained a result that there are various factors causing those children commit to do sexual violence. They are, among others, negative environmental influence, inappropriate entertainment and information received by them (such pornographically media) and a lack of social relationship that cause a child commit to do sexual violence and others deviational behavior.
In order to avoid that such children do not commit those deviational behavior, thus it is required for a collaborative action between elements in community and governmental role in regulation enforcement about pornography and porn action."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukmawati
"Mahasiswa merupakan populasi yang rentan terhadap tindak kekerasan seksual dan risiko tersebut meningkat akibat beragam aktivitas, kunjungan tempat, dan interaksi sosial dengan dampak potensial berupa stres, sehingga diperlukan strategi koping efektif dan dukungan sosial untuk mengatasi dampak psikologis yang timbul. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres, strategi koping, dan dukungan sosial pada mahasiswa yang pernah mengalami kekerasan seksual. Metode penelitian adalah penelitian kuantitatif pada 107 responden dengan kriteria inklusi usia 17-23 tahun yang pernah mengalami setidaknya satu dari empat jenis kekerasan seksual dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan Perceived Stress Scale (PSS) yang dikembangkan oleh Cohen, Kamarck, dan Marmelstein (1983), Brief COPE yang dikembangkan oleh Carver (1997), dan Social Support Questionnaire-6 (SSQ-6) yang dikembangkan oleh Sarason et al (1983). Hasil penelitian menunjukkan 46,7% responden mengalami stres sedang, 50,5% menggunakan strategi koping emotion-focused coping, dan 44,9% menggunakan dukungan emosional. Rekomendasi peneliti bahwa pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan jiwa dan pelayanan psikolog memberikan bimbingan dan konseling untuk korban kekerasan seksual sebagai bentuk dukungan sosial dan upaya untuk mengatasi masalah psikologis berupa stres yang dirasakan, menemukan strategi koping yang efektif, serta pentingnya dukungan sosial.

Students are a population that is vulnerable to sexual violence and the risk increases due to various activities, place visits, and social interactions with potential impacts in the form of stress, so effective coping strategies and social support are needed to overcome the psychological impact that arises. This study aims to identify the description of stress levels, coping strategies, and social support in students who have experienced sexual violence. The research method is quantitative research on 107 respondents with inclusion criteria aged 17-23 years who have experienced at least one of the four types of sexual violence using purposive sampling technique. Instruments used Perceived Stress Scale (PSS) developed by Cohen, Kamarck, and Marmelstein (1983), Brief COPE developed by Carver (1997), and Social Support Questionnaire-6 (SSQ-6) developed by Sarason et al (1983). The results showed 46.7% of respondents experienced moderate stress, 50.5% used emotion-focused coping strategies, and 44.9% used emotional support. Researchers recommend that health services, especially mental nursing services and psychologist services provide guidance and counseling for victims of sexual violence as a form of social support and efforts to overcome psychological problems in the form of perceived stress, find effective coping strategies, and the importance of social support."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Agastya
"Latar Belakang: Adiksi perilaku adalah suatu kondisi yang semakin berkembang dan berdampak sangat besar pada kualitas hidup seseorang. Adiksi perilaku berupa aktivitas seksual online atau cybersex merupakan kondisi yang semakin menjadi perhatian sejalan dengan perkembangan teknologi dan mudahnya akses internet. Instrumen ISST yang disertai dengan Sexual Addiction Screening Test (SAST) versi pendek dapat menapiskan gejala-gejala adiksi cybersex. Uji validitas dan reliabilitas instrumen ISST diperlukan agar instrumen dapat digunakan sebagai penapisan gejala-gejala adiksi cybersex sehingga deteksi dan tatalaksana dini dapat dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan instrumen ISST versi bahasa Indonesia yang sahih dan andal.
Metode: Desain pada penelitian ini adalah desain potong lintang yang menilai validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keandalan). Proses penelitian melalui proses perizinan ke pembuat instrumen, penerjemahan ke bahasa Indonesia dan penerjemahan kembali ke bahasa Inggris. Validitas isi diukur menggunakan Content Validity Index (CVI) dan validitas konstruksi menggunakan metode faktor analisis. Reliabilitas dinilai dengan mengukur konsistensi internal instrumen yang diteliti, dengan populasi target (N=100) merupakan dewasa muda usia 18-30 tahun yang menggunakan internet di Indonesia.
Hasil: Pada uji validitas isi didapatkan nilai CVI keseluruhan adalah 0.91. Pada uji reliabilitas didapatkan nilai koefisien Cronbach's Alpha 0.85 untuk skor total ISST disertai dengan Sexual Addiction Screening Test (SAST) versi pendek. Nilai koefisien Cronbach's Alpha 0.85 untuk skor total ISST tanpa disertai dengan SAST versi pendek adalah 0.75. Nilai koefisien Cronbach's Alpha untuk subskala kegiatan seksual online: 0.65, anonimitas perilaku seksual online: 0.47, eksplorasi seksual online: 0.58, dampak perilaku seksual online: 0.60, interaksi seksual online-sosial: 0.45, interaksi seksual online-virtual: 0.42, dan skor SAST versi pendek: 0.79.
Simpulan: Instrumen ISST versi bahasa Indonesia merupakan alat yang sahih dan andal untuk mengukur adiksi seksual online dan adiksi seksual.

Introduction: Behavioral addiction is a condition that is increasingly developing and has a very big impact on a person's quality of life. Behavioral addiction in the form of online sexual activity or cybersex is a condition that is increasingly becoming a concern in line with technological developments and easy internet access. The ISST instrument accompanied by the short version of the Sexual Addiction Screening Test (SAST) can filter out the symptoms of cybersex addiction. Validity and reliability tests of ISST instrument are needed so that the instrument can be used as a screening for cybersex addiction symptoms so that early detection and treatment can be carried out in Indonesia. This study aims to obtain a valid and reliable Indonesian version of the ISST instrument.
Method: The design in this study is a cross-sectional design that assesses the validity and reliability. The research process went through a licensing process to the instrument maker, translation into Indonesian and translation back into English. Content validity was measured using the Content Vaidity Index (CVI) and construction validity using the factor analysis method. Reliability is assessed by measuring the internal consistency of the instrument, with the target population (N = 100) being young adults aged 18-30 years who use the internet in Indonesia.
Results: In the validity test the overall Content Validity Index (CVI) value was 0.91. In the reliability test, the Cronbach's Alpha coefficient is 0.85 for the ISST total score accompanied by a short version of Sexual Addiction Screening Test (SAST). Cronbach's Alpha coefficient value of 0.85 for ISST total score without accompanied by a short version of SAST is 0.75. Cronbach's Alpha coefficient value for online sexual activity subscale: 0.65, anonymity of online sexual behavior: 0.47, online sexual exploration: 0.58, impact of online sexual behavior: 0.60, social-interaction of online sexual behavior: 0.45, virtual-online sexual interaction: 0.42, and short version of SAST score: 0.79.
Conclusion: The Indonesian version of the ISST instrument is a valid and reliable tool for measuring online sexual addiction and sexual addiction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>