Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153120 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadhifatun Nada Hassanal Fajriy
"Sense of place yakni sebuah ikatan antara manusia dengan tempat yang berdasarkan pengalaman inderawi, dapat ditemukan melalui perpaduan antara penataan fisik (physical setting), aktivitas (activity) dan makna (meaning). Sense of place dapat digunakan untuk melihat dan memahami suatu tempat secara holistik, terlebih terhadap tempat ataupun kawasan yang memiliki nilai sejarah atau budaya. Tradisi budaya batik sudah menjadi salah satu bagian budaya di Pekalongan bahkan di Indonesia. Dengan budaya yang sudah turun temurun dan berkembang, terbentuklah sebutan kampung batik untuk perkampungan dengan mayoritas warganya pengrajin batik. Salah satunya Kampung Batik Kauman Pekalongan. Kawasan Kampung Batik Kauman termasuk dalam kawasan pusaka di Kota Pekalongan. Kawasan ini memiliki tradisi budaya batik yang kental dan masih meninggalkan bukti bangunan zaman Kolonial Belanda yang dahulu digunakan untuk produksi batik. Sebagai kampung wisata, Kampung Batik Kauman ini belum memiliki showroom batik bersama. Karena itu, Paguyuban Kampung Batik Kauman (PKBK) mengadaptasi salah satu bangunan kuno yaitu Omah Lawang Sanga yang difungsikan sebagai showroom batik bersama dan destinasi wisata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sense of place dengan dipengaruhi budaya batik dalam adaptasi Omah Lawang Sanga di Kawasan Kampung Batik Kauman. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang disampaikan secara deskriptif naratif, yang digunakan untuk memperoleh gambaran secara detail mengenai sense of place terhadap objek skripsi yang diangkat. Pengumpulan data dilakukan dengan proses kajian literature (studi pustaka), wawancara, pengamatan, dan observasi/penelusuran di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa sense of place di Kampung Batik Kauman tergolong tinggi, dikarenakan identitas tempat dan identitas masyarakat sudah kuat dari sejarah leluhur akan budaya batik. Lalu karakteristik kawasan yang banyak ditemui bangunan zaman kolonial dengan sejarah sebagai rumah tinggal pengrajin batik. Dan hal yang tidak kalah penting adalah kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk melestarikan tradisi budaya batik sebagai dasar pengembangan kawasan.

Sense of place, which is a relationship between humans and places based on sensory experience, can be found through a combination of physical settings (penataan fisik), activity (aktivitas) and meaning (makna). Sense of place can be used to see and understand a place holistically, especially to places or areas that have historical or cultural values. The cultural tradition of batik has become a part of the culture in Pekalongan and even in Indonesia. With a culture that has been passed down from generation to generation and developed, the term batik village was formed for a village where the majority of its citizens are batik craftsmen. One of them is Kauman Batik Village, Pekalongan. The Kauman Batik Village area is included in the heritage area in Pekalongan City. This area has a thick cultural tradition of batik and still leaves the Dutch Colonial era buildings used for batik production. As a tourist village, Kampung Batik Kauman does not yet have a joint batik showroom. Therefore, the Kauman Batik Village Association (PKBK) adapted one of the ancient buildings, namely Omah Lawang Sanga, which functioned as a joint batik showroom and tourist destination.
This study aims to determine how the sense of place with the influence of batik culture in the adaptation of Omah Lawang Sanga in the Kauman Batik Village area. This study uses a qualitative method that is delivered in a descriptive narrative, which is used to obtain a detailed description of the sense of place for the object of the thesis that is raised. Data was collected by means of a literature review process, interviews, observations, and searches in the field. Based on the results of the study, it shows that the sense of place in Kampung Batik Kauman is classified as high society, because the identity of the place and has been strong from the ancestral history of batik culture. Then the characteristics of the area where many colonial era buildings are found with a history as a residence for batik craftsmen. And what is no less important is the awareness and responsibility of the community for the batik cultural tradition as the basis for regional development.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elliott, Inger McCabe
"Batik: Fabled Cloth of Java is richly illustrated with color plates of the finest antique and contemporary batik from thirty museums and private collections around the world.
From the royal courts of Yogyakarta and Cirebon to the coastal towns of Pekalongan, Surabaya and Lasem, Inger McCabe Elliot takes the reader on a spellbinding tour of Java's north coast examining the customs, cultures and craftsmanship that distinguishes its magic cloth."
New York: Clarkson N. Potter Inc, 1984
R 745.662 ELL b
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Kusuma Sugiono
"Batik Lasem merupakan tetesan budaya masyarakat Cina peranakan yang tinggal di Lasem Jawa Tengah Keunikan batik Lasem terletak pada corak dan pewarnaannya yang memadukan budaya Cina dan Jawa Melalui batik Lasem kita dapat melihat percampuran budaya Cina dan Jawa yang berkolaborasi dengan indah Corak binatang binatang Cina yamg megah dan penuh dengan falsafah hidup khas Cina dipadukan dengan bunga bunga lokal Jawa yang cantik dan mempesona ditambah dengan warna khas Lasem yang cerah dan menawan menjadikan batik Lasem sebagai suatu karya seni bernilai tinggi Batik Lasem merupakan warisan budaya yang telah dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat Lasem selama ratusan tahun lamanya Hingga saat ini apabila kita melihat batik Lasem kita dapat menyaksikan bukti nyata percampuran budaya Cina dan Jawa yang tertoreh dalam selembar kain batik yang indah
Batik Lasem is a cultural heritage of the Peranakan Chinese whom resides in Lasem Central Java The uniqueness of Batik Lasem lies in its patterns and coloring which incorporates Chinese and Javanese culture Through Batik Lasem we are able to see a mix of Chinese and Javanese influences in unified beauty Majestic patterns of animals which epitomizes a distinct philosophy of the Chinese merged together with the allure and charm possessed only by a local Javanese flower added with the prominent and vibrant color of Lasem is what attributes to the high value of this work of art Batik Lasem is a cultural heritage that has been preserved by the people of Lasem for decades To this day whenever Batik Lasem is sighted its striking merge of Chinese and Javanese cultures is perpetually embedded on a length of batik garment "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fajriaty Indah K.
"Skripsi ini membahas tentang kelahiran batik Jawa Hokokai di Pekalongan pada masa pendudukan Jepang 1942-1945 . Fokus utama pada penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana batik Jawa Hokokai lahir di tangan pengusaha batik Pekalongan pada masa pendudukan Jepang dan hubungannya dengan organisasi Jawa Hokokai. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa batik Jawa Hokokai lahir di tangan pengusaha batik Pekalongan pada tahun 1943 dan nama batik ini muncul pada tahun 1944 sesuai dengan kelahiran organisasi bentukan Jepang yaitu Jawa Hokokai, sebagai organisasi yang paling dikenal masyarakat Jawa selama masa pendudukan Jepang.

This study discussed about the birth of Jawa Hokokai batik in Pekalongan during the Japanese occupation 1942 1945 . The main focus of this study are to describe and analyze how the Jawa Hokokai batik was born in Pekalongan batik entrepreneurs's hand during the Japanese occupation and its relationship with the Jawa Hokokai organization. The results of this study revealed that the Jawa Hokokai batik was born in Pekalongan batik entrepreneurs's hand in 1943 and the name of this batik appeared in 1944 according to the birth of the organization established by the Japanese government, Jawa Hokokai, as the most known organization in Java during the Japanese occupation. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S66245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prajna Pradipta R.
"Skripsi ini membahas tentang peran hukum dalam melestarikan batik Jawa sebagai ekspresi budaya tradisional dan memberi jaminan hukum bagi batik dalam ekonomi kreatif untuk mencegah tindakan apropriasi terhadap batik. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan-normatif dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlindungan hukum terhadap batik dapat dilakukan dengan menggunakan indikasi geografis atau Batikmark karena sifatnya yang tidak terbatas oleh waktu, memberi tanda orisinalitas batik, tidak membatasi kreativitas masyarakat budaya, dan dapat digunakan secara komunal.

The focus of this study is to analyse the role of legal protection in safeguarding Javanese batik as traditional cultural expression in creative economics setting against the act of apropriation. This study is a normative-literature research using secondary data. The conclusion of this study propose the use of geographical indications and Batikmark as a mean of legal protection for batik because both are not limited by time, signify the originality of batik, do not limit the creativity of batik, and can be used communally."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S42265
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Dafa Nurbaskara
"Keterikatan tempat mengacu pada ikatan emosional dan ikatan fungsionalĀ  positif yang dimiliki oleh individu terhadap suatu tempat. Dalam perkembangannya, ikatan sosial juga berpengaruh terhadap keterikatan tempat yang dimiliki oleh seseorang. Ketiga faktor tersebut secara bersamaan akan menghasilkan sense of place yang didefinisikan sebagai ikatan antara manusia dengan tempat yang tercipta berdasarkan pengalaman bermakna terhadap tempat. Sense of place dapat mempengaruhi perilaku individu pada suatu tempat dan salah satunya adalah penciptaan budaya. Batik merupakan seni budaya khas Indonesia yang penciptaannya dipengaruhi oleh interaksi antara manusia dengan tempat melalui adat istiadat dan karakteristik fisik lokasi. Kota Surakarta merupakan kota pedalaman yang perkembangan batiknya memiliki keterkaitan erat dengan keraton. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penentuan motif batik di Kota Surakarta berdasarkan keterikatan tempat yang dimiliki oleh pengusaha terhadap kampung batik yang ada di Kota Surakarta. Metode sampling yang digunakan adalah penetapan kuota 50 % dari total pengusaha batik yang memproduksi dari hulu hingga hilir. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan studi literatur, sedangkan pada tahapan analisis data menggunakan teknik analisis konten, metode triangulasi sumber data, dan teknik interpretasi. Hasil dari penelitian ini adalah keterikatan tempat pengusaha batik terhadap kampung batik tergolong kuat yaitu pada skala intensionalitas sense of place 5 hingga 7. Terkait penentuan motif batik sebagian besar pertimbangannya didasarkan atas dasar tren di masyarakat dan permintaan khusus konsumen. Perihal hubungan keterikatan tempat dengan penciptaan motif batik adalah semakin kuat keterikatan tempat pengusaha batik, maka mereka cenderung tetap memproduksi batik klasik tradisional sebagai bentuk pelestarian budaya dan identitas khas Kota Surakarta.

Place attachment refers to the emotional attachment and positive functional attachment that individuals have to a place. In its development, social ties also affect the attachment to a person's place. These three factors will simultaneously produce a sense of place which is defined as a bond between humans and places created based on meaningful experiences of places. Sense of place can influence individual behavior in a place and one of them is the creation of culture. Batik is a typical Indonesian cultural art whose creation is influenced by the interaction between humans and places through customs and the physical characteristics of the location. The city of Surakarta is an inland city whose batik development is closely related to the palace. This study aims to determine the determination of batik motifs in the city of Surakarta based on the attachment of the place owned by the entrepreneur to the batik village in the city of Surakarta. The sampling method used is the determination of a quota of 50% of the total batik entrepreneurs who produce from upstream to downstream. Data was collected using interviews, observation, and literature studies, while at the data analysis stage, content analysis techniques, data source triangulation methods, and interpretation techniques were used. The result of this study is that the attachment of the batik entrepreneur to the batik village is quite strong, namely on a sense of place intentionality scale from 5 to 7. Regarding the determination of batik motifs, most of the considerations are based on trends in society and special consumer demands. Regarding the relationship between place and the creation of batik motifs, the stronger the attachment to the place of batik entrepreneurs, they tend to continue to produce traditional classical batik as a form of preserving the culture and identity of Surakarta City.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013
R 746.662 BEN
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Redidzia Hernandi
"Penelitian ini membahas dinamika politik identitas dan persepsi sense of place masyarakat di Kelurahan Petamburan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan mengelaborasi landasan teori sense of place, konsep sistem religi dan kategorisasi politik identitas. Hasil penelitian ditemukan politik identitas di Petamburan dipengaruhi oleh sistem religi masyarakat terkait sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan dan penganut keagamaan yang kuat. Kultur masyarakat yang religius membuat pimpinan keagamaan mendapatkan peran dominan dalam penyebaran pandangan politik keagamaan di Petamburan. Faktor pendukung lainnya persepsi sebagai pihak yang terdampak secara langsung dari kebijakan BP terkait aturan hewan kurban dan digencarkannya program pembangunan rumah susun yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Dua faktor tersebut menumbuhkan emosi keagamaan yang mengarah ke politik identitas. Selanjutnya, dimensi sense of place masyarakat di Kelurahan Petamburan merasakan adanya sense of place dengan faktor yang paling dominan adalah place attachment, place dependence dan place identity. Sense of place yang dirasakan para informan sangat kuat yang membuat mereka memilih untuk tetap bermukim di Petamburan.

This research discusses the dynamics of identity politics and perceptions of the sense of place community in Petamburan Village. The research method used is descriptive qualitative by elaborating the theoretical basis sense of place, the concept of a religious system, and the categorization of identity politics. The results of the study found that identity politics in Petamburan was influenced by the community's religious system related to belief systems, religious ceremonial systems, and strong religious adherents. The religious culture of society makes religious leaders get a dominant role in spreading religious-political views in Petamburan. Another supporting factor is the perception of being a party directly affected by BP's policy regarding the rules for sacrificial animals and the intensification of the apartment development program which has raised public concern. These two factors foster religious emotions that lead to identity politics. Next, dimensions of sense of place The people in the Petamburan Village feel this sense of place with the most dominant factor being place attachment, place dependence, and place identity. The sense of place that the informants felt was very strong which made them choose to stay in Petamburan."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Dan Global Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Moersid
"Masalah penelitian ini adalah bagaimana produksi batik, khususnya batik keratonan Yogyakarta di tengah masyarakat yang sedang berubah secara dinamis. Apa peran agen sebagai perantara kebudayaan yaitu para pembentuk "selera" dan trend setters,
orang-orang yang menterjemahkan konsep-konsep pemikiran baru ke dalam gaya hidup dan bagaimana proses kreatif yang dinamis terbentuk pada masyarakat yang terus berubah.
Fokus penelitian adalah: bagaimana para agen berperan dalam arena produksi budaya batik gaya keratonan Yogyakarta. Hal tersebut menuntut diperhitungkannya tak hanya produk-produk budaya tersebut saja, namun juga mereka-mereka yang memproduksinya, dengan segala kemampuan dan posisi mereka di dalam arena produksi budaya di mana mereka berada.
Tujuan penelitian secara teoritis adalah menemukan konstruksi teori tentang bagaimana peran agen produsen produk kebudayaan dalam masyarakat yang sedang berubah, dengan agen sebagai bagian dari, dan sekaligus pembentuk perubahan struktur obyektif, yaitu kebudayaan. Temuan penelitian secara praktis diharapkan menghasilkan kajian tentang proses penciptaan dan transformasi identitas juga bagaimana mengkonstruksikan identitas baru yang berangkat dari tradisi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan peneliti sebagai instrumen, mempertahankan kewajaran konteks, menekankan pada proses, dan makna merupakan yang esensial.
Satuan kajian penelitian adalah kelompok orang-orang yang berpengaruh pada perubahan batik gaya keratonan Yogyakarta yaitu: para abdidalem, penjaga dan perawat Pajimatan Imogiri, pemakaman raja-raja Mataram II yang yang juga adalah pembatik dan bermukim di Giriloyo, Imogiri, Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengelola, abdidalem, dan pekerja batik pada usaha batik Tamanan Karaton Ngayogyakarta Hadingrat.yang berada di bawah patronase Keraton Yogyakarta. Perancang batik dan busana batik Iwan Tirta dan Adjie Notonegoro di Jakarta.
Dengan mempelajari kerangka pemikiran Pierre Bourdieu bahwa selera adalah mekanisme kunci untuk mengatur distribusi sumber-sumber simbolik dan kerangka pemikiran Arjun Appadurai yang memberi tekanan pada dimensionalitas kebudayaan saat orientasi budaya meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru, maka digunakan kerangka pemikiran Pierre Bordieu (1977, 1984,1990, 1993)dan Arjun Appadurai (2000,2002)
Temuan penelitian menunjukkan pertama, dalam arena produksi budaya batik keratonan Yogyakarta, para agen dengan mengakumulasi kapital dan kekuatan sosial yang membuahkan hasil, selain mereka sendiri berubah karena tekanan pasar juga mampu mengubah, membentuk dan mengkondisikan arena. Telah terjadi "internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas".
Kedua,ada hubungan dinamis atau dialektika antara produk budaya dan selera. Perubahan pada produk batik keratonan Yogyakarta selain menimbulkan perubahan selera, pada perkembangannya perubahan selera juga menimbulkan perubahan pada produk batik keratonan Yogyakarta dalam cakupan yang berbeda-beda.
Ketiga, dengan re-invensi dan re-kreasi, dikendalikan lewat promosi dan pengkondisian selera oleh Iwan Tirta dan Adjie Notonegoro, batik keratonan Yogyakarta yang semula kapital sosial-budaya bagi lokalitas terbatas kini menjadi kapital material-ekonomi, dan direproduksi secara luas hingga habitus diperluas keluar keraton.
Keempat, proses "glokalisasi" adalah sebuah negosiasi antara budaya global dan budaya lokal. Dalam produksi batik keratonan gaya Yogyakarta, proses negosiasi terus menerus yang diterjemahkan sebagai praksis atau strategi menjadi sumber kreativitas para agen perubahan, hingga terjadi perluasan arena dari keraton ke arena negara ( Indonesia) bahkan dunia, sekaligus penegasan akan identitas lokal.

The research problem is how batik textile production, batik keratonan Yogyakarta (originated from the royal palace of Yogyakarta) in particular takes place in a dynamically changing society. This dissertation attempts to identify the role of agents as cultural intermediaries, taste creators and trend setters. How they translate new concepts into lifestyle and how their dynamic creative process take shape in a changing society.
By analyzing agents and their dynamic creative process in the field of batik keratonan Yogyakarta cultural production, this study evolves not only around batik as a cultural product, but also those who produce them, with all their dispositions, position takings and strategies in the field of cultural production.
The objective of this research is to formulate a theory regarding the role of agents in the field of cultural production in a changing society, with the agents being part of, as well as agents of change of the objective structures or culture. The research findings are also expected to generate a study about the process of creation and identity transformation, as well as how to construct new identities based on tradition.
This research takes a qualitative approach which emphasizes the researcher as an instrument, always maintaining the context, emphasizing on process and meaning considered essential.
The research study unit is a group of people who has influence in the change of batik keratonan Yogyakarta style: 1) abdidalem ( royal guards and caretakers) of Pajimatan Imogiri " the cemetery of Mataram II kings, who are also batik artists and reside in Giriloyo, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2) managers, batik workers and abdidalem who are also batik artists in Tamanan Karaton Yogyakarta Hadiningrat enterprise, under the patronage of Keraton Yogyakarta, 3) batik and fashion designers Iwan Tirta and Adjie Notonegoro in Jakarta. Regarding Pierre Bourdieu"s theory that taste is the key element in controlling symbolic resources distribution and Arjun Apadurai"s theory which emphasized cultural dimensionality when cultural orientation expands globally with a series of new norms and values, this study is based upon Pierre Bourdieu"s (1977, 1984, 1990, 1993) and Arjun Appadurai"s (2000, 2002) frame of thinking.
Research findings showed that , first, agents accumulated capital and social power which resulted in the change of their strategies in anticipating the market pressure while at the same time also capable of changing, shaping, and conditioning the field of batik keratonan Yogyakarta cultural production. There occurs the dialectic of the internalization in externality and externalization of internality.
Second, there are dynamic dialectics between cultural production and taste. The change in batik keratonan Yogyakarta production leads to a change of taste, and the change of taste generates new forms of products. Change occurs from within a limited scope in the production of batik alusan Giriloyo, Imogiri and Tamanan, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, to an extensive and wider scope in the production of batik created by Iwan Tirta and Adjie Notonegoro.
Third, by reinvention, pushed by promotion and taste conditioning by Iwan Tirta and Adjie Notonegoro, batik keratonan Yogyakarta which previously is a socio-cultural capital for a limited locality, now has become a material-economic capital and reproduced extensively, and therefore, habitus is expanded beyond the keraton.
Fourth, the process of "glocalization" is a continous negotiation between global culture and local culture. In batik keratonan Yogyakarta production, continuous global-local negotiation process which is translated as praxis or strategy becomes the creativity source for the agents of change, which results in the expansion of the cultural field from keraton (the royal palace of Yogyakarta) to nation (Indonesia) and even the world, while still maintaining the local identity affirmation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D736
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Georgian Marcello
"Batik sebagai pakaian kasual berasal dari budaya kuat yang menyerupai rasa hormat yang tinggi dari pengguna di masa lalu. perlahan-lahan, budaya bergeser dengan cara yang baik, mempertahankan batik sebagai nilai bangsa dan simbol budaya tinggi. Meskipun perilaku pembelian berulang pada merek batik bersaing dengan barang mode impor bermotif lain di industri. Penting untuk mengakui variabel yang mempengaruhi yang dapat menghasilkan loyalitas perilaku terhadap merek batik.

Batik as a casual clothing is derived from strong culture that resembles high respect of the user in the past times. slowly, the culture shifted in a good way, sustaining batik as a value of the nation and a symbol of high culture. Although the
behavior of repeat purchase in batik brands is competing with other patterned imported fashion item in the industry. It is important to acknowledge the affecting variables that could generate a behavioral loyalty to a batik brand.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>