Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153082 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajri Ramadhan
"Penerapan desentralisasi asimetris di Indonesia dilakukan pada 5 daerah yaitu Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Kebijakan tersebut berimplikasi dengan penerimaan dana desentralisasi yang lebih tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengkaji hubungan kondisi keuangan 3 daerah otonomi khusus yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat dengan akuntabilitas keuangan daerah yang diproksikan oleh variabel opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) hasil pemeriksaan BPK RI. Menggunakan metode Conditional Logistic Fixed Effect, penelitian menggunakan rasio keuangan berdasarkan data keuangan daerah sejak 2011-2019. Hasil penelitian adalah: pertama, adanya hubungan antara akuntabilitas dengan kondisi keuangan pemerintah daerah otonomi khusus yang direfleksikan oleh beberapa variabel yang signifikan dan konsisten pada beberapa model. Kedua, variabel yang konsisten mendorong terciptanya akuntabilitas adalah variabel rasio Dana Alokasi Khusus (DAK) dibagi total dana transfer, sementara itu rasio Dana Bagi Hasil (DBH) per total pendapatan konsisten dan signifikan dalam mengurangi kemungkinan terwujudnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebagai penilaian akuntabilitas tertinggi. Variabel lain seperti rasio belanja operasional dan belanja modal per total belanja juga mengurangi kemungkinan terwujudnya opini WTP. Hasil ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu memperhatikan rasio-rasio keuangan daerah dalam evaluasi pelaksanaan desentralisasi asimetris terutama pada ketiga provinsi tersebut.

The asymmetric decentralization policy is applied in 5 regions: DKI Jakarta Province as the State Capital, Yogyakarta Special Region Province, Aceh Province, Papua Province, and West Papua Province. This study examines the relationship between the financial conditions of 3 special autonomous regions, namely Aceh, Papua, and West Papua, with regional financial accountability as proxied by the variable of opinion on regional financial statements (LKPD) due to the examination of the Indonesian National Audit Board. Using the Conditional Logistic Fixed Effect method, this study uses financial ratios based on regional financial data from 2011-2019. The results show that, first, there is a relationship between accountability and the financial condition of the special autonomy regional government, which is reflected by several significant and consistent variables in several models. Second, the variable that consistently encourages accountability is the proportion of Special Allocation Fund (DAK) from the total transfer. Meanwhile, the ratio of Revenue Sharing (DBH) per total income is consistent and significant in reducing the possibility of realizing an Unqualified Opinion (WTP) as the highest accountability assessment. Other variables such as the ratio of operational expenditures and capital expenditures per total expenditure also reduce the probability of realizing the WTP opinion. These results indicate that the government needs to pay attention to regional financial ratios in evaluating the implementation of asymmetric decentralization, especially in the three provinces."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukarya
"Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meneliti kendala-kendala yang merintangi proses implementasi UU No. 34 Tahun 1999. Untuk menunjang penelitian ini digunakan alat analisis yang berasal dari beberapa teori sebagai berikut: Teori Kewenangan dari Grindle dan Rodinelli; Teori Keuangan Daerah dan Teori Kelembagaan model Rodinelli dan Cheema; serta Teori Civil Society yang diulas Wuthnow.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa berdasarltan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Selain itu, dilakukan juga studi kepustakaan sebagai informasi pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal kewenangan Pemerintah Pusat tidak mau melepaskan kewenangannya kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara tuntas, di samping itu juga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tidak mentransfer kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten dan Kotamadya, dan berindikasi kepada Kecamatan dan Kelurahan. Adapun kelembagaan lebih cenderung gemuk dan Iamban. Sedangkan dalarn aspek keuangan, status Jakarta sebagai ibu kota Negara tidak mendapatkan alokasi dana di dalam APBN.
Terdapat lima kendala yang menghambat pelaksanaan UU No. 34 Tabun 1999, yakni: Pertama Adanya tarik menarik kewenangan antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Setneg, dengan Pemprov DKI Jakarta. Kedua, budaya politik, di mana produk undang-undang tersebut terkesan sebagai hadiah dari pusat, sementara daerah 'hanya" sebagai pelaksana teknis saja. Ketiga, lemahnya kepastian hukum. Keempat, Keikutsertaan masyarakat dalam partisipasi politik, lebih cenderung ke arah mobilisasi politik, artinya bahwa keikutsertaan masyarakat dalam proses politik, lebih mendukung suatu kebijakan yang telah digariskan oleh pemimpinnya. Kelima Kurangnya sosialisasi UU No. 34 Tahun 1999, menyebabkan masyarakat tidak dapat merespon dalam setiap penyimpangan hukum. Teori-teori yang digunakan, seperti tersebut di was, sesuai dengan temuan Iapangan. Dengan demikian, implikasi teoritis atas penelitian ini adalah berupa penegasan (confirmation).

This research aims to examine obstacles that burden the implementation of Law Number 34 year 1999. To support the research, some tools of analysis are used which are generated from several theories such as theory of authority from Grindle and Rondinelli, theory of local budget and theory of institutional from Rondinelli and Cheema, and theory of civil society discussed by Wuthnow.
Method that is used in the research is qualitative research method, which tries to interpret the meaning of a phenomenon based on facts. To collect data, interview is applied to related person in charge in proper institution. Besides that, literature study is also applied as supporting information.
The result of the research shows that, central government does not want to share its authority to the provincial government of DKI Jakarta. The provincial government of DKI Jakarta also does not share its authority to the government of Regency and City and also to lower level of government in the province. In institutional aspects, it tends to be large and slow. Meanwhile, in financial aspect, the status of Jakarta as a capital city does not relate to state budget allocation.
There are five obstacles that burden the implementation of Law Number 34 year 1999. First is clash of authority between central government State Secretariat and provincial government of DKI Jakarta. Second, political culture that the law tends to he a gift from central government and the local government is only the technical executor. Fourth, law enforcement is weak. Fifth, lack of socialization of the law causes public cannot response every act that breaks the law. Theories, which are used in the research, are appropriate with facts found in this research. To conclude, theoretical implication in the research is confirmation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Rudi Faisal
"Dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah saat ini, diperlukan adanya pemanfaatan terhadap potensi-potensi di daerah. Sebagai daerah yang mempunyai potensi pariwisata, kabupten Simalungun berupaya untuk melakukan pengembangan di bidang pariwisata sebagai wujud dari pemanfaatan potensi daerah. Potensi pariwisata yang di unggulkan di kabupaten Simalungun berada di Kecamatan Girsang Sipanganbolon tepatnya di kota Parapat.
Keindahan alam yang dimiliki kota pariwisata Parapat merupakan faktor pendukung utama dalam pengembangan pariwisata di kota Parapat. Daya tarik utama dari keindahan alam tersebut terdiri dari danau yang berhawa sejuk yang dikelilingi perbukitan. Namun kesemuanya itu tidak didukung dengan kunjungan wisatawan yang datang dan pembangunan yang layak bagi sebuah kota tujuan wisata. Pertumbuhan kota Parapat yang mengalami stagnasi membuat kurang bergairahnya kota wisata tersebut. Hal tersebut menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan kebijakan pemerintah kabupaten Simalungun dalam upaya meningkatkan pariwisata di kota Parapat serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pemerintah kabupaten Simalungun dalam upaya meningkatkan pariwisata kota Parapat. Permasalahan tersebut diteliti dengan tujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan pemerintah kabupaten Simalungun dalam upaya meningkatkan pariwisata di kota Parapat serta mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pemerintah kabupaten Simalungun dalam upaya meningkatkan pariwisata kota Parapat.
Penulis mengungkap permasalahan yang dialami kota pariwisata Parapat, dengan menggunakan pendekatan penelitian kuatitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Informan penelitian diperoleh melalui teknik "snowball" yang berjumlah tiga orang, terdiri dari Sekda Simalungun, Kepala tata usaha Dinas Pariwisata, dan Camat Girsang Sipanganbolon. Penulis mencoba melakukan penelitian dengan menggunakan kerangka berfikir Carley dan Kumar tentang pelaksanaan kebijakan pemerintah kabupaten Siamalungun dalam upaya meningkatkan pariwisata kota Parapat. Dengan adanya sistematka dari Casley dan Kumar akan memudahkan untuk merganlisis kebijakan apa yang akin kita lakukan untuk menanggapi permasalahan yang ada.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dalam upaya memaksimalkan potensi pariwisata yang dimiliki kota Parapat pemerintah kabupaten Simalungun telah melakukan beberapa kebijakan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke kota wisata Parapat. Sejalan dengan upaya meningkatkan kunjungan wisata tersebut, terdapat beberapa temuan permasalahan dalam kebijakan yang diaaakukan. Kebijakan yang dikeluarkan tidak melalui kerangka berfikir yang sistematis. Selain itu terdapat pula keluhan dari para pengambil kebijakan terhadap masyarakat yang belum siap sebagai tain rumah yang baik.
Dari temuan lapangan yang diteliti dengan menggunakan kerangka berpikir Casley dan Kumar penulis memperoleh analisa bahwasanya permasalahan yang dihadapi adalah pembuatan kebijakan yang tidak direncanaakan secara sistematis menyebabkan pada pelaksanaanya cenderung menyimpang dari permasalahan yang sebenarnya dihadapi, serta sumber daya manusia yang kurang memadai dalam mengahadapi setiap permasalahan yang ada sehingga permasalahan tersebut selalu dihadapi dengan cara mencoba-coba berdasarkan pengalaman terdahulu, tidak ada upaya pengembangan solusi yang dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan kebijakan yang terencana secara sistematis agar memudahkan pada pelaksanaannya, serta peningkatan sumber daya manusia di berbagai sektor, agar para pelaku kebijakan maupun masyarakat bisa lebih sinergis dalam mengatasi permasalahan yang ada serta melakukan pemantauan secara berkala terhadap perkembangan kebijakan yang dilakukan. Melakukan pemantauan terhadap penyimpangan dari perkembangan yang tidak direncanakan agar dapat di atasi secara dini sehingga efek dari penyimpangan tersebut tidak meluas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Harmantyo
"Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Sedangkan konflik keruangan (spatial conflict) adalah potensi konflik kewilayahan yang timbul akibat adanya garis batas yang membagi satu wilayah menjadi dua wilayah yang berbeda. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta pemekaran daerah di Indonesia sebagai negara kepulauan daerah tropis, memiliki karakteristik tersendiri ditinjau dari besarnya jumlah penduduk yang tersebar tidak merata, keanekaragaman sosial budaya, sumberdaya alam, flora dan fauna serta keragaman fisik wilayah. Berdasarkan keragaman tersebut, dalam perspektif geografi, Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi. Berdasarkan studi awal yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan model prediktif kuantitatif terhadap data periode tahun 1999 - 2005 terjadi pemekaran 148 daerah otonom baru (141 kabupaten/kota dan 7 propinsi) atau rata rata bertambah 30 daerah otonom baru. Jumlah tersebut melebihi angka perkiraan hasil perhitungan yaitu sebanyak 460 kabupaten dan kota di bawah koordinasi 46 propinsi.
Berdasarkan model segi enam Christaller, secara teoritis diperlukan paling tidak 2760 bentuk kerjasama antar daerah otonom yang saling berbatasan untuk mengantisipasi peluang terjadinya 2760 konflik kewilayahan (spatial conflict). Penataan kembali konsep desentralisasi dan pemekaran daerah serta instrument penilaian, terutama kejelasan penetapan batas wilayah, merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan kebijakan otonomi daerah.

Area divergence is a process to establish new autonomous region by dividing formerly local authority entity. This process was driven by the Regional Autonomy Law no. 32, 2004 which ensure decentralization mechanism to occur from. Spatial conflict is a term of interregional conflicts that is potentialy related to former administrative divided border line, which then will create border line dispute. This potential for any interregional relationship (including conflict) is a function neighbour number. According to an Internal Affairs report, thus recent phenomena of local divided authorities has been escalating in Indonesia. Since 1999-2005, there has been 148 new local autonomous governments or more than thirty new additional local autonomus government were born annualy. There are two main questions arise from these issues (1) what is the ideal number of local autonomous government in Indonesia, and (2) what is the quantity of interregional relationship needed to relate spatial conflicts.
Based on the central place theory and a spatial conflicts model the ideal number of autonomous districts in Indonesia is 460 of kabupaten/kota and 46 provinces. Theoretically, they need 2760 forms of interregional relationships or six relationship forms in each local government to eliminate the spatial conflict potentialy. Rearrangement of regional autonomous policy focusing on the implementation of areal divergences shall be done as quickly as possible."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 43(2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Liddle, R. William
New Heaven: Yale University Press , 1970
301.45 LID e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alis Sofiatun
"ABSTRAK
Salah satu kebijakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah adalah penataan daerah. Kebijakan penataan daerah dapat berupa pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. Pembentukan daerah menghasilkan daerah otonomi baru DOB. Dalam rangka menjalankan pemerintahannya, DOB sebagai subjek hukum yang memiliki aset tersendiri juga harus mampu mengelola keuangannya secara adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab. Hal tersebut tidak menjadikan peran pemerintah pusat menjadi pasif, karena pemerintah pusat tetap memiliki hubungan keuangan dengan DOB melalui instrumen dana perimbangan. Selain dana perimbangan, pemerintah pusat juga harus menjamin keberlangsungan DOB melalui sebuah kebijakan berupa hibah dan/atau bantuan pendanaan yang harus diberikan daerah induk dan provinsi terhadap DOB untuk menyelenggarakan pemerintahannya dan mengadakan pilkada pertama kali. Kebijakan berupa hibah dan/atau bantuan pendanaan ini diatur dalam undang-undang pembentukan DOB yang memuat mengenai waktu dan besaran jumlahnya. Seiring berjalannya waktu, beberapa DOB yang sudah terbentuk tidak mendapatkan hibah atau bantuan pendanaan dari daerah induk dan provinsi. Hal ini menjadi masalah karena seharusnya daerah induk dan provinsi membayarkan hibah dan/atau bantuan pendanaan terhadap DOB sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Adapun mengenai metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara. Penyelesaian terkait dengan permasalahan pembayaran hibah dan/atau bantuan pendanaan oleh daerah induk dan provinsi terhadap DOB diselesaikan dengan regulasi yaitu PMK No. 215 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pemotongan DAU dan/atau DBH Daerah Induk Terhadap DOB. Implementasi pembayaran hibah dan/atau bantuan pendanaan melalui regulasi tersebut dapat dipaksakan karena sifatnya wajib, yakni berupa kebijakan dari pemerintah pusat.

ABSTRACT
One of the policies undertaken in order to implement regional autonomy is territorial reform. Territorial reform policy can be proliferation, deletion and amalgamation region. Proliferation region produce new autonomous region DOB . In order to implement government, DOB as in legal subject has own assets also must manage finances fairly, propotional, democratic, transparent and responsible. This doesnt make the central government 39s role are passive, because central government retains financial relation with the new autonomous region through the instrument of balanced budget. In addition to the balanced budget, central government must also ensure the sustainability of the new autonomous region through a policy of grants and or funding assistance to be provided by the main region and provincial region to the new autonomous region to organize their administrations and conduct pilkada for the first time. Grant and or funding assistance policy is governed by the formation of new autonomous region regulation which contains the amount of time and quantity. As time passes, some newly established autonomous region dont receive grant or funding assistance from main region and provincial region. This is become a problem because main region and provincial region should pay grant and or funding assistance to the new autonomous region within the specified time period. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview. The settlement related with the problem of grant payment and or financing assistance by main region and provincial region to the new autonomous region is solved by regulation of PMK Number 215 Year 2015 about the Procedures for Cutting of DAU and or DBH of main region to DOB. Implementation of grant payment and or funding assistance through the regulation can be enforced because it is mandatory, as in the policy of the central government."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Roselina Effendi
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam yang melahirkan konflik kewenangan antara Badan pengusahaan Batam dan Pemerinta Kota Batam. Latar belakang dari dualisme kewenangan ini disebabkan oleh tumpang tindihnya regulasi yang mengatur Kota Batam dan tidak berjalannya reformasi hukum yang mengatur hubungan pusat dan daerah pasca reformasi. Tumpang tindih kewenangan di daerah pasca desentralisasi di Indonesia merupakan gejala umum yang memicu terjadinya konflik kepentingan di daerah.
Dalam mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam digunakan teori konflik, desentralisasi dan pendekatan berbasis negara dalam ekonomi politik serta hubungan pusat dan daerah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dijabarkan berdasarkan metode penelitian kualitatif. Sehingga untuk mengumpulkan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan stakeholder dari Badan Pengusahaan Batam, Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Riau, DPRD, Kamar Dagang Indonesia Kota Batam dan Provinsi Riau. Disamping itu, dilakukan observasi langsung pada dua institusi serta didukung dengan data-data literatur berupa buku, peraturan perundang-undangan, jurnal dan website resmi BP Batam dan Pemko Batam.
Untuk mencapai objektifitas penelitian, digunakan teknik triangulasi dengan mengklarifikasi pada Pemerintah Pusat, Akademisi, LSM, Pengusaha dan Masyarakat. Data yang dikumpulkan direduksi dan disajikan, maka diperoleh kesimpulan bahwa dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam merupakan akibat dari ketidaktegasan regulasi yang mengatur hubungan antar instansi di daerah serta hubungan pusat dan daerah. Besarnya kepentingan ekonomi politik pusat di Kota Batam. Sehingga, desentralisasi sebagai amanat UUD 1945 tidak dapat berjalan dengan baik di Kota Batam.
Untuk dapat mengatasi persoalan di Kota Batam, diperlukan ketegasan sikap politik pusat untuk mengakhiri konflik antar dua institusi ini dan melalui penelitian ini disarankan agar pemerintah pusat memberikan desentralisasi asimetris sebagai reorganisasi stuktur untuk mewujudkan Kota Industri Batam. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dalam mengambil keputusan politik, dan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya, terutama dalam penelitian terkait desentralisasi dan konflik kepentingan antara pusat dan daerah.

This research describes and analyze a dualism of authority in Batam that provoke a conflict of authority between BIFZA (Batam Indonesia Free Zone Authority) and Batam city government. This dualism of authority caused by overlap regulation that organize Batam city and legal reform, which control centralization & decentralization in Soeharto era, is not working. This conflict of authority in decentralization area in Indonesia is a general symptoms that trigger conflict of interest in a district.
Describing and analyzing dualism of authority in Batam city is using theory of conflict, decentralization, and state-based approach in politic economy and the relation between the capital & district. This research is a study case using qualitative research method. Thereby in collecting the data need to do a deep interview with a stakeholder from BIFZA, Batam city government, Riau Province government, DPRD, Chamber of Commerce in Batam & Riau Province. Direct observation to these two institutions which is supported by literature such as books, legislation, journal & official website of BIFZA & Batam city government.
To obtain the objectives of this research, researcher use triangulation techniques that clarifying information from capital government, academics, NGO, enterpreneur, and society. The collected data is reducted and presented. The conclusion is, dualism authority between BIFZA & Batam city government happens from indecision regulation; that control the relation between institutions in a district, the relation between capital and district, and how much politic economy central interest in Batam city. Thereby, decentralization as a mandate from UUD 1945 (State constitution of 1945) cannot work properly in Batam city.
To overcome the conflict in Batam city, politic assertiveness from the capital is needed. From this research conclude a reccomendation that capital government give asymmetry decentralization as structur reorganization to gain Batam industry city. Thereby, this research can be a reference for the next research, especially in research about decentralization and conflict of interest between capital government and district.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>