Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173020 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jihan Anita Pradevi
"Kanker kolorektal adalah kanker yang berlokasi dibagian kolon atau rektum dengan indikasi awal adalah keberadaan polip non-kanker. Kanker kolorektal menempati urutan ketiga sebagai kanker ganas dan urutan kedua dengan tingkat mortalitas tertinggi di tingkat dunia. Peningkatan morbiditas kanker kolorektal tercatat pada orang dewasa berusia 30-40 tahun. Prevalensi dan urgensi deteksi dini kanker kolorektal diperlukan untuk mendapatkan hasil diagnosis kanker sebagai solusi pengobatan kanker. Gen MDR1 sebagai gen penghabisan obat membentuk resistensi terhadap pengobatan yang menyebabkan kegagalan dalam kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi gen MDR1 pada kanker kolorektal. Penelitian ini menggunakan metode qPCR yang bersifat spesifik dan sensitif pada satu target. Berdasarkan hasil qPCR diperoleh di antara 10 penderita kanker kolorektal terdapat 6 penderita yang positif terdeteksi gen MDR1 dan 4 penderita tidak mengekspresikan gen MDR1. Khususnya, ekspresi mRNA tertinggi diamati pada penderita yang telah mengalami metastasis terutama menuju hepar. Secara statistik, pengujian menggunakan Shapiro-Wilk (0,049 < 0,05) menyatakan data tidak terdistribusi normal antara kelompok jaringan normal dan kanker kolorektal. Sedangkan, pada uji Mann Whitney U (0,065 > 0,05) tidak terdapat perbedaan signifikan antara jaringan normal dan jaringan kanker kolorektal. Rekomendasi selanjutnya adalah dengan menggunakan sampel lebih banyak untuk melihat pola ekspresi gen.

Colorectal cancer is cancer located in the colon or rectum with the initial indication is the presence of non-cancerous polyps. Colorectal cancer ranks third as a malignant cancer and ranks second with the highest mortality rate in the world. The increase in colorectal cancer recorded in adults aged 30-40 years. The prevalence and urgency of early detection of colorectal cancer is obtained to get the results of a cancer diagnosis as a cancer treatment solution. The MDR1 gene as a drug efflux forms resistance to treatment causes failure in chemotherapy. This study aims to determine the expression of the MDR1 gene in colorectal cancer. This study uses the qPCR method which is specific and sensitive to one target. Based on the qPCR results, it was found that among 10 patients with colorectal cancer, there were 6 patients who were positive for the MDR1 gene and 4 patients were negative the MDR1 gene. In particular, the highest mRNA expression was observed in patients who had metastasized mainly to the liver. Statistically, the Shapiro-Wilk test (0.049 < 0.05) stated that the data were not normally distributed between the normal tissue groups and colorectal cancer. Meanwhile, the Mann Whitney U test (0.065 > 0.05) means that there is no significant difference between normal tissue and colorectal cancer tissue. The next recommendation is to use more samples to see the pattern of gene expression."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Skolastika Sylvia Cleodora Heryanto
"Kanker kolorektal merupakan keganasan yang terbentuk melalui transformasi sel epitel yang menyusun lapisan mukosa dari bagian kolon dan rektum usus besar. Tingginya angka kasus baru di Indonesia menempatkan kanker kolorektal pada posisi keempat pada tingkatan kasus kanker paling umum di Indonesia. Gen c-MYC merupakan salah satu onkogen dalam tubuh manusia yang berperan penting dalam berbagai proses seluler. Potensi gen c-MYC dalam memicu karsinogenesis timbul ketika gen ini terderegulasi sehingga c-MYC berperan sebagai salah satu kandidat dalam studi ekspresi gen berbasis RNA dalam kasus kanker kolorektal. Molekul RNA berperan penting dalam proses ekspresi gen sehingga kerap digunakan sebagai biomarker dalam mengukur tingkat ekspresi suatu gen yang dapat dikuantifikasi menggunakan metode Reverse Transcription Quantitative Polymerase Chain Reaction (RT-qPCR). Tingkat ekspresi dari gen c-MYC kemudian dihitung berdasarkan nilai cycle threshold (Ct) menggunakan rumus Livak dan dilakukan uji statistik dengan bantuan perangkat lunak SPSS. Ekspresi gen dikatakan mengalami peningkatan atau upregulation apabila nilai 2-∆∆Ct > 1 sementara ekspresi gen dikatakan mengalami penurunan atau downregulation apabila nilai 2-∆∆Ct < 1. Hasil perhitungan tingkat ekspresi gen c-MYC dari sepuluh pasang sampel yang diperoleh dari sepuluh pasien kanker dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa sebanyak 50% pasien menunjukkan terjadinya upregulation gen c-MYC sedangkan 40% pasien menunjukkan terjadinya downregulation gen c-MYC. Sementara itu, 10% dari pasien tidak menunjukkan adanya ekspresi gen c-MYC. Meski demikian, hasil uji Mann-Whitney menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara ekspresi gen c-MYC pada sampel jaringan normal dan kanker kolorektal yang diduga disebabkan oleh kurangnya sampel yang digunakan dalam penelitian.

Colorectal cancer is a malignancy developed by cell transformation that occurs on the epithelium cells that forms the lining mucosa of the colon and rectum region of the large intestine. The rising number of new colorectal cancer cases in Indonesia makes it the fourth most common cancer in Indonesia. The c-MYC gene is one of the many oncogenes of the human body that affects cellular processes. Having the potential in inducing carcinogenesis when deregulated, the c-MYC gene is the perfect candidate for RNA-based gene expression study. RNA molecules play a big part on the overall gene expression process. Thus, it is commonly used as a biomarker to quantify gene expression levels using various methods, one of which is the Reverse Transcription Quantitative Polymerase Chain Reaction (RT-qPCR). The expression of the c-MYC gene is calculated with the Livak formula towards the cycle threshold (Ct) value obtained which then the numbers are statistically analyzed using the help of the SPSS software. The gene expression can be considered as upregulated when the 2-∆∆Ct > 1 and can be considered as downregulated when the 2-∆∆Ct < 1. The c-MYC gene expression level result that are obtained from ten pairs of tissue sample from ten cancer patients of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital shows that 50% of the patients experience c-MYC upregulation while 40% of the patients experience downregulation of the c-MYC gene. The last 10% of the patients do not show any expression of the c-MYC gene. Despite the results, according to the statistical Mann-Whitney test, the data obtained does not show any significant difference between the c-MYC gene expression levels on normal and colorectal cancer tissues due to the small number of samples used."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seruni Salsabila
"Kanker kolorektal merupakan keganasan sel yang tumbuh dari jaringan usus besar, seperti kolon dan rektum. Kasus kanker kolorektal di Indonesia menempati urutan ketiga dengan 12,8 insiden per 100.000 penduduk usia dewasa dan memiliki nilai mortalitas sebesar 9,5% dari seluruh kasus jenis kanker. Lambatnya diagnosis kanker sejak dini dan prognosis yang buruk menyebabkan tingginya mortalitas kanker kolorektal di Indonesia dibandingkan pada beberapa negara maju. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi biomarker, seperti deteksi ekspresi RNA yang berfungsi sebagai pemberi informasi genetik dan subjek regulasi transkripsi, untuk memahami jalur pensinyalan karsinogenesis kolorektal dalam meningkatkan prognosis dan prediksi respons terapeutik terhadap pasien. Telomerase Reverse Transcriptase (hTERT) merupakan subunit utama dari enzim telomerase yang memiliki peran dalam menjaga kestabilan kromosom, sehingga mengindikasi adanya pengaruh ekspresi hTERT yang tinggi terhadap perkembangan kanker kolorektal. Penelitian ini menggunakan sampel jaringan normal dan kanker kolorektal yang diperoleh dari pasien pengidap kanker kolorektal dengan nilai ekspresi gen hTERT diperoleh menggunakan reverse transcription-quantitative polymerase chain reaction (RT-qPCR). Nilai Cycle Threshold (CT) diperoleh dan dilakukan analisis statistik menggunakan aplikasi JAMOVI. Berdasarkan rumus ekspresi gen 2-IICT, ekspresi meningkat jika memiliki perhitungan ekspresi <1 dan ekspresi menurun jika memiliki perhitungan ekspresi 1<. Hasil menunjukkan bahwa sebesar 50% pasien pengidap kanker kolorektal mengalami peningkatan ekspresi gen hTERT RNA, sedangkan 50% lainnya mengalami penurunan ekspresi. Peningkatan ekspresi gen hTERT RNA pada jaringan kanker adalah sebesar 18,97 kali lebih tinggi dibandingkan jaringan normal. Namun, berdasarkan analisis statistik, ekspresi hTERT tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara jaringan normal dan kanker dikarenakan jumlah sampel yang sedikit.

Colorectal cancer is a malignancy that grows from the tissues of the large intestine, such as the colon and rectum. Colorectal cancer cases in Indonesia ranks third with 12.8 incidents per 100,000 adult population and has a mortality rate of 9.5% of all cancer cases. The delay in early cancer diagnosis and poor prognosis lead to higher colorectal cancer mortality in Indonesia compared to some developed countries. Therefore, it is necessary to identify biomarkers, such as detection of RNA expression that serves as a genetic information provider and transcriptional regulatory subject, to understand the signaling pathways of colorectal carcinogenesis in improving prognosis and predicting therapeutic response in patients. Human Telomerase Reverse Transcriptase (hTERT) is the main subunit of the telomerase enzyme that has a role in maintaining chromosome stability, thus indicating the effect of high hTERT expression on the development of colorectal cancer. This study used normal tissue samples and colorectal cancer obtained from patients with colorectal cancer with hTERT gene expression values ​​obtained using reverse transcription-quantitative polymerase chain reaction (RT-qPCR). Cycle Threshold (CT) values ​​were obtained, and statistical analysis was performed using the JAMOVI application. Based on the 2-IICT gene expression formula, the expression increased if it had an expression count <1 and the expression decreased if it had an expression count of 1<. The results showed that 50% of patients with colorectal cancer had an increased expression of the hTERT RNA gene, while the other 50% had decreased expression. The increase in hTERT RNA gene expression in cancer tissue was 18.97 times higher than normal tissue. However, based on statistical analysis, hTERT expression did not show a significant difference between normal and cancer tissues due to the small number of samples."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Jessica Agustina Elisabeth
"Kanker kolorektal adalah jenis kanker pada kolon dan rektum usus besar yang disebabkan oleh pertumbuhan abnormal. Kasus kanker kolorektal di Indonesia merupakan kasus kanker tertinggi urutan ketiga dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Oleh karena itu, deteksi kanker kolorektal diperlukan untuk diagnosis dan prognosis kanker kolorektal. Salah satu metode deteksi yang digunakan adalah deteksi ekspresi RNA untuk mengetahui gen yang diekspresikan secara berlebih atau sebaliknya pada jalur perkembangan kanker kolorektal yang terpengaruh. Ekspresi heparanase (HPSE) diketahui menginduksi perkembangan kanker kolorektal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ekspresi HPSE pada jaringan normal dan kanker kolorektal. Penelitian ini menggunakan sepuluh sampel untuk masing-masing jaringan normal dan kanker kolorektal dari pasien kanker kolorektal. Nilai ekspresi HPSE diukur dengan reverse transcription-quantitative polymerase chain reaction (RT-qPCR). Selanjutnya, analisis statistik dilakukan menggunakan aplikasi SPSS. Hasil RT-qPCR menunjukkan bahwa ekspresi HPSE RNA pada jaringan kanker 6,912 kali lebih tinggi dibandingkan pada jaringan normal. Berdasarkan nilai perbandingan ekspresi gen relatif yang diatur dengan nilai 1. Ekspresi HPSE untuk setiap individu pasien dikelompokkan menjadi ekspresi meningkat (>1) dan menurun (<1). Berdasarkan hasil qPCR, ekspresi HPSE tidak terdeteksi pada tiga sampel pasien yang ditunjukkan dengan tidak terjadinya amplifikasi. Hasil ini diduga disebabkan oleh template RNA yang digunakan mengalami degradasi. Analisis statistik menunjukkan ekspresi HPSE pada jaringan kanker kolorektal tidak memiliki perbedaan secara signifikan dengan jaringan normal berdasarkan nilai p > 0,05.

Colorectal cancer is a type of cancer of the colon and rectum of the large intestine caused by abnormal growth. Colorectal cancer cases in Indonesia are the third highest cancer cases and are increasing every year. Therefore, detection of colorectal cancer is needed for the diagnosis and prognosis of colorectal cancer. One of the detection methods used is RNA expression detection to determine which genes are overexpressed or otherwise in the affected colorectal cancer development pathway. The expression of heparanase (HPSE) is known to induce the development of colorectal cancer. This study aims to determine the level of HPSE expression in normal tissue and colorectal cancer. This study used ten samples for each of normal and colorectal cancer tissue from colorectal cancer patients. Relative expression value HPSE measured by reverse transcription-quantitative polymerase chain reaction (RT-qPCR). Furthermore, statistical analysis was performed using the SPSS application. RT-qPCR results showed that HPSE expression in cancer tissue was 6,912 higher than in normal tissue. Based on the comparative value of relative gene expression, which was set to a value of 1. The HPSE expression for each individual patient was grouped into increased (>1) and decreased (<1) expressions. Based on the results of RT-qPCR, HPSE expression was not detected in three patient samples as indicated by the absence of amplification. This result was thought to be caused by the degradation of the template RNA. HPSE in colorectal cancer tissue did not differ significantly from normal tissue based on p > 0.05."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsa Billa As`syifa
"Latar belakang: Diagnosis memiliki peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan kanker usus halus. Namun, pemeriksaan sebelumnya memiliki kekurangan, yaitu; sensitivitas rendah, operator dependent, dan lama. Sehingga akan diobservasi spektrofotometri autofluorosensi menggunakan blok parafin yang memiliki sensitivitas, spesifisitas, akurasi, dan presisi dengan nilai yang baik. Metode: Studi ini mengukur perbedaan intensitas cahaya fluorosensi menggunakan spektrofotometri autofluorosensi cahaya UV pada blok parafin jaringan kanker usus halus mencit dalam panjang gelombang dari 420.2nm sampai 762.9nm. Hasil uji dianalisis menggunakan dua perangkat lunak, yaitu SPSS 26.0 serta Orange Data Mining. Dalam melakukan analisis Orange Data Mining (kualitatif), data akan dianalisis menggunakan PCA dan 7 jenis PC. Sedangkan machine learning (analisis kuantitatif) dengan cross validation kelipatan 5. Hasil: Dari 511 panjang gelombang yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan intensitas cahaya pada ketiga kelompok sampel, perbedaan intensitas cahaya dapat dibedakan secara signifikan pada (panjang gelombang); 495 pada kelompok normal-prekanker, 495 pada kelompok normal-radang, 454 pada kelompok radang-prekanker. Selain itu, dalam hasil analis Machine Learning menunjukkan bahwa Neural Network memiliki performa terbaik dalam menganalisis klasifikasi derajat lesi kanker usus halus. Kesimpulan: Spektrofotometri autofluorosensi memiliki kemampuan mengklasifikasikan jaringan normal, radang, serta pre-kanker pada usus halus mencit dengan nilai sensitivitas dan spesifititas baik, namun masih terdapat kesulitan membedakan jaringan radang.

Background: Diagnosis has a very important role in the management of small bowel cancer. The previous examination, on the other hand, had drawbacks, including low sensitivity, operator dependence, and a long time.So that autofluorescence spectrophotometry will be observed using a paraffin block that has good sensitivity, specificity, accuracy, and precision. Method: This study measured the difference in fluorescence intensity using UV light autofluorescence spectrophotometry on paraffin blocks of mouse small intestine cancer tissue at wavelengths from 420.2 nm to 762.9 nm. The test results were analyzed using two software programs, namely SPSS 26.0 and Orange Data Mining. Data will be analyzed using PCA and 7 different types of PCs in the orange data mining analysis (qualitative).while using machine learning (quantitative analysis) with a total of 5 cross-validations. Results: Of the 511 wavelengths that show a significant difference in light intensity in the third sample group, the difference in light intensity can be significantly different at 495 in the normal-precancer group, 495 in the normal-inflammation group, and 454 in the inflammatory-precancer group. In addition, the results of machine learning analysis show that the neural network has the best performance into analyze the classification of small intestine cancer lesion degrees. Conclusion: Autofluorescence spectrophotometry has the ability to classify normal, inflammatory, and precancerous tissues in the small intestine of mice with good sensitivity and specificity, but there are still difficulties in differentiating tissue inflammation"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Mangema Junias Robert
"ABSTRAK
Latar Belakang: Dalam beberapa dekade terakhir telah dikembangkan terapi paliatif yang bertujuan untuk mengeliminasi metastasis. Kemoterapi paliatif banyak dipilih menjadi terapi standar pada tatalaksana kanker kolorektal stadium lanjut. Pemberian 5-fluorouracil 5-FU intravena ditambah dengan leucovorin LV dan targeted therapy bevacizumab telah menjadi terapi paliatif standar dalam beberapa tahun terakhir. Di Indonesia, belum ada penelitian yang membandingkan efektifitas pemberian regimen kemoterapi Bevacizumab mFOLFOX6 dan Bevacizumab XELOX. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 15 pasien karsinoma kolorektal dengan metastasis hati dengan 11 pasien menjalani protokol Bevacizumab mFOLFOX6 dan 4 pasien menjalani protokol Bevacizumab XELOX. Efektifitas respons dilihat dengan menggunakan kadar CEA dan hasil CT scan. Hasil: Dengan menggunakan protokol kemoterapi Bevacizumab mFOLFOX6 81,8 subjek memberikan respons stable disease dan 54,5 subjek memberikan respons progressive disease. Sementara itu, dengan menggunakan protokol kemoterapi Bevacizumab XELOX 75,0 subjek memberikan respons stable disease dan 50,0 subjek memberikan respons partial response. Efektivitas kemoterapi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan regimen/protokol kemoterapi yang digunakan Bevacizumab mFOLFOX6 dan Bevacizumab XELOX, baik berdasarkan respon CT Scan p = 0,993 maupun kadar CEA 0,774 . Tidak terdapat pula hubungan antara variabel faktor dengan efektivitas kemoterapi. Kesimpulan: Efektivitas kemoterapi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan regimen/protokol kemoterapi yang digunakan. Selain itu, variabel usia, jenis kelamin, IMT, SGA, skor Karnofsky, lokasi tumor primer, jenis operasi, waktu kemoterapi dan tipe histopatologi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan efektivitas kemoterapi.

ABSTRACT
Background In the last few decades, palliative therapy has been developed to eliminate metastasis. Palliative chemotherapy has become a standard therapy in the treatment of late stage colorectal cancer. Treatment with 5 fluorouracil 5 FU plus leucovorin intravenous LV and targeted therapies bevacizumab has become a standard palliative therapy in recent years. In Indonesia, there were no study comparing the effectiveness of Bevacizumab mFOLFOX6 and Bevacizumab XELOX chemotherapy regimens. Method This study used a cross sectional design in 15 patients with liver metastatic colorectal carcinoma which 11 patients were treated with Bevacizumab mFOLFOX6 protocol and 4 patients were treated with Bevacizumab XELOX protocol. The effectiveness of the response were measured using CEA concentration and CT scan result. Results With the Bevacizumab mFOLFOX6 protocol 81.8 of the subjects responded as stable disease and 54.5 responded as progressive disease. Meanwhile, with the Bevacizumab XELOX protocols 75.0 of the subjects responded as stable disease and 50.0 responded as partial response. Effectiveness of chemotherapy did not have a relationship with the chemotherapy protocols used Bevacizumab mFOLFOX6 and XELOX , based on CT scans p 0.993 and CEA levels 0.774 . In addition, there is no relationship between variable factors and the effectiveness of chemotherapy. Conclusions Effectiveness of chemotherapy did not have a relationship with the chemotherapy protocols used. In addition, the variables of age, sex, BMI, SGA, score Karnofsky, primary tumor site, type of surgery, chemotherapy and histopathology type of time did not have a relationship with the effectiveness of chemotherapy. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Rini Handjari
"ABSTRAK
Kanker kolorektal KKR dianggap sebagai masalah kesehatan utama, salah satu jenis kanker yang paling sering terjadi serta penyebab kematian kedua terbesar di negara barat dan di Indonesia. Adenokarsinoma kolorektal serrated AKS merupakan salah satu tipe dari KKR. Salah satu jalur karsinogenesis kolorektal adalah jalur serrated yang diketahui melibatkan mutasi gen KRAS. Penanda tumor lain yang juga terlibat dalam proses karsinogenesis adalah P53 dan Bcl-2. Gambaran histomorfologik yang ditemukan oleh Tuppurainen dkk. saat ini digunakan sebagai penanda AKS. Terbatasnya sarana laboratorium patologi molekular di Indonesia, menekankan pentingnya membuat model skoring gambaran histomorfologik AKS dan atau ekspresi protein P53 serta Bcl-2 untuk memprediksi mutasi KRAS.Penelitian potong lintang terhadap 39 kasus AKS didapatkan dari Arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM selama tahun 2013 ndash;2015. Setiap kasus dikumpulkan data klinisnya, dan dinilai ulang karakteristik histomorfologik dan penanda tumor Bcl2 dan P53 , serta dilakukan pemeriksaan status KRAS. Penelitian histomorfologik dilakukan per kasus dan per contoh yaitu terhadap 100 kelenjar/kasus.Pada penelitian ini, kasus AKS ditemukan paling banyak pada laki-laki 51,3 , usia ge; 40 tahun 71,8 , lokasi di kolon kiri 84,6 , tidak memiliki metastasis 92,3 , status mutasi KRAS 71,8 . Ekspresi protein P53 didapatkan pada 69,2 dan protein Bcl-2 51,3 , tidak didapatkan hubungan bermakna ekspresi protein tersebut dengan status KRAS. Gambaran histomorfologik status KRAS didapatkan hubungan pada epitel serrated, lokasi inti sel, kondisi inti, sitoplasma dan musin. Odds ratio tertinggi ditemukan pada epitel serrated OR 2,7; IK 95 2,30 ndash;3,07 dan musin OR 2,0; IK 95 , 1,15 ndash;3,65 . Berdasarkan uji statistik didapatkan model nilai skoring yang terdiri dari epitel serrated, keadaan lokasi inti, kondisi inti dan adanya musin CI 95 antara 61 ndash;65 . Nilai sensitivitas dan spesifisitas berdasarkan nilai titik potong pada angka 16 sensitivitasnya sebesar 72 dan spesifisitasnya sebesar 48 .Simpulan: Didapatkan model sistem skor dengan titik potong 16 untuk memprediksi adanya mutasi KRAS berdasarkan, epitel serrated, lokasi inti sel, kondisi inti, dan adanya musin.Kata kunci: Adenokarsinoma kolorektal serrated, Bcl-2, jalur serrated, Kanker kolorektal, mutasi KRAS, P53

ABSTRACT
Colorectal cancer CRC is considered as major health problem, one type of cancer that most often occurs as well as the second largest cause of death in western countries and in Indonesia. Serrated colorectal adenocarcinoma SA is one type of CRC. One of colorectal carcinogenesis pathway is serrated pathway that known to involve KRAS gene mutation. Other tumor markers that also involved in the process of its carcinogenesis were P53 and Bcl 2. Histomorphological criteria found by Tuppurainen et al currently used as marker of SA. Limited facilities of molecular pathology laboratory in Indonesia emphasize the needs of making scoring model by using histomorphological features of SA and or P53 and Bcl 2 protein expression to predict KRAS mutation.A cross sectional study conducted to 39 cases of SA registered in Departement of Anatomical Pathology FMUI Ciptomangunkusumo Hospital from 2013 ndash 2015. All clinical data related to the cases were collected. Each case was reevaluated based on Tuppurainen histomorphological criteria, tumor markers Bcl 2 and P53 , and KRAS status. Histomorphological examination is conducted per case and per instance to 100 nodes case.Present study showed that most cases of SA was found in male 51.3 , aged ge 40 years 71.8 , located in left colon 84.6 , did not have metastasis 92.3 , with KRAS mutation status 71.8 . P53 and Bcl 2 protein expressions were found in 69.2 and 51.3 respectively, with no significant association with KRAS status. Histomorphological features of KRAS status found in epithelial serration, nucleus location, nucleus condition, cytoplasm and mucin. Epithelial serration has the highest odds ratio OR 2.7 IK 95 2.30 ndash 3.07 followed by mucin OR 2.0 IK 95 , 1.15 ndash 3.65 . Statistical values showed scoring models consisted of epithelial serrations, nucleus location, nucleus condition and presence of mucin CI 95 between 61 ndash 65 . The sensitivity and specificity cut off point located on the number 16, with sensitivity value was 72 and specificity 48 .Conclusion A scoring system model yielded 16 as cut off score was obtained to predict KRAS mutations based on epithelial serrations, nucleus location, nucleus condition and presence of mucin.Keywords Bcl2, Colorectal cancer, colorectal serrated adenocarcinoma, KRAS mutation, P53, serrated pathway"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dana Satria Kusnadi
"ABSTRAK
Latar belakang: Kemoterapi ajuvan merupakan pilihan utama pada kanker kolorektal
stadium lokal lanjut untuk mencegah terjadinya rekurensi. Protokol FOLFOX dan
XELOX saat ini banyak digunakan karena terbukti meningkatkan overall survival rate
dan disease free survival pada penelitian-penelitian di negara maju. Penelitian ini
bertujuan untuk membandingkan efektivitas protokol FOLFOX dengan XELOX pada
pasien-pasien di pusat kesehatan kami, yang memiliki karakter yang berbeda, yakni
dengan tingkat kepatuhan yang rendah dalam berobat dan datang dalam stadium lanjut,
serta mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan efektivitas kemoterapi.
Metode: Dilakukan studi retrospektif pada 133 subjek karsinoma kolorektal stadium III
dan II risiko tinggi yang mendapat kemoterapi ajuvan di RSCM dan RSUP Fatmawati.
Sampel diambil secara konsekutif, selanjutnya dilakukan analisis statistik
membandingkan respon kedua protokol dengan mengamati kadar CEA dan 1-year
mortality rate. Dicari hubungan kepatuhan pasien dan faktor-faktor lain dengan
efektivitas. Kami menggunakan uji Chi square atau Fisher, serta uji multivariat
menggunakan regresi logistik. Signifikansi bila nilai p <0,05 dengan confidence interval
95%.
Hasil: Tidak didapatkan hubungan bermakna secara statistik antara protokol kemoterapi
dengan efektivitas (p = 0,61). Dikaitkan dengan kepatuhan pasien, didapatkan hubungan
signifikan antara protokol kemoterapi dan efektivitas (p = 0,001 dan 0,000), dengan
tingkat kepatuhan yang jauh lebih tinggi pada protokol FOLFOX (86% berbanding 45%).
Faktor-faktor lain yang secara statistik signifikan berhubungan dengan efektivitas adalah
Karnofsky score >90 (p = 0,004), IMT normal atau lebih (p = 0,006), dan grade
histopatologi dengan diferensiasi baik sedang (p = 0,003)
Kesimpulan: Protokol FOLFOX dan XELOX memberikan efektivitas yang sama.
Dikaitkan dengan kepatuhan yang memiliki hubungan signifikan dengan efektivitas,
protokol FOLFOX jauh lebih patuh dari XELOX. Pemberian kemoterapi ajuvan perlu memperhatikan Karnofsky score dan IMT pasien.

ABSTRACT
Background: : Adjuvant chemotherapy has become treatment of choice in advance
colorectal cancer to prevent recurrence. FOLFOX and XELOX protocol was proved to
increase overall survival rate and disease free survival. This study wants to compare
chemotherapy response between XELOX and FOLFOX protocol in our health center,
which usually having patients with low compliance and come in advanced stadium and
also to identify other factors that affecting chemotherapy response.
Method: Retrospective study of 133 colorectal carcinoma stage III and high-risk stage II
subjects who received adjuvant chemotherapy were collected consecutively from medical
record in Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital. Statistic analyze was
performed to compare chemotherapy response from XELOX protocol and FOLFOX
protocol, which were analyzed using Carcinoembryonic Antigen (CEA) and 1-year
mortality rate. The relationships between few other factors and effectivity of
chemotherapy response was analyzed using Chi square or Fisher. Multifactorial analysis
was using logistic regression test. Statistical significance was stated when p value <0,05
with 95% confidence interval.
Results: No statistically significant correlation between chemotherapy protocol and
chemotherapy response (p=0,61). However, when we combined compliance factor, we
found out strong correlation between chemotherapy protocol and chemotherapy response
(p = 0,001 and 0,000). FOLFOX protocol shown much higher compliance (86% vs 45%).
Others Factors that correlate significant to chemotherapy response in multivariate
analysis are Karnofsky score >90 (OR = 5,8; p = 0,004), Normal and overweight BMI
(OR = 4,7; p = 0,006), and well-moderate tumor differentiation (OR=6,3; p=0,003).
Conclusions: FOLFOX and XELOX protocol showed same efficacy in chemotherapy
response. When combine with compliance factor, which showed strong correlation to
efficacy chemotherapy response,, FOLFOX protocol showed more compliance. We
should care about patients? Karnofsky score and BMI to increase response of adjuvant chemotherapy. "
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Latuhihin, Welma Diana
"Kanker kolorektal menempati urutan ketiga dari seluruh jenis kanker di dunia. Salah satu penanganan  untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dengan kanker kolorektal adalah stoma. Efektifitas stoma masih belum banyak dipahami oleh pasien, karena kekhawatiran akan dampak yang ditimbulkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan secara mendalam, pengalaman pasien kanker kolorektal dalam pengambilan keputusan persetujuan tindakan pembuatan stoma. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang melibatkan 11 partisipan pada Komunitas Ostomate Indonesia, dengan teknik purposive sampling. Tiga tema besar pada penelitian ini yaitu proses yang sulit untuk menyetujui tindakan pembuatan stoma, pengetahuan yang tidak adekuat mengenai stoma, dan stoma sebagai pilihan terakhir. Keputusan untuk menyetujui pembuatan stoma adalah keputusan yang sulit bagi pasien dan keluarga. Persiapan pasien yang baik melalui edukasi, advokasi dan konseling mengenai fungsi, efektifitas, komplikasi yang mungkin terjadi, dan adaptasi dengan stoma, adalah peran penting perawat dalam proses ini.

Colorectal cancer is the third most common in all types of cancer in the world. One treatment to improve the quality of life of patients with colorectal cancer is stoma. The effectiveness of the stoma is still not widely understood by patients, because of concerns about the impact. The purpose of this study was to describe and interpret in depth, the experience of coloprectal cancer patients in making decisions regarding the approval of stoma-making actions. The study used a qualitative method with a phenomenological approach involving 11 participants at the Komunitas Ostomate Indonesia, with a snow ball sampling technique. Three major themes in this study are the difficult process to approve the stoma-making action, inadequate knowledge about the stoma, and in the end the patient resigns to the stoma-making procedure. Agreeing with stoma making is a difficult decision for patients and families. Preparation of good patients by providing education, advocacy and counseling regarding function, effectiveness, possible complications, and adaptation to stoma, is important for nurses to do in this process.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T52209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>